Karena sikap supel dan ramahnya, Yasmen tidak perlu menunggu lama untuk bisa akrab dengan rekan satu divisinya. Meskipun, masih ada yang bersikap sungkan karena Yasmen merupakan anak dari presiden direktur yang menjabat di Casteel High saat ini. Mereka harus lebih menjaga lisannya, jika hendak bergosip seperti biasa.“Ini berkas lamaran yang masuk sampai kemarin. Itu berarti, dari jumat, sabtu, sama minggu,” ujar Ratna, senior wanita yang baru saja meletakkan setumpuk amplop cokelat di meja Yasmen. Kemudian, ia mengambil sebuah pulpen di meja Yasmen dan menulis sesuatu pada tumpukan amplop yang paling atas. “Dan ini, e-mail divisi HRD dan passwordnya,” lanjutnya menunjuk sesuatu yang baru saja ia tulis.Yasmen yang masih bingung dengan tugasnya, hanya mengangguk pelan. Pandangannya tertuju pada tumpukan amplop yang tingginya melebihi mesin printer yang ada di mejanya. Entah apa yang harus Yasmen lakukan pada tumpukan berkas lamaran itu nantinya. Ia hanya menunggu instruksi terlebih da
“Kenapa mas By itu tambah cakep aja, sih!”Kalimat yang diikuti tawa oleh dua wanita itu, membuat Yasmen tidak jadi keluar dari bilik toilet. Jam pulang kantor sudah berakhir dari setengah jam yang lalu, tapi Yasmen harus menunggu Byakta yang masih menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu. Sementara menunggu, Yasmen menyempatkan diri menjelajahi Casteel High dengan seksama dan berakhir di toilet lantai lobi.“Cakep, tapi suami orang buat apa?” sahut wanita yang suaranya terdengar cempreng. “Apalagi menantunya pak bos besar, mana berani kita nyikut.”Tawa itu kembali menguar, disertai suara bilik pintu toilet yang tertutup tepat di samping tempat Yasmen berada.“Tapi, Ris, gue heran aja, lamarannya sama siapa, terus nikahnya sama siapa,” lanjut si Cempreng kembali bergosip dari bilik di samping Yasmen. “Kasian aja sama pacarnya, udah ngapa-ngapain bareng, eh, putus!”Wanita yang dipanggil Ris itu pun menghela dengan suara yang panjang. “Gue lebih kasian sama istrinya. Besoknya mau ni
Sejak sore tadi, Yasmen hanya membisu dan tidak bersikap seperti biasanya pada Byakta. Tidak ada senyum, tatapan ramah serta manja, apalagi sepatah kata yang keluar dari mulutnya. Yasmen bungkam, sebagai bentuk protes karena Byakta sudah membohonginya. Pria itu masih saja berhubungan dengan Raya, bahkan sehari sebelum mereka menikah.Kalau memang Byakta tidak ingin menikah dengan Yasmen, seharusnya pria itu tinggal menolaknya saja. Tidak perlu mengiyakan, tapi ujung-ujungnya hanya membuat Yasmen menderita batin. Tadinya, Yasmen mengira Raya merupakan masa lalu yang tidak lagi bertukar kabar dan hanya sekedar menyisakan sebuah rasa di hati Byakta. Namun, dugaan Yasmen salah.Byakta bahkan masih bertemu dan menjalin hubungan dengan Raya, setelah pria itu setuju untuk menikah dengan Yasmen. Lantas, jika sudah begini akankah Yasmen bisa bertahta di hati Byakta?Ternyata, pernikahan yang ada di pikiran Yasmen, tidak seindah yang selama ini ia lihat di keluarga besarnya. Atau, hanya pernika
Melihat pintu balkon yang terbuka, Susi yang tadinya hendak menuju kamar utama langsung membelokkan langkahnya. Di luar sana, ia melihat Byakta berdiri sambil bersedekap seperti sedang melamunkan sesuatu. “Maaf, Mas,” tegur Susi berada di bibir pintu dan tidak melihat Yasmen ada di area balkon. Mungkin saja, Yasmen masih berada di kamar untuk mempersiapkan diri pergi ke kantor. “Sarapannya sudah siap.” Seketika itu juga Byakta membalik tubuh, dan tersenyum kecil. Ada banyak hal yang berputar di kepala Byakta tentang pernikahannya dengan Yasmen. Apalagi, saat Yasmen mengutarakan keinginannya untuk bercerai malam tadi. Byakta tidak bisa membayangkan, bagaimana kedua orangtuanya akan murka jika Byakta benar-benar menceraikan Yasmen. Orangtua Byakta terutama papanya, pasti akan kehilangan muka di depan Pras. Namun, bertahan dengan Yasmen yang terlalu bersikap kekanakan ternyata mampu membuat Byakta mengelus dada. Gadis itu tidak pernah berpikir terlebih dahulu jika melakukan sesuatu, da
Langkah kaki Yasmen teranyun gontai. Terus memasuki kediaman Sagara lebih dalam, kemudian berbelok ke kamar Mai. Untuk sementara waktu, Mai memang akan tinggal di kediaman Sagara karena masih belum mengerti dengan semua hal terkait bayinya. Karena itulah, Mai yang tidak pergi ke kantor hari itu tiba-tiba ingin pergi ke kediaman Sagara untuk menengok keponakan barunya. Begitu Yasmen membuka pintu kamar tanpa mengetuk lebih dulu, semua mata orang yang berada di dalam sana langsung tertuju ke arahnya. “Ngapain ke sini?” pertanyaan yang terdengar galak itu langsung dimuntahkan oleh Mai. “Bukannya kamu harusnya di kantor? Pasti bolos kerja, kan?” tebak Mai dengan telak. “Ssstt!” Ingin rasanya Sinar menepuk mulut Mai, andai putrinya itu duduk di sampingnya saat ini. Namun, karena ia baru saja bersantai di sofa setelah meletakkan sang cucu di boks bayi, maka Sinar hanya bisa mendesis untuk menghardik putrinya itu. “Nggak ngantor, Yas?” tanya Sinar melihat langkah lesu Yasmen menuju boks
“Mau ke mana?” Dengan membawa piring yang masih berisi nasi, serta lauk yang sepertinya belum disentuh, jelas saja Pras curiga dan memberi pertanyaan tersebut. Jika melihat dari arah Mai berjalan, maka putrinya itu jelas-jelas baru saja pergi dari kamar. “Makan,” jawab Mai berhenti sebentar untuk menjawab pertanyaan sang ayah. “Ada Yasmen lagi nangis di kamar, jadi aku diusir enda.” Pras berdecak, karena sudah bisa menebak masalah yang dibawa Yasmen ke rumah. Belum juga satu minggu menjalani pernikahan, tapi gadis itu sudah kembali membuat masalah. “Ayah.” Mai menghabiskan jarak dengan Pras. Sangat dekat hingga hampir tidak berjarak. “Nggak mungkin Ayah nggak tahu apa-apa, kan? Dari bulan madu yang batal, teruuuss …” Ingin rasanya Mai menjerit, menggeram, atau kalau bisa mengumpat keras, ketika Pras langsung meninggalkannya begitu saja. Tanpa penjelasan, pun tanpa satu patah kata. Terkadang, Mai sempat berpikir bagaimana Sinar bisa bertahan hidup bersama Pras hingga bertahun-tahu
“Loh? Bukannya lagi nggak enak badan?” Ratna bergegas berdiri dari kursinya, untuk menghampiri meja kerja Yasmen yang berhadapan dengannya. Karena Yasmen adalah anak presiden direktur Casteel High, jadi wajar jika Ratna memberi perhatian lebih. Yasmen berusaha tersenyum ramah, meskipun hatinya merasa kesal tidak terkira dengan Pras dan Byakta. Ia sampai di Casteel High tepat satu jam sebelum jam makan siang tiba, dan segera menyalakan perangkat komputernya untuk bekerja. “Udah enakan, kok, Bu. Cuma kecapean.” Ratna menahan senyum gelinya, sambil menatap beberapa karyawan yang seolah juga menahan hal yang sama. Otak mereka seolah memikirkan hal yang sama. Yasmen kelelahan karena gadis itu memang masih menjalani kehidupan sebagai pengantin baru. Mungkin saja, Yasmen kesiangan dan Byakta tidak enak untuk membangunkannya karena keduanya telah menghabiskan malam yang panjang. “Oke.” Ratna mengangguk saja, karena tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Kalau bukan putri dari presiden direk
“Kamu ke sini sudah izin sama Byakta?”Yasmen langsung masuk ke dalam unit apartemen yang pintunya baru saja terbuka. Bibirnya mengerucut cuek, karena mendengar pertanyaan dari kakak sepupu yang sampai sekarang belum menanggalkan status lajangnya. Padahal, ketiga adik sepupunya sudah menikah semua dan hanya menyisakan Nando yang masih saja asyik dengan dunianya sendiri.“Emang harus izin?” Yasmen mencebik sambil melewati Nando yang memakai masker di wajahnya. “Mas By masih di lembur di kantor, makanya aku ke sini sebentar.”Nando menghela sambil menutup pintu. Menyusul Yasmen yang sudah memasuki unitnya ke bagian lebih dalam, yaitu dapur. Gadis itu langsung membuka lemari es dan mengambil satu botol air mineral.“Kalau sudah jadi istri itu, pergi ke mana-mana harus izin sama suami, Yasmeeen!” Nando menyelesaikan bersin yang mendadak menyerangnya, baru kembali melanjutkan perkataannya. “Masa’ mamimu nggak ngasih tahu?”“Ngasih tahu, sih,” decak Yasmen setelah duduk di stool bar dan men