Share

I Want To Go To Korea

#Dua#

“Rey,” panggil Diana dengan suara yang terdengar bergumam.

“Emh..?” Reyka menanggapi panggilan Diana.

“Tidur, ini udah jam berapa?” tanya Diana dengan suara serak khas bangun tidur. Matanya yang belum terbuka sepenuhnya menyipit melirik jam yang menempel di dinding. “Jam sebelas lebih, Rey, tidur!” Setelah mengatakan demikian, Diana terlelap kembali ke alam mimpi.

Reyka yang melihat kelakuan sepupunya hanya tersenyum lalu melanjutkan aktivitas. Reyka sedang menonton film dari laptop. Malam ini dia berencana menyelesaikan lima atau enam episode drama korea yang sedang dia tonton.

Reyka mulai menyukai drama korea berawal dari menonton film full house yang dibintangi Song Hye Kyo dan Rain. Walau film itu diproduksi bertahun-tahun silam tetapi drama yang dikemas ringan membuatnya ketagihan untuk menonton judul lainnya.

Cerita-cerita dari drama korea sering tak bisa ditebak dengan mudah. Kepastian jumlah episode pun menjadikannya menarik, tak membosankan. Plot dan alur yang sudah diatur menjadi daya tarik tersendiri. Berbeda dengan sinetron yang ada di negeri ini, jika rating tinggi jumlah episode bisa bertambah menjadi ratusan atau malah ribuan dengan penayangan setiap hari.

Reyka tak hanya menikmati alur cerita yang dihadirkan. Pikiran Reyka menelusuri lebih dalam tentang proses produksi hingga film-film tersebut bisa ditayangkan dengan hasil akhir yang sangat bagus. Bagaimana posisi sutradara, bagian editing, serta sederet staf dan orang yang terlibat di belakang layar. Hingga terbersit pikiran jika suatu hari nanti Reyka ingin menyaksikan proses syuting tersebut atau mungkin terlibat langsung dalam prosesnya.

“Rey, bangun! Semalam tidur jam berapa?” Diana membangunkan Reyka dengan hati-hati.

“Emh,” Reyka bergumam lalu merentangkan kedua tangannya. Meregangkan tubuh setelah tidur empat jam.

“Ayo salat, ditunggu mama di musala. Kita salat subuh berjamaah,” ujar Diana sambil berlalu.

Reyka mengerjapkan mata lalu duduk. Perlahan menurunkan kaki dari tempat tidur lalu mengambil wudu. Menyusul tante dan sepupu yang sudah lebih dulu di musala di dalam rumah mereka.

Om Rudi datang dari masjid tak lama setelah Tante Belinda, Diana dan Reyka menyelesaikan salat subuh. Om Rudi duduk diantara mereka. Sebuah aktivitas rutin minggu pagi di rumah ini dengan mengetes hafalan quran.

Om Rudi dan Tante Belinda cukup taat dalam menjalani agama mereka. Sehingga hal ini menurun pada Diana. Pendidikan agama yang melekat dalam diri Reyka pun merupakan hasil didikan mereka. Membaca dan menulis Alquran, tata cara wudu serta bacaan dan gerakan salat, merekalah yang mengajarkannya.

Reyka tak ingat, apakah ayahnya pernah mengajarkan sesuatu yang berguna baginya. Kapan terakhir kali ayahnya menyentuh dengan penuh kasih sayang pun, Reyka tak ingat. Atau mungkin memang tak pernah sama sekali.

Semenjak nenek dan kakek Reyka kecelakaan tahun lalu, sejak saat itu ibunya pun berubah. Sulit sekali menemui ibunya di rumah. Ibunya akan pergi berhari-hari dengan alasan merintis bisnis yang tak Reyka ketahui bisnis apa, di mana dan dengan siapa. 

Maka rumah bagi Reyka tak ubah sebuah hotel yang hanya disinggahi hanya untuk tidur dan makan. Tak ada denyut kehidupan yang bisa menghangatkan rumah apalagi merekatkan hubungan kedua orang tuanya.

Pukul enam setelah aktivitas mengaji selesai, Om Rudi mengajak Tante Belinda, Diana dan Reyka untuk berolah raga. Mengelilingi komplek menggunakan sepeda selama setengah jam dan diakhiri dengan makan ketoprak yang mangkal di bundaran taman area komplek menjadi pilihan.

Seporsi ketoprak beserta segelas teh tawar hangat sedang diproses oleh alat pencernaan. Menunggu makanan sedikit turun sebelum bersepeda kembali ke rumah, ponsel Om Rudi berbunyi. Reyka yang berada dekat dengan Om Rudi mau tak mau mendengar percakapan Om Rudi dengan seseorang yang menghubunginya.

Tampaknya orang yang menghubungi Om Rudi adalah salah satu relasi yang berada di luar negeri. Karena Om Rudi menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa yang digunakan untuk merespon lawan bicaranya.

“Teman Om, ya?” tanya Reyka setelah Om Rudi mematikan sambungan telepon.

“Iya, temen Om mengabari katanya kalau ke Jakarta ingin mampir. Temu kangen.”

“Memang dia di mana, Om?” Reyka tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.

“Dia sekarang di Korea. Ada pertemuan bisnis di sana. Mungkin tiga atau empat hari lagi ke Indonesia.”

“Enak ya, Om, jadi orang pintar. Bisa keliling dunia,” seloroh Reyka.

“Rey juga pintar kok. Kalau mau belajar dengan giat, pasti Rey juga bisa.” Tante Belinda memberikan semangat. Reyka hanya mengangguk-anggukan kepala. Mencoba mencerna apa yang dikatakan tantenya.

Reyka sendiri masih bingung, apa cita-cita yang ingin diraihnya. Walau di sekolah dia selalu juara satu, tetapi dia belum menentukan mau seperti apa nanti. Jika ingin mengambil jurusan kedokteran, dengan kapasitas otak dan kekayaan yang dimiliki ayahnya maka tak akan sulit untuk masuk jurusan itu. Namun Reyka tak menaruh minat.

Sepanjang perjalanan pulang menuju rumah Om Rudi, Reyka banyak terdiam. Pikirannya berkelebatan tentang masa depan. Mungkin sudah saatnya dia memantapkan pilihan dan menyusun rencana  langkah yang harus ditempuh. Setidaknya dengan memetakan cita-cita dia bisa memperbaiki kehidupannya di masa mendatang. Tak lagi suram seperti masa yang tengah dijalani.

“Rey, dari tadi kok tumben diam?” tanya Diana sambil memasukkan sepeda ke garasi.

“Mulai mikirin masa depan nih, Di,” ujar Reyka jujur. “Di, lulus sekolah kamu mau kuliah jurusan apa? Di mana?”

“Pengennya kuliah di luar negeri. Kuliah sambil ngerasain tinggal di negeri orang. Seperti kata pepatah, sambil menyelam minum air,” jawab Diana.

“Luar negerinya, di mana?”

“Kalau ga Inggris, mungkin Amerika.”

“Ga takut kena diskriminasi dengan kerudung yang kamu pakai?” tanya Reyka polos.

“Kalau kita yakin dengan diri sendiri, Insya Allah semua akan mudah dihadapi. Asal kita kuat mental.” Diana mengepalkan tangan memberikan semangat. “Emang kamu nggak pengen kuliah di luar negeri, Rey? Bagi ayahmu, membiayaimu kuliah di luar negeri pasti mudah.”

Reyka menghembuskan napasnya kasar. Dalam benaknya bertanya-tanya. Apa betul ayahnya akan bersedia membiayai pendidikannya jika berkuliah di luar negeri. Reyka khawatir jika ayah dan ibunya bercerai lalu ayahnya menikah dengan Dinda, harta ayahnya akan dikuasai Dinda. Dan Reyka tak mendapatkan haknya.

“Di, kuliah keluar negeri mau ambil jalur regular atau coba bea siswa?” tanya Reyka.

“Kalau bisa, coba dulu bea siswa. Biaya kuliah di sana kan pasti lumayan. Belum biaya hidup dan biaya lainnya.” Diana ternyata sudah mempertimbangkan banyak hal. Jauh berbeda dengan Reyka.

Usia Diana dan Reyka hanya terpaut beberapa bulan. Mereka kini masih duduk di kelas dua sekolah menengah atas. Maka sudah sepatutnya berpikir untuk menentukan jurusan kuliah terlebih jika kampus yang ingin mereka tuju berada di luar negeri dan mengandalkan bea siswa.

“Kenapa Rey, minat juga kuliah di luar negeri?” tanya Tante Belinda yang sudah lebih dulu duduk di ruang keluarga.

Om Rudi yang duduk di samping Tante Belinda pun menoleh pada Reyka. Penasaran jawaban apa yang akan Reyka berikan.

“Kalau mau, nanti kita cari informasi bersama, Rey. Syukur-syukur nanti kita diterima di kampus yang sama,” ujar Diana.

“Iya, Rey, kalau mau biar kalian bisa bersama. Tante dan Om akan tenang kalau kalian tinggal bersama nanti di sana,” imbuh Tante Belinda.

“Kayaknya seru juga ya, Tan, kalau kuliah di luar negeri,” ucap Reyka.

Diana yang sudah duduk kembali berdiri dan merangkul pundak Reyka. “Jadi, mau Inggris atau Amerika?” seru Diana girang karena dia akan bersama dengan Reyka nanti.

“Korea.”

“HAH?!” Om Rudi, Tante Belinda dan Diana kaget bersamaan.

“Kenapa Korea, Rey?” tanya Om Rudi penasaran lebih tepatnya kaget dengan negara yang dipilih Reyka.

“Ya kebayangnya cuma Korea aja, Om,” jawab Reyka tanpa beban.

“Ni anak udah mabok drakor!” dengkus Diana melepas rangkulannya pada bahu Reyka sambil berlalu menuju dapur.

Om Rudi dan Tante Belinda saling bertatapan. Tak mengerti jalan pikiran Reyka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status