Tidak bisa dipungkiri jika aku sempat tersentak dengan apa yang baru saja Mas Hamish ucapkan.Menyukai?Mengapa dia tiba-tiba bertanya seperti itu?Mencoba tetap tenang, aku tidak ingin terpancing dengan pertanyaan itu. Bisa saja jika aku mengakui perasaanku, hubungan baik yang baru saja kubangun bersamanya akan kandas hari ini juga."Maksud kamu?""Kamu tidak diam-diam memendam perasaan padaku?" tanya Mas Hamish lagi. Kedua alisnya terlihat terangkat, sorot mata lurus nan tajam menatapku tanpa berkedip."Kenapa kamu berpikir begitu? Apa ada perkataanku yang mempengaruhimu?""Sikapmu," ucap Mas Hamish yang cukup membuatku bingung."Sikap? Sikap yang mana?""Kamu terlalu baik dan terlalu mencemaskanku. Perhatianmu terlalu berlebihan melebihi orang tuaku sendiri. Mengapa kamu begitu khawatir denganku?""Hanya karena itu?" Aku menantang tatapannya yang mulai berubah. Tidak seperti Mas Hamish yang aku temui pagi tadi. Dia lebih dingin dan asing. "Aku bertanggung jawab dengan apa yang terj
Siang ini Mas Hamish seharusnya pulang dari rumah sakit. Aku sengaja tidak menjemputnya karena Ibu dan Ayah sudah memintaku menunggu di rumah. Lagi pun, aku masih mogok bicara padanya.Sejak hari itu, aku tak lagi menemui Mas Hamish di rumah sakit. Aku memilih menitipkan suamiku pada Reno. Makanan kesukaannya sudah aku masakkan. Dan semua hidangan sudah kutata dengan dibantu Bi Rumi. Kedua mertuaku juga akan makan siang di sini sehingga aku harus menyiapkan segalanya sebaik mungkin. Bel terdengar dari pintu depan bersamaan semua pekerjaan selesai."Biar saya saja, Bi!" ucapku saat Bi Rumi hendak membukakan pintu.Aku tahu jika itu Mas Hamish yang datang. Menyerahkan apron pada Bi Rumi, aku segera berjalan menghampiri pintu untuk membukanya. Dan benar, sesuai dugaan jika di sana ada Mas Hamish yang duduk pada kursi roda bersama kedu mertuaku."Assalamualaikum." Aku mencium punggung kedua mertuaku bergantian. Dari ekor mata, aku sempat melihat Mas Hamish memperhatikan interaksiku bersa
"Antara dicampakkan dan tidak dipedulikan, ada hal lain yang nyatanya jauh lebih menyakitkan, yaitu ... dilupakan." (Humaira Seza)"Aira!" Terdengar panggilan dari arah ruang tamu membuatku buru-buru mematikan keran air setelah puas memuntahkan seluruh makanan yang sempat masuk ke lambungku. Kubasuh wajah agar tidak tampak kusut sebelum akhirnya mengeringkannya dengan handuk yang tersampir di atas gantungan. "Biar Bibi aja, Non!" Bi Rumi menahanku yang hendak beranjak. "Non Aira kan habis muntah-muntah. Biar Bibi aja yang nemuin Tuan." "Nggak papa kok, Bi. Bibi di sini aja ngelanjutin motong sayurnya. Biar Mas Hamish jadi urusan Aira." Aku tersenyum kepadanya, menunjukkan bahwa aku baik-baik saja. "Tapi, Non, di luar ada ...." Sebelum Bi Rumi melanjutkan kalimatnya, aku langsung menyela. Aku tahu ke mana arah pembicaraan perempuan paruh baya itu. "Nggak papa kok, Bi. Tenang aja, ya!" Aku meninggalkan Bi Rumi, berjalan sedikit cepat menuju ruang tamu di mana lelaki yang sejak tad
"Selamat, ya, Bunda. Kehamilannya sudah memasuki usia empat minggu.""Sungguh, Dok?"Dokter wanita itu mengangguk. "Sekali lagi selamat, ya?"Aku menutup mulut yang terbuka lantaran begitu terkejut dengan hasil yang ada. Bagiku itu bukan lagi berita baik, melainkan sangat membahagiakan. Sudah lima tahun lamanya aku dan Mas Hamish menunggu kabar ini. Tak pernah menyerah Mas Hamish memberiku dukungan untuk menjalani program kehamilan walaupun Ibu mertua mulai ragu akan kesuburanku. Dan setelah lima tahun menanti dengan sabar, semua ini bukan lagi mimpi."Masya Allah." Aku menyeka air mata yang tiba-tiba menitik karena haru. Tak henti-henti bibir ini mengucap syukur atas anugerah yang Tuhan limpahkan kepadaku dan keluarga. "Terima kasih, Dok.""Sama-sama, Bunda. Jangan lupa untuk melakukan pemeriksaan rutin setiap satu bulan sekali. Jangan terlalu banyak beraktivitas, istirahat yang cukup karena kandungan masih terlalu lemah. Sekali lagi, selamat, ya? Sampaikan salam saya kepada Pak Hami
"Pasien mengalami amnesia sebagian."Aku mendengar penjelasan tersebut dengan menguatkan hati. Aku dan Ibu mertua berada di ruangan dokter untuk membicarakan perkembangan kesehatan Mas Hamish."Maksud Dokter?" tanyaku meminta kejelasan."Ada beberapa jenis kehilangan memori ingatan pasca kecelakaan. Untuk kasus Pak Hamish, pasien hanya kehilangan sebagian memori pada otaknya. Mohon maaf, apakah Pak Hamish pernah mengalami kecelakaan cukup parah sebelum ini?"Aku menggeleng. Selama hidup dengannya, Mas Hamish tidak pernah mengalami kecelakaan parah. Apalagi yang berhubungan dengan kepala. Namun, berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Ibu mertua."Iya, Dok. Hamish pernah kecelakaan sekitar lima tahun lalu. Sebelum dia menikah."Aku langsung mengalihkan tatapan ke arah Ibu. Aku tidak tahu semua itu. Dokter mengangguk-anggukkan kepala."Masuk akal. Pak Hamish mengingat kejadian lima tahun lalu sebelum kecelakaan itu terjadi. Bu Aira, saya harap Anda bisa bersabar menjalani ujian ini."Mat
Istanbul, Turki.Tepat pada pertengahan bulan Oktober di saat kelompok tour religi baru saja menjejakkan kaki pada Bandar Udara Internasional Atatürk, Turki, aku disibukkan memberi arahan setiap anggota jemaah selama safar berlangsung. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, kami melanjutkan perjalanan menuju hotel untuk beristirahat sebelum keesokan harinya menjelajahi beberapa tempat wisata yang berada di negara ini.Ya, aku adalah salah satu tour guide yang bekerja di bawah Azalea travel untuk memandu wisata religi di kunjungan Istanbul, Turki.Saat matahari sedang cerah-cerahnya, aku dan rombongan menyusuri jalan menuju Selat Bosphorus. Blue Mosque atau biasa disebut dengan Masjid besar Sultan Mahmed menjadi tujuan pertama tour religi kali ini. Seperti perjalanan-perjalanan sebelumnya, tim mengajak jemaah menaiki kapal sembari menikmati lanscape Laut Golden Horn dan Selat Bosphorus.Aku memilih berada di luar kapal bersama para wisatawan lainnya, sangat menyayangkan jika t
"Mas Hamish, makan dulu, ya?"Aku sudah menyendokkan bubur untuknya. Ini adalah hari pertama aku menggantikan Ibu untuk menjaga Mas Hamish. Bukan lagi mengaku sebagai seorang istri, hanya seseorang yang disuruh menggantikan tugas untuk merawatnya."Ibu mana?""Ibu--""Kau memanggil ibuku siapa?" Mas Hamish langsung menyela begitu saja saat aku menyebut mertuaku dengan sebutan Ibu."Maaf, Ibu yang menyuruhku memanggilnya Ibu." Aku memberanikan diri menatap matanya yang begitu dingin saat bicara padaku. Begitu berbeda dengan tatapannya dulu, selalu dipenuhi cinta dan kasih sayang."Ibuku memang sangat baik dengan semua orang."Aku mengangguk."Kalau begitu kamu makanlah, Mas! Kasihan Ibu selalu mencemaskanmu, ingin segera melihatmu sembuh seperti dulu."Terdengar dengusan kecil dari bibirnya. "Bawa sini! Aku bisa memakannya sendiri!"Mas Hamish sama sekali tak mau memakan suapan bubur dariku. Aku mengangguk mengerti. Walaupun hati ini begitu sakit menerima penolakannya, tetapi aku tidak
"Lepaskan yang di sana juga!"Hari ini, tepat hari kelima setelah Mas Hamish terbangun dari koma, dokter mengatakan jika suamiku sudah boleh pulang. Perkembangan kesehatan Mas Hamish begitu pesat, apalagi sejak Sofie sering datang menjenguknya.Sofie. Aku tidak tahu ini adalah berita baik, atau justru memperburuk keadaan. Saat Sofie mengatakan perasaannya terhadap Mas Hamish kepadaku, sampai detik ini membuatku tidak bisa mengerti apa tujuan perempuan itu membantuku.Yang aku tahu, Sofie adalah wanita berpendidikan dengan karier cemerlang. Tidak mungkin wanita seperti itu memiliki keinginan untuk merebut suami orang. Walaupun sebelumnya mereka pernah begitu dekat dan nyaris menikah, tetapi kenyataannya aku adalah istri sah Mas Hamish.Melihat perekembangan Mas Hamish yang sangat bagus, aku pun tidak tega memberitahu semuanya secepat ini, yang mungkin bisa membuat suamiku celaka."Mbak Aira, apa foto ini juga dilepaskan?" Pak Priyo, suami Bi Rumi menegurku, menunggu kejelasan perintah d