Share

BAB 3. Rumor

Waktu istirahat, sebuah waktu yang berharga bagi mahasiswa baru di universitas kami yang sedang dalam masa orientasi. Pasalnya, para senior tidak akan mengijinkan kami untuk ke toilet kecuali pada waktu istirahat. Toilet wanita yang hanya memiliki 4 bilik tersebut selalu ramai. Aku memasuki bilik toilet ke-4 dari pintu masuk. Saat aku berada di dalamnya untuk menuntaskan urusanku, sayup-sayup terdengar percakapan beberapa wanita dari luar.

“Tadi dengar, kan? Katanya kita harus nulis surat cinta dan cokelat buat senior, terus kasih ke mereka di hari ke-4 ospek.”

“Lo udah tau mau kasih surat ke siapa?”

“Gue kayaknya mau kasih ke kakak-kakak yang pegang kamera tadi deh. Yang rambut sebahu itu loh. Dia keren banget! Tipe gue.”

“Lo yakin? dia terkenal kasar dan dingin lho. Kakak gue pernah satu kelas sama dia. Katanya, dia ga akan segan-segan nolak cewek yang ga sesuai tipenya.”

Sial. Haruskah aku mendengarkan sisa obrolan mereka? Aku merutuk dalam hati. Ragu untuk keluar toilet dan melewatkan begitu saja informasi tentang sang senior tampan, dan mulai mencondongkan telingaku lebih dekat dengan pintu bilik.

“Tapi kan ini cuma surat cinta? Formalitas. Masa iya enggak diterima?”

“Serius. Tahun lalu juga ada yang kasih surat cinta ke senior itu waktu ospek. Suratnya langsung dirobek gitu aja di depan si pengirim. Sisanya? dibuang di tempat sampah.”

“Enggak ada satu pun yang disimpan?”

“Enggak. Semuanya ga ada yang lolos seleksi dan berakhir di tempat sampah.”

O-oke. Sepertinya ini pertanda dari semesta agar aku tidak memberikan surat cinta ke sang senior tampan jika aku tidak ingin dipermalukan.

Aku keluar dari bilik toilet dengan lesu. Beberapa dari mereka yang sedang mengantri untuk masuk ke dalam bilik toilet sekilas melihatku, seperti mempertanyakan dan menyalahkan kenapa aku begitu lama menggunakan toilet sedangkan waktu istirahat terus berjalan dan semakin menipis.

“Saras!” panggil Radit sedikit berteriak dan mengalungkan lengannya di pundakku.

“Mau es krim? Di kantin sini ternyata ada yang jual es krim enak lho!” tawarnya. Aku menggeleng lesu. Radit dengan cepat memutar badanku untuk berhadapan dengannya. Air mukanya menuntut penjelasan.

“Dit, kayaknya gue enggak bisa kasih surat cinta ke senior tampan deh. Tadi gue dengar obrolan cewek-cewek di toilet. Kata mereka, si senior tampan akan merobek surat cinta yang dikasih ke dia dan dibuang ke tempat sampah, di depan si pengirim. Pernah kejadian tahun lalu. Gimana ya, Dit? Gue enggak mau kasih surat ke senior lain, tapi gue terlalu takut untuk kasih ke dia. Damn, bahkan gue belum tau namanya siapa,” ceritaku tanpa henti.

“Soal nama, gue udah tahu, Ras. Gue juga dapat info bonus dari senior cewek di kantin tadi. Makanya gue muter-muter nyari lo. Jadi…” Radit memberikan jeda pada penjelasannya, membuatku penasaran. Saat ini jantungku benar-benar seperti pacuan kuda, berdetak sangat cepat menunggu penjelasan Radit selanjutnya. Tapi, bukan Raditya Abimanyu namanya kalau tidak iseng.

“Cie nungguin. Sushi depan kampus pokoknya full lo yang bayar ya?” godanya.

“Radit, cepat! Lo bisa makan sepuasnya nanti. Sekarang kasih tau gue dulu info yang lo dapat,” sahutku dengan menepuk pundaknya kesal.

“Namanya Febrian Bayu Aji, panggilannya Brian. Anak BEM bagian publikasi dan dokumentasi. Brian terkenal kejam. Cewek ataupun cowok enggak ada yang berani macam-macam. Dia juga raja tega. Dia enggak akan segan nolak cewek-cewek yang nembak dia, tapi dia normal kok, Ras. Masih suka cewek. Mantan pacarnya dulu manis banget. Lo pasti ngebayangin model, kan? Enggak, Ras. Mantan pacarnya benar-benar manis banget. Badannya mungil, kulit putih, girly banget, terus dia punya mata yang kalau senyum kayak bulan setengah lingkaran. Katanya sih mereka putus dua tahun lalu karena LDR Bandung-Jepang setelah pacaran 3 tahun. Nih, gue tunjukin akun sosial medianya,” jelas Radit yang mulai melakukan pencarian pada ponselnya. Aku yang mendengar penjelasan Radit pun tentu saja melongo. Raditya Abimanyu, si pengorek data, dia benar-benar bisa mengumpulkan informasi dalam waktu yang terhitung sangat singkat.

Radit mulai menunjukkan sosial media sang mantan dari senior tampan. Aku pun mulai melihat satu persatu foto yang muncul. “Ras, lo sadar enggak sih? Mantannya ini punya vibes yang sama kayak lo. Liat. Perawakannya aja mirip lo banget. Lo yakin enggak punya kembaran, Ras?” celetuk Radit yang membuatku secara otomatis membandingkan penampilan sang mantan dengan diriku sendiri. For God's sake. Radit benar.

Tunggu sebentar. "Dit, lo tadi bilang apa? mantannya kang Brian manis? terus punya vibes mirip gue? Berarti lo mengakui kalau gue manis dong?" godaku yang tentu saja langsung dibalas dengan jitakan oleh Radit.

"Ras, jangan bikin gue nyesel udah bantuin lo ya," gerutunya. Radit sudah seperti adik bagiku. Melihatnya menggerutu akibat candaanku membuatku gemas.

Aku melihat satu persatu foto mantan pacar Brian di akun sosial medianya dengan serius, mencari jawaban atas pertanyaan Radit. Perawakannya benar-benar mirip denganku. Badan dan wajah yang mungil, mata bak bulan setengah lingkaran ketika tersenyum dan tertawa, cara berpakaian yang cenderung girly, kulit putih, dan yang membuatku kaget adalah kami mempunyai foto dengan pose yang sama di tempat yang sama, Bandara Haneda, dengan pose berjongkok menopang dagu di samping koper pada salah satu lorong menuju immigration clearance yang mempunyai alas bernuansa merah.

“Dit! Liat liat liat! Gue pernah foto kayak gini kan di Bandara Haneda tahun lalu? yang lo fotoin itu,” seruku panik sekaligus kaget.

Radit membelalakkan matanya ketika melihat foto yang aku tunjukkan. “Lo beneran harus tanya mama Dru deh, Ras. Jangan-jangan benar lo punya kembaran dan kembaran lo ternyata mantan dari cowok yang lo puja-puja sejak tadi pagi,” seru Radit membeberkan tiap kemungkinan yang didramatisir. Namun, info ini cukup memberikan ketenangan padaku. Aku membulatkan tekad, apapun yang terjadi aku harus kasih surat cinta ke Febrian Bayu Aji.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status