Waktu istirahat, sebuah waktu yang berharga bagi mahasiswa baru di universitas kami yang sedang dalam masa orientasi. Pasalnya, para senior tidak akan mengijinkan kami untuk ke toilet kecuali pada waktu istirahat. Toilet wanita yang hanya memiliki 4 bilik tersebut selalu ramai. Aku memasuki bilik toilet ke-4 dari pintu masuk. Saat aku berada di dalamnya untuk menuntaskan urusanku, sayup-sayup terdengar percakapan beberapa wanita dari luar.
“Tadi dengar, kan? Katanya kita harus nulis surat cinta dan cokelat buat senior, terus kasih ke mereka di hari ke-4 ospek.”
“Lo udah tau mau kasih surat ke siapa?”
“Gue kayaknya mau kasih ke kakak-kakak yang pegang kamera tadi deh. Yang rambut sebahu itu loh. Dia keren banget! Tipe gue.”
“Lo yakin? dia terkenal kasar dan dingin lho. Kakak gue pernah satu kelas sama dia. Katanya, dia ga akan segan-segan nolak cewek yang ga sesuai tipenya.”
Sial. Haruskah aku mendengarkan sisa obrolan mereka? Aku merutuk dalam hati. Ragu untuk keluar toilet dan melewatkan begitu saja informasi tentang sang senior tampan, dan mulai mencondongkan telingaku lebih dekat dengan pintu bilik.
“Tapi kan ini cuma surat cinta? Formalitas. Masa iya enggak diterima?”
“Serius. Tahun lalu juga ada yang kasih surat cinta ke senior itu waktu ospek. Suratnya langsung dirobek gitu aja di depan si pengirim. Sisanya? dibuang di tempat sampah.”
“Enggak ada satu pun yang disimpan?”
“Enggak. Semuanya ga ada yang lolos seleksi dan berakhir di tempat sampah.”
O-oke. Sepertinya ini pertanda dari semesta agar aku tidak memberikan surat cinta ke sang senior tampan jika aku tidak ingin dipermalukan.
Aku keluar dari bilik toilet dengan lesu. Beberapa dari mereka yang sedang mengantri untuk masuk ke dalam bilik toilet sekilas melihatku, seperti mempertanyakan dan menyalahkan kenapa aku begitu lama menggunakan toilet sedangkan waktu istirahat terus berjalan dan semakin menipis.
“Saras!” panggil Radit sedikit berteriak dan mengalungkan lengannya di pundakku.
“Mau es krim? Di kantin sini ternyata ada yang jual es krim enak lho!” tawarnya. Aku menggeleng lesu. Radit dengan cepat memutar badanku untuk berhadapan dengannya. Air mukanya menuntut penjelasan.
“Dit, kayaknya gue enggak bisa kasih surat cinta ke senior tampan deh. Tadi gue dengar obrolan cewek-cewek di toilet. Kata mereka, si senior tampan akan merobek surat cinta yang dikasih ke dia dan dibuang ke tempat sampah, di depan si pengirim. Pernah kejadian tahun lalu. Gimana ya, Dit? Gue enggak mau kasih surat ke senior lain, tapi gue terlalu takut untuk kasih ke dia. Damn, bahkan gue belum tau namanya siapa,” ceritaku tanpa henti.
“Soal nama, gue udah tahu, Ras. Gue juga dapat info bonus dari senior cewek di kantin tadi. Makanya gue muter-muter nyari lo. Jadi…” Radit memberikan jeda pada penjelasannya, membuatku penasaran. Saat ini jantungku benar-benar seperti pacuan kuda, berdetak sangat cepat menunggu penjelasan Radit selanjutnya. Tapi, bukan Raditya Abimanyu namanya kalau tidak iseng.
“Cie nungguin. Sushi depan kampus pokoknya full lo yang bayar ya?” godanya.
“Radit, cepat! Lo bisa makan sepuasnya nanti. Sekarang kasih tau gue dulu info yang lo dapat,” sahutku dengan menepuk pundaknya kesal.
“Namanya Febrian Bayu Aji, panggilannya Brian. Anak BEM bagian publikasi dan dokumentasi. Brian terkenal kejam. Cewek ataupun cowok enggak ada yang berani macam-macam. Dia juga raja tega. Dia enggak akan segan nolak cewek-cewek yang nembak dia, tapi dia normal kok, Ras. Masih suka cewek. Mantan pacarnya dulu manis banget. Lo pasti ngebayangin model, kan? Enggak, Ras. Mantan pacarnya benar-benar manis banget. Badannya mungil, kulit putih, girly banget, terus dia punya mata yang kalau senyum kayak bulan setengah lingkaran. Katanya sih mereka putus dua tahun lalu karena LDR Bandung-Jepang setelah pacaran 3 tahun. Nih, gue tunjukin akun sosial medianya,” jelas Radit yang mulai melakukan pencarian pada ponselnya. Aku yang mendengar penjelasan Radit pun tentu saja melongo. Raditya Abimanyu, si pengorek data, dia benar-benar bisa mengumpulkan informasi dalam waktu yang terhitung sangat singkat.
Radit mulai menunjukkan sosial media sang mantan dari senior tampan. Aku pun mulai melihat satu persatu foto yang muncul. “Ras, lo sadar enggak sih? Mantannya ini punya vibes yang sama kayak lo. Liat. Perawakannya aja mirip lo banget. Lo yakin enggak punya kembaran, Ras?” celetuk Radit yang membuatku secara otomatis membandingkan penampilan sang mantan dengan diriku sendiri. For God's sake. Radit benar.
Tunggu sebentar. "Dit, lo tadi bilang apa? mantannya kang Brian manis? terus punya vibes mirip gue? Berarti lo mengakui kalau gue manis dong?" godaku yang tentu saja langsung dibalas dengan jitakan oleh Radit.
"Ras, jangan bikin gue nyesel udah bantuin lo ya," gerutunya. Radit sudah seperti adik bagiku. Melihatnya menggerutu akibat candaanku membuatku gemas.
Aku melihat satu persatu foto mantan pacar Brian di akun sosial medianya dengan serius, mencari jawaban atas pertanyaan Radit. Perawakannya benar-benar mirip denganku. Badan dan wajah yang mungil, mata bak bulan setengah lingkaran ketika tersenyum dan tertawa, cara berpakaian yang cenderung girly, kulit putih, dan yang membuatku kaget adalah kami mempunyai foto dengan pose yang sama di tempat yang sama, Bandara Haneda, dengan pose berjongkok menopang dagu di samping koper pada salah satu lorong menuju immigration clearance yang mempunyai alas bernuansa merah.
“Dit! Liat liat liat! Gue pernah foto kayak gini kan di Bandara Haneda tahun lalu? yang lo fotoin itu,” seruku panik sekaligus kaget.
Radit membelalakkan matanya ketika melihat foto yang aku tunjukkan. “Lo beneran harus tanya mama Dru deh, Ras. Jangan-jangan benar lo punya kembaran dan kembaran lo ternyata mantan dari cowok yang lo puja-puja sejak tadi pagi,” seru Radit membeberkan tiap kemungkinan yang didramatisir. Namun, info ini cukup memberikan ketenangan padaku. Aku membulatkan tekad, apapun yang terjadi aku harus kasih surat cinta ke Febrian Bayu Aji.
Saras, Radit, dan Brian menikmati waktu mereka di pameran fotografi, memandangi beragam foto yang dipotret oleh anggota UKM Fotografi. Setiap foto memiliki makna yang berbeda. Brian mengajak Radit dan Saras berkeliling. Lelaki itu menjelaskan beberapa makna dari foto-foto yang ada di pameran tersebut. Salah satunya adalah foto yang Brian potret saat awal masa orientasi Saras dan Radit. Saras mengingat pemandangan yang ada di foto itu. Foto langit biru yang sempat ia puja sebagai mahakarya saat masa orientasi dulu. Langit yang terbelah menjadi dua kubu, langit biru dan awan putih yang enggan membaur, terpisah membentuk satu garis vertikal di langit pagi yang cerah. Langit yang menjadi saksi bisu bagaimana ia jatuh cinta pada pandangan pertama kepada Brian. “Gue sangat terkesima pada pemandangan langit pagi saat masa orientasi angkatan lo beberapa bulan yang lalu, Ras. Karena, tepat di hari sebelumnya gue mengalami hari yang berat ditambah dengan kurang tidur. Langit pagi hari
“Kalian berdua, ikut gue,” titah sang senior tampan. Setelah bertukar pandang satu sama lain, Radit dan Saras mau tak mau mengikuti setiap langkah Brian dalam diam. Dua sahabat itu berkomunikasi dengan pandangan dan isyarat tubuh mereka. ‘Brian mau bawa kita kemana?’ tanya Radit dengan isyarat tubuhnya. ‘Nggak tahu. Udah ikut aja,’ balas Saras. Sepanjang perjalanan mereka mengikuti Brian, mereka melihat sekelilingnya. Koridor kosong dengan lampu yang dimatikan—gelap. Tidak ada tanda-tanda adanya pameran disana. Satu-satunya penerangan adalah cahaya dari pintu masuk utama. Itu pun sudah terlihat samar-samar. Saras mendekatkan dirinya pada Radit, ia tidak suka koridor gelap. Kegelapan ruangan apapun tidak masalah bagi gadis itu, namun tidak dengan koridor gelap. Baginya, koridor gelap siap menelannya dalam kegelapan, layaknya tersesat di dalam terowongan gelap tanpa cahaya dan tak berujung. Radit menggenggam tangan Saras, menenangkannya.
‘Saraswati Mahiswaraaaa…’ Radit meneriakkan nama Saras sesaat setelah teleponnya diangkat oleh gadis pemilik mata bulan setengah lingkaran itu. ‘Gue mau ke pameran fotografi nih. Lo ikut nggak?’ tanyanya. “Ikut dong. Gue lagi siap-siap nih.” ‘Loh lo dapet undangan pamerannya dari mana? Pameran itu, nggak bisa sembarang orang bisa hadir. Harus yang punya undangan khusus atau pakai jalur orang dalam, kayak gue.’ “Hah? Masa iya sih? Gue tahu tentang pameran itu dari Brian. Tadi siang, dia bilang kalau gue free malam ini, gue bisa datang ke pamerannya UKM Fotografi. Gue kira pamerannya buat umum.” Tangan Saras sibuk memilah-milah pakaian yang akan ia gunakan untuk menghadiri pameran fotografi sambil berbicara dengan Radit via telepon yang diloadspeaker. ‘Brian?’ sahut Radit penuh curiga. Ia masih belum percaya sepenuhnya dengan senior berwajah tampan itu. “Iya, Brian. Lo lupa? Dia ‘kan
Saras berada di kantin pagi-pagi sekali. Ia menyukai suasanya kantin kampusnya yang semi-outdoor, khususnya pada pagi hari. Udara sejuk dari pepohonan dekat kantin akan menyapanya dengan lembut. Ia merasa damai dalam pelukan udara pagi yang dengan hangat menyambutnya. Pak Nanang adalah satu-satunya orang yang bisa Saras ajak obrol di kantin saat pagi hari. Beliau akan membuatkan teh manis hangat kesukaan Saras agar gadis itu dapat menikmati paginya. “Biasa ya, Pak.” “Siap, Neng.” Begitulah bentuk kode antara Saras dan Pak Nanang bila ingin memesan sesuatu yang biasa ia pesan. Memang tidak ada yang spesial, tapi hal tersebut merupakan bentuk penjelasan bahwa mereka adalah orang yang saling mengenal. Pagi itu, Saras memutuskan untuk mengerjakan tugasnya yang kemarin baru saja mendapatkan persetujuan dari dosen untuk melanjutkan ke tahap final. Ia dapat lebih fokus jika mengerjakan tugas di kantin saat pagi hari, karena suasananya yang sejuk dan
Jika bisa mengumpamakan hubungan Nara dan Brian, mereka tidak terpisahkan seperti; bunga dan kupu-kupu, pensil dan kertas, laut dan bulan. Mereka mempunyai tujuan yang sama dan bertahun-tahun berpegang pada tujuan tersebut untuk mengingatkan mereka saat lelah. Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Hari kelulusan SMA kami, menciptakan satu langkah lebih dekat untuk meraih mimpi bagi Nara dan Brian. Dunia yang mereka impikan perlahan terlihat. Aku bisa melihat bagaimana tekad mereka semakin kuat. Nara dan Brian adalah sepasang insan yang menginginkan dunia menjadi tempat yang layak untuk ditinggali. Namun, takdir berkata lain. Kami, yang saat itu akan menjalani awal semester 2 perkulihan, dihantam peristiwa paling menyakitkan bagi hidup kami. Bahkan, kami tidak tahu bagaimana caranya bangkit kembali setelahnya. Nara mengalami kecelakaan pesawat dan tidak terselamatkan. Saat itu, ia kembali ke Jepang setelah menghabiskan liburan semesternya di Indonesia. Aku dan Brian mengetahui
Kencan Nara dan Brian yang aku rencanakan saat itu adalah makan malam di kafe favorit mereka dengan live music, yang diadakan pada malam minggu. Walaupun Nara adalah anak konglomerat, ia tidak terlalu suka makan di tempat-temat mahal dan berkelas. Ia lebih memilih berada di kafe kecil yang mempunyai daya tarik sendiri, nyaman, dan sederhana. Aku dan Nara memutuskan untuk mengadakan malam pernyataan cinta di salah satu kafe bernuansa kayu favorit mereka, dengan live music. Kafe tersebut berada di dataran tinggi—merupakan tempat yang pas agar mereka juga dapat menikmati pemandangan kota yang berkerlap-kerlip seperti bintang saat malam hari sembari menikmati live music yang menemani mereka. Brian, yang juga menyukai bermusik, terkadang memainkan lagu-lagu yang kami sukai dengan gitarnya di atas panggung live music. Nara sangat menyukai Brian dengan gitar. Di matanya, hanya Brian yang terlihat keren dengan gitar. Saat hari-H, Nara dan Brian da