Share

Invitasi
Invitasi
Penulis: NurNur

001. Sesuatu yang Buruk.

Setelah undangan itu diterima segalanya berbeda. Semuanya berubah ...

"Hei, kamu lihat Tami?" Wanita yang bertanya adalah Mika. Seperti biasa penampilannya selalu rapi, anggun, punggung tegak, kepala terangkat, dan heels yang membalut kakinya.

"Tami?" Rania, orang yang ditanya justru balik bertanya. Ia sedang memastikan tidak salah dengar, kemudian menggeleng. "Tadi dia bilang mau bareng ke dermaga."

Rania celingukan ke sana ke mari, mencari orang yang jelas-jelas tidak ada.

"Mungkin masih di belakang," duga Rania.

Mereka berjalan melewati belukar dan akar pepohonan yang mencuat di permukaan. Mereka harus berhati-hati meletakkan pijakan jika tidak ingin jatuh dan melukai diri sendiri. Mika berjalan paling depan. Heels yang dikenakan sama sekali tidak  menyulitkan langkahnya.

Rania mempercepat langkah, menyejajari langkah Mika. “Tami kenapa?” tanyanya penasaran.

"Hari ini tingkahnya sedikit aneh."

"Aneh? Contohnya?"

Mika menatap Rania dengan sebal, kemudian berlalu tanpa memberi jawaban. Ia tidak suka dihujani banyak pertanyaan. Jika ia bertanya, orang lain hanya perlu memberikan jawaban.

"Isamu juga pagi ini belum kelihatan." Adien yang berjalan paling belakang buka suara.

Mika, Rania, Adien, mereka sedang menuju dermaga. Mereka berencana memeriksa tanda yang sebelumnya mereka tinggalkan. Juga untuk melihat-lihat keadaan dan memasang tanda baru agar tampak jelas jika dilihat dari kejauhan.

"Dia bilang enggak enak badan. Jadi memilih tinggal di kamarnya," jawab Rania.

"Tidak enak badan?!" Langkah Mika berhenti, suaranya meninggi. "Kenapa kamu izinkan?! Bukannya sudah kubilang kita harus selalu sama-sama. Tidak enak badan tidak bisa dijadikan alasan!"

"Kamu sendiri, kan tahu betapa keras kepalanya Isamu. Kalau kamu mungkin bisa membujuk, aku jelas enggak bisa. Enggak ingin repot-repot," kilah Rania.

"Kenapa kamu tidak bilang dari tadi?!" Mika masih meninggikan suaranya.

"Ternyata kamu enggak sadar kalau sejak pagi Isamu sudah enggak ada?" Rania menggeleng, tidak habis pikir. "Wah!" Bagaimana mungkin orang yang sok menjadi ketua dan tukang mengatur sama sekali tidak sadar ada satu anggotanya yang tidak hadir.

"Jangan memutar balikkan kesalahan!" Mika melotot, semakin merasa sebal. “Kembali!”

Rania balik melotot. Ini benar-benar menyebalkan.

Benar. Semuanya menyebalkan. Terjebak bersama orang yang suka mencari sensasi untuk viral. Bersama seorang Admin sebuah akun misterius yang sok tahu. Bersama seorang yang sok mendominasi. Bersama seorang peragu, dan bersama seorang penakut.

Yang menyebalkan bukan hanya orang-orangnya. Pun keadaannya tidak kalah menyebalkan. Dan sekarang, mereka telah setengah jalan dan harus kembali!?

Rania menatap Adien untuk mencari pendukung, tapi wanita itu tidak mengatakan apa pun selain menuruti perkataan Mika. Rania menghela nafas. Meski merasa kesal, ia tetap membuntut dan ikut kembali.

Perjalanan yang sia-sia. Sungguh sia-sia!

Tampak dari kejauhan sebuah vila megah di antara lebatnya pepohonan dan semak belukar. Bangunannya menjulang dengan angkuh, tak tergoyahkan meski diintimidasi oleh latar yang sama sekali tidak cocok dengan kemewahannya.

Saat masuk, terdengar sesuatu jatuh ke lantai, kemudian pecah. Mika, Rania, dan Adien saling melemparkan pandangan. Bertanya-tanya. Tidak ingin berpikiran buruk tapi sesuatu yang buruk telah terjadi. Dan, saat satu hal buruk terjadi, bukan tidak mungkin hal buruk lain akan mengikuti.

Sumber suara berasal dari lantai dua. Ketiganya memburu naik. Suara langkah kaki saling beradu cepat. Suara pletak-pletuk heels dan hentakan sepatu saling berkejaran. Ruangan yang menjadi tujuan mereka berada di ujung lorong. Semakin dekat dengan sumber suara, semakin perasaan tidak tenang.

"Bukannya itu tempat kita menyimpan may-"

"Diam!"

Dengan satu kata dari Mika, Rania kembali merapatkan bibirnya. Berpikir yang tidak-tidak akan membuat segalanya semakin buruk.

Sampai di ujung ruangan, pecahan kaca terlihat berserakan di lantai. Seseorang berdiri di sana dengan pisau dan tangan berlumur darah. Ia berdiri mematung, tubuhnya gemetar.

"Apa yang ..."

Sebelum kalimat Mika selesai, matanya menangkap tubuh seseorang yang tergeletak di lantai. Darah mengalir, semakin banyak, semakin membanjiri lantai.

Semua orang yang berada di tempat itu terbelalak, menahan nafas, ketakutan.

Sial! Apa tidak ada hari tenang? Kemarin mereka baru saja melalui sebuah tragedi. Belum sempat merasa tenang dan aman, tragedi lain terjadi lagi.

Mika menerobos masuk untuk memeriksa tubuh yang terbaring di lantai. Ia memeriksa, mencari denyut nadi, mencari tanda-tanda kehidupan.

"Bukan aku ... bukan aku ..." Pisau yang masih berada dalam genggaman merosot dan jatuh ke lantai. Berdenting.

"Bukan kamu?! Di ruangan ini hanya ada kalian berdua. Kalau bukan kamu siapa lagi! Buktinya juga sudah jelas." Rania menunjuk sebuah pisau jatuh di dekat sepatunya.

"Aku ..." Mendengar tuduhan yang Rania arahkan padanya membuat si tertuduh gelagapan. "Ta-tapi dia ... dia yang mulai, bukan aku!"

"Oh, menyalahkan orang mati-"

"Rania diam!" bentak Mika. "Ambilkan aku kain! Kita harus menghentikan pendarahannya."

"Apa ... dia masih hidup?" Adien bertanya dengan suara bergetar.

Adien benar-benar ketakutan. Sudah ada dua korban dalam waktu dua hari. Satu telah meninggal dan yang satu lagi terbaring dengan darah yang tidak mau berhenti mengalir. Bagaimana kalau korban selanjutnya dia. Bagaimana kalau pada akhirnya mereka semua akan mati di tempat ini.

Adien ingin segera keluar. Ia ingin pergi.

"Masih hidup pun enggak ada gunanya," ujar Rania. "Kita enggak punya peralatan medis, enggak ada dokter. Dengan luka seperti itu, darah sebanyak itu, berapa lama dia akan bertahan?"

Rania benar. Jika mereka terluka tidak ada yang bisa menolong, tidak ada yang bisa diandalkan. Mereka hanya akan menderita berkepanjangan sebelum kematian datang.

"Jadi menurutmu kita biarkan saja?!" Mika menatap nyalang pada Rania. Benar-benar tidak menyangka wanita itu memiliki logika yang busuk.

Rania tidak menjawab. Ia membuang muka tak acuh. Sama sekali tidak menjelaskan maksudnya.

"Adien, carikan kain! Cepat!!"

Begitu mendengar teriakan Mika, seolah disadarkan pada dunia yang sedang ia pijak, Adien berlari gelagapan menuju kamarnya. Jarak dua ruangan dari tempat itu. Tapi tidak lama kemudian, terdengar suara teriakan Adien.

Mika yang sedang menahan luka Isamu terkejut. Begitu pun Rania. Jangan sampai ada hal buruk lain yang terjadi. Tidak boleh!

"Kamu, kemari! Tahan lukanya!" Mika memberi perintah pada wanita yang menjatuhkan pisau.

"Ha?"

"CEPAT!!!"

Begitu tugas Mika diambil alih, ia dan Rania pergi ke kamar Adien.

Di kamar Adien, wanita itu terlihat baik-baik saja. Tidak, tidak sepenuhnya baik-baik saja karena kamar Adien begitu berantakan. Pakaian berserakan, seprai kasur terlepas, bantal dan guling di lantai.

"Apa ini?" Rania segera memeriksa kamar-kamar lain. "Sial, kamarku juga diacak-acak!" umpat Rania.

Tidak ingin membuah waktu untuk sesuatu yang tidak diketahui, Mika meraih kain yang ia lihat kemudian kembali ke ruangan sebelumnya. Prioritasnya adalah menyelamatkan apa yang masih bisa diselamatkan.

Dengan kain yang ia bawa, Mika menekan sumber pendarahan. Berharap dengan itu pendarahannya bisa segera berhenti.

"Jangan mati! Jangan mati!"

Berulang kali Mika mengulang kata yang sama. Jika wanita itu bisa membuka matanya, maka semua akan baik-baik saja. Semua akan membaik.

Mika terus memanggil. Jika masih ada kesadaran yang tersisa panggilannya pasti terdengar. Pasti akan berhasil.

Rania melangkah mendekat. Ia berjongkok untuk ikut memeriksa, mencoba mendengarkan denyut nadinya, kemudian menghela nafas dan menggeleng.

"Bangun! Bangun!!" Mika belum mau menyerah. Masih bersikeras.

"Mika cukup!" Rania berusaha menghentikan Mika namun Mika justru menepis tangannya.

"Bangun! Bangun!!"

Belum cukup. Ini belum cukup karena orang yang ia panggil tidak juga bangun. Tidak mereaksi panggilannya. Tidak memberi jawaban. Tidak, pasti ada harapan. Bertahan sedikit lagi dan semuanya akan baik-baik saja.

"Mika cukup!!" Rania semakin meninggikan suaranya. Ia bahkan mendorong Mika. "Jangan ikut-ikutan menjadi gila! Ini sudah berakhir."

Sudah berakhir. Kalimat itu akhirnya menyadarkan Mika bahwa usahanya sia-sia. Bahwa orang yang ia panggil tidak akan mendengar panggilannya, tidak akan membuka matanya. Bahwa tidak ada yang akan kembali baik-baik saja.

"Sial!"

Mika menahan diri untuk tidak berteriak, untuk tidak putus asa, untuk tidak terlihat menyedihkan. Ia adalah Kamelia Mika. Meskipun langit runtuh ia tidak akan menunjukkan kelemahannya.

Air mata Adien meleleh. Ia merapatkan dirinya pada dinding, semakin ketakutan. "Ini buruk. Kita akan mati. Kita semua akan mati," katanya mulai meracau tidak keruan.

Setelah mereka menerima undangan itu, mereka tahu semuanya tidak akan sama lagi. Tapi harusnya tidak seperti ini. Harusnya kesempatan yang mereka dapatkan akan membuat hidup mereka lebih baik. Bahkan, saat firasat buruk merayapi punggung mereka, mereka mengacuhkannya. Mereka hanya perlu meraih satu kesempatan dan memanfaatkannya.

Tapi kemudian, mereka terdampar di pulau tidak berpenghuni, tanpa bantuan. Jumlah makanan mencukupi tapi itu bukan kabar baik. Dua orang telah menjadi korban. Saat hal buruk terjadi, hal buruk yang lain akan mengikuti. Mereka tahu tidak akan bisa pergi dengan mudah.

Ini tidak seperti yang mereka pikirkan. Apa yang telah mereka lakukan sampai harus berhadapan dengan kematian, mengalami hal gila? Apa yang diinginkan si penebar undangan? Bukankah harusnya mereka melakukan kegiatan yang menyenangkan kemudian menjadi sukses dan terkenal?

×××××

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status