Sebuah undangan dengan kertas tebal berwarna hitam tergeletak di atas meja. Bagian sudut-sudut sampul depan terdapat ukiran berwarna emas, membuatnya terlihat mewah. Tulisan dalam undangan menggunakan tinta berwarna fanta dengan font yang memberi kesan ceria dan indah. Sangat bertolak belakang dengan latarnya yang meski mewah namun terlihat kelam.
Tulisan ‘undangan’ pada sampul menggunakan tinta berwarna emas dicetak tebal dan besar. Menjadi satu kata yang bertakhta angkuh di sana. Kata kedua adalah ‘kehormatan’ dicetak di bawah kata ‘undangan’ dengan ukuran lebih kecil dengan warna yang sama.Kata ‘kehormatan’ akan membuat siapa pun yang menerima undangan merasa terhormat, hebat, penuh percaya diri. Ketika undangan dibuka, tulisan yang lebih ceria dan indah membuat siapa pun yang membacanya akan beranggapan hal yang menyenangkan akan terjadi. Mereka tidak akan terintimidasi dengan latarnya yang kelam, karena tulisan yang indah dan warna yang ceria memang sengaja digunakan untuk memanipulasi pikiran pembacanya.Sebelumnya undangan itu telah dicetak sebanyak 6 buah dan kini hanya bersisa satu. Salah satu pemiliknya sedang duduk di depan laptop, membaca, mencermati, mendalami. Dilihat dari modelnya, yang tertulis dalam laptop adalah sebuah naskah.Pemilik undangan terakhir sedang men-scroll naskah yang ada dalam laptop. Di bagian akhir terdapat beberapa foto. Jovita Fabella, Isamu Zelina, Rania Meisy, Adien, Kamelia Mika, Tami Shakila. Selain nama dan data diri, kegiatan orang-orang dalam foto juga tertulis cukup detail. Ada satu foto yang dicoret. Kata Death dengan warna merah dan dicetak tebal tertulis di kolom keterangan.Suara getar ponsel terdengar.“Halo!”“Bagaimana situasi di sana?” Orang yang berbicara di seberang sana adalah seorang wanita. Suaranya terdengar bersih tanpa dialek.“Hanya satu orang yang belum mengkonfirmasikan kedatangannya, tapi aku yakin dia pasti datang. Mau bertaruh?” Pemilik ponsel tersenyum tipis. Ia sama sekali tidak bisa menahan dirinya untuk tidak bersemangat.“Membosankan!” sungut suara di seberang sana “Bukankah taruhan kita lebih besar?”“Benar. Taruhan besar dengan risiko yang lebih besar.”Selama hidupnya ini adalah permainan pertama dengan taruhan dan risiko paling besar yang pernah ia hadapi. Pertama dan terakhir. Setelah ini ia bahkan tidak yakin kehidupan seperti apa yang akan ia jalani selanjutnya.“Tanpa risiko apa akan menyenangkan? Semakin besar risiko justru akan menjadi semakin menyenangkan,” goda suara itu “Benar, kan? Jangan bilang kamu tidak menikmatinya.”“Benar, benar-benar menyenangkan. Dan semua risiko dan taruhan itu aku seorang diri yang akan menanggungnya.”Terdengar nada sinis dari suaranya tapi bukan perasaan iri. Hanya sindiran. Seluruh keputusan ia sendiri yang membuatnya. Tanpa paksaan. Ia sepenuhnya sadar dengan risiko dan apa yang sedang ia lakukan.Lagi pula bisa terlibat secara langsung dapat membuat situasi berkali-kali lipat lebih menyenangkan. Bukankah orang di balik layar itu yang harusnya merasa iri. Hanya membuat rencana tanpa ikut bermain. Benar-benar membosankan.“Kenapa? Baru merasa takut? Sekarang ingin berhenti?”Mendengar pertanyaan beruntun itu, spontan ia tertawa. “Berhenti? Jangan harap! Setelah memutuskan bekerja sama mana mungkin aku bisa berhenti. Bahkan meski aku harus membakar diriku sendiri agar rencana ini berjalan, akan kulakukan,” katanya yakin. Keputusannya telah bulat.Pencahayaan dalam ruangan temaram. Cahaya hanya berasal dari lampu duduk di atas meja dan cahaya laptop. Ruangan yang ditempatinya tidak begitu luas tapi lebih dari cukup untuk dirinya sendiri.Ranjang dengan seprai berwarna putih ada di belakang kursinya. Jika diperhatikan dengan teliti ruangan yang ditempatinya bukanlah kamar pribadi melainkan sebuah hotel. Handuk dan sabun sebagai produk khusus hotel tergeletak di atas ranjang.Jika memperhatikan setiap tempat, ruangan masih dalam keadaan rapi, bersih. Penggunanya jelas sangat berhati-hati. Sebagian besar waktunya hanya dihabiskan dengan duduk di depan laptop. Koper di sudut ruangan sama sekali tidak dibongkar. Makanan dan minum ia bawa sendiri. Plastik belanja yang berisi air mineral dan roti tergeletak di sisi laptopnya.“Jangan khawatir! Aku akan mengurus bagianku dan kamu mengurus bagianmu,” katanya lagi setelah cukup lama mengambil jeda.“Kamu juga jangan khawatir. Aku akan selalu mengawasi kalian. Jadi jangan harap bisa bersenang-senang seorang diri.” Sambungan telepon diputus.Waktu di sudut kanan bawah telah menunjukkan pukul tujuh tepat. Ia telah mempelajari naskah sepanjang malam. Dibanding rasa lelah dan kantuk, perasaannya lebih menunjukkan antusias. Karet gelang di lengannya digunakan untuk menggulung rambutnya yang panjang. Ia kemudian bangkit dari duduknya dan menyingkap tirai kamar.Cahaya matahari yang masuk dengan rakus membuat mata sakit karena silau, tapi tidak berlangsung lama. Setelah terbiasa ia menatap ke luar jendela, menikmati pemandangan laut, mendengar suara ombak. Rekomendasi kamar terbaik dari hotel yang di tempatinya memang tidak mengecewakan. Tidak rugi ia menghabiskan uang lebih hanya untuk tinggal satu malam.Ponsel yang ada di atas meja kembali ia raih untuk melakukan satu panggilan terakhir.“Halo! Saya menelepon untuk memastikan akomodasi yang telah saya sewa siap digunakan pagi ini. Baik. Terima kasih.”Panggilan diputus. Semuanya telah siap, segalanya telah diatur dengan baik.“Ini akan menjadi hari yang panjang." Ia menghela nafas dan tatapannya menerawang jauh.Setelah puas menikmati pemandangan, ia melakukan gerakan peregangan, kemudian menuju ke arah kopernya ditempatkan. Ia mengambil sarung tangan karet dan mengenakannya, juga mengeluarkan shower cap plastik untuk menutupi kepalanya. Ia memandang ke seisi ruangan dan mulai melakukan pembersihan.Meja, kursi, dan tempat-tempat yang ia gunakan dilap menyeluruh. Plastik sampah ia ambil, remahan roti ia bersihkan, lantai, dan kolong-kolong ia periksa, barangkali ada rambut yang jatuh dan meninggalkan jejak DNA.Tidak lupa ia mengeluarkan kartu ponsel yang baru digunakannya, memotongnya menjadi dua, dan membuangnya ke dalam plastik sampah. Dengan ini mereka tidak akan bisa berhubungan lagi. Dengan ini juga bukti yang melibatkan orang ketiga akan lenyap.Tidak masalah. Jika rencananya gagal dan ia tertangkap hanya perlu ia sendiri yang dihukum. Jika rencananya berhasil dan ia bisa kembali tanpa ketahuan, ia dan si orang tiga sama-sama akan saling melupakan keberadaan satu sama lain.Setelah ruangan selesai dibersihkan, ia menghapus naskah yang ada di laptopnya. Membuka ikon Recycle Bin dan sekali lagi menekan tombol hapus. Tidak boleh ada jejak, tidak boleh ada kesalahan atau yang telah direncanakan akan berantakan. Ia harus berhati-hati, tidak boleh ketahuan.“Jovita Fabella, aku benar-benar menantikannya.”Satu jam lagi, semuanya akan dimulai kurang dari satu jam lagi. Usahanya, kerja keras selama dua bulan ini semua akan segera terbayarkan.Senyum mengembang di sudut bibirnya. Bukan hanya karena pemandangan indah yang memanjakan mata di luar jendela, tapi karena hari ini. Karena ia akan memulai semuanya hari ini. Otaknya telah dipenuhi reka kejadian yang mungkin terjadi, hal-hal yang tidak diinginkan, dan sesuatu yang berjalan di luar naskah. Tidak masalah. Karena tidak terprediksi segalanya akan menjadi semakin menarik. Yang perlu dilakukannya hanya bertindak berdasarkan situasi.“Pasti menyenangkan,” katanya tertawa. Suaranya terdengar licik, ekspresinya penuh tipu muslihat.Begitu langkah pembersihan selesai, ia melepaskan shower cap dan membuangnya dalam plastik sampah. Untuk menghindari CCTV, sama seperti saat datang, ia menggunakan topi yang dipasang rendah, juga masker. Tangan kanan menarik koper, tangan kiri menentang plastik sampah, ia bersiap cek out kamar hotel.×××××Jovita Fabella sedang menonton video pertama yang membuat wajahnya dikenal dan menjadi viral. Ia selalu tersenyum puas saat mengenang, merasa menang. Ia tidak salah dalam memilih langkah. Seandainya hari itu ia tidak melakukannya, maka tidak akan ada Jovita Fabella yang dikenal orang hari ini.“Ini menyenangkan.”Yang dilakukannya memang hanya pamer harta yang tidak seberapa, menyombong, sedikit memaki, kemudian merekam, dan menyebarkannya di media sosial. Hal-hal yang tidak disukai dan dibenci memang lebih mudah menarik perhatian dan menjadi pembicaraan. Jovita sukses pada serangan pertama.Video mengenai dirinya ditonton ribuan orang. Kolom komentarnya dipenuhi hujatan, kalimat ketidaksukaan, beberapa orang bahkan mau berepot-repot menuliskan nasihatnya.‘Ya ampun, Kak istigfar. Harta enggak dibawa mati.’‘Astaga, norak!’‘Orang kaya yang lebai biasanya enggak benar-benar kaya.’
Matahari bersinar dengan cerah. Teriknya begitu tidak bersahabat, mampu membakar kulit-kulit yang telanjang tanpa alas. Padahal waktu baru menunjukkan pukul 07.45 tapi tetap tidak memberi ampun dalam menebar gerah. Di bawah pohon, seorang wanita duduk dengan menyilangkan kaki. Rambutnya yang panjang diikat tinggi. Sapuan mekapnya tipis, maskara, dan eyeliner menghiasi matanya yang kecil namun tidak sipit. Lipstik berwarna nude mewarnai bibirnya yang tebal. Telinganya mengenakan headset yang terhubung pada ponselnya. Wanita itu tidak sedang mendengarkan lagu namun menonton siaran ulang yang ditayangkan di Youtube. Nama, Isamu Zelina. Usia 25 tahun. Siaran Youtube yang sedang ditonton memperlihatkan seorang wanita dengan wajah tirus, bertulang pipi tinggi. Rambutnya dicat pirang, panjang, hidungnya mungil, bibir bagian atas tipis. Jovita Fabella, 24 tahun. Jovita Fabella adalah seorang finance di sebuah Even Organizer. Ia sedang naik daun karena sensasi
Isamu Zelina adalah seorang wanita yang tertarik pada banyak hal. Ia memiliki keingintahuan yang besar. Kelebihannya yang paling menonjol adalah ia pandai menganalisa sesuatu dan dengan itu ia bisa memuaskan keingintahuannya.Sejak awal Isamu membuat beberapa akun dengan menyembunyikan identitasnya. Dengan akun itu ia bisa berhubungan dengan siapa saja, berkenalan dengan banyak orang, dan melakukan banyak hal.Menyembunyikan identitas dapat membuat Isamu tenang. Ia tidak ingin menarik perhatian, tidak ingin kehidupan pribadinya dikomentari, meski ia sering melakukan hal yang sama pada orang lain.“Dengan skandal seperti ini berharap mendapat perhatian, rendahan!” decak Isamu kesal.Beberapa kali Isamu mengulas berita mengenai skandal artis. Melalui analisa cerdasnya ia bisa mengungkap bahwa skandal yang sedang terjadi hanya untuk menaikkan pamor, promosi film, sampai pengalihan isu. Ulasan Isamu dibagikan berkali-kali, dikutip banyak orang. Ak
Sebelumnya semua terasa baik-baik saja. Jovita datang memenuhi undangan dengan antusias, dengan harapan besar bahwa apa yang akan terjadi nanti akan menunjang kariernya ke arah yang lebih baik.Meski orang yang pertama kali ditemuinya di tempat yang disebutkan untuk berkumpul adalah orang yang menyebalkan, orang yang suka mengatainya dari belakang, tetap tidak masalah. Selama ia mendapat keuntungan dan popularitas, ia akan menahan, mencoba bersabar. Nanti ia akan berhadapan dengan lebih banyak orang, lebih banyak kepribadian, jadi menahan diri untuk sesuatu yang lebih besar tidak masalah. Ia yakin bisa menanganinya.Satu per satu orang yang diundang mulai berkumpul. Jovita tidak mengerti alasan orang-orang itu diundang. Dari mereka tidak ada yang terkenal, tidak ada orang hebat, mereka semua terlihat biasa saja. Kata ‘kehormatan’ yang tertulis dalam undangan sepertinya hanya untuk menyanjung, tidak benar-benar mengacu pada kata ‘kehormatan&rsq
Saat semua orang telah berjalan menuju tempat parkir kendaraan yang si Bapak pengantar tunjukkan, langkah Jovita mendadak berhenti.“Aku ... enggak ingin pergi.” Jovita berbicara pada dirinya sendiri tapi orang yang berjalan di depannya dapat mendengarkan kalimatnya dengan jelas.“Enggak ingin pergi?” Rania mengulang. Langkahnya juga berhenti, semua orang ikut berhenti, termasuk langkah Bapak pengantar. “Kenapa?”“Apa ... kalian enggak merasa aneh dengan situasinya?” Jovita memberanikan diri untuk mengatakan apa yang ia pikirkan.Rania memandang berkeliling, tidak sepenuhnya mengerti apa yang Jovita maksud dengan situasi aneh. Rania bahkan menatap tamu undangan yang lain untuk membantunya mengerti situasi yang Jovita sebut dengan kata ‘aneh.’“Apa?” Rania yang masih belum mendapatkan jawaban balik bertanya.“Karena beberapa orang yang datang
“Aduh, kepalaku!” Mika bangun dan memegangi kepalanya yang terasa nyeri. “Ini ... di mana?” tanyanya entah pada siapa. Mika bangun dan segera sadar ia berada di sebuah tempat yang asing. Tiga orang yang lain juga terbaring tidak jauh dari tempatnya. Semilir yang berembus menghambur rambut hitamnya yang terurai. Aroma laut yang sedikit amis masuk ke rongga hidung. Langit yang biru, alam terbuka. Mika memutar lehernya, mengalihkan pandangannya. Mencari sesuatu yang entah apa. Mungkin penjelasan, mungkin juga sesuatu yang familier. Di belakang punggungnya hanya ada laut seluas mata memandang. Sementara di depannya terlihat hamparan pasir dan rimbunnya pepohonan. “Sudah bangun?” Isamu Zelina melangkah mendekat diikuti oleh Rania Meisy. Tampaknya mereka adalah orang-orang yang lebih dulu sadar. Pasir yang menempel di sepatu mereka menandakan keduanya telah berkeliling untuk melihat-lihat sekitar. “Sebenarnya aku sudah berusaha membangunkan ka
Sebelum pergi mencari tempat yang bisa digunakan untuk beristirahat, Mika mengambil selendangnya dalam koper. Selain selendang, ia juga mengambil lipstik yang rencananya akan digunakan untuk menulis.“Stop, stop!” Rania tiba-tiba memekik histeris, membuat yang lain terkejut. “Lipstik mahal jangan digunakan untuk itu! Gunakan punyaku saja.” Rania mengeluarkan lipstik batang miliknya yang sudah tidak berbentuk dan hampir habis.“Ya ampun! Dia yang melakukan kenapa aku yang malu.” Jovita mengalihkan pandangannya, tidak sanggup melihat tingkah Rania yang terlalu udik.Rania tidak peduli. Ia tetap menyodorkan lipstik miliknya. Kali ini sedikit memaksa. Menggunakan lipstik mahal bukan pada tempatnya berarti menyia-nyiakan esensi dari bahan-bahan terbaik yang sudah dengan susah payah dikomposisikan. Benar-benar menyia-nyiakan sumber daya.Mika mengibaskan tangannya, “Barangku, terserah ingin kuapakan!” tegasnya.
“Permisi!” Isamu mengetuk pintu. Vila merupakan bangunan tingkat dua. Bagian halaman cukup luas dengan pagar rendah. Pagar hanya dikunci seadanya sehingga bisa dijangkau dan dibuka dengan mudah. Halamannya yang luas dipenuhi dengan dedaunan kering yang berjatuhan. Tidak terlihat ada lumut meski beberapa hari lalu hujan masih sering turun. Dinding bagian samping dan setengah bagian belakang merupakan dinding kaca namun tertutup gorden dari dalam. Rania sudah mencari celah untuk bisa mengintip tapi semua bagian tertutup rapat oleh gorden. Di bagian belakang bangunan ada kerukan yang mungkin rencananya akan dijadikan kolam renang namun kini hanya ditumbuhi ilalang liar. Rumput tumbuh lebih tinggi dan lebat. Belalang dan berbagai macam serangga melompat bergantian. “Permisi, apa ada orang?!” teriak Isamu lagi. Isamu dan Mika berdiri di depan pintu, Rania berkeliling bangunan, sementara Jovita, Adien, dan Tami berdiri sedikit lebih jauh dari