"Jadi, kalian berebut pisau dan Isamu tertusuk secara enggak sengaja?" Adien berkomentar. "Rasanya seperti dalam drama."
"Kalau kamu enggak percaya, ayo kita lakukan reka ulang!" tantang Tami.Adien menggeleng dengan cepat. Tidak mungkin ia sebodoh itu setuju dan membahayakan dirinya sendiri. "Ada banyak hal yang patut dipertanyakan dalam ceritamu.” Mika ikut berkomentar.Cerita Tami tidak semuanya utuh. Mungkin benar semua sesuai dengan situasinya. Tapi masih ada bagian yang tidak dijelaskan dengan lengkap. Bukan karena terlewatkan secara tidak sengaja melainkan memang dihindari dan tidak ingin orang lain tahu.Tami menggeleng. "Aku sudah menceritakan semuanya. Sekarang kamu harus memenuhi janjimu untuk membantuku," tagih Tami. Ia berdiri di depan Rania."Pertama, kamu ha-""Kamu mau mengelak?!" Tami memotong kalimat Rania yang belum selesai. "Aku sudah membuang harga diriku dengan memoh"Tami, apa yang kamu lakukan?!" Semua orang terkejut dengan hal gila yang tiba-tiba Tami lakukan. Tidak ada yang menyangka. Tami benar-benar nekat. Akal sehatnya telah hilang. "Kalian yang memaksaku! Kalian yang menyudutkanku!" Tami mengacungkan pisau yang ia bawa, sementara lengannya yang lain menahan tubuh Adien. "Tami, jangan seperti ini. Kamu membuatku takut. Jauhkan pisaunya, kita bisa sama-sama terluka." Air di sudut mata Adien mulai menetes. Ia tidak berani sembarang bergerak, tidak ingin membuat Tami marah. Adien takut pisau yang tidak memiliki mata menggores kulitnya atau secara tidak sengaja Tami menyayatnya. Ia sungguh takut terluka, lebih tidak ingin mati muda. Mika dan Rania saling bertukar pandangan, mulai mengatur siasat. Mereka harus ekstra berhati-hati dan melakukan semuanya dengan tenang. Tidak hanya satu nyawa yang dipertaruhkan, tapi keselamatan semua orang. "Jangan mencoba melakukan ap
Semua orang tertidur dengan lelap dan tahu-tahu saat bangun, matahari telah bersinar terik. Rasanya sejak tiba di pulau, ini pertama kalinya mereka bisa tertidur pulas. Benar-benar pulas, tanpa mimpi, tanpa kegelisahan. Tertidur begitu saja sampai hari baru menyapa. Rania tertidur di sofa ruang depan. Ia kebagian tugas menjaga Tami lebih dulu. Harusnya ada pertukaran jaga, tapi sampai lebih 12 jam berlalu, sama sekali tidak ada yang turun untuk membangunkannya. Ketika Rania bangun, lehernya terasa sakit. Ia menggunakan sandaran tangan pada sofa yang agak tinggi sebagai bantal. Padahal rencananya ia hanya memejamkan mata sebentar, tidak tahunya jatuh tertidur dan sama sekali tidak kembali terjaga. "Sudah bangun?" Suara Mika terdengar dari arah dapur. Rania menurunkan kakinya dan melihat ada dua potong Sandwich dan segelas susu putih. Begitu melihat ada makanan di depannya, wajah Rania cerah seketika. Semalam ia tidak sempat makan karena
“Roy Purnama sudah kembali.” “Serius?!” Laisa berseru terlalu keras hanya untuk didengar oleh Razan yang duduk di kursi kemudi. Keduanya sedang berada di dalam mobil. Berencana menyelidiki masalah yang berhubungan dengan menghilangnya Mika dan 5 orang penerima undangan yang lain bersama-sama. Razan mengangguk. "Sebenarnya Roy Purnama sudah ditemukan sejak dua hari lalu. Keluarga sengaja menyembunyikan keberadaannya karena khawatir. Polisi kemudian curiga dengan tingkah keluarga yang sembunyi-sembunyi meninggalkan rumah," tambah Razan menjelaskan. "Oh." Laisa tidak banyak memberi tanggapan. Ia lebih sering diam dan mendengarkan. "Loh, ini bukan arah ke tempat Roy Purnama tinggal. Kita mau ke mana?" Razan mengambil jalur yang berbeda saat mobil melewati simpang empat. Arah tempat Roy Purnama tinggal harusnya lurus, tapi Razan justru menyalakan lampu sein dan belok kanan. "Keadaan Roy Purnama tidak seperti yang kita bayangkan. Saat nanti
Laisa dan Razan sungguh terkejut mengetahui asisten Roy Purnama adalah Rania Meisy, salah satu dari keenam penerima undangan yang hilang. Laisa memikirkan ulang semuanya dan tetap ada yang terasa tidak benar. "Apa Rania punya masalah dengan Jovita?" Laisa bertanya memastikan. "Dengan siapa?" Si sopir tidak yakin dengan yang ia dengar. "Jovita. Jovita Fabella." "Oh, yang viral karena videonya itu?" Laisa dan Razan mengangguk bersamaan. "Untuk masalah pribadi Mbak Rania saya kurang paham." Si sopir merasa menyesal tidak bisa membantu. "Bagaimana kalau saya antar ke kantor? Orang-orang di sana lebih mengenal Mbak Rania." "Walaupun Pak Roy Purnama terkena musibah, kantor masih tetap jalan?" tanya Razan terkejut. "Hanya untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum rampung." "Oh." Razan mengangguk. Roy Purnama dan timnya terkenal profesional dan kompeten. Tidak heran mereka tidak terpen
Rania membawa selimut dan menyelimutkannya pada tubuh Mika yang duduk di lantai sembari memeluk lutut. Ia masih berada di depan pintu kamar Jovita sejak beberapa jam lalu, sama sekali belum bergeser sejumput pun. “Hoek!” Adien segera berlari masuk. Suara keran air terdengar mengalir deras dari toilet kamarnya. Ini sudah kedua kalinya sejak insiden yang menimpa Tami. Adien diserang panik dan perasaan cemas yang berlebih hingga ia merasa mual setiap kali teringat pada kejadian yang sudah-sudah. Rania turun untuk membuat minuman hangat. Tubuh Tami yang berada di anak tangga terbawah masih tetap di sana. Rania hanya menutupi tubuhnya dengan selimut yang diambil dari kamar. Sebelumnya mereka yang setuju datang berjumlah 6 orang. Kini yang tersisa hanya 3 orang. Sebelumnya mereka setuju datang agar dapat bersenang-senang, tapi segalanya kemudian menjadi buruk dan bertambah buruk. Sebelumnya mereka setuju datang dengan harap
Rania mengetuk pintu kamar Mika. Mengetuk lagi, lagi, dan masih tidak ada tanggapan. Rania menunggu beberapa saat dan masih tetap tidak ada tanggapan. Ketika Rania akan kembali ke kamarnya, Mika membuka pintu. "Bisa ... temani aku ke luar?" Rania memberanikan diri untuk berbicara pada Mika. "Jangan khawatir, aku sudah bilang pada Adien dan dia bilang akan tinggal di kamarnya saja dan mengunci pintu," jelas Rania cepat. Mika tidak memberi tanggapan. Ia menutup pintu kamarnya dan keluar lagi tidak lama kemudian. Seperti biasa Mika mengunci pintunya sebelum pergi. Ketika turun melewati tangga, tatapan Mika nanar tertuju pada kain yang menutupi tubuh Tami. Ia berjongkok, hendak menyingkap kain, dan melihat Tami untuk terakhir kalinya tapi Rania melarang. Mika tahu, apa yang ia lakukan tidak akan menggugurkan dosanya, tidak akan mengurangi penderitaan dan rasa sakit Tami. Mika tahu tidak akan ada yang berubah. Mika memejam
Saat Mika masuk keadaan ruang depan berantakan. Kaca meja pecah, sofa kecil terbalik, kain yang menutupi tubuh Tami tersingkap. Di dapur, gelas dan piring kaca juga pecah. Kulkas terbuka dengan bahan dan peralatan memasak berserakan di lantai. Mika mengambil kain dan kembali menutupi tubuh Tami. Selanjutnya bergegas ke lantai atas untuk melihat keadaan Adien. Mika mencoba membuka pintu kamar Adien namun terkunci. "Adien, Adien!" Mika mulai menggedor. "Adien, aku Mika. Buka pintunya! Adien kamu baik-baik saja?" Tidak lama kemudian Adien membuka pintu dan menghambur memeluk Mika. Ia menangis, ketakutan. Tubuhnya berkeringat dan gemetar. "Mika, kamu dari mana saja? Kenapa baru pulang?" tanya Adien di sela-sela isak tangisnya. "Kamu baik-baik saja?" Adien mengangguk. Mika mencoba lepas dari pelukan Adien, tapi wanita itu menolak. Ia justru mempererat dekapannya. Seolah melepaskan Mika berarti kembali terjerat dalam
"Kita sampai." Razan mengantar Laisa pulang dan telah sampai di depan rumah. Saat Razan berbalik, ternyata wanita itu jatuh tertidur. Pantas saja tidak terdengar suaranya sejak tadi. Razan menurunkan sedikit posisi kursi agar Laisa bisa tidur dengan nyaman. Laisa tidur dengan mulut terbuka dan sesekali terdengar suara mengorok. Ekspresinya saat tidur terlihat lucu, membuat Razan tidak berhenti tersenyum. Bisa melihat wajah tidur Laisa secara langsung, Razan sungguh merasa beruntung. Saat Laisa menindasnya nanti, ia akan punya senjata untuk membalas. Razan mengambil ponselnya dan memfoto. Tidak tega membangunkan Laisa, Razan memutuskan untuk menunggu. Ia ingin menikmati kebersamaan mereka sedikit lebih lama lagi. Situasi di mana suasananya terasa tenang dan hanya ada mereka berdua. Tidak ada perdebatan dan tidak ada masalah-masalah berat yang membebani. Setelah memastikan bahwa Rania Meisy bukanlah Rania ya