Laisa terus mengomel sepanjang jalan. Mempertanyakan jalan pikiran Mika yang tidak masuk akal. Membenci atau memaafkan memang hak prerogatif Mika, tapi Laisa tidak bisa menahan diri untuk tidak merasa kesal.
“Aku enggak salah, kan, mengatai Mika seperti itu? Dikhianati Jovita dia menderita selama seminggu, percaya pada penipu itu menderita sebulan. Sekarang mengambil risiko demi penipu itu. Apa Mika mau menderita seumur hidup?”“Iya, iya. Laisa yang benar. Mika pasti mengerti kalau Laisa hanya khawatir,” Razan menanggapi.“Siapa yang khawatir?! Aku marah, bukan khawatir!” elak Laisa.Razan hanya menanggapi dengan tawa. Bagaimana kedekatan Laisa dan Mika, Razan tahu persis. Laisa tidak pernah merasa khawatir seperti khawatir pada Mika. Laisa tidak pernah protektif, seperti ia protektif pada Mika. Terkadang, Razan sungguh merasa iri dengan perhatian yang bisa Mika dapatkan.Konyol! BukannyaPagi-pagi Laisa berkunjung ke rumah Mika. Semalam Razan sudah menceritakan apa yang didengarnya. Mika memang tipe yang tidak mudah menyerah. Tidak mungkin lagi memaksanya untuk mundur. Kalau sudah begitu, dibanding melarang lebih baik Laisa menemani sampai akhir. Hanya dengan menemani, Laisa bisa memastikan keamanan Mika. Begitu sampai, Laisa disambut pengurus rumah. Dari pengurus rumah Laisa tahu Mika sama sekali tidak keluar dari ruang kerjanya sejak semalam. Laisa naik ke lantai dua. Dalam ruang kerja, Mika tertidur dalam keadaan duduk dan menggunakan lipatan tangan sebagai bantalan kepalanya. Laisa melihat sekitar untuk mencari selimut tapi tidak ada di mana pun mata Laisa mencari. Karena tidak ada selimut, Laisa menggunakan jaketnya. Tidur Mika terlihat tidak tenang. Ada bekas air mata yang mengering. Laisa mengambil botol obat tidur yang ada di atas meja dan memperhatikan komposisinya. “Sudah begini berat kenapa enggak dile
“Aku akan menemui Rania.” Mika telah memikirkannya berkali-kali dan keputusan yang dibuat dalam kepalanya selalu sama. Menemui Rania. Sebenarnya jika Rania benar dimanfaatkan maka tidak akan ada banyak informasi yang diketahui olehnya. Meski seperti itu, Mika tetap ingin mencoba. Spontan saja kalimat itu mendapat penolakan keras dari Laisa. Ia sama sekali tidak setuju. Benar ada kemungkinan Rania memiliki informasi yang mereka butuhkan tapi tidak ada jaminan Rania akan bekerja sama. Juga bukan tidak mungkin Rania akan kembali berbohong. “Kita tidak akan tahu sebelum mencoba,” ujar Mika. “Jangan karena ketakutan-ketakutan yang belum tentu terjadi, kita gagal memanfaatkan peluang.” “Tapi kita enggak bisa mengambil risiko!” tegas Laisa tidak mau kalah. “Terlalu berbahaya.” Setelah Mika mengetahui adanya Game Invitasi dan mencoba memainkannya, perlahan
Tidak ingin membuang-buang waktu, Mika segera mengatur pertemuannya dengan Rania palsu yang bernama asli Kyra. Begitu disetujui, Mika segera lepas landas mengunjungi penjara. Kyra sama sekali tidak tahu siapa orang yang datang mengunjunginya. Karena tempat yang dituju adalah ruangan khusus bukannya ruang kunjungan umum, jelas orang yang membesuknya memiliki tujuan lain. Bisa jadi pengacara atau petugas dari tim penyidik. Begitu pintu di buka dan melihat siapa orang yang berada dalam ruangan, langkah Kyra tertahan untuk sesaat. Ia begitu terkejut, tidak menyangka. Kyra pikir ia tidak akan pernah bertemu dengan Mika lagi seumur hidupnya. "Sepertinya kamu bisa hidup dengan baik di tempat ini," ucap Mika. Kyra melihat sekelilingnya. Mika hanya datang seorang diri. Tapi jelas tidak benar-benar sendiri. Pembicaraan mereka diawasi. Beberapa orang pasti berada di ruang kontrol untuk menonton. "Tentu. Aku orang yang mudah bera
"Orang itu mengirim pesan lebih dulu pada Isamu, artinya bukan kamu yang membongkar identitasnya." Penjelasan Kyra mungkin mengurangi satu dari banyak pertanyaan di kepala Mika, tapi tetap tidak mengubah apa pun. Saat mengetahui mengenai kasus Mai, Mika sudah memikirkan kemungkinan itu. Jawaban yang didengarnya hari ini sama sekali tidak mengurangi beban dan tanggung jawabnya. "Padahal aku sudah berusaha menghentikanmu hari itu," sambung Kyra. "Ternyata kamu sengaja tertangkap basah saat menguping," ujar Mika. Kyra tidak menjawab. Ia sendiri melakukannya tanpa pikir panjang. Tidak tahu kenapa harus peduli. Sebenarnya kalaupun Isamu salah paham pada Mika, tidak akan merusak rencananya. Sekali pun Mika merasa bersalah, bukan ia yang memikul beban itu. "Terima kasih karena peduli padaku." Kelopak mata Kyra melebar. Kata-kata Mika membuatnya terenyuh. Seperti ada bagian dari dirinya yang mencair dan hatinya menjadi
"Permisi!" Kyra yang membawa nampan berisi pesanan meletakkan satu per satu makanan di meja pemesannya. "Selamat menikmati," katanya kemudian berlalu. Sebelumnya Kyra bekerja di salah satu perusahaan batu bara dengan penghasilan tetap. Dengan gaji dari pekerjaannya yang digunakan hanya untuk menghidupi diri sendiri, ekonomi Kyra stabil dan ia hidup dengan aman. Setelah kasus yang menimpa Mai viral, kehidupan Kyra pun ikut berubah. Ia keluar dari perusahaan dan beberapa kali bergonta-ganti pekerjaan. Ketika ayah dan ibu bercerai, Kyra ikut ayah dan Mai ikut ibu. Ibu kemudian pindah ke kota lain dan akhirnya menikah lagi di sana. Setelah ayah Kyra juga menikah, Kyra memilih keluar dari rumah dan tinggal sendiri. Meski Kyra dan Mai tidak tinggal satu rumah bahkan tidak lagi di satu kota, keduanya masih rutin bertukar kabar. Mai sering datang untuk mengunjungi kakak dan ayahnya. Beberapa kali bahkan menginap di tempat Kyra tinggal.
"Kyra!" Seorang pria yang berdiri di balik meja kasir memanggil. Kyra yang baru selesai mengantarkan pesanan meletakkan nampan dan mendekat ke arah orang yang memanggilnya. "Seorang pelanggan yang tadi duduk di dekat pintu menitipkan ini untukmu." "Aku?" tanya Kyra. "Apa isinya?" Yang ditanya menggeleng tidak tahu. Juga tidak tertarik mencari tahu. Barang yang diberikan pada Kyra adalah sesuatu yang dibungkus dengan map cokelat. Dari luar berbentuk seperti buku namun dalam ukuran yang lebih kecil. Kyra hendak membuka map pembungkus tapi perhatiannya teralihkan pada pelanggan yang baru datang. Dengan sigap Kyra menyambut dan membawakan buku menu. Menunda keingintahuannya terhadap isi map. Selanjutnya pelanggan terus berdatangan. Hanya menyisakan jeda untuk melepas lelah sejenak. Kyra sibuk mondar-mandir mengantar pesanan, melayani permintaan tambah menu, juga komplain mengenai makanan yang lambat datang. Sampai waktu pulang, Kyra melupaka
Tiga hari kemudian Kyra keluar dari penjara. Meski bisa bebas, kasus yang masih dalam tahap penyelidikan membuatnya tetap diawasi dan dilarang bepergian ke luar negeri. "Aku benar-benar enggak menyangka bisa keluar." Kyra berbicara pada Mika dan Razan yang datang menjemput. "Terlebih dalam waktu secepat ini. Ternyata mempunyai koneksi dengan orang penting itu bisa sangat berpengaruh untuk hidup dan matimu." "Koneksi apanya," tepis Razan. "Itu karena Mika dan Laisa membantu menyelidiki kasus untuk membuktikanmu tidak bersalah dan memberikan hasilnya pada Tim Investigasi. Juga karena kasusnya belum masuk ke pengadilan jadi bisa lebih cepat dan prosesnya tidak berbelit." "Oh." Kyra merasa bersalah dengan kata-kata yang seenaknya ia ucapkan. Ia melirik ke arah Mika. "Untuk apa dijelaskan," Mika menimpali. "Bekerja sama dengan Tim Penyelidik adalah kewajiban bukan sekadar untuk membebaskanmu. Lagi pula semakin cepat kasus bisa selesai akan
Kyra benar-benar pulang. Pulang, kembali ke kota kelahiran, tempatnya tumbuh, dan tinggal. Tapi tempat yang pertama kali ia kunjungi setelah tiba bukan rumahnya, bukan pula rumah ayahnya. Kyra hanya mengirim pesan pada orang tuanya. Meminta mereka jangan khawatir. "Kita ke sini mau bertemu orang atau mencari orang?" tanya Mika ketika masuk ke sebuah rumah makan. "Karena kita ke tempat makan, sudah pasti untuk makan," jawab Kyra. Mika tidak percaya. Saat masih di bus Mika sudah menawarkan roti tapi Kyra menolak. Kalaupun ingin makan, Kyra akan memilih tempat makan sederhana bukannya ke rumah makan yang dilihat dari desain tempatnya saja sudah mahal. "Kenapa? Enggak percaya?" Kyra bisa membaca dengan jelas keraguan Mika. Rumah makan yang mereka datangi tidak begitu ramai. Satu meja diisi oleh enam keluarga, sementara tiga meja yang lainnya diisi oleh dua dan tiga orang. Kyra memilih duduk di dekat jendela. Selain bisa melihat