Aryo yang ceroboh itu hanya bisa nyengir. Ia tahu ia salah nama. Kenapa Lisa tidak memberitahunya soal ganti nama? Dia kan jadi refleks menyebut nama aslinya sendiri. "Arkana Dimas. Tapi nama panggilannya Dimas. Iya kan, Mas?" Lisa langsung menyelamatkan keadaan. Mario menatap curiga. Tapi perasaan itu berusaha ia tepis. Ia tak ingin berprasangka. "Y--ya. Saya Dimas. S--saya suaminya Lisa. Saya tidak melarang-larang dia, kok. Lagian kan dia membantu keponakannya sendiri. Tenang saja. Aman," ucapnya dengan tawa dibuat-buat. Sungguh kelihatan sekali kalau ia sedang berpura-pura. Lisa mencoba mengimbangi akting Aryo yang buruk itu dengan suara tawa palsunya juga. Mario yang masih berdiri di depan pintu hanya bisa ikut tersenyum sopan. Seolah ada yang mengganjal. Benarkah ini semua? Tapi kelihatannya mereka baik-baik saja. Mario hanya bisa tersenyum kecut melihat Lisa tampak bermanja pada Aryo. Akhirnya Lisa mencari-cari alasan kalau Dimas alias Aryo ingin bersiap berangkat kerja d
"Aryo, aku capek. Kasih aku waktu. Harus berapa kali sih kubilang. Uang ini berharga untukku. Aku butuh untuk ongkos ke rumah sakit dan segala macam. 4 juta dulu. Aku janji aku akan cicil lagi." Lisa mulai lelah. Lisa membuang sobekan uang itu ke lantai. Aryo diam saja. Uang satu juta berserakan itu masih di sana. Baik Lisa maupun Aryo tak memungutinya dengan berebut seperti tadi. "Kapan?" Aryo mulai melunak. Nada suaranya mulai merendah. Suasana mendadak hening. Lisa masih menatap kosong. "Ya, sebulan lagi? Aku cicil sebisanya." Lisa sudah mulai muak dengan perdebatan ini sejak kemarin. Aryo lalu duduk di samping Lisa, tepat di antara ruang depan dan ruang tengah. Tangannya langsung memungut roti yang tadi ia obrak-abrik dari plastik pembungkusnya. Ia makan tanpa peduli Lisa mulai menghapus air matanya. "Oke. Sebulan ini aku kasih kamu waktu. Kamu harus bisa kasih aku cicilan kedua 10 juta." Aryo berkata sambil mengunyah. Lisa yang awalnya berwajah datar karena sudah mati rasa
Lisa melirik ke arah ponselnya yang menyala itu. Memang ada notifikasi pesan baru dari nomor tak dikenal. Oke. Nomor Bisma memang tak aktif. Sampai sekarang Lisa masih sering mencoba menghubunginya, berharap akan tersambung. Bagaimanapun Bisma harus bertanggung jawab pada hidupnya yang hancur begini. Bisma juga berhak tahu kalau bayi mereka meninggal setelah berjuang untuk bertahan selama beberapa hari setelah dilahirkan. Lisa memejamkan mata. Tangannya mulai bergerak membuka kunci ponselnya. [[ "Lisa, aku dapat kerja bagus di luar kota. Aku akan pulang bawa uang banyak. Aku juga sudah memberi tahu orang tuaku. Kita direstui menikah. Anak kita bagaimana keadaanya? Tunggu aku pulang, ya!" ]] Lisa menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Ia lalu membuka matanya dan ... Ah, bukan Bisma. Pesan indah itu hanya ilusinya saja. Nyatanya Bisma tak pernah kembali sejak hari itu. Ia pergi membawa sisa uang mereka dan hutang pada Aryo. [[ "Lisa, ini aku Mario. Maaf mengga
Daniel Antara yang diliputi perasaan bersalah karena perselingkuhannya dengan Risa itu menyandarkan punggungnya ke tembok. Ia berusaha menguping info apapun soal Risa. Tak mungkin ia datang ke sana sementara ada Mario. Bisa-bisa ia curiga. "Ngapain, Pak? Mau jenguk bu Risa, ya?" Seorang suster menyapa Daniel, membuatnya terkejut. Para suster jaga tentu tahu siapa Daniel. Saat menjenguk, pria itu memperkenalkan dirinya sebagai teman kantor Risa, pria yang kecelakaan bersamanya. Para suster pun mengizinkan Daniel untuk menjenguk. Tentu dari luar. Toh tidak menyalahi prosedur. Yang penting tidak masuk ke dalam ruangan, karena yang boleh masuk selain tim medis adalah keluarga pasien. "Oh, mmm, tadi cuma lewat kok, Sus," ucap Daniel berbohong. Suster yang tahu kalau Daniel hanya beralasan itu tersenyum tipis. Entahlah apa yang ada di benak perempuan muda itu. Tetapi sepertinya ia tahu sesuatu. Kalau hanya sekedar teman kantor saja, Daniel tidak mungkin meluangkan waktunya setiap hari
Obrolan ini bagaikan uji nyali bagi Daniel, tapi ia sudah terlanjur setengah jalan. Ia harus menuntaskan semuanya. Resiko apapun akan diambilnya. Setidaknya ia sudah berusaha merapikan kisah ini. Semua demi kebaikan bersama. "Jadi gini. Aku butuh ponsel Risa. Apa masih menyala atau mati? Karena ponselku mati setelah kecelakaan itu. Hancur tanpa bisa diperbaiki untuk dipulihkan datanya. Setelah siuman, polisi kan datang untuk wawancara kronologi kecelakaan dan urusan lain. Lalu mobilku sudah tidak tertolong lagi keadaannya. Polisi memeriksanya untuk kebutuhan laporan barang bukti. Barang-barangku dikembalikan dan ponselku hancur. Aku penasaran apakah ponsel Risa masih menyala. Karena aku butuh sesuatu yang penting. Ada file di dalam ponselnya. Aku membutuhkannya," ucap Mario. Saat mengatakan ini bibirnya sedikit bergetar dan jantungnya bertalu-talu. Mario rupanya belum terlalu bisa menangkap ucapan Daniel yang terlalu berbelit-belit ini. Maklum, Daniel terlalu gugup untuk menyampai
Lisa menoleh ke belakang. Mario sudah di depan pintu. Wajahnya kusut, dasinya miring, dan penampilannya terlihat kuyu. "Mas?" Lisa langsung menyapa sambil berusaha tersenyum. Sekuat tenaga Iya berusaha membuat matanya yang berkaca-kaca itu terlihat biasa saja, padahal tadi sudah hampir jatuh bulir-bulir yang hendak menetes itu. "Nah, itu dia datang. Udah selesai Pak saya jelasin semuanya ke Bu Lisa. Saya tinggal dulu ya mau naruh dokumen. Secepatnya saya kembali," ucap Suster Ami. Mario menggangguk. Ia lalu berjalan mendekat ke arah Lisa yang sedang menggendong Marsa. Garis senyumnya langsung melengkung. Ia tersenyum, seolah-olah pemandangan ini menjadi obat lelahnya. Lisa diam saja. Marsa masih ia dekap dengan pelan-pelan, takut anak itu terbangun dari tidurnya yang lelap. Lisa terus mencuri-curi pandang ke arah Mario. Kata suster Ami tadi ia mengabari kalau ada tanda-tanda siuman dari Risa. Tapi kenapa wajah Mario kusut begini, batinnya penasaran. "Habis dari nengokin Risa di
"Iya. Dimas kerjanya apa. Aku belum sempat banyak mengobrol kan kemarin." Mario kembali mengulang pertanyaannya. Sebenarnya ini bukan hanya sekedar pertanyaan basa-basi. Mario benar-benar ingin tahu suami Lisa itu orang seperti apa. Dari penampilannya dan sikapnya sih Mario seperti sudah bisa menyimpulkan kalau Dimas itu bukan pria baik-baik. Mungkin memang benar kata pepatah. Jangan menilai orang dari penampilannya. Penampilan Dimas sih bukan seperti penampilan pria kantoran. Tapi lihat saja sikapnya yang kasar dan pemabuk. Mario benar-benar kesal mengingat kejadian malam itu. "Ar--, maksudku Dimas. Ya dia itu bodyguard," ucap Lisa asal saja meyeletuk. "Bodyguard?" Mario tampak agak terkejut. Ia tahu ada banyak sekali profesi orang di dunia ini. Tapi seumur-umur, baru kali ini ia mengenal orang dekatnya berprofesi sebagai body guard. "Y--ya, pengawal. Semacam itu lah. Kerja sama pengusaha. Jadi kalau boss-nya ke luar kota dia ikut terus kemana-mana. Jarang di rumah." Lisa dengan
Sofa warna abu-abu itu bahkan masih terbungkus plastik. Jelas baru kemarin dibeli dan diantar toko furniturenya, belum sempat dibongkar. Mario duduk. Lisa ikut duduk di sampingnya. Ia ikut penasaran mengintip istri kardus yang diletakkan Mario di atas meja itu. "Ini barang-barang Risa di mobil Daniel waktu ia kecelakaan. Polisi yang ngasih ke aku. Daniel bilang dia butuh ponsel Risa. Masih menyala nggak, ya?" Mario mengambil benda pipih berwarna hitam yang tampak retak layarnya itu. "Daniel? Atasan kak Risa? Kenapa dia butuh ponselnya?" Lisa bertanya dengan bingung. Mario pun menjelaskan ulang soal file yang dijelaskan Daniel padanya tadi. Lisa menyimak penjelasan itu sambil mengernyitkan alisnya. "Tapi kayaknya agak nggak masuk akal deh, Mas. Untuk file sepenting itu dan nggak ada salinannya di tempat lain. Katanya kan tadi file-nya sempat dikirim dari ponsel Daniel. Kalau ponsel Daniel mati, bukankah file-nya tetap bisa dilacak lewat email terkirim? Iya, kan? Masak dia lupa al