MasukSapuan hangat napas Jach menyentuh pipi, jarinya mengusap garis rahang Isela, dengan lembut menarik Isela wajah Isela agar keluar dari gawang jendela kamar, ikut merasakan salju turun yang menghujani mereka di bawah temaram cahaya.Jantung Isela terpacu kencang, merasakan belaian hangat yang lebih dari biasanya. Ciuman yang lebih dari sebuah kecupan, menuntunnya melewati batasan.Tok tok tokSuara ketukan di pintu kamar terdengar, meretakan kehangatan yang baru terjalin. Dengan panik Isela mendorong dada Jach agar menjauh, dengan napas tidak beraturan gadis itu mengusap bibirnya yang telah basah dan matanya melotot menatap tidak percaya, sudah berani berani melakukan sesuatu yang tidak seperti biasanya.“Isela, ayah boleh masuk sebentar?” tanya Grayson memanggil namanya.Tok tok tokSuara di pintu itu kembali terdengar, menabuh kepanikan Isela, takut Grayson membuka pintu dan melihat semuanya dan membuatnya marah karena Isela telah berprilaku nakal.“Kau harus pergi Jach! Cepat” usir
Jach memundurkan kendaraannya dan memilih untuk berhenti ditempat yang gelap begitu sadar bahwa kini, di depan pagar kediaman Marizawa sudah ada seseorang yang berjaga agar tidak sembarangan orang bisa masuk.Wajah Jach terangkat, dibalik jendela kendaraannya dia melihat suasana kediaman Marizawa, lalu terfokus pada lantai dua tempat kamar Isela berada. Di balik jendela itu terlihat masih ada cahaya yang menandakan bahwa Isela ada di dalam.Jach mengambil bunga mawar merah yang terletak disisi kemudinya. Pria itu melangkah keluar melintasi jalanan sepi.Dibawah langit yang gelap dan berhujan bersalju, pria itu berjalan. Membiarkan kemeja sutranya yang tipis berkibar, rambut hitam legamnya bergerak tidak beraturan mengikuti sapuan angin yang membelai.Jach melompati pagar samping rumah itu, kakinya terus melangkah menuju satu tujuan yang telah direncanakan dan dia simpan di daftar utama malam ini. Menemui Isela..Perempuan yang sudah berhasil membuat segala sesuatu tentang dirinya, me
“Apa yang akan kau lakukan selanjutnya, Jach?” tanya Mante, di hadapan Jach yang kini tengah menikmati secangkir kopi buatannya dengan tangan masih berlumur darah, menodai permukaan cangkir putih ditangannya.Kedua pria itu terlampau santai dan masih memiliki waktu untuk menikmati sesuatu meski lantai yang mereka pijak sudah anyir penuh oleh noda.“Bagaimana menurutmu sendiri?” Jach balik bertanya.“Tentang apa?”“Tentang Roselia,” jawab Jach dengan tegas, mempertanyakan apa pantas perlu dia lakukan pada Roselia atas semua yang telah terjadi. Semua bukti sudah jelas mengarah padanya, wanita itu berniat melakukan suatu kejahatan pada Isela melalui tangan Aresh.Mante mengedikan bahunya menunjukan ketidak pastian. “Kita tidak bisa melakukan apapun Jach. Meski kita sudah tahu niatan Roselia, suka tidak suka Roselia adalah bagian dari keluarga kita yang tidak bisa disentuh sembarangan, dia juga memiliki Scarlett yang sangat membutuhkannya. Ayah tidak akan pernah mengizinkan anak maupun
Kendaraan melaju cepat melintasi jalanan pusat kota. Toko-toko kue dan restaurant terlihat sibuk melayani tamu yang terus berdatangan, toko mainan yang telah terdekor nuansa natal dikunjungi banyak anak-anak.Awan bergumpalan terlihat di balik gedung pencakar langit, menghalangi cahaya sore yang sebentar lagi akan segera redup berganti malam.Satu jam perjalanan meninggalkan pusat keramaian, kendaraan itu akhirnya memasuki wilayah berhutan, disana terdapat sebuah rumah yang menghadap langsung ke sebuah sungai.Begitu mobil terhenti, Jach langsung keluar menuju pintu utama rumah itu.“Hay, Jach,” sambut Mante tahu-tahu ada di rumahnya, tengah sibuk dengan mesin kopi. “kau mau segelas?” tawarnya dengan santai.“Ya,” jawab Jach singkat, tidak menyempatkan diri untuk berhenti sejenak pun karena ada hal penting yang harus segera dia selesaikan sekarang juga.Dengan langkah lebar, Jach pergi melewati pintu lain yang membawanya ke sebuah ruangan dingin berdinding beton.Pandangan Jach langsu
Di atas langit yang cerah, matahari bergerak pelan menuju ufuk barat. Daratan es yang telah mengeras tampak ramai, dijadikan arena es skating umum oleh penduduk sekitar.Suara tawa anak-anak terdengar, mereka sedang menikmati waktu luang untuk bermain.Isela menyandarkan lipatan tangannya pada pagar kayu yang dijadikan pembatas lapangan es skating. Wajahnya yang pucat kedinginan dihinggapi beberapa tetes es yang jatuh dari langit.Bibir Isela sedikit terbuka, setiap hembusan napasnya megeluarkan uang hangat yang membeku di udara, sepasang mata safier itu bergerak memandangi keramaian yang bertolak belakang dengan dunianya yang kini sunyi sepi.Ada kelegaan yang mencair didalam dadanya selepas Aresh tertangkap dan dibawa pergi. Isela bersyukur, akhirnya orang yang pernag melakukan kejahatan padanya tidak akan lagi muncul untuk mengganggunya.Namun, setelah kejadian itu.. ada sebuah pertanyaan yang berulang kali terucap dibenaknya.‘Apakah semuanya sudah selesai? Apakah semuanya sudah b
Dada Aresh bergerak naik turun tidak beraturan, wajah bringasnya yang bernafsu ingin menghabisi kini telah pucat hebat ditekan oleh ketakutan. Aresh baru menyadari, bahwa inilah alasan dia tidak boleh melakukan sesuatu ditempat sepi kepada Isela, gadis itu tidak lagi seperti dulu yang hanya bisa kabur karena lemah dan hanya memiliki Catelyna yang melindunginya. Semuanya telah berubah..Aresh telah salah menilai, dan kini keadaan justru berbalik membahayakannya, ketiga anak buahnya telah terkapar dalam keadaan berlumur darah, tertembak dengan begitu mudah seolah mereka bukan apa-apa.Mata Aresh gemetar hebat, melihat Asteria menginjak lehernya dan menggunci satu tangannya dengan putaran. Aresh memberontak mencoba melawan agar bisa berlari kabur, namun lehernya kian ditekan menyulitkan pernapasan.“Lepas.. aku mohon..” rintih Aresh terdengar lemah dan mengiba, matanya bergerak pelan melihat kedatangan Michaelin dan Nathan yang bertubuh tinggi besar. “kumohon.. lepas, ini hanya salah p