Selama kehamilannya, Laysa sengaja menunda-nunda mencari tahu pelaku pembunuhhan kedua orang tuanya. Dia ingin lebih fokus kepada calon bayinya dan Gavin. Mereka saat ini yang terus menjadi alasan Laysa mendapatkan kebahagiaan selama hidup di dunia. Gavin pun tidak menolak seluruh kebaikan yang ditawarkan Laysa padanya. Dia malah merasa menjadi raja di rumah karena istrinya lebih tahu apa yang dibutuhkannya. Bahkan terkadang dia lupa akan kontrak perjanjian buatannya sendiri sebelum menikahi Laysa. Gavin merasa, wanita itu sangat pandai menarik perhatian. Pantas saja Laysa sering menjadi bahan rebutan oleh para lelaki di luar sana saat bekerja sebagai pelayann. Keberuntungan Gavin bertambah sebab sekarang wanita itu tengah mengandung buah hatinya. Ya ... sekarang Gavin mulai meyakini bahwa kehamilan Laysa murni oleh satu orang saja, yaitu dirinya sendiri. Gavin cukup yakin Laysa tidak mudah dirayu oleh seseorang di luar sana. “Kau sudah pulang, aku sudah menyiapkan air hangat. Sege
Gavin terusik dari tidur nyenyak ketika mendapat sentuhan lembut tangan Laysa di pipinya. Wanita itu tersenyum begitu manis, cerah wajah cantiknya tampak jelas tersorot sinar matahari pagi dari jendela kamar mereka.“Sudah siang, bangunlah. Aku sudah menyiapkan kopi kesukaanmu,” ujar Laysa di buku kecil yang ditunjukkannya kepada Gavin.“Apa itu tidak bisa ditunda?”“Kopimu nanti dingin.”Gavin sedikit bergerak, menarik lengan wanita itu agar ikut berbaring bersamanya. Laysa juga menurut saja, berada dalam dekapan Gavin membuatnya sangat hangat dan nyaman.“Kopi itu tidak akan sehangat dirimu.” Gavin berbisik di samping telinga Laysa. Membuat wanita itu bergerak tidak nyaman karena merasa geli. “Hari ini kita punya banyak waktu, apa yang sedang kau pikirkan?”Laysa menggelengkan kepala pelan.“Kau tidak ingin pergi keluar rumah?”Wanita itu menggelengkan kepalanya lagi. Gavin pun memutar tubuh Laysa agar menghadap ke arahnya. Tampak seulas senyum di bibirnya yang tipis, membuat Gavin
Gavin pun mendatangi rumah kediaman Anne sore harinya, rumah yang jarang sekali dia kunjungi ini tidak berubah banyak. Masih tetap terlihat mewah dan memiliki fasilitas yang lengkap, semua perabotan tetap berada di tempat yang sama. Termasuk sebuah foto besar keluarga Alexander Stewart yang terpasang di dinding ruang keluarga.Gavin mengikuti langkah seorang asisten rumah tangga Anne, lalu mereka pun sampai di sebuah kamar yang cukup besar. Tempat di mana wanita paruh baya itu mengistirahatkan tubuhnya yang mulai menua.Anne tampak tidak sendiri, ada beberapa orang pelayyan di sekitarnya. Ditambah seorang lagi gadis muda yang mengenakan setelan dress mini berwarna merah menyala. Itu adalah Laura Simpler, ya ... siapa lagi kalau bukan dia. Seharunya Gavin menyadari salah satu trik licik ibunya jika sakit begini. Dia pasti akan mempergunakan momen sebagai wadah pertemuannya dengan Laura.“Akhirnya kamu datang juga, Gav. Momy sudah menunggumu sejak tadi
“Kau ada di mana, Gav? Apa ibumu baik-baik saja?” Sebuah pesan singkat dikirimkan Laysa kepada Gavin di ponselnya, tapi tidak ada balasan dalam beberapa jam. Laysa pun memutuskan mengirim pesan lagi karena dia tidak bisa menggunakan panggilan.“Kapan kau pulang? Ini sudah malam.”“Apa kau akan menginap di rumah ibumu?”“Gavin, tolong balas pesanku. Sekali saja, aku sangat khawatir.”Laysa terus mengirimkan pesan-pesan tersebut kepada Gavin di waktu yang berbeda, tapi tetap saja tidak ada balasan. Pesan darinya hanya berakhir centang dua tanpa ada respons sedikit pun. Itu membuat Laysa cemas sendiri, apa suaminya baik-baik saja? Atau terjadi sesuatu kepada Anne di sana?Pertanyaan tersebut melintas di pikiran Laysa. Dia masih berusaha berpikir positif dan berharap besok Gavin akan pulang. Mengingat raut wajah terakhir suaminya, Laysa berpikir kalau memang ada yang tengah mengganggu pikiran Gavin hari ini. Entah apa itu.
Sampai lelaki itu selesai dari kamar mandi, Laysa menghampirinya yang sedang menikmati segelas kopi di sebuah kursi.Gavin hanya meliriknya sebentar, sebelum kembali terfokus pada ponselnya. Sebenarnya, Laysa mulai merasa sikap Gavin cukup dingin, tapi dia berusaha untuk menyingkirkan pemikiran itu.“Apa kau bisa menceritakan padaku, apa yang kau lakukan selam satu bulan ini? Aku sangat mengkhawatirkanmu, Gav. Aku pikir terjadi sesuatu pada ibumu hingga kau tidak pulang.” Laysa memberikan tulisannya kepada Gavin, berharap lelaki itu merespons dengan baik.“Aku sedang tidak ingin menceritakan apa pun. Tapi lihatlah, kau sendiri sampai sebesar ini. Apa saja yang kau lakukan di rumah, huh?” tanya Gavin yang mulai menyimpan ponselnya demi bertanya kepada Laysa.Laysa melihat tubuhnya sendiri, memang berat badannya meningkat akhir-akhir ini. Dia sudah tidak langsing lagi seperti sebelum hamil. Kedua pipinya pun menjadi chubby dengan lipatan lem
Laysa mendatangi kamar pribadinya dengan Gavin, menyusul langkah Laura yang sangat yakin bahwa dia telah memiliki hak penuh untuk bertingkah bebas di rumah ini. Laysa sebenarnya masih ingin tidak mempercayai ini, sebab Gavin pun belum mengatakan apa pun.Sesampainya di lantai 3, Laura tampaknya kesulitan masuk karena pintu kamar Gavin memiliki kode khusus yang tidak diketahuinya.“Akhirnya kau datang. Cepatlah buka pintu ini! Aku ingin bertemu dengan Gavin.” Perintah Laura langsung ketika menyadari kehadiran Laysa di dekatnya.Laysa menggelengkan kepala, dia khawatir dan takut istirahat Gavin terganggu dan lelaki itu akan jauh lebih marah padanya.“Cepat buka pintunya!” perintah Laura lebih keras.Laysa menggelengkan kepala lagi, lalu menggerakkan jemari lentiknya. “Gavin sedang beristirahat. Jangan mengganggunya.”“Jangan membuatku kesal. Apa kau ingin membodohiku dengan bahasa anehmu itu? Cepatlah buka, atau aku aka
Laysa pun hanya bisa menangis tanpa ingin menyusul langkah Gavin. Hatinya benar-benar dibuat patah oleh seseorang yang sangat dicintainya. Walau dia tahu kemungkinan buruk perpisahannya dengan Gavin akan terjadi, tapi dia tidak mengira harus dengan cara ini.Sekarang cintanya sudah berkembang pesat untuk Gavin. Bagaimana bisa dia membuang itu dalam waktu singkat? Laysa merasa sangat ceroboh dan bodooh karena sudah mempercayakan hatinya kepada orang yang sama sekali tidak memiliki hati.Sampai beberapa jam kemudian. Laysa belum kembali ke kamar pribadi Gavin di lantai tiga, tapi dia tahu seluruh barangnya sudah di pindahkan ke kamar lain. Sebuah kamar berukuran sedang di lantai dua, bersebelahan dengan kamar pribadi Xavier.Laysa sudah berada dalam mode lelah luar biasa. Terlalu banyak menangis membuat selera makannya menghilang, melakukan aktivitas apa pun dia tidak ingin. Hanya duduk menyendiri di sebuah kursi taman hingga petang menjadi pilihannya.
Xavier menghentikan mobilnya setelah cukup jauh dari rumah milik Gavin. Sebuah jalanan sepi di mana hanya ada beberapa orang melintas di sana. Sementara itu di sampingnya, air mata Laysa sudah hampir mengering. Wanita itu telah terlalu banyak menangis selama perjalanan mereka, memikirkan banyak hal dalam kepalanya. “Tenangkan dirimu, Lays.” Xavier mulai berkata, hingga Laysa menoleh dengan kedua mata sembapnya. “Gavin pasti akan semakin marah, kenapa kamu membawaku pergi dari rumah?” “Kau ternyata masih memikirkan itu.” Xavier menghela napas tipis. “Kalau aku tidak membawamu, apa kau bisa membayangkan apa yang akan dilakukannya padamu tadi?” Laysa terdiam, memang benar yang dikatakan Xavier. Gavin tadi sangat marah, entah apa yang akan dilakukannya jika sudah seperti itu. Bahkan awal pernikahan, lelaki bertubuh jangkung tersebut sangat kasar hingga membuat Laysa merinding takut. “Aku hanya tidak bisa melihat wanita terluka di depan mataku. Maaf kalau aku telah lancang mencampuri u