Di Bali Denita tidak memilh untuk hidup bermewah-mewah walaupun finansialnya mencukupi untuk itu. Dia lebih memilih hidup dengan sederhana karena harus menyimpan lebih banyak uang untuk keperluan melahirkan bayinya dan untuk kehidupan sehari-hari. Apalagi dia belum mencari pekerjaan setelah 7 hari mendarat di tempat ini. Untuk sementara, Denita lebih memilih untuk meluangkan waktunya untuk menjelajahi pantai-pantai yang mudah dijangkau yang ada di Bali. Sebab, selama sekian tahun lamanya, fisik dan batinnya telah terlalu banyak tertekan, Denita memilih untuk merilekskannya untuk sementara waktu. "Dasar Denita bodoh!" gumam Denita pada dirinya sendiri. Dia berniat melupakan segala hal tentang Dominic. Tapi dia justru datang ke tempat dimana dia memiliki kenangan paling indah dengan pria itu. Pantai Jimbaran! Denita menatap ombang yang menggulung di kejauhan dengan perasaan tak menentu. Ingatannya tentang ciuman romantis yang pernah mereka lakukan di sini masih begitu segar dalam in
"Ayo pergi makan. Udara di sini sudah mulai dingin," ujar Dominic seraya bangkit dari posisi duduknya. Setelah membersihkan pasir yang melekat di celananya, Dominic mulai menyodorkan tangannya kepada Denita. "Ayo, jangan melamun!" tegur pria itu sambil mengibaskan tangannya agar Denita segera meraihnya. Mau tak mau, Denita pun meraih tangan Dominic setelah menghela nafas pelan. Pada akhirnya dia memutuskan untuk kembali meletakkan harapan kecil pada pria ini. "Kamu benar-benar yakin kalau kamu ingin menjalani pernikahan ini dengan serius? Bagaimana dengan syarat yang aku ajukan?" tanya Denita memastikan. "Apa kata kamu sajalah!" jawab Dominic dengan acuh tak acuh. Akan tetapi, Denita tidak puas dengan ini. Dia mencengkram tangan Dominic yang masih dalam genggamannya kemudia menahan tangan itu untuk menghentikan langkah Dominic. "Aku serius. Aku tidak mau ketika kita membuat keputusan di sini hari ini, di kemudian hari aku malah melihat kamu jalan bersama dengan wanita lain. Aku
Dikarenakan rasa lapar yang mendera, Dominic mengajak Denita untuk makan malam dulu sebelum kembali ke vila tempatnya menginap. Denita pun menyambut baik ajakan tersebut karena beban di bahunya sudah terasa jauh lebih ringan. Namun, tentu saja Denita belum ingin membiarkan masalah berlalu begitu saja. Dia masih ingin bermain-main dengan pria berstatus suaminya ini. "Katanya cinta. Tapi kenapa sampai butuh waktu tujuh hari lamanya buat kamu untuk menemukan aku di sini?" cibir Denita. Dia sengaja membuat suaranya terdengar meremehkan pihak lain. Dominic yang hendak menyuap makanan ke dalam mulut otomatis memutar matanya jengah. "Aku pikir topik ini sudah selesai," keluhnya. "Hanya kamu yang menganggapnya begitu," balas Denita dengan acuh tak acuh. "Apa kamu tidak tahu apa akibat yang kamu sebabkan dari tindakan melarikan diri kamu ini?" tanya Dominic dengan sedikit nada kesal yang bisa terdengar. Denita lantas menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu!" jawabnya dengan santai. Dia sama
Setalah mengambil liburan dua hari lagi di Bali, Denita kembali ke ibu kota dengan hati riang gembira. Dengan orang-orang yang dia sayangi, Denita merasa hidupnya lengkap. Hubungannya dengan ibu Herlina semakin baik. Kecanggungan yang ada di antara mereka juga perlahan mulai terkikis. "Aku kayaknya melupakan sesuatu deh," ujar Denita ketika dia dan Dominic sedang dalam perjalanan menuju kantor. "Apa? Ada barang kamu yang ketinggalan di Bali?" tanya Dominic. Denita menggeleng pelan. "Bukan itu!" jawabnya."Lalu?"Denita terus memikirkan apa yang sekiranya telah dia lupakan selama ini. Namun, sekerasnya dia mencoba untuk mengingat, ingatan itu seakan semakin jauh darinya. "Lupakan!" sahut Denita seraya menggelengkan kepala pelan. Begitu Denita sampai di kantor. Matanya membelalak menatap sosok sahabatnya yang sedang duduk di balik meja kerja Denita. Denita yang akhirnya menyadari apa yang baru saja dia lupakan seketika menepuk jidatnya. Dia telah melupakan kalau dia belum memberi
Denita yang terlanjur berpikir bahwa hidupnya akan menjadi damai setelah Salsa dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa ternyata salah besar. Di tengah malam, ketika dia sedang tertidur nyenyak bersama Dominic, ponsel yang dia letakkan di atas nakas samping tempat tidur berdering nyaring. "Hermm," Denita menggeram pelan dengan alis yang berkerut di dalam tidurnya. Dengan mata setengah terpejam, Denita meraba nakas yang ada di samping tempat tidurnya untuk mencari benda pipih yang mengeluarkan suara ribut-ribut itu. Tanpa melihat nama orang tidak sopan yang menghubunginya tengah malam begini, Denita menjawab panggilan telepon itu dengan sedikit kesal. "Halo!" jawab Denita dengan nada ketus. "Nit, ini Angga," sapa orang dari seberang. Dengan kening yang berkerut semakin dalam, Denita terdiam sementara untuk mencerna suara orang di seberang. Dia yakin bahwa dia sedang tidak bermimpi, tapi kenapa Angga meneleponnya? " ... "Denita terdiam tidak menanggapi untuk waktu yang lama. Baginya
Keesokan hari Denita menghubungi semua orang yang terkait dengan kehidupan Niko. Dia meminta untuk bertemu dengan mereka. Kemudian pada ibu Herlina, Denita menceritakan masalah mengenai anak dari Salsa dan Dimas itu. "Bagaimana keadaan Niko sekarang?" tanya Ibu Herlina. Suaranya terdengar serak seperti sedang menahan tangis. "Aku juga belum tahu, Ma!" jawab Denita. "Makanya aku minta kita semua berkumpul untuk membahas mengenai masalah ini," lanjutnya. "Oke, dimana?" tanya ibu Herlina. "Aku sudah membicarakan ini sama Arkan. Dia minta untuk kita berkumpul di kediaman Hadiwijaya," jawabku. " ... "Keheningan terjadi di seberang sana. Denita sendiri bisa memperkirakan apa yang kiranya sedang dirasakan oleh wanita paruh baya yang telah melahirkannya itu, ketika dia menyebutkan kediaman Hadiwijaya. "Mama baik-baik aja?" tanya Denita memastikan. "Kalau Mama nggak setuju, nanti kita bahas lagi enaknya bertemu dimana," lanjutnya kemudian. "Mama baik-baik aja kok. Ayo segera kita bahas
"Jangan terlalu cepat mengambil keputusan," tegur ibu Herlina. Hatinya belum terketuk untuk membiarkan putra sulungnya yang belum menikah mengadopsi anak orang lain. Apalagi anak itu adalah anak sekaligus cucu dari orang yang paling dia benci sekarang. Kalau boleh dikatakan secara kasar, lebih baik mengadopsi anak dari panti asuhan daripada harus mengadopsi Niko. "Bu~" panggil Arkan. "Bukannya Niko masih punya kakek dan nenek kandung? Kenapa perawatan atas Niko harus menjadi tanggung jawab kamu?" seloroh ibu Herlina. "Kemana nih, selingkuhan kamu?" lanjut ibu Herlina bertanya pada mantan suaminya. "Aku tidak melihatnya Nyonya barumu dari tadi,"" ... "Wajah pak Hendra yang disindir seperti ini seketika berubah menjadi keruh. "Jangan bilang habis manis sepah dibuang?" tebak ibu Herlina dengan asal-asalan. Namun, wajah keruh yang ditunjukkan oleh mantan suaminya itu membuat ibu Herlina diyakinkan oleh tebakannya sendiri. Tawa nyaring pun terlempar keluar dari bibirnya yang dihia
"Kamu udah janji sama aku, kalo kamu gak akan deketin Mas Angga lagi!"Setelah teriakan penuh amarah itu terdengar, sebuah vas bunga melayang, kemudian mendarat dengan mulus di dahi Denita yang baru saja memasuki pintu ruang tamu. Praaang! Setelah menghantam dahi Denita, vas bunga itu langsung jatuh begitu saja ke atas lantai yang dingin. Sepasang bola mata Denita seketika membelalak kaget. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dia akan menerima sambutan semacam ini setibanya di rumah. Jemari kiri Denita yang gemetar perlahan menyentuh dahi yang perlahan mulai terasa nyeri, hanya untuk mengetahui darah kental sudah menodai ujung jemarinya. Beberapa saat lamanya, Denita hanya berdiri dengan terpana menatap ujung jarinya yang diwarnai merah cerah. Dia juga membutuhkan waktu sekian menit untuk menelaah apa yang baru saja terjadi. Pikirannya kosong, dan jantungnya berdegup dengan liar akibat berbagai macam emosi yang tiba-tiba melanda. "Dasar pelakor!"Denita perlahan mengangk