ログインWARNING! AREA 18+ DI BAWAH UMUR DILARANG MAMPIR. Lily merasa sangat kesepian. Satu tahun belakangan Aldo suaminya mulai berubah. Dia semakin jarang pulang ke rumah. Sikapnya pun semakin cuek. Hingga akhirnya Dewa, sang kakak ipar datang dan memberinya kehangatan.
もっと見るKeluarga Benalu
"Nay, coba kamu tandatangani ini dulu."
Mas Ardan menyodorkan selembar kertas bermaterai begitu aku duduk di kursi makan sepulang kerja. Aku diam sejenak, meneguk air dalam gelas yg kupegang.
"Ayolah cepat." Desaknya.
"Ini kertas apa, Mas?" Tanyaku sambil meraih kertas itu, mulai membaca isinya. Seketika mataku terbelalak.
"Mas mau memindah namakan rumah ini atas nama Mas?"
"Iya. Kenapa? Ini kan rumah Mas juga."
Aku mengusap wajah. Berusaha mencari kata - kata yang tepat agar lelaki di depanku ini tidak tersinggung. Tingkah laku nya sungguh mengerikan kalau sedikit saja amarahnya tersulut.
"Ya Mas. Ini memang rumah kita." Aku memberi penekanan pada kata 'kita'. "Tapi… ini rumah pemberian orang tuaku. Ayah sudah berpesan kalau rumah ini tidak boleh dipindah namakan oleh siapapun selain namaku…"
"Aaah… bacot!"
Lelaki itu menggebrak meja. Aku terlonjak dibuatnya.
"Ayahmu sudah mati Nayma. Apa kamu tidak tahu kalau harta istri itu juga milik suami?"
"Tapi Mas…"
"Aku tidak mau tahu. Kamu tandatangani itu sekarang juga. Atau kamu terima keluargaku tinggal di sini."
Mas Ardan berlalu dengan langkah lebar. Aku meremas kertas itu. Jadi ini alasannya. Dia ingin membawa keluarganya tinggal di sini. Memang beberapa kali dia memintaku menerima Ibunya yang janda dan dua adik perempuannya untuk tinggal di sini. Namun kutolak. 5 tahun menikah dengannya membuatku cukup memgenal bagaimana keluarganya. Lagipula, aku tidak nyaman ada orang lain tinggal seatap denganku. Risih rasanya meski itu ibu mertua. Sebagai gantinya, aku merelakan 70% gaji Mas Ardan untuk mertuaku. Tapi ternyata dia meminta lebih.
Aku memijit pelipis. Mengingat Ibu mertuaku bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Dua minggu tinggal di rumahnya sesaat usai menikah, membuatku memandang buruk pada perempuan bergelar mertua itu. Beliau, perempuan yang otoriter. Dan selalu memandang segala sesuatu berdasarkan harta. Belum lagi dua adik perempuan Mas Ardan yang selalu bertingkah layaknya tuan putri.
"Kalau kau tidak tanda tangan hari ini juga, jangan salahkan aku kalau besok keluargaku kubawa kemari."
Mas Ardan muncul dari dalam kamar dengan pakaian rapi dan wangi. Tangannya meraih kunci mobil di atas meja. Kunci mobilku tentu saja. Dia memberi isyarat lambaian tangan ketika aku ingin menjawab pernyataannya. Tanda tak ingin dibantah.
Aku menyandarkan bahu. Lelah. 5 tahun berumah tangga dengannya, hanya getir yang kudapat. Kalau bukan karena Aryan, putra semata wayangku, mungkin aku sudah menyerah memghadapi lelaki egois dan pemaksa itu. Tapi selalu kutahan karena aku belum mencium jejak perselingkuhan. Pun, meski suka berkata kasar, Mas Ardan tak pernah sekalipun memukulku. Dua hal itulah yang masih membuatku bertahan.
***
Suara gelak tawa riuh keluar dari pintu yang terbuka begitu aku sampai di rumah. Setelah menyimpan mobil di garasi, aku melangkah masuk, namun urung mendapati beberapa pasang sepatu perempuan tergeletak berantakan di depan pintu. Salah satunya bahkan nyangkut di pot bunga kesayanganku.
"Nayma, kamu sudah pulang?" Seorang perempuan setengah baya keluar menghampiriku, dengan raut manis yang jelas akting.
Aku meraih tangannya. Bagaimanapun, dia ibu dari suamiku.
"Mama kapan datang?"
"Siang tadi. Ardan janji mau jemput tapi gak datang - datang. Ya sudah Mama pakai travel saja. Lagipula adik - adikmu sudah tak sabar ingin tinggal di kota."
Aku menoleh dan mendapati Asti dan Ara, adik Mas Ardan sedang asik ngobrol dengan seorang gadis yang tak kukenal. Mereka hanya melambaikan tangan padaku. Bungkus cemilan dan minuman berserakan di meja. Dan… astaga, sepasang kaki Ara bahkan nangkring di sana. Suasana mendadak gerah.
Mama menangkap perubahan raut wajahku. Dia melirik ke meja tamu, dimana gadis - gadis berkumpul.
"Ara, turunkan kakimu nak!"
Gadis itu mendengus, lalu menurunkan kakinya.
"Dan gadis itu siapa?"
"Oh itu Dania, sahabat Asti dari kampung. Dia ternyata kost tidak jauh dari sini. Jadi mereka janjian ketemu. Tidak masalah kan? Toh ini rumah kami juga."
Aku memijit alis. Lalu pamit ke dalam pada Mama. Di ruang tengah aku berpapasan dengan Bik Sum. Tatapan matanya menunjukkan kekhawatiran. Tentu saja, siapa yang tidak cemas jika akan serumah dengan manusia - manusia barbar?
"Sabar ya , Bik." Senyumku.
Di kamar, aku mendapati Mas Ardab tengan mematut dirinya di cermin. Pakaiannya rapi dan necis. Wangi parfum mahal menguar dari tubuhnya. Dia menoleh melihatku masuk.
"Nah, syukur kamu sudah pulang. Seperti kesepakatan kita kemarin, Mama dan adik - adikku akan tinggal di sini bersama kita."
"Kita belum membuat kesepakatan Mas."
Mas Ardan melotot.
"Aku memberimu dua pilihan. Dan kamu memilih tidak tanda tangan. Jadi jangan salahkan aku kalau opsi kedua yang aku ambil.
"Tapi…"
"Dengar Nay, aku tidak mau berdebat. Moodku sedang baik. Kesinikan kunci mobil."
"Mas mau kemana?"
"Aku mau ajak Mama dan adik - adikku jalan - jalan. Kasihan mereka lama tinggal di kampung. Mumpung ada Dania."
Entah, apakah aku salah dengar atau hanya perasaanku saja? Ada binar di matanya saat menyebut nama Dania.
Pasrah, kuberikan kunci mobil. Dari balik jendela, kusaksikan mereka menaiki mobil dengan riang gembira. Sedikitpun tak ada basa - basi menawariku ikut serta. Bahkan Mas Ardan melupakan Aryan.
Dan darahku makin mendidih melihat siapa yang duduk di sampingnya dikursi penumpang. Dania.
***
Next
“Mas Dewa bohong,” protes Lily. Tubuhnya tergunjang hebat akibat hentakan yang dia dapatkan.Sekarang dia tengah memandangi bayangan tubuhnya yang tanpa busana di depan cermin yang ada di kamar mandi. Di belakang tubuhnya, tentu saja ada Dewa yang tengah melesakkan miliknya dengan penuh semangat.“Memangnya aku bohong tentang apa, Sayang?” tanya Dewa dengan suara berat penuh hasrat. Dia masih terus menggerakkan pinggulnya. Sebentar lagi puncaknya akan segera tiba.“Tadi bilangnya cuma mandi bareng, ujungnya Mas Dewa tambah lagi,” ucap Lily yang tengah mencengkeram erat pinggiran wastafel. Dia tidak sepenuhnya protes. Bahkan sekarang dia sangat menikmati apa yang Dewa lakukan.“Maaf, Sayang. Rasanya sangat susah untuk melewatkan tubuh seksi kamu. Tapi bukankah kamu menikmatinya, Sayang?” Dewa sengaja sedikit membungkuk, memberikan gigitan di pundak Lily. Dengan mata menatap nakal ke arah cermin. Menikmati ekspresi Lily yang pasrah berpeluh.“Sangat menikmatinya, Mas. Mas Dewa, Lily mau
Aldo tengah menemani Nila tidur siang. Walaupun ada Nila di dalam dekapannnya, mata Aldo terpusat ke layar ponselnya. Dia sedang menunggu notifikasi pesan dari Lily. Biasanya istri pertamanya itu tidak pernah absen mengingatkannya makan siang. Tak jarang Lily spam hanya untuk cerita tentang hal-hal sepele. Tapi hari ini, tidak ada satu pun pesan datang dari Lily.“Kamu sebenarnya kemana, Ly. Walaupun kamu sering spam tidak jelas, tapi aku merindukan kerandoman kamu itu, Ly. Perjalanan kita begitu panjang sebelum menikah. Kamu sudah banyak kasih aku support. Aku memang tidak seharusnya tergoda pada Nila. Sebenarnya aku sangat mencintai kamu, Lily. Tapi masa jeda karena aku fokus pada Nila waktu itu membuat aku canggung. Aku tidak tahu harus bagaimana untuk mengembalikan keharmonisan pernikahan kita.”Lily memang sering sekali bercerita tentang hal-hal yang tidak penting. Seperti dia bertemu siapa saat belanja di tukang sayur, kejadian lucu yang tidak sengaja terjadi, atau menceritakan
Dewa dan Lily tengah menonton televisi. Lily tengah berada di pangkuan Dewa dengan posisi setengah tiduran. Sementara Dewa tampak sesekali menyuapkan buah-buahan yang sudah dipotong-potong ke mulut Lily. Begitu pula dengan Lily. Mereka saling menyuapkan buah secara bergantian. Layaknya pasangan yang sedang kasmaran.“Mas, Mas Dewa kalau di Batam, pas nggak ke kantor, ngapain aja di rumah?” tanya Lily penasaran.Dia ingin tahu tentang kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Dewa di rumahnya.“Tidur, Ly. Mau apa lagi? Kadang-kadang aku iseng fitness supaya tubuhku semakin sehat. Soalnya selain hari libur, aku nggak bisa olahraga dengan benar." Dewa menjawab pertanyaan Lily dengan senang hati.“Pantesan tubuh Mas Dewa makin bagus berapa tahun nggak ketemu. Rupanya Mas Dewa seneng olah raga.” Lily pun memuji perubahan bentuk tubuh Dewa. Di matanya, lelaki itu memang banyak berubah.“Oh ya? Memangnya perubahan tubuh aku kelihatan banget, ya?” Dewa balik bertanya. Dia memang menyadari banya
Di sebuah gazebo rumah besar sepasang suami istri berumur. Mereka tampak sedang menikmati secangkir teh dan makanan kecil yang terhidang di hadapan mereka. Di bagian samping rumah mereka sedang ada renovasi. Mereka adalah orang tua Dewa dan Aldo, Darto dan Rahma.Walaupun mereka sudah menikah selama tiga puluh lima tahun, Darto dan Rahma masih terlihat romantis. Mereka sering menikmati waktu bersama di setiap kesempatan.“Pah, coba saat santai begini kita ditemani cucu, ya? Pasti lebih bahagia. Lily sudah tiga tahun jadi menantu kita tidak hamil juga. Dewa juga betah sekali menduda. Tahun ini dia sudah lima tahun hidup sendiri. Kalau begini, kapan kita punya cucunya?” celoteh Rahma.Dia memang sudah sangat menantikan kehadiran seorang cucu. Itulah mengapa dia selalu menekan Lily untuk segera hamil.“Mah, mereka baru menikah tiga tahun. Biarkan mereka menikmati masa pengantin baru mereka. Kalau sudah saatnya, Lily pasti hamil.” Darto berpendapat. Dia sendiri tidak terlalu terobsesi unt
“Pagi, Sayang. Aku senang kamu tidur sangat nyenyak dalam pelukanku semalam. Aku sengaja tidak membangunkan kamu karena aku tahu, kamu pasti kelelahan setelah pertempuran kita,” ucap Dewa lembut. Lelaki itu mengusap tangan Lily yang melingkar di perutnya dengan penuh sayang.Lily tersenyum.Dewa memang lelaki yang sangat bisa memahaminya. Bahkan dia dengan sengaja membiarkan Lily menikmati tidur panjang setelah pergulatan nikmat mereka. Dia tidak mungkin bisa melakukan ini kalau bersama Aldo. Boro-boro suaminya itu mau memasak sesuatu, Lily pasti langsung diperintahkan bangun pagi untuk menyiapkan semua keperluan Aldo. Sejak awal menikah memang sudah seperti itu. Bedanya, saat awal menikah, Aldo lebih sering bersikap manis. Jadi Lily tidak merasa kalau semua itu merupakan beban.“Mas Dewa manjain aku banget, sih? Makin sayang jadinya. Makasih ya, Mas. Lily ngerasa beruntung banget bisa ketemu sama Mas Dewa. Maaf ya, lily nggak peka kalau Mas Dewa sebenarnya suka sama Lily dari lama,”
Lily menggeliat, dia membuka matanya perlahan, dan menyadari kalau hari sudah menjelang siang. Dia terbangun karena terganggu dengan suara ponselnya yang terus berdering. Bukannya segera memeriksa siapa yang melakukan panggilan, Lily justru fokus mencari keberadaan Dewa. Lelaki itu sudah tidak ada di sisinya.Setelah itu, barulah dia mengambil ponselnya. Dia berekspresi tidak senang saat mengetahui Aldo yang menelepon. Tumben. Biasanya selalu Lily yang menghubungi lebih dulu. Mengapa pagi ini berbeda? Dengan terpaksa, Lily menekan tombol hijau di layar ponselnya sambil mengatur posisi terbaik supaya dia bisa menerima panggilan dengan nyaman.“Pagi, Mas.” Lily menyapa dengan nada dibuat seceria mungkin.“Lama sekali angkat teleponnya, Ly? Kamu kemana saja? Aku sudah bilang, kan? Jangan jauh-jauh sama ponsel. Kamu tahu sendiri, aku nggak suka nunggu lama,” omel Aldo dari ujung sana. Sungguh sangat mengganggu pendengaran Lily.“Aku baru bangun, Mas. Semalam aku nonton drama sampai lupa w






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
コメント