WARNING : 21+ Diusianya yang menginjak 23 tahun, Denita Widiatami mengetahui bahwa dia sebenarnya adalah anak dari orang kaya yang ditukar oleh seorang pembantu ketika dia baru dilahirkan. Diusinya yang ke 26 tahun, Denita dipaksa harus merelakan pria yang dia cintai untuk menikah dengan orang yang dia benci. Pada akhirnya, dia harus berpuas diri dengan hanya menjadi simpanan pria itu. Diusianya yang menginjak 30 tahun, Denita mengetahui bahwa hati pria yang dicintainya itu telah berpaling darinya. Jatuh pada orang yang lagi-lagi dia benci. Denita merasa dikhianati, harapan untuk bahagia yang telah lama dinanti sirna seketika. Denita muak dengan kehidupannya, dan hatinya pun mulai mati rasa. Disaat dia berniat hanya untuk menunggu mati, kehadiran bos barunya yang memiliki misi sama dengannya membangkitkan harapan Denita. Untuk membalas orang-orang yang telah menyakitinya itu, Denita bahkan rela menjalani pernikahan kontrak dengan bos yang baru dia kenal. 'Jika aku tidak bisa bahagia, kenapa aku harus rela melihat mereka semua bahagia?' pikir Denita. Lantas dimulailah perjalan seorang Denita Widiatami menjadi pemeran antagonis dalam kisah banyak orang. Berhasilkah Denita membalas orang-orang yang telah menyakitinya itu? Atau mungkinkah dia bisa mendapatkan bahagia yang dia dambakan bersama sang bos? Bagaimana kelanjutan kisah mereka?
View More"Kamu udah janji sama aku, kalo kamu gak akan deketin Mas Angga lagi!"
Setelah teriakan penuh amarah itu terdengar, sebuah vas bunga melayang, kemudian mendarat dengan mulus di dahi Denita yang baru saja memasuki pintu ruang tamu.Praaang!Setelah menghantam dahi Denita, vas bunga itu langsung jatuh begitu saja ke atas lantai yang dingin. Sepasang bola mata Denita seketika membelalak kaget. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dia akan menerima sambutan semacam ini setibanya di rumah.Jemari kiri Denita yang gemetar perlahan menyentuh dahi yang perlahan mulai terasa nyeri, hanya untuk mengetahui darah kental sudah menodai ujung jemarinya.Beberapa saat lamanya, Denita hanya berdiri dengan terpana menatap ujung jarinya yang diwarnai merah cerah. Dia juga membutuhkan waktu sekian menit untuk menelaah apa yang baru saja terjadi. Pikirannya kosong, dan jantungnya berdegup dengan liar akibat berbagai macam emosi yang tiba-tiba melanda."Dasar pelakor!"Denita perlahan mengangkat pandangannya pada sosok yang berdiri di seberang. Darah di dahinya sudah mengalir pelan melewati mata, kemudian mengalir hingga ujung dagu, dan berakhir menetes pelan mengotori blouse-nya yang berwarna putih.Mendengar kata-kata yang dilontarkan wanita di depannya membuat wajah Denita terdistorsi. Ditatapnya wanita cantik yang sedang mengambil langkah kesal ke arahnya. Mata merah wanita itu terlihat menyeramkan dengan garis air mata yang belum mengering di pipinya.Dialah Salsabila Hadiwijaya, wanita yang paling Denita benci. Orang yang telah mengambil segala hal yang seharusnya menjadi miliknya."Aku gak pernah menjanjikan apapun sama kamu!" cibir Denita dengan amarah dalam dada yang kian membuncah.Tapi dia bahkan harus menggigit bibir bawahnya, dan mengepalkan jemari tangannya dengan keras hingga buku jarinya memutih untuk menekan amarah itu."Tapi Mas Angga itu suamiku!" geram Salsa dari balik giginya yang terkatup rapat"Terus?" balas Denita dengan ketus.Akibat suara pecahan kaca yang terdengar nyaring menghantam lantai, mengundang rasa penasaran para penghuni rumah. Suara langkah kaki satu demi satu terdengar buru-buru menghampiri ruang tamu di mana mereka berada."Ada apa ini?!""Nit, kamu apain Salsa?!"Mendengar berondongan pertanyaan itu membuat Denita ingin memutar matanya ke atap. Apa orang-orang ini tidak melihat bahwa dia adalah orang yang terluka di sini?Ujung bibir Denita berkedut ingin memuntahkan kalimat makian. Tetapi dia masih lebih memilih kesabaran."Ma! Dia selingkuh sama Mas Angga lagi!" ujar Salsa.Dia seraya menunjuk wajah Denita dengan jari telunjuknya yang lentik. Tak lupa, dia juga menghentakkan kakinya persis seperti anak kecil yang sedang merajuk. Denita mendengus dingin."Denita ... ""Mama gak merasa bersalah sama aku karena ngebelain dia terus?" potong Denita getir.Helaan nafas berat lolos dari hidungnya saat melihat tatapan menuding wanita paruh baya yang langsung mengambil tempat di sisi Salsa.Dia sudah tidak tahan lagi. Dia paling benci jika wanita paruh baya yang dipanggil Mama ini mengeluarkan jurus memelas. Memanfaatkan hatinya yang mudah merasa bersalah."Kamu kan tahu kondisi Salsa tidak stabil. Kenapa ngalah aja gak bisa! Berantemin cowok terus kayak di dunia ini gak ada cowok lain aja!" bentak ayahnya menusuk hati Denita.Sentakan yang terdengar tiba-tiba ini membuat mata Denita mengerjap beberapa kali. Dia menatap tak percaya pada ayahnya sendiri.Sambil menahan rasa sakit yang datang dari dahinya, Denita menggertakkan gigi. Dia melipat kedua tangannya di depan dada, penuh dengan aura menantang."Heh!" dengusan dingin terlempar dari bibirnya."Coba ngomong sama dia tuh. Di antara banyaknya laki-laki di dunia ini, kenapa dia harus menginginkan calon suamiku?" tunjuk Denita pada Salsa dengan menggunakan ujung dagunya. Tatapan meremehkan juga berkilat dari sepasang netra hitam cemerlangnya."Itu semua 'kan masa lalu. Sekarang Salsa, dan Angga sudah menikah. Seharusnya kamu tidak lagi mengganggu hubungan mereka dong," nada halus yang keluar dari bibir wanita paruh baya itu membuat Denita semakin muak.Sepasang manik hitam Denita menatap pasangan paruh baya di depannya dengan sorot mata semakin tak percaya. Nafasnya naik-turun dengan cepat. Sekuat tenaga dia mencoba menenangkan amarah yang mulai mendominasi dalam hatinya, mendinginkan panas yang bersarang dalam dadanya.Tangan Denita juga sudah mengepal erat hingga buku jarinya memutih. Kukunya yang panjang pun tak terhindarkan menembus ke dalam kulit telapak tangannya sampai memerah, meninggalkan jejak berbentuk bulan sabit yang semakin dalam.Menjadi bagian dari keluarga ini membuat Denita sangat lelah. Selama ini, dia sudah berusaha menahan diri agar sisi gelap dalam hatinya tidak semakin mendominasi, tapi dia selalu dituntut untuk menjadi pemeran antagonis dalam cerita orang-orang. Terutama Salsa!"Sepertinya hati nurani kalian sudah dimakan anjing!" maki Denita sinis.Ditatapnya orang-orang di ruang tamu ini dengan sorot mata penuh kebencian yang tak bisa lagi dia sembunyikan. Memangnya apa yang bisa dia harapkan dari keluarga yang tak pernah berpihak padanya ini?Tidak peduli seberapa kecewa dan perih hatinya, Denita menolak untuk menunjukkan kelemahannya pada mereka. Bahkan meski matanya mulai terasa panas, dan keinginan untuk menangis terasa mendesak ingin keluar. Dia menolak untuk menyerah."Sebelum wanita ini semakin di luar kendali, kenapa kalian tidak membawanya ke rumah sakit jiwa saja?" keluh Denita sembarangan."DE-NI-TA!"Salsa meraung tak terima dengan ucapan terakhir Denita. Mendengar orang-orang mengatakan bahwa dia memiliki masalah terhadap kejiwaan telah menyulut rasa sakitnya.Ketika semua orang lengah, Salsa mengambil langkah cepat setengah berlari, dan langsung menerjang Denita yang mulai pusing karena darah yang terus mengalir dari dahinya."Jalang tak tahu diri!" maki Salsa dengan segenap emosi yang ada dalam dirinya.Dia sudah bersiap melayangkan tamparan ke arah Denita, tapi segera ditangkis oleh yang bersangkutan.Dengan sisa kekuatan yang dia miliki, Denita langsung menggerakkan tangannya untuk mendorong Salsa dengan sekuat tenaga."Salsa!""Salsa!"Ayah dan ibunya berteriak secara serentak. Mereka langsung menahan tubuh Salsa sebelum tubuh ringkih itu jatuh ke lantai. Sepasang orang tua penyayang itu seketika melemparkan tatapan tak puas mereka pada Denita."Arrggghhh!"Jerit Denita sambil mengacak rambutnya hingga berantakan. Sebelum ada yang mengomentari tindakannya, Denita langsung angkat kaki dengan membanting pintu ruang tamu hingga kaca jendela bergetar.Dadanya naik turun semakin tak terkendali. Berkali-kali dia menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan. Dia berharap dengan begitu mampu meredakan amarahnya yang menggebu.Semilir angin malam ini membelai luka Denita yang masih terbuka. Lagi-lagi dia harus menggertakkan gigi menahan rasa sakit yang menusuk-nusuk kepalanya sejak tadi.Sambil berjalan gontai, dia melangkah menuju mobil CRV putihnya yang terparkir di depan gerbang. Dilemparkannya rasa kecewa dan sakit hatinya jauh di belakang kepala.Sekarang yang paling penting baginya adalah mengobati luka yang semakin terasa perih. Denita mulai menginjak pedal gas, membelah jalanan malam yang meski tidak terlalu ramai, tapi tidak bisa dikatakan lengang juga.Sambil menyetir dengan kecepatan sedang, Denita terus berusaha untuk menghubungi Angga. Dia ingin melaporkan tindakan bar-bar istri pria itu. Namun, berkali-kali dia mencoba. Berkali-kali juga dia hanya dijawab oleh operator."Sialan!" maki Denita dengan geram.Dia melemparkan ponselnya ke kursi penumpang samping, dan terus memacu kendaraannya di jalan raya. Denyutan di kepala Denita mulai terasa semakin menyakitkan, apalagi dengan kondisi darah yang terus mengalir menutupi sebagian wajahnya. Bahkan dia tidak menyadari bahwa laju kendaraannya mulai bergerak zig-zag.Di tengah kesadaran yang hampir hilang, Denita beruntung masih bisa menginjak rem dengan keras. Dia bahkan masih sempat menurunkan kaca mobil untuk mengucapkan maaf pada pengendara lain yang saat ini sedang menggedor kaca mobilnya dengan keras."Denita?"Sebelum kesadarannya benar-benar lenyap, Denita mendengar sayup-sayup suara seorang pria memanggil namanya.'Angga?' Denita membatin penuh harap.* * *"Mas, si Dominic sialan itu melaporkan aku ke polisi. Kamu tolong bebaskan aku!" seloroh Bik Ayu sesaat setelah sambungan teleponnya terhubung."Memangnya apalagi yang kamu lakukan?" tanya Pak Hendra dari seberang telepon."Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya tidak ingin melihat anak sialan itu bersenang-senang. Kenapa dia boleh berbahagia, sementara anakku sendiri gila?!" bentak Bik Ayu tanpa memedulikan dimana dia berada. "Kalau kamu tidak melakukan apa-apa, kenapa kamu bisa berakhir di kantor polisi? Aku sudah muak dengan kalian semua. Kamu jangan ganggu aku lagi. Namaku sudah cukup tercoreng gara-gara kamu. Berhubungan denganmu adalah kesalahan terbesar yang pernah aku lakukan dalam hidup ini," geram Pak Hendra. Dia lalu menutup telepon tanpa ada niat untuk memperdulikan nasib yang akan menimpa Bik Ayu."Mas Hendra? Mas Hendra!" Bik Ayu berteriak sambil membanting telepon milik kantor polisi. "Ibu tolong tenang!" tegur salah seorang polisi yang bertugas menangani kasusnya."T
Melalui data diri yang dibubuhkan Bik Ayu dalam surat lamaran kerjanya, orang suruhan Dominic terus mencari keberadaan wanita itu. Tentu saja rumah kediaman keluarga Hadiwijaya juga tidak luput dari target pencarian. Pada akhirnya, tidak sulit bagi orang suruhan Dominic untuk menemukan wanita yang sudah membuatnya sangat marah itu. Bik Ayu memang ditemukan di rumah keluarga Hadiwijaya. Dan atas perintah Dominic, wanita itu digelandang dengan paksa menuju kantor polisi. "Lepaskan aku! Ini pemaksaan!" seru Bik Ayu. Dia memberontak dengan keras. Namun, tenaga setengah tuanya tentu saja kalah dengan tenaga para laki-laki suruhan Dominic itu."Lepaskan aku!" teriak Bik Ayu bahkan meski dirinya sudah berada di kantor polisi.Dominic yang sedang membuat laporan hanya menatap sekilas pada wanita yang terlihat menyebalkan itu. "Ini dia orang yang ingin saya laporkan. Dan saya tidak ingin adanya upaya damai. Tolong hukum dia sesuai dengan undang-undang yang berlaku," pungkas Dominic."Apa y
Aksi Dominic yang mengumpulkan para cleaning service di lobi kantor menarik rasa penasaran para karyawan lain mengenai apa yang tengah terjadi.Namun, Dominic tidak mau ambil pusing soal mereka untuk saat ini. Biarkan saja mereka mengatakan apapun yang mereka inginkan. "Berikan data cleaning service yang masih aktif bekerja di sini," tukas Dominic begitu staff HRD di perusahaannya tiba.Tanpa banyak bertanya, sang staff langsung memberikan apa yang diinginkan oleh Dominic. Dia pun langsung melakukan pemindaian cepat pada tumpukan dokumen yang dibawakan padanya. Sampai kemudian matanya menangkap sosok familiar yang membuatnya menggertakkan gigi dengan keras."Ayu Hapsari?!" gumam Dominic dengan marah.Dia pikir musuh bebuyutan istrinya ini sudah menyerah dan kapok mencari masalah dengan mereka. Tapi siapa yang menyangka kalau ternyata wanita ini sedang membuat rencana jahat di bawah hidungnya."Dimana wanita bernama Ayu Hapsari ini?" tanya Damian seraya menatap satu per satu wajah yan
"Dok, bagaimana kondisi istri dan calon anak saya?" "Dok, bagaimana kabar menantu dan cucu saya?""Dok, bagaimana kabar anak dan cucu saya?"Dominic, ibu Herlina dan ibu Evelyn berhamburan menghampiri dokter yang baru saja memberi penanganan pada Denita. Mereka bertiga langsung merongrong sang dokter dengan berbagai pertanyaan. Melihat wajah khawatir ketiga orang di depannya, sang dokter hanya tersenyum simpul. "Nona Denita baik-baik. Dia hanya terlalu shock dan butuh istirahat yang baik," jawab dokter."Serius, Dok?" tanya Dominic tidak benar-benar lega.Dengan sabar dokter itu mengangguk. "Iya," "Lalu cucu kami gimana, Dok?" tanya ibu Herlina."Bayi di dalam kandungan Nona Denita juga baik-baik saja. Untung langsung segera dibawa ke rumah sakit sehingga dapat dengan cepat ditangani. Jadi kondisinya tidak terlalu mengkhawatirkan," ucap Dokter menjelaskan."Syukurlah,""Terima kasih, Dok!""Iya, sama-sama,"Setelah kepergian dokter yang menangani Denita, baik ibu Herlina dan ibu Ev
Dengan bibir cemberut, Denita keluar dari ruangan Dominic menuju meja kerjanya. Pakaian ganti yang agak sempit membuat setiap pergerakannya menjadi tidak nyaman. Dan karena suasana hati yang tidak terlalu baik, Denita tidak memperhatikan ada tetesan cairan berwarna biru di samping kaki mejanya. Tatkala kakinya menginjak cairan itu, tubuh Denita limbung ke belakang. Dia menjerit dengan panik dan berusaha mencari pegangan. Akan tetapi, tangannya hanya bisa menggapai udara yang kosong. "Arrrrrgggghhhhh!!!" BRUUUK, Suara tubuhnya yang menghantam lantai begitu keras hingga membuat Dominic yang ada di dalam ruang kerjanya terkejut setengah mati. "Denita!" serunya. Tanpa membuang-buang banyak waktu, dia langsung berlari menuju sumber suara. Sosok sang istri yang terbaring di atas lantai sambil memegangi perutnya membuat sepasang netra Dominic membulat lebar. "Denita!" serunya. "Sakiiiitttt," keluh Denita. Air mata menitik deras dari pelupuk matanya. Rasa panik akan bayi di
Setelah masalah Niko selesai, Denita akhirnya bisa menjalani hidupnya dengan tenang. Dia juga bisa menikmati kehamilannya dalam damai tanpa adanya drama yang berliku-liku. Bahkan diusia kandungan yang sudah menginjak delapan bulan, dia masih semangat bekerja."Babe, kamu berhenti kerja aja ya. Perut kamu sudah mulai buncit. Pergerakan kamu juga sudah tidak luwes lagi. Sebaiknya istirahat di rumah," Ucapan Dominic ini langsung membuat bibir Denita maju beberapa senti. Dia tidak tahu apakah ini karena faktor kehamilan atau bukan. Akan tetapi, dia mulai menerjemahkan kata-kata orang dengan cara yang berbeda. Seperti sekarang ini, dia tiba-tiba merasa bahwa ucapan suaminya memiliki arti yang negatif. "Jadi kamu merasa terganggu karena perutku yang buncit?" tanya Denita dengan nada merajuk. Suaranya bahkan terdengar tercekat seperti sedang menahan tangis."Bukan begitu," tukas Dominic dengan segera. "Aku hanya takut kalau kamu akan kelelahan. Aku nggak mau kamu dan anak kita kenapa-kenap
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments