“Baik Bibi. Bibi jangan cemas, aku akan menjaga dia dengan baik, setidaknya sampai Paman pulang.”
Alex berdiri di dekat jendela, satu tangan memegang ponsel yang menempel di telinga. Dia sedang bicara dengan Evelia, karena wanita itu menghubungi untuk menanyakan keberadaan Selena yang malam tadi kabur lagi. Dalam hal ini Alex tidak bisa berbohong akan kondisi dan hal yang menimpa Selena, karena Evelia sendiri tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi, hingga membuat Alex berpikir untuk jujur agar wanita itu tidak semakin cemas.
“Bibi percaya padamu, Lex. Tolong jaga dia untuk sementara,” pinta Evelia dari seberang panggilan.
“Tentu.” Panggilan itu pun berakhir, Alex menatap layar ponsel di mana nama Evelia tampak di layar.
Alex kemudian menoleh Selena yang duduk di ranjang menatap dirinya, gadis itu tampak menunggu Alex memberitahu apa saja yang dibicarakan dengan Evelia.
“Mommy bilang apa?” tanya Selen
Evelia pergi ke rumah orangtua Alex ketika matahari sudah menampakkan diri di ufuk timur. Dia merasa cemas akan hal yang menimpa putrinya, Evelia tidak ingin terjadi sesuatu kepada gadisnya.“Ada apa? Kenapa kamu datang sepagi ini dan tampak begitu cemas?” tanya Claira—Ibu Alex saat melihat Evelia sudah duduk di ruang tamu dan menunggu.Claira dan Sean masih tidur saat pelayan rumah mengetuk pintu dan menyampaikan jika Evelia datang.Sean pun terkejut dan duduk bersama istrinya untuk mendengar maksud kedatangan Evelia ke sana.Evelia menatap Claira dan Sean bergantian, sungguh tidak tahu harus memulai dari mana untuk bicara. Dia tidak memiliki siapa-siapa selain orangtua Alex, sebab itulah Evelia pasti akan datang ke rumah itu jika ada masalah.“Ini tentang Selena,” ucap Evelia.Claira dan Sean saling tatap, sebelum kemudian memandang Evelia bersamaan.“Ada apa dengan Selena?” tanya Sean penas
Pernah ada sebuah impian, di mana dalam sebuah ingatan itu terpatri indah akan sebuah janji yang belum pasti akan ditepati. Meski hanya setitik, dia masih berharap jika janji itu benar, bahwa tangan yang dulu selalu menggenggamnya itu akan membawa dan menuntun ke sebuah altar juga impian yang indah.“Kapan aku berjanji akan menikahimu?” tanya Alex yang memang tidak ingat jika pernah mengucapkan janji kepada Selena.“Kamu lupa atau pura-pura lupa!” sembur Selena kesal.“Lupa,” ucap Alex dengan jujurnya.Selena geram karena Alex berkata lupa, sedangkan dia berharap pria itu hanya pura-pura lupa.“Musim dingin, di bawah pohon natal. Aku bertanya, apa kamu mau menikahiku karena itu impianku, lalu kamu menjawab jika akan menikahiku jika sudah dewasa. Kamu bahkan berjanji takkan lupa. Nyatanya malah kamu tidak menikahiku, tapi terus bermain-main dengan banyak wanita!” gerutu Selena begitu selesai mengingatk
Selena duduk bersandar head board sambil menatap Evelia. Wanita yang sudah melahirkannya itu sejak tadi hanya diam dan tidak mengucapkan satu kata pun.“Mom marah denganku?” tanya Selena, mencoba melihat tatapan Evelia yang tertunduk .Evelia menarik napas panjang, lantas mengembuskan perlahan. Dia menatap Selena yang sejak tadi sudah memandang.“Mom and Dad, sudah memutuskan untuk menjodohkanmu, menikahkanmu secepat mungkin,” ujar Evelia menyampaikan hal yang seharusnya akan disampaikan jika sang suami sudah pulang. Namun, kejadian yang dialami Selena membuat Evelia berpikir untuk memberitahu terlebih dahulu agar Selena mengerti.Selena terkejut dengan kedua bola mata membulat lebar, menatap Evelia dengan rasa tidak percaya karena akan dijodohkan.“Aku tidak mau menikah karena perjodohan!” tolak Selena dengan suara begitu keras, bahkan suaranya menggema hingga keluar ruangan.Di luar ruangan Alex dan yang lain langsung menatap ke arah pintu kamar gadis itu, ketiganya hanya bisa diam
Archie baru saja turun dari pesawat dan langsung pergi ke rumah sakit untuk melihat kondisi Selena. Dia berjalan dengan tergesa-gesa di koridor rumah sakit, hingga langkah terhenti saat melihat kedua orangtuanya juga ada di sana.“Mati aku!” Archie memejamkan mata, kemudian memutar langkah untuk menghindari kedua orangtuanya.Claira yang sedang memalingkan wajah, melihat sosok putra keduanya yang sedang memutar badan. Wanita itu langsung berdiri dan meneriaki nama putranya itu.“Archie!” Sean dan Alex langsung memandang ke arah Claira melihat, mereka melihat pemegang nama termuda di keluarga Sayaka itu di koridor rumah sakit.Archie memejamkan mata sekilas seraya mendesis pelan, lantas memutar badan lagi dan kini tersenyum lebar ke arah tiga keluarganya. Akhirnya dengan terpaksa Archie berjalan mendekat ke arah keluarganya itu, dia menggaruk kepala tidak gatal berulang kali.Claira senang melihat putranya itu akhirnya pulang, tapi kemudian merasa kesal karena pastinya Archie langsung
Evelia keluar dari ruangan Selena, tampaknya sang putri enggan bicara lagi dengannya. Dia melihat Archie yang ternyata juga di sana, membuat Evelia langsung menghampiri putra kedua keluarga Sayaka itu. “Pulang kapan?” tanya Evelia. Archie langsung membungkuk memberi hormat. “Baru saja dan langsung ke sini,” jawab Archie. Saat Evelia berbincang dengan Archie, Alex menatap pintu kamar Selena, sebelum kemudian memilih untuk masuk dan melihat kondisi gadis itu. Alex melihat Selena yang berbaring dengan posisi miring menghadap ke jendela. Dia mendekat tapi tidak bersuara, hanya terdengar derap langkah kaki yang menggema di ruangan itu. “Jika kamu datang untuk membujukku menikah, maka lupakan saja!” Sepertinya Selena tahu siapa yang masuk ke ruangannya. “Kenapa semalam tidak jantungku saja yang tertembak,” ucap gadis itu lagi dengan suara sedikit gemetar. Alex tahu jika gadis itu pasti menangis, karena itulah berbaring memandang ke arah jendela. “Apa baik bicara seperti itu?” tanya Al
“Bagaimana kondisi Selena?”Lukas Steward—ayah Selena, berada di mobil bersama Evelia dan kedua orangtua Alex.“Kondisinya baik, meski terkena luka tembak di bahu,” jawab Evelia.Sean yang duduk di belakang kemudi, melirik Lukas yang duduk di sebelahnya.“Kamu yakin dengan keputusan untuk menjodohkannya?” tanya Sean, menoleh sekilas ke Lukas.Lukas melirik ke spion, melihat sang istri yang duduk di belakang dengan wajah cemas.“Yakin, karena itu yang terbaik,” jawab Lukas mantap.**Archie keluar dari kamar Selena, melihat sang kakak yang duduk di kursi selasar panjang di koridor rumah sakit. Dia pun berjalan mendekat, hingga kemudian ikut duduk di samping sang kakak.“Apa dia sudah tenang?” tanya Alex, melirik sang adik yang baru saja duduk.“Ya, dia bilang mengantuk dan ingin tidur, karena itu aku tinggal,” jawab Archie.Alex me
Alex dan beberapa orang tampak berada di mobil yang kini sedang melesat ke suatu tempat di pinggiran kota. Mereka pergi dengan satu mobil lain, satu mobil berisi lima orang yang sekarang sudah berpakaian serba hitam.“Seharusnya kamu tidak perlu ikut,” ucap salah satu pria yang berada di satu mobil dengan Alex.Alex mengusap bodi pistol yang dipegangnya, kemudian membalas, “Aku ingin meluapkan kemarahanku sendiri.”Pria yang duduk di sebelah Alex memilih diam, jika putra Sean Sayaka itu sudah berucap demikian, maka tidak akan ada yang bisa membantahnya lagi.Mobil mereka pun hampir sampai di pinggiran kota, di mana ada sebuah bangunan tua yang memiliki penerangan sangat minim. Sang sopir mematikan lampu utama mobil, kemudian agak jauh dari gerbang masuk gedung itu.Semua yang berada di mobil langsung menggunakan penutup wajah, termasuk juga Alex. Mereka keluar kemudian berjalan ke arah gerbang utama agar bisa masuk ke gedung
Di sudut kota Paris, di sebuah rumah mewah dengan halaman yang begitu luas dan pagar tembok tinggi mengelilingi area rumah mewah itu. Seorang pria tampak menggenggam erat ponsel di mana baru saja ada sebuah panggilan yang baru diterimanya.“Sialan!” teriak pria itu kesal sambil membanting ponsel ke lantai, membuat benda pipih itu menghantam lantai sangat keras, sampai pada akhirnya hancur dan berserakan di lantai.Dada pria itu naik turun tak terkendali, amarah tengah membuncah setelah bicara dengan seseorang di seberang panggilan. Sorot matanya memperlihatkan kilatan-kilatan yang siap menyambar, kedua telapak tangan mengepal di samping tubuh begitu kuat hingga kuku-kuku tampak memucat.Pria bermata kehijauan dengan rambut cokelat muda itu, mengingat setiap ucapan pria dari seberang panggilan.“Jangan hanya berani kepada wanita. Apa yang aku lakukan sekarang hanyalah sebuah peringatan, tampaknya barang di gudang ini hanya secuil dari harta yang kamu punya, jadi jika aku membakarnya, t