Biarkan Qianyi bermimpi indah 🤣
Anli menarik napas dalam, menenangkan pikirannya. Wajahnya tetap pucat, tapi suara yang keluar dari bibirnya terdengar jernih dan penuh keyakinan.“Sejak aku mendengar suara itu… aku sudah tahu,” ujarnya pelan. “Itu suara tongkat perak Madam Qin. Aku tidak mungkin salah. Pendengaranku tidak bisa dibohongi.”Anli melanjutkan, nada suaranya semakin yakin.“Jejak Madam Qin hilang begitu saja. Seolah ada yang bertindak rapi agar tak seorang pun bisa menemukannya. Aku sudah memikirkannya berkali-kali… sampai akhirnya aku menduga hanya ada satu orang yang cukup kuat, cukup berani, dan cukup punya alasan untuk melakukannya.”Ia menoleh ke arah suara kakaknya, meski matanya tetap kosong.“Kakak yang menyembunyikan Madam Qin, bukan?”Hening panjang kembali menyelimuti. Zhenrui menutup mata sejenak, lalu membukanya lagi, sorotnya tajam namun berlapis beban. Akhirnya ia menoleh dan membuka suara.“Kau memang cerdas, Anli. Terlalu cepat menebak sesuatu yang seharusnya masih kusimpan.” Zhenrui men
Zhenrui menutup panggilan teleponnya, sorot matanya langsung tajam menusuk Haoran.“Qin Haoran, kau ikut denganku menemui Lin Qianyi. Aku ingin mendengar langsung apa yang dimaksud dengan ‘bukti’.”Haoran mengangkat wajah, cemas. “Yang Mulia, izinkan saya—”Zhenrui mengangkat tangan, menghentikan kata-kata itu. “Tidak ada izinkan. Kau ikut, atau aku akan menganggapmu sengaja menghalangi penyelidikan.”Isyarat kecil diberikan. Dua pengawal mendekat, menggenggam lengan Haoran dari kanan dan kiri. Meski tidak kasar, genggaman itu cukup tegas membuatnya tak bisa bergerak bebas. Haoran hanya bisa menghela napas berat, wajahnya muram, lalu membiarkan dirinya digiring keluar lebih dulu.Pintu ruang 203 tertutup kembali, menyisakan Zhenrui dan Anli. Suasana sejenak hening. Hanya suara mesin monitor yang berdetik pelan.Zhenrui mendekat ke ranjang, menatap adiknya lama.“Anli, jaga dirimu,” katanya pelan, tangannya terulur mengusap kepala adiknya, kebiasaan lama yang jarang sekali ia tunjukkan
Haoran masih terpaku. Wajahnya kaku, seolah baru saja dihantam petir. Kata-kata Anli tentang “dibeli” masih bergema di kepalanya. Emosinya campur aduk. Marah pada Yuze, syok, dan rasa bersalah pada menantu yang selama ini ia biarkan menderita.Zhenrui melangkah maju. Ia berdiri di depan ranjang, tubuhnya tegap, sorotnya dingin menusuk. Seolah menegakkan tembok antara Anli dan seluruh dunia.“Cukup!” ucapnya tegas, nada suaranya datar tapi membawa bobot otoritas seorang raja.“Anli tidak akan terus berada dalam tekanan keluarga Qin. Aku, sebagai Raja Muda, memerintahkan agar proses perceraian dipercepat.”Kata itu jatuh bagai palu. Tak ada ruang untuk bantahan.Haoran terkejut, menoleh cepat ke arah Zhenrui. “Yang Mulia… mohon dipertimbangkan. Perceraian ini bukan hanya urusan pribadi. Reputasi keluarga Qin, juga stabilitas politik, semua akan terdampak. Jika berita ini keluar, para lawan politik bisa menjadikannya senjata—”Namun kalimatnya terputus ketika Zhenrui menoleh, tatapannya
Lobi Heping Medical Center terasa sunyi dan antiseptik. Bau obat menyambut begitu pintu kaca terbuka. Beberapa pasien duduk di kursi tunggu, perawat lalu-lalang dengan tablet digital di tangan.Namun suasana berubah ketika Zhenrui masuk bersama dua pengawal. Langkahnya mantap, sorot matanya dingin. Orang-orang di lobi refleks menyingkir, seolah memberi jalan tanpa disuruh.Ia langsung menuju meja resepsionis. “Seorang gadis dibawa masuk sekitar setengah jam lalu,” ucapnya datar, nadanya lebih mirip perintah daripada pertanyaan. “Usianya awal dua puluhan, buta. Rambut hitam.”Resepsionis wanita muda dengan seragam biru terlihat gugup. Ia cepat membuka layar terminal, jari-jarinya bergetar mengetik. “Be… benar, Tuan. Pasien itu baru saja didaftarkan oleh seorang gadis muda. Mereka ada di ruang periksa lantai dua, nomor 203.”Zhenrui tidak menjawab. Ia hanya mengangguk tipis, lalu berbalik. Dua pengawalnya segera mengikuti di belakang, mengiringi langkah cepat menuju tangga.Lorong lan
Mereka bergerak cepat ke ruang kendali keamanan. Deretan layar menampilkan sudut-sudut istana. Lorong, pintu gerbang, taman dalam. Petugas keamanan memutar ulang rekaman sejak pagi.Beberapa menit berlalu. Lalu sebuah adegan muncul. Sosok Anli terekam berjalan perlahan melewati jalan setapak menuju sisi timur istana. Rambutnya terikat rapi, gaun sederhananya tampak jelas. Tidak ada yang aneh, kecuali satu hal: ia berjalan sendirian, tanpa pengawal, dan langkahnya seperti mengikuti sesuatu yang tak terlihat.Haoran menegang. “Itu… dia keluar dari batas area istana.”Zhenrui menatap layar lekat-lekat. Rahangnya mengeras. “Perbesar!”Gambar diperbesar. Suara ketukan tongkat samar-samar terdengar lewat sensor audio jarak jauh. Anli tampak menoleh, seolah mengikuti suara itu, sebelum perlahan menghilang dari pandangan kamera di sisi gerbang kecil yang jarang digunakan.Ruangan hening.Zhenrui akhirnya bersuara, dingin, tegas, seperti pedang yang baru ditarik dari sarung.“Cek seluruh CCTV
Pagi merekah di istana, jauh lebih tenang dibanding hiruk-pikuk pesta siang kemarin. Angin tipis menyapu halaman, membawa sisa aroma bunga dari taman luar. Burung-burung kecil berani kembali berkicau, seolah semalam tak pernah ada keramaian ribuan tamu.Anli berdiri di kebun herbal yang dulu pernah menjadi milik ibunya, Sua Luqi. Jemarinya meraba perlahan daun mint yang masih basah oleh embun. Tanaman-tanaman di sana tetap tumbuh rapi, meski waktu sudah lama bergulir. Ada jejak masa lalu yang melekat di setiap helai, membuat dadanya terasa penuh.Ia menunduk, menarik napas panjang hingga paru-parunya penuh dengan aroma tanah dan dedaunan. Batinnya berbisik lirih.“Mungkin lama lagi aku bisa menginjak tempat ini.”Siluet tubuhnya berdiri tenang, tapi wajahnya tampak lelah. Sisa penat dari pesta kemarin masih membekas di bahu dan kakinya. Semalaman ia harus berdiri, menahan senyum, mengendalikan diri di tengah sorotan kamera dan tatapan para bangsawan. Meski begitu, sikapnya tetap terja