Bab 8 Menikahi Mbak Hantu
Pagi ini Dika dibolehkan pulang oleh dokter dari rumah sakit. Dika memutuskan untuk pergi ke luar kota, ke tempat neneknya. Dika merasa tak tahan rasanya berada di rumah bersama sang ayah nantinya. Pria itu mengemasi pakaiannya, tekadnya sudah bulat untuk pergi dari rumah. Meskipun sang mama masih meratapi kepergiannya, tapi keinginannya sudah kuat. Sepintas Dika menoleh ke belakang, ke arah ibunya secara perlahan. Ayahnya sendiri sudah tak mau melihatnya lagi. Keinginan dia untuk menjadikan putranya pengusaha sukses kini sirna. Cita-cita Dika lebih kuat dan tak bisa ia sanggah lagi. *** Dika menaiki kereta api jurusan Stasiun Desa Merah menuju ke rumah neneknya. Seorang gadis saat itu menabraknya. Ciri fisik gadis itu membuat Dika teringat pada Laila. Bibirnya tersungging tipis. Senyum kecil hadir di wajah Dika sambil menatap ke arah langit. Wajah Laila muncul di sana. "Haduh... kenapa bisa sih ada perempuan aneh itu di pikiran aku. Dia tuh cuma hantu, Ka, cuma hantu," batin Dika saat memandang ke arah langit itu. Sekali lagi ia lihat wajah Laila tersenyum ke arahnya dan mengedipkan satu kelopak mata kanan padanya saat melihat sebuah jendela kereta. "Duh... mulai gila nih aku," gumam Dika. Dika memutuskan untuk tidur saja sepanjang sisa perjalanannya. Cincin pernikahan yang harusnya ia kenakan di jarinya kini menggantung di lehernya dengan seutas tali kalung tipis berwarna hitam. Cincin itu berkilauan tanpa Dika sadari. Tiba-tiba, sesuatu menyentaknya. Dika terbangun saat tikungan rel kereta api yang membuat kepalanya terantuk pada sesuatu. "Aduh... sakit banget ini! Aduh maaf ya Mbak, saya gak sengaja," ucap Dika sambil mengelus kepalanya yang lumayan sakit. Sosok seorang gadis yang baru saja Dika rindukan hadir menyapa. Dika sampai mengerjap dibuatnya. "Hai!" sapa Laila yang duduk di samping Dika. "Astaga!!!" pekik Dika menghindari Laila. Kedua kakinya sampai ia tekuk saat menaiki kursi kereta tersebut. "Kamu ngapain di sini? kamu ikuti aku ya?" Dika menunjuk Laila, menuduhnya. "Bukan gitu, kok. Aku juga baru tau kalau sebenarnya aku bisa sampai ke sini karena kamu yang panggil aku," ucap Laila. "Aku yang panggil kamu?" tanya Dika tak mengerti sambil menunjuk dirinya sendiri. "Iya. Ummmm sepertinya nih, kamu lagi mikirin aku, kan?" Laila mencoba menerka. "Idih sembarangan aja! Jangan terlalu percaya diri, ya," sahut Dika mencoba mengelak. "Iya lah kamu pasti mikirin aku. Karena kamu mikirin aku makanya aku hadir di sini. Lagian tuh kalung kamu itu yang buat aku terpanggil dan terhubung denganmu," ucap Laila. “Masa, sih?” Dika mengernyit. “Aku kan sudah belajar di sekolah hantu. Jadi, aku tahu kenapa ada manusia yang punya pendamping hantu. Karena mereka terhubung oleh sesuatu, seperti benda misalnya. Nah, kalung itu kayaknya menghubungkan aku sama kamu,” tukas Laila. Dika menyentuh cincin di kalungnya. ‘Harusnya cincin ini kan cincin pernikahan ku sama anaknya Tuan Agus Kuncoro, kenapa bisa terhubung sama dia, ya?’ batin Dika. "Heh, bengong aja! Udah deh ngaku aja kalau kamu tuh tadi mikirin aku, ya kan?" Laila masih mencoba menerka dan meledek Dika. Raut wajah Dika berubah malu dan merona. Pria itu tak mau menatap ke arah Laila. "Awas ah minggir! Aku mau turun bentar di stasiun ini,” kata Dika. “Mau ngapain? Kamu turun di stasiun ini?” Laila mencoba menahan. “Bukan stasiun ini tujuan aku. Aku cuma mau beli minum," ucap Dika mencoba mengusir Laila agar berpindah. "Heh, tunggu, aku ikut!" pinta Laila. Dika acuh pada Laila. Ia turun dari kereta api yang berhenti sebentar untuk sekedar membeli minum di stasiun tersebut. Dika juga sempat membeli sebuah surat kabar di sudut stasiun. Setelah itu, ia lalu naik kembali ke dalam kereta tadi. Dika masih saja mengacuhkan Laila yang mengikutinya sedari tadi. "Kamu baca koran apa?" tanya Laila. "Baca koran Lampu Kuning nih. Semua berita kriminal dan yang lagi viral ada di sini. Udah sih minggir jangan halangi aku!" pinta Dika. Dua orang wanita tampak melihat Dika dengan heran. Pasalnya sedari tadi mereka tertarik dengan sosok Dika yang tampan. Hanya saja mereka mengurungkan niat mendekati Dika karena pemuda itu terlihat aneh. Dika terlihat berbicara sendirian seperti orang yang tak waras. Kereta lantas melaju meninggalkan stasiun tempat Dika rehat tadi. Laila mendekati koran yang Dika pegang itu. "Kamu yakin kalau koran ini berita baru yang lagi viral?" tanya Laila lagi yang duduk di samping Dika. "Udah sih jangan bawel! Aku mau baca koran ini jangan ganggu!" Dika menggeser kepala Laila dari koran tersebut. "Tuh, bener kan lihat tuh. Koran ini aneh tau. Masa ini tanggal terbit surat kabar tiga tahun lalu," Laila menunjuk bagian koran yang bertuliskan tanggal terbit. "Ah masa sih? Ngaco kamu,” sahut Dika. “Beneran, nih lihat aja tahunnya.” Laila menunjuk koran itu kembali. “Coba aku lihat," ucap Dika. Raut wajahnya berubah cemas kemudian. Laila tampak menoleh ke belakangnya. Gadis itu juga menoleh ke arah depan. Laila merasakan ada sesuatu yang janggal di kereta tersebut. "Wah, rese nih tukang koran. Masa koran tiga tahun lalu dia jual ke aku. Bener-bener tukang tipu, tuh!" Dika menggerutu dengan kesalnya. "Ka, coba lihat deh. Kamu baca judul depan korannya!" pinta Laila. "Apaan sih emangnya?" Dika menyimak lagi berita terdepan di koran tersebut. Tertulis dengan huruf kapital besar dan jelas. ****** To be continuedBab 43 kuntilanak Bulir bening dari kelopak mata Laila terus mengalir. Ia memeluk tubuh Oma, kesedihan masih saja menghinggapinya."Sudah ah jangan nangis, sekarang ini kamu harus menikmati hidup kedua kamu bersama Dika, dan juga perbaiki hubungan kamu dengan Papi kamu," ucap Oma Murni."Iya, Oma. Laila mau cari Papi dulu." Laila bergegas masuk ke rumah besar. Ia paham betul di mana harus mencari laki-laki pemilik rumah besar itu.Tuan agus Kuncoro selalu duduk di taman mawar yang di buat mendiang istrinya, Mami -nya Laila. Taman yang penuh bunga mawar itu terletak di samping kolam renang yang luas berbentuk huruf M.Tuan Agus sedang memeluk bingkai foto bergambar ia, istrinya dan Laila. Lantunan lagu lihat kebunku yang selalu ia nyanyikan bersama istrinya untuk Laila selalu dilantunkan saat sedang merenung di sana.Mata lelaki itu terperanjat saat melihat sepasang kaki perempuan yang sudah berdiri di hadapannya. Pandangan mata Tuan Agus makin naik sampai ke wajah Laila yang terseny
Bab 42 Kuntilanak Di dalam bus menuju Kota Lurik Ayu, Laila tampak gelisah. Peluh bercucuran membasahi tubuhnya seraya mencengkeram paha kiri Dika."Awww... kamu kenapa sih, Lai? Jangan sekarang juga kali kalau kangen sama ular naga punyaku," bisik Dika.Laila menoyor kepala suaminya itu dengan kesal dan gemas."Bukan itu tau, ih pikiran kamu tuh ya gak jauh dari hal itu sekarang," bisik Laila menatap tajam ke arah Dika."Terus kamu kenapa emangnya?" tanya Dika lagi."Itu, suara radionya aku gak kuat," bisik Laila.Dika baru sadar kalau supir bus ini memasang musik solawat yang membuat Laila merasakan hawa panas dan ketakutan. Biar bagaimana pun Laila masih termasuk kaum lelembut. "Duh, gimana caranya ini? Masa aku minta sama Pak Sopir buat matiin radionya," ucap Dika."Aku gak tahan, aku gak kuat, panas banget ini," ucap Laila yang mulai berteriak. Sontak saja para pengunjung menatap ke arah Dika dan Laila."Ono opo, toh?" tanya Nenek Asih."Laila, Nek, dia kepanasan denger solaw
Bab 41 Kuntilanak Setelah sampai di terminal, Dika memesan tiket bus yang menuju Kota Lurik. Akan tetapi, mereka harus transit dulu di kota sebelumnya. Dika, Laila dan Nenek Asih, akhirnya mendapat tiket bus menuju kota Lurik di jam keberangkatan malam hari. "Makan dulu ya, Nek, aku lapar," ucap Dika."Iya, aku juga," sahut Laila. "Lho udah bisa ngerasain lapar, toh? Ayo yo wis ayo kita cari makan sebelum bisnya datang," ucap Nenek Asih.Mereka bertiga pun akhirnya memutuskan untuk singgah di kedai soto ayam di dalam terminal tersebut."Astagfirullah... kok ketemu beginian, sih," pekik Dika saat melihat sosok pocong sedang duduk dalam kedai tersebut.Pemuda itu bersembunyi di balik Laila."Hai, wah kalian semua bisa melihatku, ya? Hebat hebat!" ucap pocong perempuan itu seraya meringis menunjukkan deretan gusinya yang penuh darah."Permisi Mbak, aku mau duduk. Tolong geser dikit, ya," pinta Laila yang memberanikan diri menggeser pocong perempuan itu."Oke, Say! Hihihihihi ketawa a
Bab 40Setelah Laila meletakkan tubuh Diah ke atas sofa, wanita itu segera melangkah menuju lemari tivi milik Nenek Asih."Kamu mau apa, Lai?" tanya Dika."Mau cari minyak kayu putih buat sadarkan dia," sahut Laila."Duh, terus kalau dia sadar dan cerita yang enggak-enggak sama warga, gimana?" Dika terlihat cemas dan panik."Iya terus kalau dia gak sadar nanti juga, gimana? Emangnya mau kita bunuh?" tanya Laila."Astaga, Laila! Apa yang kamu ucapkan itu berdosa Laila," sahut Dika."Apaan sih, kamu sendiri berdosa tau memperistri aku seperti ini," sahut Laila tak kalah."Aku kan cinta sama kamu, kadang cinta itu bisa membuat orang melakukan dosa, ya gak?" "Tau lah, udah ketemu nih minyak kayu putihnya, pokoknya kita buat dia sadar," ucap Laila.Tak lama kemudian setelah Laila mengoleskan minyak itu ke bawah hidung gadis yang terbaring itu, tiba-tiba Diah membuka matanya.Ia menatap wajah Laila lalu berteriak ketakutan. "Pergi! Pergi! Tolong jangan dekati saya, pergi!" pekik Diah.Ter
Bab 39Laila duduk berlutut tepat di hadapan bagian intim milik Dika."Kok, posisinya ada yang aneh ya? Aduh, rasanya saya mau nurunin celana aja," ucap Dika menggoda Laila."Haish salah hadap kan aku! Udah lah aku balik badan aja nih!" balas Laila yang langsung mengubah posisi duduknya."Hehehe... ya kali Lai, kamu mau gitu karaoke punyaku,” celetuk Dika."Au amat lah! Buruan pasang pakunya!" sahut Laila mulai kesal.Dika lantas tertawa. Setelah tenang, menarik napas dalam, pria itu lalu membuka kain merah yang membungkus paku tersebut."Buruan!" pinta Laila dengan nada berseru."Tunggu, sabar dulu! Aku lupa ambil palu bentar ya. Tunggu di sini, aku tanya dulu Nenek taruh palu itu di mana," ucap Dika."Yah, Dika... Aku udah nahan-nahan takut sakit nih," ucap Laila memelas."Iya tunggu bentar." Dika mengetuk pintu Nenek Asih dan terpaksa membangunkannya. Namun, saat Dika membuka pintu Nenek secara spontan ia melihat sosok pocong sedang menindih tubuh si Nenek Asih."Astaga, Nenek!" p
Bab 38"Emang kalau gak sukses kenapa Mbah?" celetuk Dika."Kalau nggak sukses ya ngapain aku capek-capek buat minum sama keluarin panganan ini toh le hehehe," ucap nenek bungkuk itu seraya tertawa menunjukkan deretan giginya yang beberapa gigi itu terbuat dari emas.“Nyoh!” Mbah Sarno menyerahkan kotak itu pada Dika. Pemuda itu langsung menerimanya dengan perasaan senang seraya mendekap kotak tersebut dengan erat."Yes, sebentar lagi, Laila akan menjadi manusia seutuhnya," gumam Dika."Cara pakainya gimana, Mbah?" tanya Nenek Asih."Ya ditancap seperti biasa ke atas ubun-ubun kepala sambil baca mantra yang sudah aku tulis pada kertas di dalam kotak tersebut,” titahnya.Dika mencari kertas berisi mantera dalam kotak tersebut."Oh iya ini ketemu." "Tapi ingat, ada konsekuensinya lho," ucap Mbah Sarno memotong kebahagiaan Dika saat itu."Maksud Mbah?" tanya Dika."Begini, kuntilanak itu kan asline wujudnya itu hantu, berarti sudah mati, toh. Nah, kalau kamu tetap ingin dia seperti man