Share

4. Dendam

Setahun berlalu, Siti memberi waktu untuk Kumbang berpikir, ya mungkin dia akan berpikir dan tersadar jika Siti adalah wanita si buruk rupa yang sebenarnya sangat Kumbang cintai. Cinta pasti akan membawa Kumbang kembali kepada Siti. Dia meyakini itu sampai rasa rindunya tidak dapat terbendung lagi. Siti pun memutuskan untuk menengok Kumbang di kampung halamannya.

Siti tahu penampilannya pasti akan menarik perhatian. Dia menutupi segala keburukan yang ada pada tubuhnya dengan jubah. Menutupi wajahnya dengan kerudung berwarna hijau yang dililitkan dari hidung sampai leher. Beberapa malam Siti datang ke desa Umayang hanya untuk menengok kumbang dari kejauhan. Setelah dia memastikan Kumbang baik-baik saja, hatinya pun lega untuk meninggalkan.

Saat Siti hendak pulang, dia melihat seorang gadis yang sedang dicekik oleh siluman berkekuatan hitam. Siluman itu menghirup sari pati sang gadis hingga kulitnya menjadi kisut. Sontak Siti berlari bermaksud mengusir siluman jahat tadi.

“Lepaskan dia!” seru Siti Lampir mengacungkan tongkat saktinya.

Sang siluman yang melihat mata dari tongkat Siti menyala, seketika ketakutan setengah mati. Dia tahu tongkat sakti itu adalah tanda pemilik dunia kegelapan. Sang siluman pun sekejap menghilang, melepaskan tubuh gadis lunglai yang terjatuh di tanah.

Siti segera menghampiri gadis malang itu dan memeriksa keadaannya. “Syukurlah kau masih hidup.”

Gadis itu tersadar lantas merangkak mundur merasa terancam. Sosok yang dia jumpai bahkan lebih menyeramkan dari wajah siluman tadi. Sang gadis pun menggigil ketakutan.

“Rupanya engkau dedemit itu!” Siti menoleh ke belakang, tepat pada warga yang mengerubunginya.

Beberapa pemuda datang membawa sang gadis, beberapa lagi datang meningkahi Siti. “Serang penyihir itu!”

Pastilah Siti menghindar dia tidak ingin melukai orang-orang yang tengah menyerangnya. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Janganlah kalian Main hakim sendiri! Saya tidak seperti apa yang kalian tuduhkan! Kalian akan menyesal bila melawan saya!”

“Jangan dengarkan apa kata dia! Ayo serang!” Salah satu warga berseru dengan dialek khas Minang lantas mereka berlari menghajar Siti dengan benda apa pun yang dibawa.

Siti mengeluarkan jurusnya melihat banyaknya orang yang datang menyerbu melibaskan Ruduih dan menyisipkan piraik di sela jari mereka. Adu silek pun tak bisa dielakkan, satu-persatu warga tumbang walau hanya adu keterampilan bela diri.

“Itu dia Ki, dia terlihat sangat sakti.” Seseorang datang lagi, sepertinya dia adalah orang berilmu di kampung ini. Adu kekuatan antara Siti dan seorang lelaki bernama Ki Manang pun terjadi. Siti bisa saja melawan dengan tongkat saktinya tapi lagi-lagi dia memilih menghindar alih-alih mencelakai banyak orang.

“Ada apa ini?!” Siti berhenti mendengar suara seseorang di balik tubuh Ki Manang. Suara khas yang sangat Siti rindui. Kelengahan Siti dimanfaatkan Ki Manang, dengan ilmunya Ki manang berhasil menangkap Siti.

“Penyihir ini, dia yang selama ini membuat ricuh kampung kita! Membunuh perawan, dan menculik bayi-bayi!” kata Ki Manang masih memegangi tubuh Siti.

“Itu tidak benar Datuk! Datuk ingat pada saya kan? Datuk tahu saya tidak mungkin melakukannya.” Siti membuka selendang dari mulutnya agar Kumbang dapat mengenalinya lagi.

Lelaki itu mengernyitkan dahi. “Oo rupanyo engkau ... penyihir yang pernah menculik Awak!”

Siti terkesiap. “Itu tidak benar, saya hanya berusaha menolong Datuk.”

Ki Manang memegang bahu Kumbang seraya menunjuk tongkat sakti milik Siti. “Jangan terkecoh padanya. Lihat, dia memiliki tongkat Serintil. Artinya dialah generasi penerus kesaktian Nenek tua itu! Namanya Lampir. Dia dan pasukannya yang telah membunuh Inyiak-inyak muda dan menculik gadis-gadis untuk dijadikan tumbal! Kau harus ingat Kumbang, kau baru saja memiliki seorang putri. Bila kita membiarkannya pergi maka nasib keturunan-keturunan kita akan terancam.”

Seorang putri?! Benak Siti bertanya-tanya. Rupanya kurun waktu setahun Kumbang sudah melupakan dirinya? Sulit di percaya. Namun begitu Kumbang menoleh ke belakang, pada seorang perempuan yang tengah menggendong bayi dalam dekapan. Barulah Siti tersadar.

“Mala, bawa pulang Seruni, Cepat!” seru Kumbang pada perempuan berkulit putih itu.

Bukan main sakit hatinya Siti. Rasanya dia ingin menghilang cepat-cepat dan menangis. Bagaimana mungkin setelah apa yang Siti lakukan pada Kumbang, lelaki itu tega begitu saja melupakan dirinya.

“Kenapa Datuk tega sekali mengkhianati Siti?!” Air mata Siti berlinang.

“Apa maksud kau Lampir?! jangan kau sebut-sebut lagi nama gadis suci itu untuk melunakkan hatiku!”

“Saya memanglah Siti! Wanita yang Datuk cintai!”

“Siti sudah hilang ditelan bumi! Mungkin kau juga yang telah melenyapkannya! Ki Manang, ayo segera kita tangkap dia!”

Kumbang dan Ki Manang mengejar Siti yang mulai merasa terancam. Dia menghindar namun Kumbang berhasil menangkapnya, menyeretnya, memukulnya tanpa ampun, bahkan mengerahkan kekuatan saktinya untuk melumpuhkan Siti hingga lunglai merangkaki tanah. Para warga berdatangan membawa obor api, mengelilingi Siti yang tengah keletihan. Sakit hatinya begitu membekas mencabik-cabik seluruh jiwa. Amarahnya kini lebih membara dari api yang disulurkan ke rumput melingkari dirinya.

“Bunuh dia!” Sorak-sorai penduduk menghakiminya. Kebodohan, hasutan tanpa mencari kebenaran. Mereka membuat Siti bagai penjahat berat yang harus menerima ganjaran dari apa yang tidak pernah Siti kerjakan.

Siti mencoba bangkit, dibiarkannya amarah menguasai dirinya. Dia bisa saja memusnahkan semua orang yang ada di sini. Tapi tidak sekarang ... tidak secepat itu. Dia harus membuat Kumbang merasakan sakit seperti yang dia rasakan. Siti mengangkat tongkat sakti setinggi-tingginya lalu menancapkan ujung tongkat itu ke tanah. Tanah berumput pendek itu meretak, asap gelap keluar dari bawah kaki Siti menjadi kabut tebal menyelimuti desa Umayang. Para warga terbatuk-batuk, berhamburan mencari perlindungan. Pada saat itulah, dengan kekuatannya Siti lenyap dari pandangan.

Siti menerobos ranting-ranting bergantungan menutupi muka gua. Menyibak tanaman liar merembet menutupi pandangan, mengenyahkan sarang laba-laba di atas kepalanya. Dia berjalan cepat menuju Serintil.

“Kembalikan wujud saya, Nek!” Siti menarik Serintil tanpa tata kerama.

“Aku sudah mengingatkanmu jauh-jauh hari Lampir! Nasi sudah menjadi bubur, kau yang memilih takdirmu, kau juga yang harus menghadapinya.”

“Tapi Saya tidak bisa hidup terus-terusan mendapat tuduhan, menghadapi orang-orang yang selalu memperolok saya. Tidak satu pun yang sudi mendengarkan, mereka melihat penampilan buruk saya lantas menuduh membabi-buta tanpa mencari tahu kebenarannya.”

“Begitulah kehidupan manusia, Lampir ... mereka munafik! Mereka memujamu bila kau cantik, bila kau terlihat sempurna, tapi bila kau tidak punya kedudukan, miskin dan buruk rupa. Lihat apa yang dilakukan mereka! Aku hanya mencoba membuka pikiranmu Lampir ... apa yang kau kejar-kejar selama ini hanya fatamorgana, aku membuka penglihatanmu ... bahwasanya mereka hanya tersenyum palsu padamu, mereka semua berpura-pura. Tidak ada ketulusan dikehidupan manusia.”

Siti kembali tersedu-sedu menutupi wajahnya dengan kedua tangan. “Lalu apa yang harus saya lakukan? Rasanya sakit, Nek ... saya belum pernah merasakan sesakit ini. Apalagi begitu mengetahui Kumbang telah menikahi perempuan lain.”

Serintil mencengkam kedua pundak Siti, menatapnya tajam. “Berhenti merengek! Kau tidak perlu belas kasihan siapa pun. Kau tidak perlu pengakuan manusia! Kau tidak perlu mengemis cinta pada lelaki busuk itu! Kau adalah Lampir ... penguasa kegelapan! Kau bisa menghancurkan mereka semua yang telah menghinakanmu! Bunuh mereka Lampir! Binasakan semua orang yang telah menyakitimu!”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Alnayra
the real dunia emang kek gitu ......... balas dendam ajalah siti
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status