Sinopsis: Rafiandra Siregar, anak dari keluarga konglomerat, terlahir dari rahim yang tak diakui. Hidup di desa dengan paman petani, ia membangun usahanya sendiri sejak umur lima tahun. Tak punya kemewahan, tak punya kasih ibu, tapi ia punya satu hal yang tak bisa direbut siapa pun—tekad. Dari anak ladang jadi pengusaha muda, dari pengasingan menuju panggung nasional. Tapi di balik namanya yang megah, tersembunyi luka besar dan rahasia kelam keluarganya. Ketika masa lalu datang mengguncang dan cinta mulai tumbuh dari ketidaksengajaan, Rafi harus memilih: tetap menjadi bayangan... atau berdiri di cahaya dan menuntut tempat yang semestinya jadi miliknya
View MoreRafiandra Siregar.
Nama itu terdengar megah. Nama yang seharusnya membuka pintu kemewahan dan kehormatan. Keluarga Siregar dikenal sebagai penguasa dunia bisnis—perusahaan besar, gedung pencakar langit, dan deretan aset yang tak terhitung. Tapi bagi Rafi kecil, nama itu hanyalah cap sunyi. Sebuah luka yang dibungkus silsilah. Di usianya yang baru lima tahun, Rafi tidak tidur di kamar luas berkasur empuk. Ia tidak dibangunkan oleh kecupan hangat seorang ibu. Ia tidak dipeluk oleh seorang ayah saat pulang ke rumah. Ia tinggal di rumah kayu sederhana di pinggiran desa. Tak ada listrik penuh, tak ada TV, tak ada mainan mahal. Yang ada hanya suara jangkrik, aroma tanah basah, dan senyuman orang-orang yang mencintainya bukan karena darah. Paman Damar dan Bibi Nira. Mereka bukan orang tua kandungnya, bahkan tak punya hubungan darah. Tapi mereka merawat Rafi dengan sepenuh hati. Lalu ada Simbo—perempuan tua yang dulu bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga Siregar. Simbo yang kini jadi ibu sejatinya, yang sejak lahir tak pernah meninggalkannya. Setiap pagi, Simbo akan duduk di tepi ranjang, membelai rambut Rafi yang acak-acakan. "Bangun, Nak. Hari ini ladangnya banyak panen. Ayo bantu Paman, ya." Rafi mengangguk. Matanya masih mengantuk, tapi tubuhnya langsung bergerak. Sudah jadi kebiasaannya bangun sebelum matahari muncul. Di usia lima tahun, ia sudah terbiasa mencabut rumput, menyiram tanaman, dan memanggul keranjang panen yang lebih besar dari tubuhnya. "Kalau kamu capek, berarti kamu belum cukup kuat," kata Paman Damar setiap melihat Rafi terhuyung. Ucapan itu bukan ejekan. Itu pelajaran. Damar tahu, hidup tak akan adil pada anak ini. Dunia bahkan menolak keberadaan Rafi sejak lahir. Maka, ia membentuk bocah itu dengan keras—tapi diam-diam, dengan cinta. Malam-malam, saat semua tidur, Damar sering duduk di beranda, menatap langit. "Maafkan Paman harus keras, Nak... Tapi kamu akan jadi orang besar. Dunia akan tunduk padamu." --- Hari pertama masuk SD adalah luka pertama yang disaksikan langsung Rafi. Ia datang sendiri, mengenakan seragam lusuh dan sepatu bolong. Anak-anak menatapnya aneh. Beberapa terkikik. "Eh, bajunya kusut, kayak belum disetrika." "Sepatunya robek tuh, kayak dari tempat sampah." "Dia anak tani ya? Hahaha." Rafi hanya menunduk. Duduk di bangku paling pojok. Tapi matanya tak lepas dari papan tulis. Ia mendengar. Ia mengingat. Tapi ia tak membalas. Dalam hati, ia hanya berbisik: Suatu hari, kalian akan berhenti menertawakanku. Dan memang, di kelas, Rafi selalu yang paling cepat memahami pelajaran. Tak pernah lupa PR, selalu jadi yang pertama maju ke depan. Ia pendiam, tapi gurunya tahu, anak ini menyimpan bara. --- Setiap pulang sekolah, Rafi langsung ke ladang. Kalau tidak, ia berlatih bela diri bersama Paman Damar. Tamparan angin dan rasa lelah adalah temannya. Tubuh kecilnya mulai mengeras. Pukulannya makin bertenaga. "Kamu harus bisa jaga diri. Dunia nggak akan selalu adil," kata Damar. "Kamu bukan anak biasa. Suatu hari kamu akan naik tinggi. Tapi kamu harus kuat dulu." Rafi belum sepenuhnya mengerti. Tapi dia percaya pada pamannya. Dan itu cukup. --- Ada satu rumah yang selalu membuat Rafi menatap lama—rumah besar di ujung jalan. Gerbang besi, tembok tinggi, kamera di sudut-sudut. Mobil-mobil mewah keluar masuk. “Simbo, itu rumah siapa?” Simbo menarik tangannya. "Jangan ke sana. Itu bukan tempatmu." "Tapi nama mereka sama kayak aku, kan? Siregar?" Simbo tersenyum. Senyum yang menyakitkan. "Nanti kamu akan mengerti." Rafi belajar menyimpan pertanyaannya dalam-dalam. --- Tahun demi tahun berlalu. Rafi menjadi juara kelas. Ia menang lomba cerdas cermat tingkat desa. Anak-anak yang dulu mencemooh, kini diam. Ada yang mulai menghormati. Ada pula yang diam-diam iri. Tapi Rafi tak peduli. Ia pulang, menenteng piala kecil dari plastik, dan memeluk Simbo. "Lihat, Simbo! Aku menang!" Air mata Simbo jatuh. Ia memeluk Rafi erat. "Simbo bangga... Kamu anak hebat." Malamnya, Paman Damar memberi Rafi sebilah pisau tua bersarung kayu. "Ini dulu milik Paman. Sekarang milikmu. Jaga baik-baik." Di tangan Rafi, pisau itu terasa berat. Tapi dia tahu, itu bukan sekadar benda. Itu simbol. Bahwa ia tak lagi anak kecil biasa. --- Beberapa bulan kemudian, kepala sekolah memanggilnya. "Rafi, kamu dapat beasiswa penuh ke SMP Tunas Bangsa. Nilai dan prestasimu luar biasa. Selamat." Kabar itu cepat sampai rumah. Simbo menangis, Bibi Nira memeluknya. Dan Paman Damar? Ia hanya berkata singkat: "Ini baru awal. Jalanmu masih panjang." Malam itu, Rafi duduk di beranda rumah. Memandang bintang. Ia belum tahu siapa ibunya sebenarnya. Ia belum tahu kenapa ia dibuang. Ia belum tahu kenapa nama Siregar malah jadi tembok baginya. Tapi satu hal ia tahu pasti: Dia akan berdiri di puncak. Dan dunia akan tahu siapa sebenarnya Rafiandra Siregar. To be continued...Langit Jakarta siang itu mendung, seolah ikut menahan napas bersama Rafi yang duduk di ruang meeting kecil lantai dua kantor pusat Siregar Group. Di depannya, meja kayu panjang mengilap. Di sekelilingnya, beberapa pria dan wanita dewasa dengan jas mahal dan wajah serius.“Jadi... kamu anak desa yang menang lomba itu?” tanya salah satu pria berkacamata bundar dengan senyum tipis.“Namaku Rafiandra Siregar,” jawab Rafi tenang. “Saya ke sini bukan sebagai tamu, tapi sebagai pemilik ide.”Salah satu wanita tertawa kecil. “Berani juga kamu ngomong kayak gitu.”Tante Winda yang duduk di pojok memberi isyarat halus. “Mereka hanya menguji keberanianmu.”Rafi menatap mereka satu per satu. Ia tak gentar. Yang duduk di depannya mungkin berdasi dan punya saham, tapi Rafi punya hal yang lebih penting — tekad dan waktu yang tidak ia sia-siakan.Mereka mulai membahas proposal Rafi soal green space terpadu di lahan-lahan kosong milik Siregar Group yang bisa dijadikan pusat urban farming dan pendidika
Langit Jakarta sore itu dipenuhi warna jingga saat Rafiandra Siregar turun dari kereta. Hiruk-pikuk kota begitu asing, namun langkahnya mantap. Di tangannya, ia menggenggam surat undangan dari keluarga Siregar—keluarga yang dulu membuangnya, kini mengundangnya datang. Mobil jemputan sudah menunggu di luar stasiun. Seorang sopir berpakaian rapi membungkuk sedikit dan berkata, “Selamat datang, Tuan Rafiandra. Kami diminta untuk mengantar Anda ke rumah utama keluarga.” Rafi tak menjawab. Ia hanya masuk ke dalam mobil, matanya menatap keluar jendela, menatap bangunan-bangunan tinggi yang menyimpan begitu banyak kisah dan rahasia. --- Rumah utama keluarga Siregar lebih mirip istana dibanding rumah biasa. Pilar marmer, taman luas, air mancur, dan lampu gantung kristal menyambut kedatangannya. Namun semua itu tak membuat Rafi kagum. Ia hanya menatapnya datar—karena bukan kemewahan yang ia cari di sini. Sesaat setelah masuk, ia disambut oleh seorang pria tua berjas abu-abu: Pak Jatmiko,
Pagi itu, kabut masih menggantung di perbukitan desa Srigading saat sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah Simbo. Pintu mobil terbuka pelan, dan keluar seorang wanita berusia sekitar empat puluhan, berkacamata hitam, dan berpenampilan elegan.Simbo yang tengah menyapu halaman langsung menegakkan tubuhnya, matanya menajam.“Bu Ratna?” gumamnya nyaris tak terdengar.Wanita itu menurunkan kacamatanya perlahan, menatap langsung ke arah Simbo.“Sudah lama ya, Simbo.”Simbo mematung. Jari-jarinya menggenggam erat gagang sapu.Dari dalam rumah, Rafi muncul sambil membawa ember kecil. Melihat mobil asing dan dua wanita yang saling tatap tanpa suara, ia mendekat pelan.“Simbo, siapa—”Seketika mata wanita itu beralih padanya. Wajahnya kaku. Nafasnya tercekat.“...Rafi?”Rafi mengernyit. “Ibu kenal saya?”Tak ada jawaban. Hanya mata yang berkaca-kaca dan bibir yang bergetar.---Raline datang beberapa menit kemudian, membawa laporan pengiriman mingguan. Namun saat melihat suasana di halaman
Hari itu, aula forum nasional kembali ramai dengan presentasi dan diskusi. Namun bagi Rafi, pikirannya masih tertinggal di percakapan dengan Armand Hidayat, wakil direktur PT Mitra Nusantara Hijau. Ia masih tak percaya, dari ribuan peserta forum, ada satu pihak nyata dari dunia bisnis yang menawarkan kemungkinan kerja sama. Malamnya, di penginapan tempat ia menginap bersama para finalis, Rafi membuka catatannya. Ia menuliskan semua hal penting dari pembicaraan tadi. Produk ramah lingkungan berbasis desa Model penjualan hybrid (online dan offline) Distribusi skala kecil-kecamatan Ia menatap lembaran itu lama. “Gue gak boleh setengah-setengah,” gumamnya. --- Keesokan harinya, sesuai janji, ia mendatangi kantor pusat PT Mitra Nusantara Hijau di kawasan bisnis Jakarta. Ia mengenakan kemeja bersih, celana kain hitam, dan tetap memakai sepatu lamanya yang disemir dengan telaten. Di dalam kantor modern itu, ia disambut staf muda yang membawanya ke ruang rapat lantai tiga. Di sana,
Udara pagi Srigading terasa berbeda. Sejuknya menusuk tapi menenangkan, seakan menyambut kepulangan seseorang yang telah menaklukkan satu lapis takdir. Rafi turun dari ojek desa, membawa ransel lusuh dan sekotak kecil oleh-oleh. Ia menatap jalan tanah yang mengarah ke rumah Simbo, lalu menarik napas dalam. “aku pulang.” Simbo menyambutnya dengan pelukan hangat dan air mata yang tak bisa ia tahan. Paman Damar mengangguk singkat—seperti biasa—tapi senyum di wajahnya kali ini lebih hangat dari biasanya. “Gimana Jakarta?” “Rame. Tapi gak ada sawahnya,” jawab Rafi ringan. “Bagus. Berarti kamu belum lupa dari mana kamu tumbuh.” --- Tak butuh waktu lama bagi berita kepulangan Rafi menyebar. Siswa-siswa di SMP Tunas Bangsa kembali menyapanya dengan cara berbeda—lebih banyak hormat, lebih sedikit sindiran. Namun satu orang yang membuat hari pertama di sekolah jadi lebih istimewa: Raline. Ia berdiri di depan kelas, memegang satu pot kecil berisi bibit baru. “Welcome home, Partner.”
Semenjak pulang dari Jakarta, nama Rafiandra Siregar mulai disebut-sebut di banyak tempat—dari grup WhatsApp guru, forum pelajar hingga media lokal. Foto dirinya saat menerima trofi dengan pakaian sederhana sempat viral, menimbulkan kekaguman sekaligus tanda tanya besar.“Siapa sebenarnya anak ini?”Namun bagi Rafi, perhatian itu bukan hal yang membuatnya terlena. Justru jadi bahan bakar untuk melaju lebih jauh.---Pagi itu, di rumah Simbo, Rafi duduk di depan rak tanamannya yang makin rapi. Ia memandangi brosur baru yang barusan dicetak dengan bantuan Raline: “Rafi Farm – Tanaman Herbal & Edukasi Lingkungan.”Ia tak hanya menjual tanaman sekarang. Ia membuka pelatihan pertanian mini untuk anak-anak sekolah dasar. Setiap minggu, beberapa anak datang dan belajar langsung di ladang kecilnya. Ia ajarkan cara menanam, menyiram, bahkan membuat pupuk kompos sederhana.“Bertani bukan soal tanah, tapi soal hati dan sabar,” katanya pada mereka.---Suatu sore, ketika ia dan Raline tengah meny
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments