Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi

Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi

last updateLast Updated : 2025-02-13
By:  Deni A. ArafahCompleted
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel12goodnovel
10
1 rating. 1 review
70Chapters
770views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Di dunia yang porak-poranda setelah peristiwa Eclipse Paradox, realitas bergeser, dan dunia menjadi arena hiburan bagi entitas maha kuat yang dikenal sebagai Konstelasi. Mereka menciptakan Skenario yang harus diselesaikan oleh manusia-manusia terpilih yang diberkahi peran. Namun, bagi sebagian besar manusia, termasuk Ardi, seorang pegawai minimarket yang biasa saja, hidup hanya berarti bertahan tanpa tujuan, dianggap tidak lebih dari "penyintas" dalam permainan para konstelasi. Ketika Ardi tanpa sengaja terlibat dalam salah satu Skenario bersama Raka, orang yang di berkahi peran, dia mulai memahami bahwa dunia ini lebih rumit daripada yang dia bayangkan. Dengan Relik, artefak misterius yang dapat menjaga keseimbangan dunia, mereka harus menghadapi tantangan mematikan di setiap langkah—dari Voidborn, makhluk dari dimensi lain, hingga perang antara entitas legendaris. Namun, semakin jauh Ardi terlibat, semakin dia menyadari bahwa Skenario ini hanyalah alat Konstelasi untuk menghibur diri. Dengan keberanian yang tidak disengaja, Ardi mulai menolak peran pasifnya. Meski tidak memiliki kekuatan atau peran besar, dia bersumpah untuk bertahan hidup dan melawan takdirnya sebagai "penyintas." Dalam perjalanan yang penuh dengan petualangan, Ardi dan kelompoknya tidak hanya melawan makhluk mematikan, tetapi juga menghadapi pertanyaan besar: Apa sebenarnya tujuan dari Skenario ini? Bisakah manusia melampaui peran mereka dalam Skenario? Atau akankah mereka terus menjadi pion dalam konflik para entitas yang menganggap hidup mereka sebagai hiburan semata? "Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi" adalah kisah tentang perjuangan bertahan hidup di dunia yang tak lagi mengenal aturan, di mana bahkan yang paling tidak penting dapat menjadi ancaman terbesar.

View More

Chapter 1

Hanya pengamat

Aku gak pernah ngerti apa yang sebenarnya terjadi. Satu hari dunia baik-baik aja—jalanan macet, orang-orang sibuk scroll I*******m sambil ngeluh soal cuaca panas. Lalu tiba-tiba, semuanya berubah. Langit retak, bintang-bintang mulai bergerak kayak ada yang mainin puzzle di atas sana, dan orang-orang mulai menghilang satu per satu.

Aku gak paham kenapa semua ini terjadi, dan jujur, aku juga gak peduli. Aku cuma seorang pegawai minimarket di tengah kota Jakarta. Hidupku sederhana: buka toko, layani pelanggan, lalu tutup toko. Tapi sekarang? Pelanggan gak ada, toko hancur berantakan, dan aku cuma duduk di belakang meja kasir sambil nunggu sesuatu—entah apa.

"Setiap orang punya perannya dalam Skenario."

Aku masih inget kalimat itu dari berita di TV sebelum siarannya mati total. Skenario? Peran? Kayak main teater, gitu? Tapi gak ada yang kasih tahu aku peranku apa. Gak ada suara-suara aneh yang berbisik di telingaku, gak ada kekuatan super yang mendadak muncul. Aku cuma... aku. Gak lebih, gak kurang.

Satu-satunya yang aku punya sekarang adalah rokok terakhir di saku celana dan sebotol air mineral basi yang udah aku hemat-hemat sejak kemarin. Oh, dan mungkin keberuntungan kecil karena aku belum mati. Setidaknya belum hari ini.

Dari kursi kayu reyot di belakang meja kasir, aku memandang keluar kaca minimarket yang retak. Jalanan sepi, cuma ada kabut tebal yang menutupi semua. Gedung-gedung tinggi di kejauhan kayak hantu bisu, berdiri di tengah kehancuran. Dunia ini udah gak ada bedanya sama mimpi buruk.

Tiba-tiba, aku dengar suara langkah kaki. Bukan suara biasa. Berat, teratur, kayak seseorang yang tau persis ke mana dia mau pergi. Jantungku langsung berdebar. Apa itu orang? Atau... sesuatu yang lain?

Aku berdiri perlahan, mencoba ngintip dari balik kaca. Kabut perlahan tersingkap, dan aku lihat dia. Seorang pria muda, tinggi, dengan mantel panjang yang udah penuh noda debu dan darah kering. Di punggungnya ada pedang besar yang kelihatan gak masuk akal buat dibawa manusia biasa.

Dia berhenti di depan minimarket, matanya tajam kayak elang, menatap lurus ke arahku. Aku pengen mundur, tapi kaki ini rasanya kayak tertanam di lantai.

"Hei," katanya. Suaranya berat, tegas, tapi ada sesuatu di balik nada itu—kelelahan, mungkin? "Ada air di sini?"

Aku cuma bisa angguk, menunjuk ke rak minuman di belakang. Dia masuk tanpa basa-basi, langsung ambil sebotol air mineral dan menenggaknya sampai habis. Gak ada terima kasih, gak ada senyum ramah. Dia cuma orang asing yang lewat, sama kayak banyak orang yang pernah aku lihat sebelum semuanya kacau.

"Terima kasih," akhirnya dia ngomong, walaupun kayak cuma formalitas. Dia melempar botol kosong itu ke lantai, lalu berjalan ke pintu. Tapi sebelum keluar, dia berhenti. Matanya menatapku lagi, dan aku rasa aku bakal inget tatapan itu sampai kapan pun.

"Jangan lama-lama di sini," katanya. Suaranya lebih pelan sekarang, hampir seperti peringatan. "Sesuatu akan datang."

Sesuatu? Aku pengen tanya maksudnya, tapi tenggorokanku kering. Dia gak kasih aku waktu buat ngomong. Dia udah jalan keluar, menghilang di balik kabut tebal.

Aku gak tahu siapa dia. Aku juga gak tahu apa yang dia maksud dengan "sesuatu." Tapi satu hal yang aku tahu pasti: untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, aku merasa benar-benar sendirian.

Dan aku benci rasanya.

Malam itu dingin, terlalu dingin untuk ukuran Jakarta. Aku masih berdiri di balik meja kasir, memandangi pintu minimarket yang terbuka, kabut tebal di luar seperti mulut monster yang menganga, siap menelan apa saja. Kata-kata pria tadi terus terngiang di kepala.

"Jangan lama-lama di sini. Sesuatu akan datang."

Sesuatu? Apa maksudnya? Monster? Orang gila? Atau... ya, sesuatu yang lebih buruk? Aku gak tau, dan jujur, aku gak pengen tau. Tapi rasa penasaran yang tolol ini malah bikin aku gak bisa duduk tenang.

Aku ngambil rokok terakhir dari saku, menyalakannya dengan korek gas yang nyaris habis. Tarikan pertama selalu enak, meskipun sekarang rasanya lebih kayak pengalihan ketakutan daripada kenikmatan. Aku berusaha ngatur napas sambil lihat jam tangan yang udah mati sejak tiga hari lalu. Waktu gak ada artinya lagi sekarang.

Suara langkah kaki terdengar lagi, kali ini lebih pelan. Jauh lebih pelan.

Bulu kudukku langsung berdiri. Aku mencoba mengintip ke luar, tapi kabut makin tebal, hampir kayak tembok. Nafasku memburu. Kalau itu orang biasa, kenapa langkahnya sesunyi itu? Kalau bukan orang biasa... ya, aku gak pengen nyelesain kalimat itu di kepalaku.

Aku mundur perlahan, mataku gak lepas dari pintu depan. Tangan kananku meraba-raba ke bawah meja, nyari sesuatu—apa aja yang bisa dipakai buat bela diri. Aku dapet tongkat pel yang patah di ujungnya. Yah, lebih baik daripada kosong.

Langkah kaki itu semakin dekat.

Bayangan samar muncul di balik kabut. Tinggi, jangkung, dan bergerak lambat, hampir kayak... melayang. Aku mencoba nahan napas, berharap makhluk itu bakal lewat aja tanpa masuk ke minimarket.

Tapi harapanku hancur waktu bayangan itu berhenti tepat di depan pintu.

Sosok itu berdiri di sana, gak bergerak. Sekarang aku bisa lihat lebih jelas. Tingginya hampir dua meter, tubuhnya kurus kering, tapi ada sesuatu yang salah dengan wajahnya. Matanya... matanya merah menyala seperti bara api. Mulutnya tersenyum, tapi bukan senyum manusia. Itu senyum yang terlalu lebar, terlalu tajam.

Aku pengen lari. Pengen teriak. Tapi tubuhku kaku.

Makhluk itu menunduk sedikit, matanya menatap langsung ke arahku. Entah gimana, aku tau dia tahu aku di sini. Rasanya kayak dia bisa ngerasain ketakutanku. Dia melangkah masuk, pelan-pelan, kakinya gak nginjak lantai. Dia melayang beberapa sentimeter di atas ubin.

Aku mundur selangkah, lalu dua langkah, sampai punggungku nabrak rak di belakangku. Rokok di tanganku jatuh ke lantai. Gak ada lagi yang bisa kulakukan selain memegang tongkat pel dengan tangan gemetar.

Makhluk itu berhenti beberapa meter dari meja kasir. Suasana sunyi banget sampai aku bisa dengar suara detak jantungku sendiri. Lalu, dia membuka mulutnya.

"Bukan kau," suaranya terdengar seperti dua suara yang berbicara sekaligus—satu tinggi, satu rendah, tapi keduanya terdengar seperti jeritan jauh di dasar neraka. "Bukan kau yang kucari."

Seketika, tubuhku terasa lemas. Tapi sebelum aku bisa lega, dia melanjutkan, "Tapi kau... akan menarik untuk dimakan nanti."

Aku gak tahan lagi. Aku lempar tongkat pel ke arahnya dan berlari ke belakang toko. Aku gak peduli dia kena atau nggak. Aku cuma tau aku harus kabur, harus keluar dari sini. Tapi sialnya, di belakang toko gak ada jalan keluar. Cuma ada tembok beton yang dingin dan pintu besi kecil menuju gudang.

Aku dorong pintu gudang itu dengan semua tenagaku, lalu masuk dan ngunci pintunya dari dalam. Gudang itu kecil, penuh dengan kardus-kardus bekas dan rak-rak tua yang hampir roboh. Nafasku terengah-engah. Lututku lemas sampai aku jatuh terduduk di lantai.

Aku mencoba dengar. Awalnya gak ada apa-apa. Hening. Tapi beberapa detik kemudian, suara langkah itu muncul lagi. Pelan, tapi pasti. Makhluk itu mendekati pintu gudang.

Ketukan pelan terdengar di pintu besi. Sekali. Dua kali. Lalu dia berbicara lagi, kali ini dengan suara lebih jelas.

"Kau tidak bisa sembunyi dariku, manusia kecil. Tapi jangan khawatir... aku akan memberimu waktu sedikit lebih lama untuk hidup."

Aku gak tahu apa maksudnya, tapi aku juga gak mau tau. Ketukan itu berhenti. Suara langkah perlahan menghilang. Tapi aku tetap gak berani keluar. Aku cuma duduk di sana, menggenggam lutut, berharap semua ini cuma mimpi buruk yang bisa aku bangun dari. Tapi aku tahu itu gak akan terjadi.

Sesuatu yang lebih buruk sedang datang. Aku bisa merasakannya.

Dan aku cuma pengamat

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

user avatar
Luddx
semangatt teruss thor
2025-01-23 11:18:43
3
70 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status