Aku menghela napas panjang. “Saya sudah usaha, Pak. Tapi hasilnya nihil. Kalau Bapak bisa membujuk orang tua untuk membatalkan, silakan,” tantangku.
Pak Ezar semakin mengeratkan cengkramannya.Ia mengerang frustasi dengan wajah yang kian didekatkan padaku. Tatapannya mengintimidasi. Bahkan, boleh jadi siapa pun yang melihat kami sekarang mengira akan berciuman.Aku tak bisa bergerak banyak dalam situasi seperti ini. Menelan ludah pun rasanya susah payah.Sepertinya, Pak Ezar sengaja menekanku agar aku mengubah keputusan pernikahan yang akan berlangsung 2 hari lagi.Sialnya, akan tak semudah itu. Aku juga berada di situasi rumit.“Aezar, Asha! Astagfirullah ... belum waktunya kalian melakukan itu atuh.”Mendengar itu, aku dan Pak Ezar menoleh bersamaan ke arah suara yang terdengar panik.Di teras rumah, sudah ada Tante Ola yang histeris melihat kami nyaris tak berjarak.Tuh, kan. Aku bilang juga apa? Siapa pun yang melihat akan salah paham. Pasti Tante Ola sudah mengira kami akan lepas kontrol.“Pak lepasin.” Aku mencoba melepaskan tangan dari cekalan Pak Ezar, tapi ia seakan enggan untuk melepaskan.Entah sedang panik dengan kehadiran ibunya sehingga dia lupa melepaskanku atau mungkin tangan ini punya pelet yang membuatnya betah menggenggam?“Ada apa, La?” Kudengar suara Ibu bertanya pada Tante Ola. Seketika membuatku semakin panik.Tidak lucu, kalau Ibu juga sampai melihatku seperti ini. Dia akan mem-bully siang malam. Barangkali dikatain gak tahan lihat body dosen galak ini yang perkasa.Tadi saja sudah mulai menggodaku.Perkasa dari mana? Malah yang ada kaku persis kanebo kering.Segera saja kuinjak kaki Pak Ezar dengan keras.“Aw!” Dia sontak merintih kesakitan, tapi tak kupedulikan.Setelahnya, aku berlari menghampiri Tante Ola dan Ibu yang saling berpandangan sembari bergelung dengan pikiran masing-masing.*****“Saya terima nikah dan kawinnya Asha Fredella binti Jian Prasaya dengan mas kawin tersebut tunai.”Dengan satu tarikan napas, Pak Ezar mengucapkan kalimat sakral di depan keluarga dan tamu undangan yang hadir. Ucapannya begitu lugas seolah tak terbebani sedikit pun.Padahal, sebelum sampai pada hari ini kami sempat melakukan tawar menawar dengan keluarga untuk membatalkan perjodohan atau minimal menunda pernikahan.Kami mengaku belum cocok dan akan melakukan pendekatan lebih lama, tapi Tante Ola langsung menolak.Bagi Tante Ola, maksudku Bunda Ola—aku dan putranya sudah sama-sama tak bisa menahan naluri orang dewasa dan harus segera untuk ditunaikan sebelum terjadi hal-hal tak diinginkan.Tak terasa, kami berlanjut pada prosesi selanjutnya.Pak Ezar menyematkan cincin di jari manisku. Lantas, mencium kening dengan perasaan yang kutahu sangat berat untuk dilakukan.Namun, karena menghormati orang tua, jadi ia terpaksa melakukannya.Sepanjang duduk di singgasana pelaminan, tak ada sepatah kata yang keluar dari mulut Pak Ezar. Tersenyum pun jika hanya ada tamu yang menegurnya dengan sebuah candaan.Aku sangat mengerti posisinya yang tak mengharapkan pernikahan ini, tapi aku pun demikian sungguh tak menginginkan pernikahan ini terjadi.****‘Ini benaran gue udah jadi istri?’Saat malam tiba, Pak Ezar masuk ke kamar dengan wajah kusut bak kebanyakan tekanan. Aku yang duduk di kasur hanya bisa melirik sesekali menghela napas berat.Masih tak bisa kubayangkan, jika dosen paling ngeselin yang membuat mentalku diaduk-aduk selama menjadi mahasiswa akhir benar-benar sudah bergelar suamiku.Entah bagaimana tanggapan anak-anak di kampus kalau tau hal ini?“Sha, saya mau mandi. Ada handuk gak?” tanyanya cuek.Aku yang semula mengutak-atik ponsel melihatnya sebentar, kemudian mengalihkan pandangan. Aku selalu tak bisa menatap mata orang lama-lama.“Sebentar.” Aku bangkit menuju lemari dan mengambilkan handuk baru yang sudah disiapkan Ibu di sana. “Ini, Pak.“Pak Ezar melongos pergi ketika sudah mengambil handuk dariku.Oh my Allah. Selain galak dan kejam, rupanya dia benar-benar titisan kanebo.Beberapa saat kemudian, dia sudah keluar kamar mandi. Sialnya, karena penampilannya yang tak biasa membuatku terperangah. Ia keluar hanya dengan handuk melilit di pinggang. Hal itu pun membuat perut kotaknya yang tak berbentuk-bentuk amat terekspos sempurna.Aku memalingkan pandangan dan pura-pura sibuk pada ponsel seraya menetralkan detakan jantung melihat pemandangan asing itu.Astaga, tidak bisakah dia untuk mengenakan baju di kamar mandi saja?“Kamu libur berapa hari?” tanyanya mulai mengenakan baju yang diambil dari kopernya.“Tinggal dua hari lagi,” jawabku.“Oh, baguslah. Artinya kamu gak keberatan kalau besok sore kita pulang ke Jakarta.”Aku bergeming sesaat. Mencerna kalimatnya. Maksudnya, dia akan membawaku bersamanya begitu?Haih, Asha ... Asha, dia sekarang suamimu, jadi semestinya memang kamu ikut bersamanya.“Bapak kalau ada urusan bisa pulang duluan aja, saya pulang besoknya lagi.”“Hei, kau masih muda, apakah otakmu sudah bergeser gara-gara skripsi? Apa perlu pengobatan ke psikiater? Gak lucu kalau kita pulang terpisah, yang ada dapat ceramah sampai 7 purnama dari orang tua, kau tau?”Aku membuang napas berat, memandang punggung Pak Ezar yang tengah menjemur handuknya.Memang yang dikatakan itu ada benarnya. Tapi?“Tapi, kalau saya ikut Bapak, motor saya gimana? Emang bagasi mobil muat nyimpan motor?”‘Kok, gue ngerasa kolot banget ya?’“Astaga Asha. Benar-benar, ya. Motornya gak usah dibawa.”“Kalau gak dibawa, saya ke kampus dan ke tempat kerja pake apa, Pak?”Pak Ezar menghela napas panjang. Dia agaknya tengah frustrasi menghadapiku yang rada-rada geser. Udahlah, setidaknya aku pun sudah mengatakan yang sebenarnya. Aku tim mager keluar rumah kalau jalan kaki, memang kudunya naik motor.“Odong-odong,” cibirnya. “Di rumah ada motor. Mobil juga ada. Tinggal pilih mau pake yang mana.”Eh, eh. Difasilitasi ceritanya?Pak Ezar berjalan ke arahku, membuat jantung ini semakin berpacu. Astotog, dia mau ngapain? Dia tak berniat untuk me-unboxing diriku yang unyu-unyu ini, kan?‘Aduh, otak mungil gue ternodai.’Jikapun iya, sungguh aku belum menyiapkan diri secara lahir dan batin.“Geser dikit, saya mau tidur,” katanya.“Maksudnya, tidur di kasur saya begitu? Mana boleh, Pak. Ini sempit kalau berdua. Bapak tidur aja di lantai.”“Ogah banget, kamu aja yang tidur di lantai.”“Tapi, ini kamar saya, Pak.”“Di mana-mana tuan rumah harus ngalah sama tamu. Minggir sana, saya ngantuk dan capek. Mau istirahat.”“Mimpi apa harus nikah sama sang duta dosen galak gak punya perasaan macam dia?” gerutuku.“Apa kamu bilang?”Pak Ezar berkacak pinggang di hadapanku. Detik kemudian, dia menarik lenganku agar pindah dari kasur, tetapi aku memilih bertahan meskipun susah payah karena tenaganya lebih kuat dariku.Srak! Srak!Di saat kami meributkan perkara kasur, malah terdengar suara grasak-grusuk di dekat pintu kamar.Pak Ezar yang juga menyadarinya lantas menoleh ke arah pintu, lalu menatapku. Kami saling melempar pandang seolah bertanya ‘ada apa?’.Mas Ezar membawaku ke samping resto yang sepi-sepi orang. Entah ada tujuan apa dia membawaku ke sini? Sudah persis gadis polos mau diperkaos pria hidung belang. “Mas, kenapa dibawa ke sini?” tanyaku mengerucutkan bibir kesal. “Padahal masih pengen nyinyirin si pirang gatal itu.”“Makanya aku bawa ke sini untuk menepi sejenak, Sayang. Jangan nyinyir lagi ya. Yang ada nanti kamu stres kebawa janin kamu juga ikutan stres,” ujar Mas Ezar. Dia menopang tubuh dengan kedua tangannya pada tembok agar tubuh kami tak bersentuhan walau posisinya mengurungku pada tembok. Aku menghela napas panjang. Sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain agar terkesan judes. “Kamu kok belain dia, sih?”Mas Ezar menangkup wajahku dan menatap mata ini lekat. “Bukan membela, Sayang. Aku juga gak suka sikap dia tadi, tapi aku gak mau dia nyakitin kamu. Kamu tadi liat? Dia emosi kamu bilangin gatal. Untung gak jambak kamu.”“Aku kan bisa jambak balik,” cici
Begitu Bagas telah selesai bernyanyi dan Naila sedikit berlari turun dari panggung, barangkali lupa membawa stok urat malu. Hahaha. Bercanda urat malu!Seketika itu, aku pun terlintas ide untuk merayakan ulang tahun suamiku yang ke-29. Dari kemarin, aku berpikir keras bagaimana mengucapkan agar terkesan romantis dan tidak kaku macam sikapnya saat awal kami menikah. Aku pun naik ke panggung. Bukan untuk goyang ngebor di sana, tapi buat ngambil mic, lalu diskusi sebentar dengan Akang piano. Gak usah penasaran kami diskusi apaan? Intinya, setelah itu aku kembali ke tempat dudukku dengan mic di tangan. Saat ini, aku percaya diri dengan suaraku yang membahana, walau nyatanya seperti suara kodok. Masa bodoh dengan pandangan orang-orang, tapi aku bangga punya suara yang seksi ini, walau tak seseksi orangnya jika hanya berdua dengan Mas Ezar di kamar. Eya!Begitu musik mulai mengalun, aku membuka ponsel dan melihat lirik la
Belum sempat kusambut uluran tangan Ahsan, Mas Ezar yang entah muncul darimana lebih dulu menyambut tangan duda beranak satu itu. “Kami baik,” katanya sambil menarik pinggangku posesif hingga tubuh ini menabrak tubuhnya. “Duh, pocecip detected,” ucap Kak Akmal pelan. Dia sampai menutup mulut dan menoleh ke arah lain. Ia terlihat susah payah menahan tawanya. Ahsan tersenyum tipis. Barangkali menyadari kecemburuan Mas Ezar padanya. “Maaf ini, Mas, karena datang gak diundang. Cuma ikut-ikutan Kak Akmal,” kekeh Ahsan tak enak hati. “Gak apa-apa. Malah senang kalau banyak yang datang.”Mas Ezar mengulas senyum tipis berlagak sangat ramah. Padahal, kutahu hatinya tengah meradang melihat Ahsan mengulurkan tangannya padaku tadi. Dia pasti mengingat kejadian di pernikahan Vina kemarin, di mana saat itu Ahsan melamarku. Barangkali, sekarang ia tetap takut istrinya masih diincar oleh duduk beranak satu itu.
“Jangan cantik-cantik, Sayang. Aku takut nanti malah banyak yang naksir kamu di sana.” Lengan kekar Mas Ezar tiba-tiba saja sudah melingkar di perutku. Bahkan, kini hidungnya pun semakin liar menjelajahi leher ini.Ia sesekali memejamkan mata, kulihat dari cermin di hadapan kami..“Kalau aku jelek yang ada nanti kamu malu bersanding denganku. Katanya mau didampingi meresmikan resto,” ujarku masih mengoles tipis-tipis lipstik ke bibir. “Iya, tapi kalau cantiknya kebangetan aku takut kamu digodain laki-laki lain. Kamu gak pake makeup aja aku pede aja gandeng kamu, kok,” tutur Mas Ezar.Dia masih memeluk erat tubuh ini dari belakang. Napasnya yang hangat sesekali menyapu lembut di kulit leherku, aku bisa rasakan itu. “Aku yang malu tampil dengan muka burik tanpa polesan walau tipis, takut kebanting kegantengan Pak Dosen.”"Hmm, ya udah. Ayo kita pergi,” ajak Mas Ezar. Aku mengecek jam tangan, ternyata sudah puk
Sampai di rumah Ayah, aku memutuskan untuk istirahat sebentar. Habis perjalanan jauh dari Jakarta ke Makassar rasanya capek banget.Padahal, tadi di pesawat cuma duduk doang. Tak sedang mencoba goyang ngebor sambil kayang. Mungkin efek hamil juga jadi badan serasa pegal-pegal dari ujung kepala hingga ujung kaki.Entah berapa lama aku istirahat sampai tertidur hingga kembali terbangun saat alarm pengingat meeting berbunyi. Sore ini, aku memang ada meeting online dengan Bu Aina dan para karyawan Aina Fashion. Begitu meeting berakhir, aku keluar kamar dan mendapati Mas Ezar yang sedang main ular tangga dengan Elizha di ruang tengah. ‘Astaga, laki gue mau-mau aja diajak main ular tangga.’Aku tertawa cekikikan melihat wajah Mas Ezar kayak ditekuk bak orang terpaksa. Aku tebak, dia pasti dipaksa nemanin main oleh Elizha. Soalnya, anak itu kalau keinginannya ditolak suka ngambek sampai 7 hari 7 malam. “Udah gede
“Sayang, dia tadi cuma nanya kabar, jangan salah paham, ya.”Nanya kabar? Penting amat gitu tahu kabar suami orang? Mas Ezar langsung duduk di sampingku, tapi aku sengaja tak memedulikan. Terlihat jelas dari gelagatnya kalau dia bingung bagaimana cara menjelaskan keberadaan Manda padaku? Ah, kurasa hatinya sedang gundah gulana, takut aku marah padanya. Kuraih ponsel dan pura-pura sibuk chat-an untuk menambah kesan judes ini. “Zar, Sha ... karena kebetulan kita ketemu di sini ....” ‘Lah, terus kenapa kalau ketemu di sini? Mau kopral sambil kayang?’“Jadi, sekalian aja gue minta maaf dan pamit pada kalian, terkhusus pada lu, Zar,” lanjut Manda.Setidaknya, aku memasang telinga baik-baik untuk lebih memperjelas pendengaran.Benarkah dia minta maaf? ‘Tumbenan banget seorang Manda minta maaf? Gak salah orang gue, kan, ya?’Takutnya aku cuma mimpi dan pas bangun malah ketampa