Share

Part 5 - Malam Pertama

Semakin lama suara grasak-grusuk di dekat pintu kamar kian meresahkan, terlebih gagang pintu juga sedikit bergerak seperti hendak dibuka.

Jadi herman, kenapa tak memanggilku saja kalau ada keperluan di kamar ini? Ya kali, mau langsung nyosor masuk.

Apa mereka tak berpikir bagaimananya kalau saat pintu dibuka aku atau mungkin Pak Ezar yang sedang ganti pakaian? Sangat tidak lucu, kalau dipergoki setengah telanjang.

“Buka bajumu!” titah Pak Ezar sedikit berbisik, tapi penuh penekanan.

“Hah?” Aku tak mengerti maksud ucapannya.

‘Enak saja suruh buka baju, dipikir gue cewek apaan?’

“Cepetan buka!”

“Bapak mau ngapain saya?” tanyaku yang lantas menyilangkan tangan di depan dada. Berlagak bak gadis polos yang akan digagahi secara paksa.

Pak Ezar mengusap wajah gusar. Sejurus kemudian, ia mengangkat kakiku naik ke ranjang dan sedikit mendorong tubuh ini hingga sedikit terbanting. Dia menarik ujung bajuku dan memaksa untuk mengeluarkannya.

Sementara aku, meronta dan terus memukul tangan besarnya agar lepas dari tubuh ini. Kelakuannya sudah persis pria hidung belang yang hendak memperkosa gadis belia.

“Orang-orang di luar pada kepo malam pertama kita, kau tau?” Pak Ezar menatapku tajam. Tangannya masih menarik ujung bajuku.

Aku meneguk ludah mendengar ucapannya. Menoleh sebentar ke arah pintu yang masih tertutup rapat, tapi kesannya seperti akan didobrak. Ada suara bisik-bisik di luar.

Benarkah orang di luar pada kepo? Kalaupun benar, kok ada keluarga yang iseng banget hidupnya? Aku yang stress, tapi mereka rada-rada tidak waras.

“Kok punya keluarga usil banget sih. Memang Pak Ezar gak kunci pintu tadi?”

“Saya tadi liat mereka mengambil kunci duplikatnya.”

“Apa?” Aku melongo terkaget-kaget.

’Terniat sekali mereka menonton adegan miskin gratis tanpa berburu link haram.’

Tak habis fikri dengan kelakuan keluargaku yang di luar nurul. Tapi, terkadang memang di negara +62 ini kalau menyangkut hal mesum, akal sehat orang-orang rada menipis.

“Mau buka sendiri atau perlu saya bukain?”

“Apanya, Pak?”

“Pakaian kamu.”

“Hah? Harus banget dibuka, Pak?”

“Iyalah. Biar menyakinkan mereka kalau kita sudah malam pertama.”

“Dih, Bapak gak usah ya nyari-nyari kesempatan?” selidikku.

“Najis! Saya tak tertarik tubuhmu.”

“Gedean juga melon daripada punyamu,” lanjutnya melirih

“Apa, Pak?”

“Gak ada.”

Aku mencebikkan bibir kesal. Jelas-jelas tadi dia ngomong sesuatu. Dipikir aku tuli.

‘Gak di kampus, gak di luar, omongannya ngalahin cabe.’

“Kamu tuh gak ada unsur menggodanya sama sekali.”

‘Ah, yang benar?’

Dengan malas, aku membuka baju bersamaan dengan Pak Ezar yang bergerak cepat mematikan lampu.

Aku sempat melihatnya dalam keremangan, dia juga membuka baju dan celananya. Kemudian, tidur di sampingku.

Tak sampai di situ saja, dia merapatkan tubuh ke arahku. Menjadikan tangan kirinya sebagai bantalku.

“Peluk saya,” ucapnya.

“Hah?”

Kok aku merasa permintaan Pak Ezar semakin aneh ya? Ini benaran hanya manipulatif atau sengaja mencari kesempatan dalam kesempitan?

Kata Mika, pria memang suka gitu. Dikasi hati minta jantung. Tak sekalian minta dinafkahi saja.

“Kamu tuli? Peluk saya, terus pura-pura tidur.”

Mau tidak mau, aku pun mengindahkan permintaan konyol Pak Ezar. Dan untuk pertama kalinya memeluk tubuh pria asing yang nyatanya adalah suamiku sendiri.

‘Jadi gini rasanya meluk suami? Suit-suit!’

Sepertinya organ-organ tubuhku harus merayakan pesta untuk merayakan betapa si paling menutup hati dan enggan bergantung pada pria kini malah sekamar bahkan memeluk seorang pria.

Jantung ini berpacu cepat. Napasku nyaris susah untuk sekadar berembus. Agak khawatir jika Pak Ezar mendengar detakan jantungku yang memburu.

Kami terdiam dalam kegelapan. Hanya cahaya dari lampu depan yang masuk lewat ventilasi membuat kamar tak terlalu gelap.

Sampai pada detik ini, masih tak menyangka jika statusku sudah menjadi istri. Jika perempuan lain menikah dengan pria idamannya masing-masing, maka tidak denganku yang justru masuk perangkap keluarga sendiri.

Ya, aku bilang ini perangkap. Sebab, semula keluargaku mengatakan kalau akan mengadakan pertunangan, nyatanya sudah sekaligus dengan akad.

Apesnya lagi karena aku tak pernah berminat untuk menemui calon suami sendiri. Ah, sampai saat ini, sungguh aku masih bingung dengan takdir hidup yang tengah kujalani.

Semua terjadi sangat tiba-tiba, bahkan sebelum aku sempat menghela napas.

Seperti mimpi, menikahi sosok dosen yang terkenal duta galak ini. Dosen pembimbing yang membuat dunia skripsi serumit hidupku. Dosen paling ngeselin, pelit nilai, juga seenaknya.

‘Duh, mimpi apa gue semalam?’

‘Dosa apa yang pernah gue perbuat? Kenapa pula harus nikah sama duta dosen galaknya UNNUS?’

Untung, tampan. Paling tidak, jika hatiku disakiti, mata ini tak ikut sakit.

Derrrrt!

Aku sontak memejamkan mata saat mendengar pintu kamar berderit.

Astaga, benar-benar keluarga usil. Buat apa coba ngintilin orang malam pertama?

‘Mau ngajarin atau mau nimbrung apa ya?’

’Perasaan dulu waktu Ibu nikah, gue gak ngintilin. Kenapa giliran gue yang nikah malah diusilin?’

“Kayaknya mereka kelelahan abis tempur. Tidurnya nyenyak,” bisik Ibu diikuti dengan kekehannya.

Setidaknya, aku bisa merasakan wajah ini terkena cahaya. Aku menebak, cahaya itu pasti dari senter Hp.

‘Siapa yang tidor, woy? Gue masih sadar dan setengah waras ini.’

“Rus, tapi kayaknya ada yang aneh, deh.”

“Apa, La?”

“Pakaian dalam kok gak ada? Masa iya kelempar ke luar jendela?”

Duh, mampus! Bagaimana ini?

Nyatanya, pakaian dalam masih melekat rapi di tubuh. Sangat tidak lucu kalau harus dikeluarkan juga. Takutnya hanya pura-pura, malah benaran di-unboxing.

Ogah, ah. Imut-imut, baru dibayangin juga.

“Ih, mungkin lagi nyempil di mana gitu, La. Udah, ah. Ayo keluar, nanti ketahuan lagi ngintilin. Haha.”

Punya Ibu dan mertua paket komplit. Sama-sama ngebet dan kepo. Kayaknya, ke depannya aku kudu punya hati yang lapang, sabar, tabah, dan ikhlas agar betah sama mereka.

“Keenakan meluk saya kamu? Mereka udah keluar,” cicit Pak Ezar yang membuyarkan lamunanku.

‘Ah, mikirin apa sampai gak sadar mereka udah keluar, Asha?’

“Dih, najis!”

Lantas saja, kutarik selimut untuk membungkus tubuh yang nyaris telanjang. Kemudian, beranjak dari kasur mencari pakaian yang berserakan di lantai gara-gara ide konyol Pak Ezar.

Aku membentang karpet bulu di lantai setelah mengenakan kembali pakaian. Lebih baik ngalah tidur di lantai, daripada harus seranjang dengan manusia macam Pak Ezar. Bagaimana kalau nanti dia mencekikku ketika tidur?

Ih, kok ngeri!

Walaupun sebenarnya sah-sah saja tidur seranjang, tapi agaknya aku masih syok dengan perubahan status yang sangat tiba-tiba ini.

Lagian, kasurnya agak sempit. Nanti sumpek kalau diisi dua orang. Masih mending hanya sumpek, kalau tiba-tiba mimpi jatuh di jurang dan akhirnya benaran jatuh nyium lantai? Tidak ada unsur-unsur uniknya sama sekali jika kejedot lantai.

Aku terdiam. Tiba-tiba diriku teringat dengan Vina dan sahabatku yang lainnya–Mika.

Entah seperti apa syoknya mereka kalau tahu aku menikah, bukan tunangan?

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ririn Marina s
menghibur. Jadi senyum2 sendiri bacanya
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status