Semakin lama suara grasak-grusuk di dekat pintu kamar kian meresahkan, terlebih gagang pintu juga sedikit bergerak seperti hendak dibuka.
Jadi herman, kenapa tak memanggilku saja kalau ada keperluan di kamar ini? Ya kali, mau langsung nyosor masuk.Apa mereka tak berpikir bagaimananya kalau saat pintu dibuka aku atau mungkin Pak Ezar yang sedang ganti pakaian? Sangat tidak lucu, kalau dipergoki setengah telanjang.“Buka bajumu!” titah Pak Ezar sedikit berbisik, tapi penuh penekanan.“Hah?” Aku tak mengerti maksud ucapannya.‘Enak saja suruh buka baju, dipikir gue cewek apaan?’“Cepetan buka!”“Bapak mau ngapain saya?” tanyaku yang lantas menyilangkan tangan di depan dada. Berlagak bak gadis polos yang akan digagahi secara paksa.Pak Ezar mengusap wajah gusar. Sejurus kemudian, ia mengangkat kakiku naik ke ranjang dan sedikit mendorong tubuh ini hingga sedikit terbanting. Dia menarik ujung bajuku dan memaksa untuk mengeluarkannya.Sementara aku, meronta dan terus memukul tangan besarnya agar lepas dari tubuh ini. Kelakuannya sudah persis pria hidung belang yang hendak memperkosa gadis belia.“Orang-orang di luar pada kepo malam pertama kita, kau tau?” Pak Ezar menatapku tajam. Tangannya masih menarik ujung bajuku.Aku meneguk ludah mendengar ucapannya. Menoleh sebentar ke arah pintu yang masih tertutup rapat, tapi kesannya seperti akan didobrak. Ada suara bisik-bisik di luar.Benarkah orang di luar pada kepo? Kalaupun benar, kok ada keluarga yang iseng banget hidupnya? Aku yang stress, tapi mereka rada-rada tidak waras.“Kok punya keluarga usil banget sih. Memang Pak Ezar gak kunci pintu tadi?”“Saya tadi liat mereka mengambil kunci duplikatnya.”“Apa?” Aku melongo terkaget-kaget.’Terniat sekali mereka menonton adegan miskin gratis tanpa berburu link haram.’Tak habis fikri dengan kelakuan keluargaku yang di luar nurul. Tapi, terkadang memang di negara +62 ini kalau menyangkut hal mesum, akal sehat orang-orang rada menipis.“Mau buka sendiri atau perlu saya bukain?”“Apanya, Pak?”“Pakaian kamu.”“Hah? Harus banget dibuka, Pak?”“Iyalah. Biar menyakinkan mereka kalau kita sudah malam pertama.”“Dih, Bapak gak usah ya nyari-nyari kesempatan?” selidikku.“Najis! Saya tak tertarik tubuhmu.”“Gedean juga melon daripada punyamu,” lanjutnya melirih“Apa, Pak?”“Gak ada.”Aku mencebikkan bibir kesal. Jelas-jelas tadi dia ngomong sesuatu. Dipikir aku tuli.‘Gak di kampus, gak di luar, omongannya ngalahin cabe.’“Kamu tuh gak ada unsur menggodanya sama sekali.”‘Ah, yang benar?’Dengan malas, aku membuka baju bersamaan dengan Pak Ezar yang bergerak cepat mematikan lampu.Aku sempat melihatnya dalam keremangan, dia juga membuka baju dan celananya. Kemudian, tidur di sampingku.Tak sampai di situ saja, dia merapatkan tubuh ke arahku. Menjadikan tangan kirinya sebagai bantalku.“Peluk saya,” ucapnya.“Hah?”Kok aku merasa permintaan Pak Ezar semakin aneh ya? Ini benaran hanya manipulatif atau sengaja mencari kesempatan dalam kesempitan?Kata Mika, pria memang suka gitu. Dikasi hati minta jantung. Tak sekalian minta dinafkahi saja.“Kamu tuli? Peluk saya, terus pura-pura tidur.”Mau tidak mau, aku pun mengindahkan permintaan konyol Pak Ezar. Dan untuk pertama kalinya memeluk tubuh pria asing yang nyatanya adalah suamiku sendiri.‘Jadi gini rasanya meluk suami? Suit-suit!’Sepertinya organ-organ tubuhku harus merayakan pesta untuk merayakan betapa si paling menutup hati dan enggan bergantung pada pria kini malah sekamar bahkan memeluk seorang pria.Jantung ini berpacu cepat. Napasku nyaris susah untuk sekadar berembus. Agak khawatir jika Pak Ezar mendengar detakan jantungku yang memburu.Kami terdiam dalam kegelapan. Hanya cahaya dari lampu depan yang masuk lewat ventilasi membuat kamar tak terlalu gelap.Sampai pada detik ini, masih tak menyangka jika statusku sudah menjadi istri. Jika perempuan lain menikah dengan pria idamannya masing-masing, maka tidak denganku yang justru masuk perangkap keluarga sendiri.Ya, aku bilang ini perangkap. Sebab, semula keluargaku mengatakan kalau akan mengadakan pertunangan, nyatanya sudah sekaligus dengan akad.Apesnya lagi karena aku tak pernah berminat untuk menemui calon suami sendiri. Ah, sampai saat ini, sungguh aku masih bingung dengan takdir hidup yang tengah kujalani.Semua terjadi sangat tiba-tiba, bahkan sebelum aku sempat menghela napas.Seperti mimpi, menikahi sosok dosen yang terkenal duta galak ini. Dosen pembimbing yang membuat dunia skripsi serumit hidupku. Dosen paling ngeselin, pelit nilai, juga seenaknya.‘Duh, mimpi apa gue semalam?’‘Dosa apa yang pernah gue perbuat? Kenapa pula harus nikah sama duta dosen galaknya UNNUS?’Untung, tampan. Paling tidak, jika hatiku disakiti, mata ini tak ikut sakit.Derrrrt!Aku sontak memejamkan mata saat mendengar pintu kamar berderit.Astaga, benar-benar keluarga usil. Buat apa coba ngintilin orang malam pertama?‘Mau ngajarin atau mau nimbrung apa ya?’’Perasaan dulu waktu Ibu nikah, gue gak ngintilin. Kenapa giliran gue yang nikah malah diusilin?’“Kayaknya mereka kelelahan abis tempur. Tidurnya nyenyak,” bisik Ibu diikuti dengan kekehannya.Setidaknya, aku bisa merasakan wajah ini terkena cahaya. Aku menebak, cahaya itu pasti dari senter Hp.‘Siapa yang tidor, woy? Gue masih sadar dan setengah waras ini.’“Rus, tapi kayaknya ada yang aneh, deh.”“Apa, La?”“Pakaian dalam kok gak ada? Masa iya kelempar ke luar jendela?”Duh, mampus! Bagaimana ini?Nyatanya, pakaian dalam masih melekat rapi di tubuh. Sangat tidak lucu kalau harus dikeluarkan juga. Takutnya hanya pura-pura, malah benaran di-unboxing.Ogah, ah. Imut-imut, baru dibayangin juga.“Ih, mungkin lagi nyempil di mana gitu, La. Udah, ah. Ayo keluar, nanti ketahuan lagi ngintilin. Haha.”Punya Ibu dan mertua paket komplit. Sama-sama ngebet dan kepo. Kayaknya, ke depannya aku kudu punya hati yang lapang, sabar, tabah, dan ikhlas agar betah sama mereka.“Keenakan meluk saya kamu? Mereka udah keluar,” cicit Pak Ezar yang membuyarkan lamunanku.‘Ah, mikirin apa sampai gak sadar mereka udah keluar, Asha?’“Dih, najis!”Lantas saja, kutarik selimut untuk membungkus tubuh yang nyaris telanjang. Kemudian, beranjak dari kasur mencari pakaian yang berserakan di lantai gara-gara ide konyol Pak Ezar.Aku membentang karpet bulu di lantai setelah mengenakan kembali pakaian. Lebih baik ngalah tidur di lantai, daripada harus seranjang dengan manusia macam Pak Ezar. Bagaimana kalau nanti dia mencekikku ketika tidur?Ih, kok ngeri!Walaupun sebenarnya sah-sah saja tidur seranjang, tapi agaknya aku masih syok dengan perubahan status yang sangat tiba-tiba ini.Lagian, kasurnya agak sempit. Nanti sumpek kalau diisi dua orang. Masih mending hanya sumpek, kalau tiba-tiba mimpi jatuh di jurang dan akhirnya benaran jatuh nyium lantai? Tidak ada unsur-unsur uniknya sama sekali jika kejedot lantai.Aku terdiam. Tiba-tiba diriku teringat dengan Vina dan sahabatku yang lainnya–Mika.Entah seperti apa syoknya mereka kalau tahu aku menikah, bukan tunangan?Walaupun pernikahan kami cukup mendadak, tetapi aku sudah bertekad untuk menghormati pernikahan ini. Singkatnya, tak pernah terbesit niat di hati untuk mempermainkan pernikahan. Bagaimanapun juga, aku dan Pak Ezar sah secara agama ataupun negara, meskipun acara nikahannya tak terlalu mewah. Konon kabarnya, resepsi gedenya bakal diadakan setelah aku lulus. ‘Halah, proposal aja masih mutar-mutar di tempat. Belum skripsinya. Alamat nambahin beban ini.’ Aku pun pasti melakukan kewajiban sebagai istri—dengan catatan bukan kewajiban ’skidipapap’ karena jika itu jujur saja aku masih butuh waktu untuk mempersiapkan diri. Bukan mau durhaka sama suami, tapi sekamar dengannya saja masih bikin terkaget-kaget. Selebihnya, aku akan menghormati suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Aku tak berniat untuk mengakhiri pernikahan, tetapi jika suatu saat Pak Ezar yang menginginkan perpisahan atau sikapnya yang seakan-akan meminta pergi, maka dengan senang hati aku pasti beranjak. Menyangkut pri
Aku menghela napas panjang ketika sudah berada di sebuah kamar yang luasnya ngalahin kamar indekosku. Ini kalau kamarnya begini, pasti betah berlama-lama mikirin beban hidup yang tak ada habisnya bikin terjungkal. Tapi, entah mengapa fasilitas yang sangat bagus ini masih membuat dada sesak, seolah tersirat kekecewaan yang aku bingung sendiri penyebabnya. Apa iya aku kecewa karena ucapan Pak Ezar tadi? Aku tak yakin. Namun, pada sekeping hati terdapat luka yang seperti sengaja digoreskan. Ada sesak menghimpit di relung sukma manakala ia dengan terang-terangan mengatakan tak ingin tidur seranjang. Ah, aku bukan menginginkannya, tapi ucapannya cukup mengusik jiwa dan ketenangan batin. Secara tidak langsung menyakiti tanpa menyentuh. Aku semakin tak tahu ke mana arah pernikahan akan dibawa? Akankah sampai pada muaranya atau justru tenggelam dengan derasnya ombak? Walaupun, sejatinya keputusan Pak Ezar menjadi keuntungan tersendiri bagiku. Menilik, sakitnya di malam pertama terus me
Aku memandang Pak Ezar sekilas. Semburat kekhawatiran dapat kulihat jelas di wajahnya. “Dia ponakan aku,” ucapnya cepat, “katanya mau pindah kosan. Jadi aku tampung dulu sementara waktu sambil dianya juga nyari-nyari kosan.”‘Ponakan?’Pak Ezar menganggapku sebagai ponakannya? Aku mengernyit tanpa kata. Aku hampir saja lupa kalau dia pernah bilang tak mau mempublikasikan hubungan kami.‘Berharap apa sih lu sama pernikahan ini, Sha?’Lalu, ada hubungan apa Pak Ezar dengan wanita itu? “Asha, kenalin ini Manda, pacar aku.” Deg! Dalam sekejap aku merasa ulu hatiku seperti tercabik dengan pengakuan Pak Ezar. Nyatanya, aku tak kaget, pun bukan cemburu. Hanya sedikit syok karena ia berani membawa pacarnya ke rumah. Kuanggukkan kepala pelan sembari melempar senyum semanis mungkin pada Manda. Tak lama, gadis itu beranjak dan menghampiriku.Begitu tiba di hadapanku, dia menyodorkan tangan sebagai salam perkenalan yang kemudian kusambut dengan senang hati. “Manda, pacarnya Aezar,” kat
‘Pak Ezar? Dia datang ke sini?’Aku mengernyit bingung, berusaha mencerna maksud Vina. Sedang Mika sudah menyembulkan kepala di pinggir rak untuk memastikan.“Lu cuma liat Pak Ezar tapi kek mau pindah alam,” cibir Mika.‘Pak Ezar benaran ke sini?’Tentu saja aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Hanya saja aku berusaha bersikap santai. Vina menarik napas panjang. Tangannya mengusap lembut lenganku seakan meminta untuk tetap bersabar. “Sha, itu yang cewek bareng Pak Ezar si Manda bukan sih? Kastemer prioritas di toko?” Mika bertanya tanpa menoleh ke arahku. Nyatanya, aku sama sekali tak kaget dengan pertanyaan Mika. Toh, Pak Ezar juga sudah bilang akan tetap menjalin hubungan dengan kekasihnya. Aku sedikit bergeser dan menyembulkan kepala dari balik rak sekadar memastikan sosok gadis yang bersama Pak Ezar benar adalah Manda. “Ya. Dia memang Mbak Manda. Kemarin gue juga ketemu di rumah.”Walau dalam hati paling dalam, jujur aku cukup kecewa saat tahu dia berada di sini, tetap
Aku memasuki gedung kampus dengan langkah terburu-buru dan langsung melipir ke ruangan Pak Ezar. Hari ini, aku akan menemuinya kembali untuk konsultasi proposal yang tertunda pekan lalu. Namun, nyatanya setiba di sana, ruangannya masih tertutup rapat. Lampunya juga belum menyala. Artinya, Pak Ezar belum datang.Bukankah saat kuhubungi tadi ia bilang akan tiba di kampus pukul 9:30?Sekarang sudah pukul 10, tapi dia belum datang. Padahal, dia tipikal dosen yang disiplin. Satu detiknya terlalu berharga. Biasanya juga suka marah-marah kalau mahasiswa datang terlambat. Aku pernah jadi korbannya!Sesaat, aku mengembuskan napas berat dan memilih duduk di kursi depan ruangannya. ‘Di rumah ketemunya gampang, sekali di kampus malah ngilang.’Ah, seandainya Pak Ezar mau diajak diskusi pas di rumah saja. Sayangnya, walaupun sudah jadi suami, agaknya dia tak mau sedikit saja memban
“Eh, ada si Ukhti juga,” ucapnya tersenyum ke arah Vina. “Sha, lu kenapa sih gak pernah ngerespons deem gue?” tanyanya padaku. “Jangankan direspons, kayaknya itu deem gue di ig betah banget nangkring di fitur permintaan.”“Gue lagi gak ada waktu buat buka-buka deem,” ucapku dengan nada judes. “Sha, tau gak? Lu kalo judes-judes gitu makin bikin hati gue ketar-ketir berasa pengen langsung seret ke KUA.”‘Dasar playboy cap kadal!’ makiku dalam batin.“Astagfirullah. Kak Fadly, Asha udah—” Belum sempat Vina melanjutkan ucapannya, aku sigap mencubit pinggangnya disertai dengan delikan judes. Untungnya, dia langsung sadar dan paham sehingga mengunci mulut.“Udah apa, Vin?”“Udah gak usah bucin mulu. Kelarin itu kuliah lu yang gak kelar-kelar.”“Gue masih betah di kampus, selagi masih ada Asha yang menenangkan hati.”“Stress!” cibirku. “Lu yang bikin gue stress sampe segininya,
Aku masih melongo tanpa kata, berusaha menerawang jauh ke belakang sembari mencari letak tanda-tanda yang menunjukkan kalau Bu Aina dan suamiku punya hubungan darah. Astaga, apakah dunia benar-benar hanya selebar daun kelor?Sejauh mata memandang dan sepanjang perjalananku meniti karir di Aina Fashion, aku betul-betul tak tahu menahu hubungan Bu Aina dan Pak Ezar.“Kenapa pada kaget gitu?” Bu Aina melihatku dan Vina bergantian. Aku menggeleng pelan, seolah kehabisan kata-kata menerima kenyataan. Padahal, sebenarnya ada banyak tanya yang terbesit dalam hati. Untung saja, kami tak pernah mereview perilaku dosen galak itu di hadapan Bu Aina.“Bu, Asha doang yang dikasi kado? Kami berdua nggak?” protes Mika. “Nikah dulu, baru Ibu kasih juga.”“Nikah, Vin.”“Dih, kamu aja yang duluan. Kamu kan lebih tua sebulan dari aku,” sanggah Vina. “Si Asha aja lebih muda setahun dari kita udah nikung duluan.”“Ya kan udah jodohnya.”Aku memijat kening mendengar dua cewek cantik itu sedang adu mu
Keesokan harinya, aku dan Pak Ezar mengunjungi rumah orang tuanya.Ini kali pertama aku bertandang ke rumah mertua. Jujur saja, rasanya cukup gugup. Setelah menempuh perjalanan sekitar sepuluh menit, mobil Pak Ezar memasuki halaman rumah yang sangat luas. Bisa kutebak ini adalah rumah mertuaku. Hamparan rumput hijau terawat dan air mancur di halaman depan menambah keindahan rumah yang tak kalah besar dari rumahnya Pak Ezar. ‘Mimpi apa gue nikah sama sultan?’Aku turun dari mobil lebih dulu dan mendapati Bunda Ola sudah berdiri di teras sambil tersenyum ke arah kami. Dengan takzim, aku mencium tangannya memberi penghormatan. Dia juga menarikku ke dalam pelukannya seakan baru saja bertemu dengan putrinya yang pulang dari rantauan. Entah mengapa, perlakuan Bunda Ola yang sangat manis membuatku seperti tengah melihat Mama yang kembali.Seandainya, Pak Ezar juga begitu. Ah, memangnya apa yang kau harapan darinya, Asha? Jangan terlalu banyak berkhayal. Perbanyaklah sadar diri. “Bag