Share

Part 6 - Jadi Istri Orang

Walaupun pernikahan kami cukup mendadak, tetapi aku sudah bertekad untuk menghormati pernikahan ini. Singkatnya, tak pernah terbesit niat di hati untuk mempermainkan pernikahan.

Bagaimanapun juga, aku dan Pak Ezar sah secara agama ataupun negara, meskipun acara nikahannya tak terlalu mewah. Konon kabarnya, resepsi gedenya bakal diadakan setelah aku lulus.

‘Halah, proposal aja masih mutar-mutar di tempat. Belum skripsinya. Alamat nambahin beban ini.’

Aku pun pasti melakukan kewajiban sebagai istri—dengan catatan bukan kewajiban ’skidipapap’ karena jika itu jujur saja aku masih butuh waktu untuk mempersiapkan diri.

Bukan mau durhaka sama suami, tapi sekamar dengannya saja masih bikin terkaget-kaget.

Selebihnya, aku akan menghormati suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Aku tak berniat untuk mengakhiri pernikahan, tetapi jika suatu saat Pak Ezar yang menginginkan perpisahan atau sikapnya yang seakan-akan meminta pergi, maka dengan senang hati aku pasti beranjak.

Menyangkut pria, aku mengingat pesan Mika, ‘Jadi cewek harus mandiri. Harus bisa berdiri di kaki sendiri. Jadi, kalau disakiti sama lelaki, galaunya gak kebangetan, macam orang yang mau meninggoy!’

Ada juga pesan dari si sholehah Vina, ‘Gantungkan harapanmu hanya kepada Allah, karena berharap pada manusia hanya kecewa yang akan didapati.’

Sepakat dengan persepsi mereka berdua. Dulu, aku pernah berharap pada seorang pria, tapi dikhianati. Aku galau macam orang kerasukan. Bahkan, menjalani hidup seakan-akan sudah berada di ujung kehidupan. Untungnya, sama sekali tak berminat bunuh diri.

Setelah perasaan mulai membaik, aku memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Berharap, bisa lupa akan luka dan sesak yang tak ada habisnya menerjang seperti badai.

Entahlah, aku juga tidak tahu seperti apa perjalanan pernikahanku dengan Pak Ezar ke depan? Aku pastikan tak muluk-muluk berharap banyak pada pernikahan ini.

‘Yang jelas, gue kudu sadar diri,’ batinku mengingatkan.

******

Azan subuh berkumandang.

Begitu bangun, pemandangan pertama yang disuguhkan semesta pagi ini adalah dosen sialan yang masih meringkuk di atas kasur.

Agaknya dia kedinginan karena selimut telah kukuasai sepanjang malam menghangatkan badan.

‘Hahaha. Rasain!’ ejekku dalam hati.

Setelah berhasil mengendalikan diri, segera kusimpan karpet bulu di lemari. “Pak, bangun. Udah subuh,” ucapku–membangunkannya.

Untung, tak ada drama lagi.

Jadi, begitu matahari mulai beranjak, aku keluar kamar membantu Ibu dan mertuaku memasak.

Melihat wajah dua wanita yang masih tampak segar meski sudah berumur, membuat jantungku rada geser ke paru-paru.

Senyuman yang disuguhkan seperti ada maksud terselubung. Tatapannya juga membuat nyali siapa saja yang melihat menciut seketika.

“Duh, pengantin baru udah bangun pagi-pagi. Abis produksi cucu kok jalannya biasa aja?” cibir Ibu mertua.

Mendengar itu, sontak aku memijat kening.

Lah, memang jalannya kudu gimana? Ngangkang? Ngesot? Apa loncat kayak kelinci? Ada-ada aja!

“Emang harusnya gimana, Tante?” tanya Naila dengan polosnya. Dia tengah menenggak air putih di dekat meja.

Pertanyaan yang kutahan-tahan agar tak keluar, akhirnya pecah di mulut adikku itu

“Huss, anak kecil dilarang kepo,” timpal Ibu, “sana balik ke kamar.”

Naila mengerucutkan bibir dan menghentak-hentakkan kaki ke lantai kembali ke kamar.

“Neng, kok rambutmu gak basah?” tanya Ibu lagi.

“Hah?” Aku melongo. Otak ini masih lemot untuk berpikir.

Butuh waktu lama, aku tersadar maksud dan tujuan ibu.

Semburat merah pun muncul di wajah. “Aa-aa itu, kan ada hair dryer, Bu,” kekehku.

Aku memijat tengkuk yang tak sakit. Ini dua ibu-ibu kok tak ada bebannya bahas gituan di depan aku yang masih bocil?

Kan, hati mungilku jadi resah dan gelisah.

“Bohong, ya?” Ibu memicing. Sedang, Bunda Ola terkekeh pelan.

Mereka berpandangan sambil tertawa. Ini bagaimana ceritanya aku bohong sama suhu?

Kagak mempan. Mereka bakal tahu jika persoalan begituan. Toh, udah pengalaman. Haduh! Apes banget.

“Udah gak apa-apa, Neng. Bunda tau kalau kalian butuh waktu untuk menyesuaikan. Pelan-pelan aja.” Ibu mertua mengusap pelan bahuku.

Hanya senyuman getir yang kulayangkan untuk menanggapi ucapannya.

“Zar, Bunda dan Papa akan pulang ke Jakarta pagi ini. Kalian bisa kapan-kapan aja pulangnya. Habisin waktu jalan-jalan dulu di sini. Suasana perkampungan adem tau untuk pengantin baru,” ucap Ibu mertua ketika kami sudah menikmati sarapan bersama.

“Itu betul, Aezar. Kakak kamu dulu lebih milih menghabiskan waktu di kampung istrinya daripada honeymoon ke luar negeri. Barangkali kamu juga begitu,” timpal Papa mertua.

“Ezar pulang sore ini, Bun, Pa,” sanggah Pak Ezar.

“Loh kok buru-buru, Nak?” tanya Bapak.

“Soalnya ada kerjaan di kampus, Om, eh ... Pak.”

“Udah didiskusikan sama Asha?” selidik Papa mertua.

“Udah kok, Pak. Gak apa-apa. Asha juga lusa udah masuk kerja,” jawabku tersenyum getir.

Padahal, niatnya mau pulang besok saja, tapi pernah dengar kalau seorang istri kudu berbakti pada suami. Jadi, harus ikut Pak Ezar.

*****

“Sekarang, Neng udah punya suami. Baik-baik ya sama Nak Ezar. Neng harus berbakti sama suami, kalau mau ke mana-mana pun harus seizin suami, ya.” Ibu menangkup wajahku yang saat itu sudah siap untuk berangkat.

Vibesnya jadi melow, padahal ini bukan kali pertama kami berpisah. Hanya saja, perpisahan kali ini agak berbeda dari sebelumnya. Dulu, ia melepasku merantau. Sekarang, dilepas untuk ikut suami.

“Iya, Bu.” Aku memeluk Ibu, cukup lama.

Peluk kasih sayang yang senantiasa akan selalu kurindu.

“Jangan nolak kalau suami minta haknya. Jatuhnya dosa,” bisik Ibu diikuti dengan kekehannya.

Aku melepas pelukan dengan paksa, lantas menghela napas berat. Sedari tadi, Ibu tak berhenti menggodaku.

“Nak Ezar, titip Asha,” ujar Ibu pada Pak Ezar.

“Iya, Bu.”

“Kami pamit ya, Bu, Pak.” Aku salim pada Bapak dan Ibu, lalu mencium tangannya dengan takzim. Begitupun dengan Pak Ezar.

“Naila, Agam, Teteh pergi, ya.”

“Iya, Teh. Nanti balik bawa oleh-oleh yang banyak, ya,” kekeh Naila.

“Huh, dasar!”

Setelah menempuh perjalanan sekitar 3 jam karena tadi di jalan sedikit macet, akhirnya Pak Ezar berhenti di depan bangunan berlantai tiga.

Ini rumah atau istana? Gede banget.

“Kamu pilih kamar yang mana?” tanya Pak Ezar setelah kami sudah berada dalam rumah.

“Hah, maksudnya?” Aku mengernyit bingung.

“Di sini ada empat kamar. Kamu pilih mau di kamar mana?”

Apaan maksudnya? Jujur, aku benar-benar tak mengerti.

“Di situ aja, deh, Pak,” ucapku asal sambil menunjuk sebuah kamar yang di depannya terdapat sebuah pas bunga gede.

“Oh, ya udah. Kamar saya di lantai 2,” ujarnya cuek.

Oh, jadi maksudnya kami tidur terpisah? Ya, bukan apa-apa, tapi tidak lucu kalau suami istri tidur terpisah.

“Tidur terpisah?”

“Ya. Emang kenapa? Ngarep seranjang sama saya? Bangun, jangan tidur mulu! Mimpinya kejauhan,” cibirnya lantas pergi begitu saja.

“Kamu tuh bukan tipeku!” ucapnya dingin.

Deg!

‘Astaga, mulutnya gak ada cerminan tetek-bengek seorang dosen.’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status