Walaupun pernikahan kami cukup mendadak, tetapi aku sudah bertekad untuk menghormati pernikahan ini. Singkatnya, tak pernah terbesit niat di hati untuk mempermainkan pernikahan.
Bagaimanapun juga, aku dan Pak Ezar sah secara agama ataupun negara, meskipun acara nikahannya tak terlalu mewah. Konon kabarnya, resepsi gedenya bakal diadakan setelah aku lulus.‘Halah, proposal aja masih mutar-mutar di tempat. Belum skripsinya. Alamat nambahin beban ini.’Aku pun pasti melakukan kewajiban sebagai istri—dengan catatan bukan kewajiban ’skidipapap’ karena jika itu jujur saja aku masih butuh waktu untuk mempersiapkan diri.Bukan mau durhaka sama suami, tapi sekamar dengannya saja masih bikin terkaget-kaget.Selebihnya, aku akan menghormati suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Aku tak berniat untuk mengakhiri pernikahan, tetapi jika suatu saat Pak Ezar yang menginginkan perpisahan atau sikapnya yang seakan-akan meminta pergi, maka dengan senang hati aku pasti beranjak.Menyangkut pria, aku mengingat pesan Mika, ‘Jadi cewek harus mandiri. Harus bisa berdiri di kaki sendiri. Jadi, kalau disakiti sama lelaki, galaunya gak kebangetan, macam orang yang mau meninggoy!’Ada juga pesan dari si sholehah Vina, ‘Gantungkan harapanmu hanya kepada Allah, karena berharap pada manusia hanya kecewa yang akan didapati.’Sepakat dengan persepsi mereka berdua. Dulu, aku pernah berharap pada seorang pria, tapi dikhianati. Aku galau macam orang kerasukan. Bahkan, menjalani hidup seakan-akan sudah berada di ujung kehidupan. Untungnya, sama sekali tak berminat bunuh diri.Setelah perasaan mulai membaik, aku memutuskan untuk merantau ke Jakarta. Berharap, bisa lupa akan luka dan sesak yang tak ada habisnya menerjang seperti badai.Entahlah, aku juga tidak tahu seperti apa perjalanan pernikahanku dengan Pak Ezar ke depan? Aku pastikan tak muluk-muluk berharap banyak pada pernikahan ini.‘Yang jelas, gue kudu sadar diri,’ batinku mengingatkan.******Azan subuh berkumandang.Begitu bangun, pemandangan pertama yang disuguhkan semesta pagi ini adalah dosen sialan yang masih meringkuk di atas kasur.Agaknya dia kedinginan karena selimut telah kukuasai sepanjang malam menghangatkan badan.‘Hahaha. Rasain!’ ejekku dalam hati.Setelah berhasil mengendalikan diri, segera kusimpan karpet bulu di lemari. “Pak, bangun. Udah subuh,” ucapku–membangunkannya.Untung, tak ada drama lagi.Jadi, begitu matahari mulai beranjak, aku keluar kamar membantu Ibu dan mertuaku memasak.Melihat wajah dua wanita yang masih tampak segar meski sudah berumur, membuat jantungku rada geser ke paru-paru.Senyuman yang disuguhkan seperti ada maksud terselubung. Tatapannya juga membuat nyali siapa saja yang melihat menciut seketika.“Duh, pengantin baru udah bangun pagi-pagi. Abis produksi cucu kok jalannya biasa aja?” cibir Ibu mertua.Mendengar itu, sontak aku memijat kening.Lah, memang jalannya kudu gimana? Ngangkang? Ngesot? Apa loncat kayak kelinci? Ada-ada aja!“Emang harusnya gimana, Tante?” tanya Naila dengan polosnya. Dia tengah menenggak air putih di dekat meja.Pertanyaan yang kutahan-tahan agar tak keluar, akhirnya pecah di mulut adikku itu“Huss, anak kecil dilarang kepo,” timpal Ibu, “sana balik ke kamar.”Naila mengerucutkan bibir dan menghentak-hentakkan kaki ke lantai kembali ke kamar.“Neng, kok rambutmu gak basah?” tanya Ibu lagi.“Hah?” Aku melongo. Otak ini masih lemot untuk berpikir.Butuh waktu lama, aku tersadar maksud dan tujuan ibu.Semburat merah pun muncul di wajah. “Aa-aa itu, kan ada hair dryer, Bu,” kekehku.Aku memijat tengkuk yang tak sakit. Ini dua ibu-ibu kok tak ada bebannya bahas gituan di depan aku yang masih bocil?Kan, hati mungilku jadi resah dan gelisah.“Bohong, ya?” Ibu memicing. Sedang, Bunda Ola terkekeh pelan.Mereka berpandangan sambil tertawa. Ini bagaimana ceritanya aku bohong sama suhu?Kagak mempan. Mereka bakal tahu jika persoalan begituan. Toh, udah pengalaman. Haduh! Apes banget.“Udah gak apa-apa, Neng. Bunda tau kalau kalian butuh waktu untuk menyesuaikan. Pelan-pelan aja.” Ibu mertua mengusap pelan bahuku.Hanya senyuman getir yang kulayangkan untuk menanggapi ucapannya.“Zar, Bunda dan Papa akan pulang ke Jakarta pagi ini. Kalian bisa kapan-kapan aja pulangnya. Habisin waktu jalan-jalan dulu di sini. Suasana perkampungan adem tau untuk pengantin baru,” ucap Ibu mertua ketika kami sudah menikmati sarapan bersama.“Itu betul, Aezar. Kakak kamu dulu lebih milih menghabiskan waktu di kampung istrinya daripada honeymoon ke luar negeri. Barangkali kamu juga begitu,” timpal Papa mertua.“Ezar pulang sore ini, Bun, Pa,” sanggah Pak Ezar.“Loh kok buru-buru, Nak?” tanya Bapak.“Soalnya ada kerjaan di kampus, Om, eh ... Pak.”“Udah didiskusikan sama Asha?” selidik Papa mertua.“Udah kok, Pak. Gak apa-apa. Asha juga lusa udah masuk kerja,” jawabku tersenyum getir.Padahal, niatnya mau pulang besok saja, tapi pernah dengar kalau seorang istri kudu berbakti pada suami. Jadi, harus ikut Pak Ezar.*****“Sekarang, Neng udah punya suami. Baik-baik ya sama Nak Ezar. Neng harus berbakti sama suami, kalau mau ke mana-mana pun harus seizin suami, ya.” Ibu menangkup wajahku yang saat itu sudah siap untuk berangkat.Vibesnya jadi melow, padahal ini bukan kali pertama kami berpisah. Hanya saja, perpisahan kali ini agak berbeda dari sebelumnya. Dulu, ia melepasku merantau. Sekarang, dilepas untuk ikut suami.“Iya, Bu.” Aku memeluk Ibu, cukup lama.Peluk kasih sayang yang senantiasa akan selalu kurindu.“Jangan nolak kalau suami minta haknya. Jatuhnya dosa,” bisik Ibu diikuti dengan kekehannya.Aku melepas pelukan dengan paksa, lantas menghela napas berat. Sedari tadi, Ibu tak berhenti menggodaku.“Nak Ezar, titip Asha,” ujar Ibu pada Pak Ezar.“Iya, Bu.”“Kami pamit ya, Bu, Pak.” Aku salim pada Bapak dan Ibu, lalu mencium tangannya dengan takzim. Begitupun dengan Pak Ezar.“Naila, Agam, Teteh pergi, ya.”“Iya, Teh. Nanti balik bawa oleh-oleh yang banyak, ya,” kekeh Naila.“Huh, dasar!”Setelah menempuh perjalanan sekitar 3 jam karena tadi di jalan sedikit macet, akhirnya Pak Ezar berhenti di depan bangunan berlantai tiga.Ini rumah atau istana? Gede banget.“Kamu pilih kamar yang mana?” tanya Pak Ezar setelah kami sudah berada dalam rumah.“Hah, maksudnya?” Aku mengernyit bingung.“Di sini ada empat kamar. Kamu pilih mau di kamar mana?”Apaan maksudnya? Jujur, aku benar-benar tak mengerti.“Di situ aja, deh, Pak,” ucapku asal sambil menunjuk sebuah kamar yang di depannya terdapat sebuah pas bunga gede.“Oh, ya udah. Kamar saya di lantai 2,” ujarnya cuek.Oh, jadi maksudnya kami tidur terpisah? Ya, bukan apa-apa, tapi tidak lucu kalau suami istri tidur terpisah.“Tidur terpisah?”“Ya. Emang kenapa? Ngarep seranjang sama saya? Bangun, jangan tidur mulu! Mimpinya kejauhan,” cibirnya lantas pergi begitu saja.“Kamu tuh bukan tipeku!” ucapnya dingin.Deg!‘Astaga, mulutnya gak ada cerminan tetek-bengek seorang dosen.’Mas Ezar membawaku ke samping resto yang sepi-sepi orang. Entah ada tujuan apa dia membawaku ke sini? Sudah persis gadis polos mau diperkaos pria hidung belang. “Mas, kenapa dibawa ke sini?” tanyaku mengerucutkan bibir kesal. “Padahal masih pengen nyinyirin si pirang gatal itu.”“Makanya aku bawa ke sini untuk menepi sejenak, Sayang. Jangan nyinyir lagi ya. Yang ada nanti kamu stres kebawa janin kamu juga ikutan stres,” ujar Mas Ezar. Dia menopang tubuh dengan kedua tangannya pada tembok agar tubuh kami tak bersentuhan walau posisinya mengurungku pada tembok. Aku menghela napas panjang. Sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain agar terkesan judes. “Kamu kok belain dia, sih?”Mas Ezar menangkup wajahku dan menatap mata ini lekat. “Bukan membela, Sayang. Aku juga gak suka sikap dia tadi, tapi aku gak mau dia nyakitin kamu. Kamu tadi liat? Dia emosi kamu bilangin gatal. Untung gak jambak kamu.”“Aku kan bisa jambak balik,” cici
Begitu Bagas telah selesai bernyanyi dan Naila sedikit berlari turun dari panggung, barangkali lupa membawa stok urat malu. Hahaha. Bercanda urat malu!Seketika itu, aku pun terlintas ide untuk merayakan ulang tahun suamiku yang ke-29. Dari kemarin, aku berpikir keras bagaimana mengucapkan agar terkesan romantis dan tidak kaku macam sikapnya saat awal kami menikah. Aku pun naik ke panggung. Bukan untuk goyang ngebor di sana, tapi buat ngambil mic, lalu diskusi sebentar dengan Akang piano. Gak usah penasaran kami diskusi apaan? Intinya, setelah itu aku kembali ke tempat dudukku dengan mic di tangan. Saat ini, aku percaya diri dengan suaraku yang membahana, walau nyatanya seperti suara kodok. Masa bodoh dengan pandangan orang-orang, tapi aku bangga punya suara yang seksi ini, walau tak seseksi orangnya jika hanya berdua dengan Mas Ezar di kamar. Eya!Begitu musik mulai mengalun, aku membuka ponsel dan melihat lirik la
Belum sempat kusambut uluran tangan Ahsan, Mas Ezar yang entah muncul darimana lebih dulu menyambut tangan duda beranak satu itu. “Kami baik,” katanya sambil menarik pinggangku posesif hingga tubuh ini menabrak tubuhnya. “Duh, pocecip detected,” ucap Kak Akmal pelan. Dia sampai menutup mulut dan menoleh ke arah lain. Ia terlihat susah payah menahan tawanya. Ahsan tersenyum tipis. Barangkali menyadari kecemburuan Mas Ezar padanya. “Maaf ini, Mas, karena datang gak diundang. Cuma ikut-ikutan Kak Akmal,” kekeh Ahsan tak enak hati. “Gak apa-apa. Malah senang kalau banyak yang datang.”Mas Ezar mengulas senyum tipis berlagak sangat ramah. Padahal, kutahu hatinya tengah meradang melihat Ahsan mengulurkan tangannya padaku tadi. Dia pasti mengingat kejadian di pernikahan Vina kemarin, di mana saat itu Ahsan melamarku. Barangkali, sekarang ia tetap takut istrinya masih diincar oleh duduk beranak satu itu.
“Jangan cantik-cantik, Sayang. Aku takut nanti malah banyak yang naksir kamu di sana.” Lengan kekar Mas Ezar tiba-tiba saja sudah melingkar di perutku. Bahkan, kini hidungnya pun semakin liar menjelajahi leher ini.Ia sesekali memejamkan mata, kulihat dari cermin di hadapan kami..“Kalau aku jelek yang ada nanti kamu malu bersanding denganku. Katanya mau didampingi meresmikan resto,” ujarku masih mengoles tipis-tipis lipstik ke bibir. “Iya, tapi kalau cantiknya kebangetan aku takut kamu digodain laki-laki lain. Kamu gak pake makeup aja aku pede aja gandeng kamu, kok,” tutur Mas Ezar.Dia masih memeluk erat tubuh ini dari belakang. Napasnya yang hangat sesekali menyapu lembut di kulit leherku, aku bisa rasakan itu. “Aku yang malu tampil dengan muka burik tanpa polesan walau tipis, takut kebanting kegantengan Pak Dosen.”"Hmm, ya udah. Ayo kita pergi,” ajak Mas Ezar. Aku mengecek jam tangan, ternyata sudah puk
Sampai di rumah Ayah, aku memutuskan untuk istirahat sebentar. Habis perjalanan jauh dari Jakarta ke Makassar rasanya capek banget.Padahal, tadi di pesawat cuma duduk doang. Tak sedang mencoba goyang ngebor sambil kayang. Mungkin efek hamil juga jadi badan serasa pegal-pegal dari ujung kepala hingga ujung kaki.Entah berapa lama aku istirahat sampai tertidur hingga kembali terbangun saat alarm pengingat meeting berbunyi. Sore ini, aku memang ada meeting online dengan Bu Aina dan para karyawan Aina Fashion. Begitu meeting berakhir, aku keluar kamar dan mendapati Mas Ezar yang sedang main ular tangga dengan Elizha di ruang tengah. ‘Astaga, laki gue mau-mau aja diajak main ular tangga.’Aku tertawa cekikikan melihat wajah Mas Ezar kayak ditekuk bak orang terpaksa. Aku tebak, dia pasti dipaksa nemanin main oleh Elizha. Soalnya, anak itu kalau keinginannya ditolak suka ngambek sampai 7 hari 7 malam. “Udah gede
“Sayang, dia tadi cuma nanya kabar, jangan salah paham, ya.”Nanya kabar? Penting amat gitu tahu kabar suami orang? Mas Ezar langsung duduk di sampingku, tapi aku sengaja tak memedulikan. Terlihat jelas dari gelagatnya kalau dia bingung bagaimana cara menjelaskan keberadaan Manda padaku? Ah, kurasa hatinya sedang gundah gulana, takut aku marah padanya. Kuraih ponsel dan pura-pura sibuk chat-an untuk menambah kesan judes ini. “Zar, Sha ... karena kebetulan kita ketemu di sini ....” ‘Lah, terus kenapa kalau ketemu di sini? Mau kopral sambil kayang?’“Jadi, sekalian aja gue minta maaf dan pamit pada kalian, terkhusus pada lu, Zar,” lanjut Manda.Setidaknya, aku memasang telinga baik-baik untuk lebih memperjelas pendengaran.Benarkah dia minta maaf? ‘Tumbenan banget seorang Manda minta maaf? Gak salah orang gue, kan, ya?’Takutnya aku cuma mimpi dan pas bangun malah ketampa