Alzea tanpa beban ketika menyetujui keinginan sang ayah untuk menikah dengan seorang pria tua demi melunasi hutangnya. Dia terlalu menyayangi sang ayah karena hanya beliaulah keluarga Alzea yang tersisa setelah sepeninggalan sang bunda bertahun-tahun lalu. Namun Alzea terkejut karena yang bersanding dengannya di depan Penghulu adalah pria tampan bak Dewa Yunani yang merupakan anak dari pria tua tersebut. Seperti menemukan coklat di dalam kotak, manis yang Alzea rasakan. Sedangkan Elzio terpaksa menikahi Alzea yang merupakan anak dari sahabat mendiang sang bunda karena di masa lalu, saat Alzea masih di dalam rahim bundanya—Elzio pernah berjanji untuk menjaga Alzea.
View More“Zea! Kamu potong rumput sana! Rumput di halaman depan udah tinggi!” titah Linda Daniati-ibu tiri jahatnya Alzea Kinandari.
Alzea yang baru saja keluar kamar sehabis membantu ayah minum obat akhirnya mendekat pada sang ibu tiri yang berada di dapur. “Bu, Zea potong rumputnya sore aja ya … jam segini mataharinya masih terik.” Alzea mengatakannya dengan nada rendah memohon. Linda yang tengah mengupas buah mangga lantas membalikan badan, matanya menatap sengit Alzea. “Kamu itu kalau disuruh pasti males-malesan … cuma kamu yang enggak berguna di rumah ini … lulus kuliah jadi pengangguran!” Linda membentak, dia tidak pernah bicara lembut kepada anak tirinya. Padahal semenjak terbit matahari hingga tenggelam, Alzea mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Menyapu, mengepel, mencuci piring dan mencuci baju sekaligus setrika. “Ayah kamu sakit, perusahaannya hampir bangkrut … sekarang kita hanya mengandalkan kakak kamu yang kerja sebagai model … kamu tahu diri lah, kalau enggak bisa bantu-bantu perekonomian keluarga kita ya kamu bantu-bantu di rumah.” Pisau yang dipegang Linda terus- terusan menunjuk ke arah wajah Alzea sampai gadis itu mundur beberapa langkah. “Maafin Zea, Bu … Zea lagi ngelamar-ngelamar pekerjaan tapi belum ada panggilan … Zea janji, nanti kalau Zea sudah dapet ker—“ “Halaah! Bacot aja terus kamu!” sambar Linda sembari menyiram wajah Alzea dengan air dari dalam gelas. Alzea mengusap wajahnya yang basah, napasnya juga memburu menahan tangis. “Sekarang kamu pergi ke taman terus potong rumput! Kalau enggak, kamu enggak boleh makan siang!” Alzea melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul setengah satu siang. Dia tidak sarapan pagi ini, hanya minum teh manis karena Linda tidak masak. Tadi dari pasar, Linda hanya membeli nasi kuning untuk ayah Irawan dan untuknya sendiri tanpa menawari Alzea. Sikap buruk ibu tirinya itu sudah Alzea rasakan semenjak kelas tiga SD setelah bunda Irni pergi entah ke mana meninggalkan ayah Irawan dan Alzea. Hanya berselang tiga bulan dari kepergian bunda Irni, Irawan menikah lagi dengan Linda yang saat itu membawa anak perempuan berusia lima tahun bernama Alenka Keilani. “Kalau Zea makan siang dulu boleh enggak, Bu?” Alzea bertanya hati-hati. Mata Linda kian menatap tajam, rahangnya mengetat dan Alzea tahu kalau jawaban beliau adalah tidak. Alzea memutar badan, mulai menarik langkah menuju pintu belakang untuk mengambil gunting pemotong rumput. Tidak ada pilihan lain, dia harus memotong rumput di halaman yang luas itu agar bisa makan siang. Alzea memulainya dari sudut paling kiri, dia berjongkok begitu tekun memotong rumput. Saat rumput sudah terkumpul banyak, dia hendak berdiri untuk memasukannya ke dalam keresek namun tiba-tiba tubuh Alzea limbung, pandangannya menggelap dan berkunang-kunang. Tekanan darah Alzea jadi rendah karena belum makan apapun sedari pagi terlebih dia cukup lama terpapar sinar matahari. Alzea nyaris jatuh dan dia pasrah kalau harus berguling di rumput karena tidak bisa menggapai apapun. Tapi saat matanya terpejam dan tubuhnya nyaris terhempas—ada tangan yang memeluknya sehingga dia berakhir di dada seseorang. “Zea?” panggil suara berat seorang pria yang beraroma tembakau. Tangannya yang kasar menepuk lembut pipi Alzea. Alzea mengerjapkan mata pelan sampai akhirnya pandangannya lebih jelas dan dia bisa melihat wajah seseorang yang menangkapnya saat hendak terjatuh tadi. Dia adalah pria paruh baya yang masih tampan diusianya yang tidak lagi muda dengan bulu halus di sekitar rahang dan tubuhnya masih bugar dengan perut rata. Gadis itu menegakan tubuhnya, berusaha memijak kaki dengan benar. “Kamu ngapain panas-panasan?” Pria paruh baya itu bertanya. “Lagi motong rumput, Om.” Alzea menunjuk bagian halaman yang telah dipangkas rapih. “Potong rumput kok siang-siang? Mana mataharinya terik lagi! Ayo masuk … panggilkan ayah kamu.” Pria itu mendorong punggung Alzea pelan. “Enggak Om … nanti ibu marah.” Alzea menggelengkan kepalanya. Pria paruh baya itu menatap lekat Alzea yang tampak ketakutan. “Om siapa?” Alzea bertanya, kepalanya meneleng dengan mata menatap lekat. Kenapa pria paruh baya itu begitu ramah, hangat dan terasa familier? “Saya Om Prabu … dulu waktu kamu masih kecil, Om sering main ke sini sama mendiang tante Dwi Gina, kamu lupa?” Alzea menganggukan kepalanya. “Lupa Om.” Prabu terkekeh. “Katanya ayah kamu lagi sakit, ya? Om ke sini mau jenguk ayah kamu.” “Oh … tadi ayah lagi tidur Om … Zea panggil dulu ya … Om tunggu di teras depan aja.” Alzea pergi ke belakang rumah untuk masuk dari pintu belakang sedangkan Prabu Danaraja memanggil supir agar mengeluarkan hampers dari dalam mobil untuk Irawan. “Udah beres potong rumputnya?” Linda masih ada di dapur, entah sudah berapa kilo buah mangga yang dia makan selama Alzea memotong rumput tadi. “Belum Bu, itu ada tamu di depan mau jenguk ayah.” “Siapa?” Linda celingukan ke arah jendela ruang tamu. “Om Prabu katanya.” Alzea menjawab. “Prabu? Prabu Danaraja?” Linda langsung bangkit. Beliau mencuci tangan lalu berlari ke kamar. “Sayang, bangun! Ada klien bisnis kamu … Prabu Danaraja, dia nengokin kamu … ayo bangun!” Linda menepuk-nepuk pipi suaminya yang tengah terlelap. “Si-siapa?” Irawan bertanya parau. “Prabu Danaraja, ayo bangun!” Linda menyisir rambutnya, memakai bedak dan lipstik. Melihat ibu tirinya berlari tunggang langgang ke kamar, Alzea bergerak ke ruang tamu untuk membukakan pintu. “Masuk, Om … tunggu sebentar ya.” Alzea mempersilahkan Prabu masuk. “Ini untuk ayah kamu,” kata Prabu memberikan hampers besar berisi buah-buahan. “Makasih Om.” Alzea pergi dari ruang tamu, dia berpapasan dengan Irawan dan Linda yang baru saja keluar dari kamar menggunakan pakaian lebih rapih. “Buatkan minum, tiga!” Linda memerintah dengan nada rendah tapi penuh penekanan. “Iya Bu.” Alzea bergegas ke dapur, dia berpikir kalau tamu ayahnya adalah tamu Agung yang harus segera dilayani dengan baik. “Pak Prabu, apa kabar?” Irawan mengulurkan tangan sembari membungkuk penuh hormat. Prabu yang sedang duduk di sofa tanpa dipersilahkan sambil menopang satu kaki pada kaki lainnya langsung bangkit dan bersalaman dengan si pemilik rumah. “Saya baik seperti biasa … Pak Irawan katanya lagi sakit ya?” Prabu balas bertanya. “Iya Pak … jantung saya kumat, selama satu bulan ini saya harus istirahat di rumah.” Irawan memegang dadanya yang sering terasa nyeri. Linda menarik ujung kemeja Irawan, mengingatkan kalau dia belum mengenalkannya kepada Prabu. “Oh … perkenalkan ini istri saya, Pak … penggantinya Irni.” Prabu mengulurkan tangannya yang langsung disambut Linda penuh antusias. “Saya sering mendengar nama Pak Prabu tapi baru sekarang bertemu,” kata Linda dengan suara lembut dan senyum lebar. “Iya … saya sudah lama enggak ke sini … dulu terakhir datang ke sini sewaktu mendiang istri saya masih hidup … Irni, istrinya pak Irawan sebelum Ibu adalah sahabatnya istri saya.” Linda tersenyum kecut, dia tidak suka bila nama mantan istri suaminya disebut dan Irawan tidak pernah cerita kalau ternyata klien bisnis dan orang yang sering meminjami uang adalah suami dari sahabat sang mantan istri. Suaminya hanya bercerita kalau sering mendapat pinjaman uang dari Prabu untuk membantu perusahaannya bila sedang membutuhkan suntikan dana. Mereka bertiga lantas duduk di sofa ruang tamu dan bersamaan dengan itu, Alzea datang membawa minuman. “Kamu lama banget sih!” Linda berseru sembari menahan suaranya, mata beliau juga melotot penuh kebencian kepada Alzea. “Maaf Bu.” Alzea menunduk, sorot matanya tampak ketakutan. Tangan Linda mengibas memberi kode agar Alzea segera pergi. Sikap buruk Linda pada Alzea itu tertangkap jelas oleh indra penglihatan Prabu. Beliau sampai mengerutkan kening merasa tidak terima dengan perlakuan Linda pada Alzea karena tahu bagaimana sayangnya Irni pada Alzea dulu. “Pak Prabu … kalau kedatangan Pak Prabu ingin menagih hutang, mohon maaf … saya belum bisa membayar … perusahaan saya saja nyaris collaps, Pak.” Irawan menunjukkan tampang nelangsa. Prabu terkekeh. “Pak Irawan ini sepertinya tidak cocok berbisnis … seingat saya perusahaan peninggalan kedua orang tua Pak Irawan itu sering sekali hampir bangkrut.” Pak Prabu bermaksud bercanda tapi sangat mengena di hati Irawan. Irawan jadi teringat mantan istrinya yang sering mengatakan hal serupa. “Saya bercanda Pak Irawan ….” Prabu meralat. “Tapi kedatangan saya ke sini memang untuk menagih hutang … sepertinya sudah terlalu lama hutang-hutang pak Irawan belum juga dibayar … malah Pak Irawan terus meminjam sejumlah uang dari saya.” Prabu mengatakannya dengan nada rendah dan ekspresi bersahabat. “Tadinya justru saya mau meminjam uang lagi sama Pak Prabu.” Irawan melirih. Linda mendelik pada Irawan, sorot matanya itu seolah mengatakan kalau Irawan tidak berguna. “Sebaiknya Pak Irawan membayar orang yang kompeten untuk menjalankan perusahaan … Pak Irawan sebagai pemilik hanya mengawasi saja dan mendapat bagian Laba.” Prabu memberi ide. Irawan menundukan kepala, dia mengangguk-anggukan kepalanya setuju, dia juga sudah memikirkan hal tersebut. “Tapi untuk itu saya tetap membutuhkan suntikan dana, Pak.” “Betul … betul.” Prabu tampak berpikir. “Ma ….” Seorang gadis masuk begitu saja dari pintu depan tanpa mengetuk pintu apalagi mengucapkan salam. “Alenka, kamu salam dulu sama pak Prabu.” Meski malas-malasan, Alenka mengikuti perintah sang mama. Dia tersenyum tipis seraya mengulurkan tangan untuk menyalami Prabu. “Ini … anak Bu Linda?” Prabu bertanya. “Iya Pak, Alenka anak saya dari suami terdahulu … sekarang dia sedang merintis karir di dunia modeling … membantu perekonomian keluarga.” Linda mendelik lagi pada suaminya. “Alenka masuk dulu ya, capek!” Gadis itu melengos begitu saja. “Kalau Zea, sudah lulus kuliah ya?” Prabu bertanya lagi. “Iya Pak, Zea sedang mencari pekerjaan … kalau di perusahaan Pak Prabu ada lowongan, boleh masukin Zea, Pak.” Irawan tampak memohon. “Begini saja … Pak Irawan ‘kan punya dua anak gadis … kebetulan saya sudah lama menduda, saya merasa butuh pendamping apalagi saya semakin tua ….” Prabu menjeda, tidak perlu menunggu—respon Linda dan Irawan kentara sekali seolah mereka sudah bisa membaca isi pikiran Prabu. “Jadi, kalau di antara salah satu anak gadis Pak Irawan ada yang bersedia menjadi istri saya … maka saya akan menganggap lunas semua hutang-hutang Pak Irawan sekaligus saya akan memberikan suntikan dana sejumlah yang Pak Irawan minta, bagaimana?” Prabu sedang membuat kesepakatan. Irawan dan Linda saling memandang, tawaran Prabu sangat menggiurkan dan patut dipertimbangkan andaikan Prabu masih berusia di bawah tiga pulih tahun. “Apa anak gadis kami tidak terlalu muda untuk Pak Prabu?” Irawan mencoba menyadarkan Prabu secara halus. Prabu malah tergelak. “Tentu tidak … gini-gini saya masih kuat.” Irawan dan Linda tertawa sumbang. “Nanti akan kami bicarakan dengan kedua anak gadis kami, Pak.” Linda yang menjawab.“Zea … kamu sarapan dulu ya, kamu ‘kan harus menyusui.” Irni datang membawa piring berisi sarapan pagi dan gelas berisi air mineral.Beliau menarik kursi lalu duduk di depan Alzea yang sedang di-makeup oleh penata rias terbaik Singapura.Irni memiliki kesempatan menyuapi Alzea karena Azzam dan Azura sedang diawasi sementara oleh Elzio serta Hengky dan Nugie yang baru datang tadi malam. Elzio dan Alzea belum menyewa jasa Nanny lantaran mereka merasa tidak terlalu repot mengurus si kembar. Papanya si kembar itu masih trauma dan sampai sekarang pun orang-orang bertubuh kekar berpakaian casual masih berkeliaran di sekitar gedung Penthouse ditugaskan untuk menjaga Alzea dan si kembar.“Azzam dan Azura sama siapa, Bun?” Alzea bertanya dengan mulut penuh makanan.“Sama papanya, om Hengky dan Nugie.” Irni menjawab santai.Nugie dan om Hengky baru saja tiba tadi malam dan menginap di Penthouse.Mereka senang sekali bertemu Azzam dan Azura terutama Nugie yang baru pertama kali ini bertemu.Ba
Alzea langsung berdiri dari lantai berkarpet saat menyadari sosok sang ayah baru saja memasuki ruang televisi di mana dia berada saat ini bersama si kembar yang berbaring di bouncer bayi elektrik.“Ayah.” Alzea menyapa, mata indah ibu muda itu berbinar bahagia mengabarkan sejuta rindu.Alzea meninggalkan kedua anaknya tapi masih dalam pengawasan Irni karena beliau juga ada di sana.Alzea berhenti melangkah tepat di depan Irawan, tersenyum dengan mata berkaca-kaca lantas memeluk Irawan.“Ayah … Zea kangen.” Dan pecah lah tangis Irawan, beliau sampai meraung membuat Alzea bingung.“Ayah … udah Ayah.” Alzea masih memeluk sang ayah, mengusap-ngusap punggungnya lembut.“Maafin Ayah, Zea … maafin Ayah.” Irawan berujar di antara tangisnya.Beliau sangat menyesali perbuatannya yang selama ini tidak adil memperlakukan Alzea.Irni merotasi bola matanya, jijik rasanya dia mendengar kalimat permintaan maaf mantan suaminya itu yang telah dengan sengaja dan sadar menyiksa putri mereka, menjadikann
“Sayang … Bunda dari tadi belum keluar kamar, Bunda marah karena aku bilang mau ngundang ayah ke baby shower si kembar … kamu yang bujuk Bunda donk biar mau makan.” Alzea menceritakan kegundahannya kepada sang suami yang baru saja pulang bekerja disertai sebuah permintaan yang luar biasa sangat sulit dan tidak mungkin Elzio lakukan.“Sayaaaaa … kamu ‘kan tahu bunda juga lagi kecewa sama aku.” Elzio mengesah sembari mengerutkan wajahnya.Alzea tergelak. “Coba dulu sayang … ayo.” Alzea memaksa, mendorong tubuh suaminya ke depan pintu lamar Irni.Dia tidak bisa meminta bantuan Hengky karena beliau sudah kembali ke Jakarta dan Nugie yang tiba-tiba membatalkan kedatangannya karena ada suatu urusan.Elzio mengesah, pundaknya melorot tapi tak ayal tangannya terangkat mengetuk pintu kamar Irni.Otak Elzio langsung memerintahkan anggota tubuhnya untuk melakukan keinginan Alzea atas dasar cinta yang besar.Tok … Tok …Tok …“Tante Irni.” Elzio menambahkan suara agar Irni tahu yang mengetuk pin
“Apa?” Suara bunda melengking saat melontarkan pertanyaan menggunakan satu suku kata tersebut.Matanya juga membulat menatap nyalang.Alzea baru saja menceritakan tentang apa yang dialaminya beberapa minggu lalu dan nyaris membuatnya meregang nyawa.“Mungkin Zea memang harus melalui ini dan dengan begitu El juga jadi sangat membenci Angela sampai berusaha keras untuk membuat Angela dihukum berat, jadi ke depannya enggak mungkin El berpaling lagi dari Zea apalagi kembali sama Angela … Bunda enggak perlu marah sama El ya, ini udah jalan terbaik yang ditetapkan Tuhan … yang penting Zea sama Azzam selamat.” Alzea buru-buru menggiring Irni pada suatu pemikiran positif agar tidak semakin membenci Elzio.“Ya Tuhan, Zea … Bunda sampai enggak habis pikir kamu bisa mengalami itu semua … Prabu enggak pernah cerita apa-apa sama Bunda.” Sepertinya Irni kecewa kepada Prabu.“Papa Prabu khawatir Bunda kepikiran … memang Zea yang meminta agar papa Prabu enggak cerita masalahnya ini dulu sama Bunda …
Sebenarnya Elzio sangat keberatan sewaktu Alzea menagih janji untuk bertemu dengan Angela.Angela itu makhluk yang tidak bisa diprediksi, Elzio khawatir Angela akan menyakiti Alzea.Tapi janji harus ditepati dan akhirnya Elzio sendiri mengantar Alzea bertemu Angela di Lembaga Pemasyarakatan.“Aku enggak mau masuk bertemu dia jadi kamu harus dijaga sama petugas … aku akan tunggu di luar ….” Alzea sudah membuka mulut untuk memprotes namun kembali mengatupkannya karena Elzio menyela.“Eit … enggak ada protes, aku mempertaruhkan banyak hal mengijinkan kamu bertemu Angela,” Elzio memperingatkan.Mereka sedang berjalan beriringan di sebuah lorong mengikuti petugas yang mengantar ke sebuah ruangan di mana nanti menjadi tempat paling aman pertemuan antara Angela dengan Alzea.Alzea tersenyum kemudian menempelkan sisi wajahnya di lengan berotot Elzio.“Iyaaaaa.” Alzea memanjangkan kata, tidak rela menyetujuinya tapi harus agar bisa bicara dengan Angela.Sekali saja, dia ingin bicara banyak de
Elzio meninggalkan Alzea dan kedua anaknya sebentar untuk menandatangani kontrak bisnis dengan Thomas.Rencananya setelah ini dia akan mengambil cuti agar bisa membantu Alzea merawat putra dan putri mereka.Namun kedatangan Hengky dan Irni sepertinya membuat Elzio berubah pikiran.Dia belum memandatkan apa-apa pun perihal pekerjaannya selama cuti nanti kepada Arman.Elzio dan Thomas berjabat tangan setelah menandatangani kontrak bisnis yang diprediksi akan menguntungkan bagi kedua belah pihak.“Sayangnya saya tidak memiliki anak, andaikan ada … akan saya jodohkan dengan anak Anda agar kita bisa melanjutkan kontrak bisnis ini menjadi jangka panjang.” Thomas berkelakar.“Sepertinya Anda sudah harus mencari seorang istri dan memiliki anak.” Tak disangka, Elzio menyambut baik ide Thomas tersebut.Keduanya lantas tertawa.Acara penting perusahaan telah selesai dilaksanakan, kini mereka melanjutkannya dengan makan siang.Sebuah restoran dengan menu Italia menjadi pilihan pihak Elzio untuk m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments