Share

Part 7 - Nge-date?

Author: Kharamiza
last update Last Updated: 2023-10-12 11:56:54

Aku menghela napas panjang ketika sudah berada di sebuah kamar yang luasnya ngalahin kamar indekosku.

Ini kalau kamarnya begini, pasti betah berlama-lama mikirin beban hidup yang tak ada habisnya bikin terjungkal.

Tapi, entah mengapa fasilitas yang sangat bagus ini masih membuat dada sesak, seolah tersirat kekecewaan yang aku bingung sendiri penyebabnya.

Apa iya aku kecewa karena ucapan Pak Ezar tadi?

Aku tak yakin. Namun, pada sekeping hati terdapat luka yang seperti sengaja digoreskan. Ada sesak menghimpit di relung sukma manakala ia dengan terang-terangan mengatakan tak ingin tidur seranjang.

Ah, aku bukan menginginkannya, tapi ucapannya cukup mengusik jiwa dan ketenangan batin. Secara tidak langsung menyakiti tanpa menyentuh.

Aku semakin tak tahu ke mana arah pernikahan akan dibawa? Akankah sampai pada muaranya atau justru tenggelam dengan derasnya ombak?

Walaupun, sejatinya keputusan Pak Ezar menjadi keuntungan tersendiri bagiku. Menilik, sakitnya di malam pertama terus menghantui seakan menakuti. Aku pernah dengar orang yang tak kukenal di toko ngobrol sama temannya tentang malam pertamanya yang menyakitkan. Hal itu cukup membuat batin bergidik.

Bayang-bayang anak menjadi korban pertengkaran orang tua pun tak kalah gencarnya meliuk-liuk dalam pikiran.

Aku tak mau anakku nanti menjadi korban keegoisan orang tuanya. Aku tak sudi ada Asha kedua yang lahir dari rahimku sendiri.

Mengingat arah pernikahan yang tak jelas, aku semakin bertekad untuk tak memberikan hak paling utama pada suami tanpa cinta.

Setelah salat isya, aku keluar kamar untuk menyiapkan makan malam. Aku melihat Pak Ezar juga keluar kamar, tetapi dengan setelan yang sudah rapi. Mau ke mana malam-malam begini?

“Mau ke mana, Pak?” tanyaku saat Pak Ezar sudah menginjak anak tangga terakhir

“Nge-date.”

Aku mengernyit. Nge-date? Artinya, dia mau ketemuan sama pacarnya? Begitukah?

“Sama pacar?”

Pak Ezar mengangguk.

Aku hanya membulatkan mulut hingga membentuk O. Bersikap biasa saja, tapi jauh di lubuk hati aku sebenarnya terusik. Aku ‘kan istrinya?

‘Sadar diri, Asha!’ peringat otakku.

“Kenapa, mau melarang?”

“Gak! Hanya mau ingatkan kalau Bapak malam ini kan bilang mau temani saya ambil barang di kos.”

“Bisa pergi sendiri, kan? Saya banyak kerjaan.”

“Oh. Ya udah, gak apa-apa, Pak.”

Pak Ezar berlalu begitu saja, tapi baru beberapa langkah dia kembali lagi di hadapanku.

“Jangan pernah campuri urusan saya. Kamu tak berhak untuk mengatur segala hal yang saya lakukan!” ucap Pak Ezar penuh penekanan.

Aku meneguk ludah dalam-dalam. Pelan tapi pasti, jantung ini berkecamuk seakan sengaja diremukkan.

“Pernikahan kita terjadi karena terpaksa. Saya tak akan mencari keuntungan untuk menyentuh kamu. Saya masih mencintai kekasih saya, Asha. Sampai kapan pun. Saya sudah berjanji untuk tidak meninggalkannya demi perempuan lain.”

Aku tersentak mendengar kalimat-kalimatnya yang seolah meremas-remas hati. Aliran darahku pun seakan terhenti. Aku membeku tanpa tahu harus mengatakan apa.

“Pernikahan ini jangan sampai bocor keluar, apalagi di area kampus. Saya tidak mau menyakiti kekasih saya kalau sampai tau tentang kita,” imbuhnya.

“Satu lagi, jangan pernah mengatakan apa pun pada orang tua. Paham?”

Kuanggukkan kepala pelan. Saat ini, aku sudah persis bocah kecil yang dimarahi karena melakukan kesalahan.

“Bagus.” Pak Ezar mengacak rambutku sebentar, lalu pergi.

“Pak,” panggilku saat dia akan membuka pintu.

“Ada apa?”

“Peraturan yang Bapak buat untuk saya, juga berlaku untuk yang bikin aturan. Artinya, masing-masing kita bebas untuk kehidupan sendiri.”

“Kalau begitu, kenapa kita tak berpisah saja, Pak?” Aku kembali meneguk ludah susah payah. Dengan entengnya menyinggung perpisahan yang kutahu sendiri prosesnya tak akan mudah.

“Saya akan cari caranya supaya kita terbebas dari pernikahan ini.”

Aku mengangguk. Setidaknya, aku juga akan mencari cara disertai dengan alasan releven agar bisa berpisah dengan Pak Ezar suatu hari nanti.

Jujur, aku merasa bersalah pada kekasih Pak Ezar. Sepertinya dosen yang terkenal seenaknya itu sangat sayang pada kekasih. Sampai-sampai tak tega menyakitinya.

Kalau memang sayang, kenapa tak menikahinya? Malah menerima perjodohan konyol yang membuat hidupnya jadi ribet.

“Kamu tidak usah memikirkan itu. Jalani saja hidupmu seperti biasa dan fokus sama skripsimu,” ujarnya lembut, kemudian berlalu.

Selepas kepergiannya, aku kembali ke ruang tamu dan terduduk lemas di sofa.

Pernikahan ini sebatas hubungan di atas kertas. Tidak ada tangan yang saling menggenggam, pun tak ada hati yang saling bertaut.

Menerawang jauh ke belakang bahwa siapalah seorang Asha ini? Bahkan, semenjak hari itu aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk tak berharap apa pun pada sebuah hubungan seperti apa pun jenis dan bentuknya.

Luka-luka itu jelas masih menancap sempurna seakan enggan untuk reda dan lalu membiarkan sepercik kebahagiaan menghampiri.

*******

“Sha, itu gimana ceritanya lu bisa nikah sama Pak Ezar?” tanya Mika sambil tertawa.

Pagi ini, aku memintanya untuk membantuku pindahan. Untungnya, dia juga sudah pulang dari Bogor—rumah neneknya kemarin.

Aku memang sudah menceritakan tentang pernikahan dengan Pak Ezar di grup yang isinya hanya ada aku, Mika, dan Vina. Kami sudah terbiasa untuk saling share masalah. Paling tidak, kalau tak bisa memberi solusi, menjadi pendengar yang baik untuk siapa pun yang membutuhkan di antara kami.

Berbeda dengan Vina yang lebih suka pakai ‘aku kamu’ ketika berbicara, Mika justru lebih senang menggunakan ’lu gue.’ Aku sendiri hanya menyesuaikan, lebih banyak pakai ‘lu gue’ sebenarnya.

“Tau itu keluarga. Ngasih taunya tunangan, tapi malah akad. Kaget gue juga.”

“Wah, lu ngebet kali mau skidipapap?”

“Najis!”

“Oh, Pak Ezar berarti yang gak tahan.”

“Dia punya pacar. Semalam aja nge-date sama pacarnya,” ucapku jujur.

“Uwah. Cemburu gak lu?”

“Gue lebih cemburu liat Yang Yang ciuman sama cewek lain. Meskipun hanya drama, tapi rasanya sakit.”

Mika terus saja tertawa, sedang aku sibuk menata pakaian ke dalam koper.

“Belum unboxing dong ya?”

Aku menatap Mika seperti singa yang membidik mangsa.

“Kalau Vina di sini, gue yakin lu bakal diceramahi nanya-nanya urusan ranjang.”

“Penasaran gue tuh gimana-gimananya seorang Asha yang introvert parah tiba-tiba nikah sama orang yang kayaknya paling dibenci Se-UNNUS?”

Aku tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Vina.

“Gak tau lagi gue. Mentok banget jalan keluarnya.”

“Lu gak kejang-kejang kan dekatan sama Pak Ezar? Lu kan kalau dekat-dekat laki keringat dingin. Eh, gak mesti laki, sih. Dekat sama cewek asal orang baru juga keringat dingin lu.”

“Pak Ezar bukan orang baru.”

“Iya in deh, manten baru.”

Setelah selesai pindahan, aku dan Mika jalan-jalan ke mall, lalu melipir ke bioskop. Untungnya, karena jarak dari kos ke rumahnya Pak Ezar tak jauh, jadi punya banyak waktu untuk pergi bersama Mika. Tentunya, sudah mendapatkan izin resmi juga dari suami, meski tak bersertifikat, tapi tetap original.

Sayangnya, kali ini kami nonton hanya berdua karena Vina masih di Makassar. Dia akan kembali ke Jakarta esok hari.

Pukul 8 malam, aku baru pulang ke rumah diantar oleh Mika. Setelah mobilnya keluar dari gerbang, aku langsung masuk ke rumah.

Pintunya tak terkunci, artinya Pak Ezar sudah pulang. Aku lupa memperhatikan mobilnya di garasi.

“Assa—”

Baru saja ingin mengucapkan salam, tetapi pandanganku tak sengaja menangkap seorang wanita berjarak begitu dekat dengan Pak Ezar. Mereka tertawa-tawa seakan tak punya beban.

“Assalamualaikum,” ucapku akhirnya.

Pandangan mereka sontak tertuju ke arahku. Tawa cekikikan yang terdengar perlahan memudar.

Sepasang insan itu menatap tak suka dan penuh tanya padaku. Mungkin, karena aku telah menganggu waktu bersenang-senang mereka.

“Dia siapa?” tanya perempuan di samping Pak Ezar dengan pandangan curiga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 140 - I Love You, Pak Dosen! (END)

    Mas Ezar membawaku ke samping resto yang sepi-sepi orang. Entah ada tujuan apa dia membawaku ke sini? Sudah persis gadis polos mau diperkaos pria hidung belang. “Mas, kenapa dibawa ke sini?” tanyaku mengerucutkan bibir kesal. “Padahal masih pengen nyinyirin si pirang gatal itu.”“Makanya aku bawa ke sini untuk menepi sejenak, Sayang. Jangan nyinyir lagi ya. Yang ada nanti kamu stres kebawa janin kamu juga ikutan stres,” ujar Mas Ezar. Dia menopang tubuh dengan kedua tangannya pada tembok agar tubuh kami tak bersentuhan walau posisinya mengurungku pada tembok. Aku menghela napas panjang. Sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain agar terkesan judes. “Kamu kok belain dia, sih?”Mas Ezar menangkup wajahku dan menatap mata ini lekat. “Bukan membela, Sayang. Aku juga gak suka sikap dia tadi, tapi aku gak mau dia nyakitin kamu. Kamu tadi liat? Dia emosi kamu bilangin gatal. Untung gak jambak kamu.”“Aku kan bisa jambak balik,” cici

  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 139 - Afgan KW?

    Begitu Bagas telah selesai bernyanyi dan Naila sedikit berlari turun dari panggung, barangkali lupa membawa stok urat malu. Hahaha. Bercanda urat malu!Seketika itu, aku pun terlintas ide untuk merayakan ulang tahun suamiku yang ke-29. Dari kemarin, aku berpikir keras bagaimana mengucapkan agar terkesan romantis dan tidak kaku macam sikapnya saat awal kami menikah. Aku pun naik ke panggung. Bukan untuk goyang ngebor di sana, tapi buat ngambil mic, lalu diskusi sebentar dengan Akang piano. Gak usah penasaran kami diskusi apaan? Intinya, setelah itu aku kembali ke tempat dudukku dengan mic di tangan. Saat ini, aku percaya diri dengan suaraku yang membahana, walau nyatanya seperti suara kodok. Masa bodoh dengan pandangan orang-orang, tapi aku bangga punya suara yang seksi ini, walau tak seseksi orangnya jika hanya berdua dengan Mas Ezar di kamar. Eya!Begitu musik mulai mengalun, aku membuka ponsel dan melihat lirik la

  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 138 - Senandung Rembulan

    Belum sempat kusambut uluran tangan Ahsan, Mas Ezar yang entah muncul darimana lebih dulu menyambut tangan duda beranak satu itu. “Kami baik,” katanya sambil menarik pinggangku posesif hingga tubuh ini menabrak tubuhnya. “Duh, pocecip detected,” ucap Kak Akmal pelan. Dia sampai menutup mulut dan menoleh ke arah lain. Ia terlihat susah payah menahan tawanya. Ahsan tersenyum tipis. Barangkali menyadari kecemburuan Mas Ezar padanya. “Maaf ini, Mas, karena datang gak diundang. Cuma ikut-ikutan Kak Akmal,” kekeh Ahsan tak enak hati. “Gak apa-apa. Malah senang kalau banyak yang datang.”Mas Ezar mengulas senyum tipis berlagak sangat ramah. Padahal, kutahu hatinya tengah meradang melihat Ahsan mengulurkan tangannya padaku tadi. Dia pasti mengingat kejadian di pernikahan Vina kemarin, di mana saat itu Ahsan melamarku. Barangkali, sekarang ia tetap takut istrinya masih diincar oleh duduk beranak satu itu.

  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 137 - Grand Opening Fadhgam Resto

    “Jangan cantik-cantik, Sayang. Aku takut nanti malah banyak yang naksir kamu di sana.” Lengan kekar Mas Ezar tiba-tiba saja sudah melingkar di perutku. Bahkan, kini hidungnya pun semakin liar menjelajahi leher ini.Ia sesekali memejamkan mata, kulihat dari cermin di hadapan kami..“Kalau aku jelek yang ada nanti kamu malu bersanding denganku. Katanya mau didampingi meresmikan resto,” ujarku masih mengoles tipis-tipis lipstik ke bibir. “Iya, tapi kalau cantiknya kebangetan aku takut kamu digodain laki-laki lain. Kamu gak pake makeup aja aku pede aja gandeng kamu, kok,” tutur Mas Ezar.Dia masih memeluk erat tubuh ini dari belakang. Napasnya yang hangat sesekali menyapu lembut di kulit leherku, aku bisa rasakan itu. “Aku yang malu tampil dengan muka burik tanpa polesan walau tipis, takut kebanting kegantengan Pak Dosen.”"Hmm, ya udah. Ayo kita pergi,” ajak Mas Ezar. Aku mengecek jam tangan, ternyata sudah puk

  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 136 - Wanita dan Sepak Bola?

    Sampai di rumah Ayah, aku memutuskan untuk istirahat sebentar. Habis perjalanan jauh dari Jakarta ke Makassar rasanya capek banget.Padahal, tadi di pesawat cuma duduk doang. Tak sedang mencoba goyang ngebor sambil kayang. Mungkin efek hamil juga jadi badan serasa pegal-pegal dari ujung kepala hingga ujung kaki.Entah berapa lama aku istirahat sampai tertidur hingga kembali terbangun saat alarm pengingat meeting berbunyi. Sore ini, aku memang ada meeting online dengan Bu Aina dan para karyawan Aina Fashion. Begitu meeting berakhir, aku keluar kamar dan mendapati Mas Ezar yang sedang main ular tangga dengan Elizha di ruang tengah. ‘Astaga, laki gue mau-mau aja diajak main ular tangga.’Aku tertawa cekikikan melihat wajah Mas Ezar kayak ditekuk bak orang terpaksa. Aku tebak, dia pasti dipaksa nemanin main oleh Elizha. Soalnya, anak itu kalau keinginannya ditolak suka ngambek sampai 7 hari 7 malam. “Udah gede

  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 135 - Gak Ada Hidup yang Mulus!

    “Sayang, dia tadi cuma nanya kabar, jangan salah paham, ya.”Nanya kabar? Penting amat gitu tahu kabar suami orang? Mas Ezar langsung duduk di sampingku, tapi aku sengaja tak memedulikan. Terlihat jelas dari gelagatnya kalau dia bingung bagaimana cara menjelaskan keberadaan Manda padaku? Ah, kurasa hatinya sedang gundah gulana, takut aku marah padanya. Kuraih ponsel dan pura-pura sibuk chat-an untuk menambah kesan judes ini. “Zar, Sha ... karena kebetulan kita ketemu di sini ....” ‘Lah, terus kenapa kalau ketemu di sini? Mau kopral sambil kayang?’“Jadi, sekalian aja gue minta maaf dan pamit pada kalian, terkhusus pada lu, Zar,” lanjut Manda.Setidaknya, aku memasang telinga baik-baik untuk lebih memperjelas pendengaran.Benarkah dia minta maaf? ‘Tumbenan banget seorang Manda minta maaf? Gak salah orang gue, kan, ya?’Takutnya aku cuma mimpi dan pas bangun malah ketampa

  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 134 - Mika Hidup?

    Sore ini, ketika pulang dari rumah sakit menjenguk Kak Kyra, aku mengajak Mas Ezar untuk ke makamnya Almarhumah Mika.Sebelumnya aku juga sudah janjian dengan Vina untuk bertemu di gerbang masuk pemakaman.Setelah bertemu Vina, kami sama-sama menyusuri makam hingga berhenti di sebuah makam yang di nisannya bertuliskan nama Ditya Diatmika binti Gilang Baskara. Aku dan Vina berjongkok secara bersamaan disusul oleh Mas Ezar dan Kak Akmal yang juga ikut berjongkok di samping kami.Sejurus kemudian, aku dan Vina bergantian menyiram air ke tanah makan, menabur bunga untuk Mika, dan bersama-sama membacakan doa untuknya. “Mika, terima kasih banyak atas semua warna yang pernah lu berikan pada hidup gue. Saat hidup gue suram, lu yang datang dan susah payah menghibur walau mulanya gue gak pernah ngerespons baik kedatangan lu di masa laluJahatnya gue, karena berpikir kalau lu sama pengkhianatnya dengan orang-orang yang gue kenal sebelumny

  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 133 - Melongok Baby Sagara

    Aku yang penasaran dengan wujud Baby Boy Kak Ghazaar dan Kak Kyra tak bisa menunggu lama lagi untuk melongoknya. Selesai sarapan dan mandi, aku langsung mengajak Mas Ezar ke rumah sakit. Untungnya, karena dia tak banyak neko-neko. Sampai di rumah sakit, Mas Ezar langsung membuka pintu ruang rawat Kak Kyra hingga perhatian semua orang yang fokus pada Baby Boy beralih ke kami sebentar. “Assalamualaikum,” ucap kami kompak.Di ruangan sudah ada Bunda, Papa, Kak Ghazaar, ibunya Kak Kyra, juga Bu Aina yang tampaknya malah sudah bergegas untuk pulang."Waalaikumsalam,” jawab mereka kompak.“Gak jodoh banget sama ponakan ganteng dan cantik yang satu ini. Giliran mereka datang, Tante mau pulang,” ujar Bu Aina. “Kenapa buru-buru, Bu?” tanyaku. “Mau ke butik. Ada klien yang nungguin di sana.”Kuanggukkan kepala berulang kali tanda mengerti. “Ibu gak ke toko kan?” tanyaku memicing. “Kenapa emang?” tanya wanita berhijab itu menyelidik. “Soalnya Asha bolos,” ucapku jujur, sengaja memasang eks

  • Istri Dadakan si Dosen Tampan   Part 132 - Euforia Wisuda

    Bunda Ola tersenyum tipis, lalu celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu. “Itu dia orangnya.” Ibu mertuaku itu menunjuk dua orang pria yang kegantengannya tak diragukan lagi tengah berjalan beriringan ke arah kami. “Selamat ya, Nak.” Papa menyodorkan tangan yang langsung kusambut dan mencium punggung tangannya dengan takzim. “Mau lanjut kuliah magister di UNNUS juga, gak?” tanya Papa. Aku terkekeh pelan sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal. “Nanti dipikir-pikir lagi, Pa. Kalau gak mager, boleh di-gas tanpa rem.”Aku beralih menatap Mas Ezar yang sedari tadi hanya tersenyum tanpa membuka suara. Satu tangannya berada di belakang, entah apa yang disembunyikan itu? Aku berusaha mengintip, tapi pria tampanku itu bergeser seolah tak membiarkanku melihatnya.“Bawa apa, sih?” tanyaku penasaran. Seketika itu, Mas Ezar mengusap-usap kepala ini pelan dan langsung mengeluarkan benda dari balik punggungnya.

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status