Share

Part 9 - Nafkah?

‘Pak Ezar? Dia datang ke sini?’

Aku mengernyit bingung, berusaha mencerna maksud Vina. Sedang Mika sudah menyembulkan kepala di pinggir rak untuk memastikan.

“Lu cuma liat Pak Ezar tapi kek mau pindah alam,” cibir Mika.

‘Pak Ezar benaran ke sini?’

Tentu saja aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Hanya saja aku berusaha bersikap santai.

Vina menarik napas panjang. Tangannya mengusap lembut lenganku seakan meminta untuk tetap bersabar.

“Sha, itu yang cewek bareng Pak Ezar si Manda bukan sih? Kastemer prioritas di toko?” Mika bertanya tanpa menoleh ke arahku.

Nyatanya, aku sama sekali tak kaget dengan pertanyaan Mika.

Toh, Pak Ezar juga sudah bilang akan tetap menjalin hubungan dengan kekasihnya.

Aku sedikit bergeser dan menyembulkan kepala dari balik rak sekadar memastikan sosok gadis yang bersama Pak Ezar benar adalah Manda.

“Ya. Dia memang Mbak Manda. Kemarin gue juga ketemu di rumah.”

Walau dalam hati paling dalam, jujur aku cukup kecewa saat tahu dia berada di sini, tetapi dengan orang lain. Padahal, tadi pagi kami sudah janjian untuk belanja bareng.

Ya, maksudku kalau memang ada keperluan, setidaknya berkabar.

Jangan menghilang dan mengabaikan. Karena mantan masih tak tersaingi urusan menghilang tanpa kabar.

“Oh, jadi pacarnya Pak Ezar itu Manda?”

Aku mengangguk.

“Mau labrak gak, Sha?” lirih Vina.

Raut wajahnya yang datar membuatku terkekeh pelan.

“Haih! Buat apaan? Mau jadi seleb dadakan lu mencing keributan di tempat kek gini?”

“Ya kan Pak Ezar suami kamu. Sah secara hukum agama dan negara, punya stempel legalitas dari KUA.”

“Kalau gue labrak, lu mau bantuin emang?” Aku mendelik judes pada Vina.

Setahuku, dia paling anti mencari keributan dan selalu menjadi penengah di setiap kerenggangan.

“Boleh.” Vina terkekeh pelen. “Aku benci perselingkuhan. Ayo kita labrak!”

Mataku membola melihat antusiasnya.

Walaupun perselingkuhan memang tak dibenarkan, tapi cukup mengherankan jika sosok Vina ikut terjun urusan baku hantam.

“Si Ukhti udah mulai bar-bar pemirsa.” Mika susah payah menahan tawa.

“Tidak ada salahnya kan memberi pelajaran pada tukang selingkuh?”

Kuanggukkan kepala membenarkan perkataan Vina.

Namun, antara aku dan Pak Ezar situasi rumit.

Menurutku, belum ada yang bisa dibenarkan ataupun disalahkan.

“Gue memang istrinya, tapi hatinya milik kekasihnya.”

Walaupun tak menginginkan pernikahan ini, tapi rasanya mengucapkan kalimat itu begitu menyakitkan.

“Status gue cuma di atas kertas. Jadi, gue ada hak apa dalam hubungan ini?” lirihku tertunduk pilu. Mencoba menyembunyikan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Justru yang di atas kertas itu resmi, Sha. Punya bukti legalnya,” tutur Vina, “kalau cuma pacaran? Apa coba buktinya?”

“Gue tau, Vin.” Aku memejamkan mata sebentar. “Tapi gue punya prinsip dalam menjalin hubungan. Pertama, tidak menyakiti cewek lain. Kedua, tidak menjadi orang ketiga. Dan yang ketiga, tidak mengemis perhatian.”

“Sudahlah, lagian gue tuh cuma nunggu waktu yang tepat untuk melepaskan pernikahan ini.”

“Dih, baru juga nikah, udah nyebut-nyebut pisah aja kamu. Nggak baik, Asha.”

Aku mengangkat bahu dan memajukan bibir bawah sebagai pertanda bodo amat.

Setelahnya, aku kembali fokus melipir rak demi rak tanpa mengatakan sepatah kata.

“Sha, lu benaran gak pernah ngerasa cemburu gitu liat Pak Ezar masih jalan sama Mbak Manda?” tanya Mika.

“Enggak, sih. Biasa aja gue,” ucapku tanpa beban. “Tapi, sebenarnya ada rasa kecewa dikit sih.”

Mika dan Vina saling berpandangan.

“Kecewa karena?”

“A—a ... bukan apa-apa.”

Tidak mungkin kan kalau aku bilang kecewa karena Pak Ezar mengabaikan dan tak menepati janjinya mengantarku belanja hari ini?

Apa yang mesti kuharapkan?

Sedang masih teringat jelas kalimatnya kala itu yang terang-terangan berdalih bahwa aku bukan tipenya.

Sungguh, hal itu menumpas pertahanan rumah tangga yang mungkin akan kubangun di kemudian hari.

Di sini, aku hanya melanjutkan hidup.

Menghormati pernikahan yang telah dirancang sedemikian rupa oleh orang tua.

Mencoba pasrah pada alur hidup dan bertekuk lutut pada takdir yang akan kujalani.

Soal rasa, jujur ... hambar!

“Kamu gak mau berjuang untuk merebut hatinya Pak Ezar, Sha?” Vina menghentikan aktivitasku yang tengah mengabsen barisan indomie.

“Berjuang kalau cuma sendiri jatuhnya luka, Vina Sayang,” timpal Mika.

“Dia terlalu jauh untuk gue gapai. Betis gue suka pegal kalau jalan jauh, apalagi lari. Gak kuat gue tuh.”

“Njir malah bercanda,” beo Mika lantas meraih indomie secara asal.

Ia mengamatinya dengan saksama, lalu berkata, “Lu kayaknya harus jadi indomie agar jadi seleranya Pak Ezar.”

“Tapi, indomie juga banyak macamnya, Mika. Ibaratnya gini, seleranya Pak Ezar indomie goreng, sedangkan Asha hanya indomie kaldu ayam.”

Mika dan Vina saling berpandangan, tak lama tawanya meledak.

Aku menggeleng pelan seraya menarik napas dalam-dalam melihat tingkah mereka yang senang sekali menistakanku.

“Sha, si Vina benaran udah mulai geser juga otaknya,” ujar Mika di sela tawanya.

“Hahaha, ikutan sesat dia gaul sama lu, Ka.”

Kami kembali terdiam untuk beberapa saat.

Begitu hendak menuju kasir, Mika merangkulku dan menepuk pelan bahu ini.

“Asha Sayang, apa pun keputusan lo nanti, gue tetap dukung.”

“Aku juga selalu ada untukmu, Cantik.”

Hanya seutas senyum tipis yang kuberikan pada mereka.

Setidaknya, aku masih beruntung punya dua teman yang bersedia menyiapkan ruang untuk bercerita kala aku dirudung dilema.

Di antara kami, nyaris tak ada rahasia.

Setelah berbelanja, aku pulang ke rumah diantar oleh Mika.

Aku melipir ke kamar dan membersihkan badan yang sudah terasa lengket lebih dulu, lalu salat magrib. Kemudian beranjak ke dapur untuk menata belanjaan.

Tak berselang lama, Pak Ezar juga sudah pulang. Begitu melihatku berkutat di dapur, ia pun menghampiriku.

“Kamu udah belanja?” tanyanya bernada dingin.

“Iya.”

“Punya uang?”

“Saya juga kerja cari uang, Pak. Tabungan saya masih ada.”

‘Pertanyaan macam apa itu? Kalau gak punya uang, belanjaan gak bakal dibawa balik kali.’

‘Dikira gue ngerampok supermarket.’

“Mmm ... maaf, tadi saya ada urusan. Gak ngecek Hp.”

Bibirku tertarik sedikit ke belakang mendengar kalimat yang seakan-akan diproklamirkan untuk membela dirinya.

Padahal, mau dia jujur kalau pergi dengan pacarnya pun aku tak masalah.

“Gak apa-apa, Pak. Ada teman kok yang nemenin.”

Dari sudut mata ini, aku melihat Pak Ezar merongoh dompetnya.

Dia mengeluarkan sebuah kartu dari benda berwarna hitam itu.

“Next time kalau mau belanja pake kartu ini.” Pak Ezar menyodorkan kartu debit padaku.

Meski ragu, aku tetap menerimanya.

“Pin-nya 6 angka belakang nomor saya.”

“Apa gak sebaiknya pake cash aja uangnya, Pak?” Aku meneguk ludah memandangi sebuah kartu yang kini berada di tanganku.

Jujur, aku membayangkan jumlah digit saldo kartu debit ini. Takut syok liat nominalnya.

“Kenapa? Jangan bilang kamu gak bisa make debit card?”

‘Cih, dikira gue katro apa?’

“Bisa, Pak. Tapi Bapak pake apa kalau kartunya dikasi saya?”

“Saya orang kaya kali. Kamu pake aja kartu itu kalau butuh sesuatu. Anggap aja itu nafkah buat kamu juga.”

“Nafkah?”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Asih
bagusan ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status