‘Pak Ezar? Dia datang ke sini?’
Aku mengernyit bingung, berusaha mencerna maksud Vina. Sedang Mika sudah menyembulkan kepala di pinggir rak untuk memastikan.“Lu cuma liat Pak Ezar tapi kek mau pindah alam,” cibir Mika.‘Pak Ezar benaran ke sini?’Tentu saja aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Hanya saja aku berusaha bersikap santai.Vina menarik napas panjang. Tangannya mengusap lembut lenganku seakan meminta untuk tetap bersabar.“Sha, itu yang cewek bareng Pak Ezar si Manda bukan sih? Kastemer prioritas di toko?” Mika bertanya tanpa menoleh ke arahku.Nyatanya, aku sama sekali tak kaget dengan pertanyaan Mika.Toh, Pak Ezar juga sudah bilang akan tetap menjalin hubungan dengan kekasihnya.Aku sedikit bergeser dan menyembulkan kepala dari balik rak sekadar memastikan sosok gadis yang bersama Pak Ezar benar adalah Manda.“Ya. Dia memang Mbak Manda. Kemarin gue juga ketemu di rumah.”Walau dalam hati paling dalam, jujur aku cukup kecewa saat tahu dia berada di sini, tetapi dengan orang lain. Padahal, tadi pagi kami sudah janjian untuk belanja bareng.Ya, maksudku kalau memang ada keperluan, setidaknya berkabar.Jangan menghilang dan mengabaikan. Karena mantan masih tak tersaingi urusan menghilang tanpa kabar.“Oh, jadi pacarnya Pak Ezar itu Manda?”Aku mengangguk.“Mau labrak gak, Sha?” lirih Vina.Raut wajahnya yang datar membuatku terkekeh pelan.“Haih! Buat apaan? Mau jadi seleb dadakan lu mencing keributan di tempat kek gini?”“Ya kan Pak Ezar suami kamu. Sah secara hukum agama dan negara, punya stempel legalitas dari KUA.”“Kalau gue labrak, lu mau bantuin emang?” Aku mendelik judes pada Vina.Setahuku, dia paling anti mencari keributan dan selalu menjadi penengah di setiap kerenggangan.“Boleh.” Vina terkekeh pelen. “Aku benci perselingkuhan. Ayo kita labrak!”Mataku membola melihat antusiasnya.Walaupun perselingkuhan memang tak dibenarkan, tapi cukup mengherankan jika sosok Vina ikut terjun urusan baku hantam.“Si Ukhti udah mulai bar-bar pemirsa.” Mika susah payah menahan tawa.“Tidak ada salahnya kan memberi pelajaran pada tukang selingkuh?”Kuanggukkan kepala membenarkan perkataan Vina.Namun, antara aku dan Pak Ezar situasi rumit.Menurutku, belum ada yang bisa dibenarkan ataupun disalahkan.“Gue memang istrinya, tapi hatinya milik kekasihnya.”Walaupun tak menginginkan pernikahan ini, tapi rasanya mengucapkan kalimat itu begitu menyakitkan. “Status gue cuma di atas kertas. Jadi, gue ada hak apa dalam hubungan ini?” lirihku tertunduk pilu. Mencoba menyembunyikan mata yang mulai berkaca-kaca.“Justru yang di atas kertas itu resmi, Sha. Punya bukti legalnya,” tutur Vina, “kalau cuma pacaran? Apa coba buktinya?”“Gue tau, Vin.” Aku memejamkan mata sebentar. “Tapi gue punya prinsip dalam menjalin hubungan. Pertama, tidak menyakiti cewek lain. Kedua, tidak menjadi orang ketiga. Dan yang ketiga, tidak mengemis perhatian.”“Sudahlah, lagian gue tuh cuma nunggu waktu yang tepat untuk melepaskan pernikahan ini.”“Dih, baru juga nikah, udah nyebut-nyebut pisah aja kamu. Nggak baik, Asha.”Aku mengangkat bahu dan memajukan bibir bawah sebagai pertanda bodo amat.Setelahnya, aku kembali fokus melipir rak demi rak tanpa mengatakan sepatah kata.“Sha, lu benaran gak pernah ngerasa cemburu gitu liat Pak Ezar masih jalan sama Mbak Manda?” tanya Mika.“Enggak, sih. Biasa aja gue,” ucapku tanpa beban. “Tapi, sebenarnya ada rasa kecewa dikit sih.”Mika dan Vina saling berpandangan.“Kecewa karena?”“A—a ... bukan apa-apa.”Tidak mungkin kan kalau aku bilang kecewa karena Pak Ezar mengabaikan dan tak menepati janjinya mengantarku belanja hari ini?Apa yang mesti kuharapkan?Sedang masih teringat jelas kalimatnya kala itu yang terang-terangan berdalih bahwa aku bukan tipenya.Sungguh, hal itu menumpas pertahanan rumah tangga yang mungkin akan kubangun di kemudian hari.Di sini, aku hanya melanjutkan hidup.Menghormati pernikahan yang telah dirancang sedemikian rupa oleh orang tua.Mencoba pasrah pada alur hidup dan bertekuk lutut pada takdir yang akan kujalani.Soal rasa, jujur ... hambar!“Kamu gak mau berjuang untuk merebut hatinya Pak Ezar, Sha?” Vina menghentikan aktivitasku yang tengah mengabsen barisan indomie.“Berjuang kalau cuma sendiri jatuhnya luka, Vina Sayang,” timpal Mika.“Dia terlalu jauh untuk gue gapai. Betis gue suka pegal kalau jalan jauh, apalagi lari. Gak kuat gue tuh.”“Njir malah bercanda,” beo Mika lantas meraih indomie secara asal.Ia mengamatinya dengan saksama, lalu berkata, “Lu kayaknya harus jadi indomie agar jadi seleranya Pak Ezar.”“Tapi, indomie juga banyak macamnya, Mika. Ibaratnya gini, seleranya Pak Ezar indomie goreng, sedangkan Asha hanya indomie kaldu ayam.”Mika dan Vina saling berpandangan, tak lama tawanya meledak.Aku menggeleng pelan seraya menarik napas dalam-dalam melihat tingkah mereka yang senang sekali menistakanku.“Sha, si Vina benaran udah mulai geser juga otaknya,” ujar Mika di sela tawanya.“Hahaha, ikutan sesat dia gaul sama lu, Ka.”Kami kembali terdiam untuk beberapa saat.Begitu hendak menuju kasir, Mika merangkulku dan menepuk pelan bahu ini.“Asha Sayang, apa pun keputusan lo nanti, gue tetap dukung.”“Aku juga selalu ada untukmu, Cantik.”Hanya seutas senyum tipis yang kuberikan pada mereka.Setidaknya, aku masih beruntung punya dua teman yang bersedia menyiapkan ruang untuk bercerita kala aku dirudung dilema.Di antara kami, nyaris tak ada rahasia.Setelah berbelanja, aku pulang ke rumah diantar oleh Mika.Aku melipir ke kamar dan membersihkan badan yang sudah terasa lengket lebih dulu, lalu salat magrib. Kemudian beranjak ke dapur untuk menata belanjaan.Tak berselang lama, Pak Ezar juga sudah pulang. Begitu melihatku berkutat di dapur, ia pun menghampiriku.“Kamu udah belanja?” tanyanya bernada dingin.“Iya.”“Punya uang?”“Saya juga kerja cari uang, Pak. Tabungan saya masih ada.”‘Pertanyaan macam apa itu? Kalau gak punya uang, belanjaan gak bakal dibawa balik kali.’‘Dikira gue ngerampok supermarket.’“Mmm ... maaf, tadi saya ada urusan. Gak ngecek Hp.”Bibirku tertarik sedikit ke belakang mendengar kalimat yang seakan-akan diproklamirkan untuk membela dirinya.Padahal, mau dia jujur kalau pergi dengan pacarnya pun aku tak masalah.“Gak apa-apa, Pak. Ada teman kok yang nemenin.”Dari sudut mata ini, aku melihat Pak Ezar merongoh dompetnya.Dia mengeluarkan sebuah kartu dari benda berwarna hitam itu.“Next time kalau mau belanja pake kartu ini.” Pak Ezar menyodorkan kartu debit padaku.Meski ragu, aku tetap menerimanya.“Pin-nya 6 angka belakang nomor saya.”“Apa gak sebaiknya pake cash aja uangnya, Pak?” Aku meneguk ludah memandangi sebuah kartu yang kini berada di tanganku.Jujur, aku membayangkan jumlah digit saldo kartu debit ini. Takut syok liat nominalnya.“Kenapa? Jangan bilang kamu gak bisa make debit card?”‘Cih, dikira gue katro apa?’“Bisa, Pak. Tapi Bapak pake apa kalau kartunya dikasi saya?”“Saya orang kaya kali. Kamu pake aja kartu itu kalau butuh sesuatu. Anggap aja itu nafkah buat kamu juga.”“Nafkah?”Mas Ezar membawaku ke samping resto yang sepi-sepi orang. Entah ada tujuan apa dia membawaku ke sini? Sudah persis gadis polos mau diperkaos pria hidung belang. “Mas, kenapa dibawa ke sini?” tanyaku mengerucutkan bibir kesal. “Padahal masih pengen nyinyirin si pirang gatal itu.”“Makanya aku bawa ke sini untuk menepi sejenak, Sayang. Jangan nyinyir lagi ya. Yang ada nanti kamu stres kebawa janin kamu juga ikutan stres,” ujar Mas Ezar. Dia menopang tubuh dengan kedua tangannya pada tembok agar tubuh kami tak bersentuhan walau posisinya mengurungku pada tembok. Aku menghela napas panjang. Sengaja mengalihkan pandangan ke arah lain agar terkesan judes. “Kamu kok belain dia, sih?”Mas Ezar menangkup wajahku dan menatap mata ini lekat. “Bukan membela, Sayang. Aku juga gak suka sikap dia tadi, tapi aku gak mau dia nyakitin kamu. Kamu tadi liat? Dia emosi kamu bilangin gatal. Untung gak jambak kamu.”“Aku kan bisa jambak balik,” cici
Begitu Bagas telah selesai bernyanyi dan Naila sedikit berlari turun dari panggung, barangkali lupa membawa stok urat malu. Hahaha. Bercanda urat malu!Seketika itu, aku pun terlintas ide untuk merayakan ulang tahun suamiku yang ke-29. Dari kemarin, aku berpikir keras bagaimana mengucapkan agar terkesan romantis dan tidak kaku macam sikapnya saat awal kami menikah. Aku pun naik ke panggung. Bukan untuk goyang ngebor di sana, tapi buat ngambil mic, lalu diskusi sebentar dengan Akang piano. Gak usah penasaran kami diskusi apaan? Intinya, setelah itu aku kembali ke tempat dudukku dengan mic di tangan. Saat ini, aku percaya diri dengan suaraku yang membahana, walau nyatanya seperti suara kodok. Masa bodoh dengan pandangan orang-orang, tapi aku bangga punya suara yang seksi ini, walau tak seseksi orangnya jika hanya berdua dengan Mas Ezar di kamar. Eya!Begitu musik mulai mengalun, aku membuka ponsel dan melihat lirik la
Belum sempat kusambut uluran tangan Ahsan, Mas Ezar yang entah muncul darimana lebih dulu menyambut tangan duda beranak satu itu. “Kami baik,” katanya sambil menarik pinggangku posesif hingga tubuh ini menabrak tubuhnya. “Duh, pocecip detected,” ucap Kak Akmal pelan. Dia sampai menutup mulut dan menoleh ke arah lain. Ia terlihat susah payah menahan tawanya. Ahsan tersenyum tipis. Barangkali menyadari kecemburuan Mas Ezar padanya. “Maaf ini, Mas, karena datang gak diundang. Cuma ikut-ikutan Kak Akmal,” kekeh Ahsan tak enak hati. “Gak apa-apa. Malah senang kalau banyak yang datang.”Mas Ezar mengulas senyum tipis berlagak sangat ramah. Padahal, kutahu hatinya tengah meradang melihat Ahsan mengulurkan tangannya padaku tadi. Dia pasti mengingat kejadian di pernikahan Vina kemarin, di mana saat itu Ahsan melamarku. Barangkali, sekarang ia tetap takut istrinya masih diincar oleh duduk beranak satu itu.
“Jangan cantik-cantik, Sayang. Aku takut nanti malah banyak yang naksir kamu di sana.” Lengan kekar Mas Ezar tiba-tiba saja sudah melingkar di perutku. Bahkan, kini hidungnya pun semakin liar menjelajahi leher ini.Ia sesekali memejamkan mata, kulihat dari cermin di hadapan kami..“Kalau aku jelek yang ada nanti kamu malu bersanding denganku. Katanya mau didampingi meresmikan resto,” ujarku masih mengoles tipis-tipis lipstik ke bibir. “Iya, tapi kalau cantiknya kebangetan aku takut kamu digodain laki-laki lain. Kamu gak pake makeup aja aku pede aja gandeng kamu, kok,” tutur Mas Ezar.Dia masih memeluk erat tubuh ini dari belakang. Napasnya yang hangat sesekali menyapu lembut di kulit leherku, aku bisa rasakan itu. “Aku yang malu tampil dengan muka burik tanpa polesan walau tipis, takut kebanting kegantengan Pak Dosen.”"Hmm, ya udah. Ayo kita pergi,” ajak Mas Ezar. Aku mengecek jam tangan, ternyata sudah puk
Sampai di rumah Ayah, aku memutuskan untuk istirahat sebentar. Habis perjalanan jauh dari Jakarta ke Makassar rasanya capek banget.Padahal, tadi di pesawat cuma duduk doang. Tak sedang mencoba goyang ngebor sambil kayang. Mungkin efek hamil juga jadi badan serasa pegal-pegal dari ujung kepala hingga ujung kaki.Entah berapa lama aku istirahat sampai tertidur hingga kembali terbangun saat alarm pengingat meeting berbunyi. Sore ini, aku memang ada meeting online dengan Bu Aina dan para karyawan Aina Fashion. Begitu meeting berakhir, aku keluar kamar dan mendapati Mas Ezar yang sedang main ular tangga dengan Elizha di ruang tengah. ‘Astaga, laki gue mau-mau aja diajak main ular tangga.’Aku tertawa cekikikan melihat wajah Mas Ezar kayak ditekuk bak orang terpaksa. Aku tebak, dia pasti dipaksa nemanin main oleh Elizha. Soalnya, anak itu kalau keinginannya ditolak suka ngambek sampai 7 hari 7 malam. “Udah gede
“Sayang, dia tadi cuma nanya kabar, jangan salah paham, ya.”Nanya kabar? Penting amat gitu tahu kabar suami orang? Mas Ezar langsung duduk di sampingku, tapi aku sengaja tak memedulikan. Terlihat jelas dari gelagatnya kalau dia bingung bagaimana cara menjelaskan keberadaan Manda padaku? Ah, kurasa hatinya sedang gundah gulana, takut aku marah padanya. Kuraih ponsel dan pura-pura sibuk chat-an untuk menambah kesan judes ini. “Zar, Sha ... karena kebetulan kita ketemu di sini ....” ‘Lah, terus kenapa kalau ketemu di sini? Mau kopral sambil kayang?’“Jadi, sekalian aja gue minta maaf dan pamit pada kalian, terkhusus pada lu, Zar,” lanjut Manda.Setidaknya, aku memasang telinga baik-baik untuk lebih memperjelas pendengaran.Benarkah dia minta maaf? ‘Tumbenan banget seorang Manda minta maaf? Gak salah orang gue, kan, ya?’Takutnya aku cuma mimpi dan pas bangun malah ketampa