Aku memandang Pak Ezar sekilas. Semburat kekhawatiran dapat kulihat jelas di wajahnya.
“Dia ponakan aku,” ucapnya cepat, “katanya mau pindah kosan. Jadi aku tampung dulu sementara waktu sambil dianya juga nyari-nyari kosan.”‘Ponakan?’Pak Ezar menganggapku sebagai ponakannya?Aku mengernyit tanpa kata.Aku hampir saja lupa kalau dia pernah bilang tak mau mempublikasikan hubungan kami.‘Berharap apa sih lu sama pernikahan ini, Sha?’Lalu, ada hubungan apa Pak Ezar dengan wanita itu?“Asha, kenalin ini Manda, pacar aku.”Deg!Dalam sekejap aku merasa ulu hatiku seperti tercabik dengan pengakuan Pak Ezar.Nyatanya, aku tak kaget, pun bukan cemburu.Hanya sedikit syok karena ia berani membawa pacarnya ke rumah.Kuanggukkan kepala pelan sembari melempar senyum semanis mungkin pada Manda.Tak lama, gadis itu beranjak dan menghampiriku.Begitu tiba di hadapanku, dia menyodorkan tangan sebagai salam perkenalan yang kemudian kusambut dengan senang hati.“Manda, pacarnya Aezar,” katanya.“Asha, Mbak,” balaska tersenyum tipis, sedikit tercekat.“Kayaknya kita pernah bertemu ya sebelumnya?” tanya Manda.Sama sepertiku, agaknya dia juga mengingat tentang kami yang kuakui memang cukup sering bertemu.Aku terkekeh pelan. “Iya, Mbak. Di Aina Fashion.”“Ah, ya. Kamu kasir di sana, kan?” Manda berusaha menebak.Detik kemudian, aku mengangguk membenarkan.“Zar, kenapa gak pernah bilang kalau Asha ini ponakan kamu? Aku sering banget tau belanja di Aina Fashion.”Benar, Manda adalah salah satu pelanggan prioritas di Aina Fashion—tempat kerjaku. Satu yang kutahu, dia adalah seorang Presenter kondang di sebuah stasiun televisi.Wajar saja Pak Ezar mencintainya. Dia cantik, baik, ramah, pintar, body-nya juga bagus, jangan lupakan kalau ia wanita karir yang sukses.Aku semakin tak berdaya jika disuruh bersaing dengan wanita sekelas Amanda Zhafirah.Lagi, aku menghela napas panjang, mengingat takdirku yang penuh teka-teki.“Kamu juga kenapa gak bilang sih kalau ponakannya Aezar?”Aku mengulum senyum sembari melirik Pak Ezar di sofa. Ia hanya diam, tetapi delikan judesnya seolah berbicara padaku.“Aku gak tau kalau Mbak Manda pacarnya Om Ezar.”‘Om? Hahaha.’“Oh, iya. Tadi katanya kamu lagi nyari kos-kosan. Emang kenapa dengan kos lamamu?”“Ee ... itu, Mbak. Kalau musim hujan sering banjir,” dustaku.Pak Ezar terlihat bangkit dari duduknya dan menyambar kunci mobil di atas meja.“Manda, ini udah malam. Aku antar pulang, ya. Besok kamu kerja kan?”Aku tebak, dia pasti sengaja menyela pembicaraan kami karena tak ingin kekasihnya bertanya lebih banyak lagi tentangku.Setakut itu ya hubungan kami terbongkar?Tenang saja, Pak! Aku sangat bisa diandalkan dalam menjaga rahasia negara.“Ya udah, deh. Asha, duluan ya,” pamitnya yang hanya kubalas dengan anggukan.*****Pukul 07 lebih 15 menit, aku baru selesai meracik nasi goreng dan telur dadar sebagai menu sarapan kami.Semoga saja rasanya tak aneh.Tidak lucu kalau pertama kali memasak untuk suami malah meninggalkan kesan buruk.Dan untuk selanjutnya, aku harus membiasakan diri melayani suami, meskipun nyatanya rada tak dianggap.“Hmm, bikin nasi goreng?” tanya Pak Ezar sembari menarik kursi dan langsung duduk.“Iya, Pak. Sarapan nasi goreng sama telur dadar gak apa-apa, ya? Di kulkas gak ada bahan makanan selain telur. Kemarin, belum sempat belanja.”Pak Ezar tak merespons. Melainkan mulai menuang nasi goreng ke piringnya.Setelah mencicipi suapan pertama, ia menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan.Aku menggigit bibir bawah sedikit keras dan mulai meragukan rasa masakan sendiri.“Lumayan enak. Kamu bisa masak juga ternyata.”Ludahku yang sempat tercekat, akhirnya terbebas jua. Berganti dengan Senyuman salah tingkah.Jauh di dalam sana hatiku juga sedang sujud syukur. Begini rasanya dipuji sama suami?Entah pujiannya itu tulus atau hanya menjaga perasaanku saja?Seingatku ketika memasak di rumah, selalu saja ada yang kurang di lidah Ibu.“Bisa dikit-dikit saja sih, Pak.”Tak ada lagi pembicaraan setelahnya. Kami menikmati sarapan dalam diam.Diam-diam mencuri pandang di setiap kesempatan.“Oh, iya. Mbak Manda itu sering ke sini, Pak?” tanyaku memecah keheningan.“Gak juga. Kenapa memang?”Aku menggeleng pelan.“Mau melarang?”“Tentu tidak, Pak. Saya gak akan lupa sama aturan pernikahan kita,“ ucapku tersenyum getir.Aku tidak akan lupa aturan pernikahan yang dibuat olehnya, tapi rasanya tidak etis saja kalau dia membawa perempuan lain ke rumah, sedang aku masih istri sahnya.“Baguslah, jadi biasakan jangan banyak tanya.” Pak Ezar berlalu begitu saja setelah meneguk air minumnya.Aku mengembuskan napas berat menyaksikan punggung Pak Ezar yang semakin jauh.Salah lagi? Ah, nyesal bertanya. Tadinya, aku memang ingin tahu sejauh apa hubungannya dengan Manda?Dari yang kulihat kemarin, sepertinya hubungan mereka memang sudah cukup jauh ya.Pantas saja kalau Pak Ezar sangat menyayanginya.Sekitar pukul 8 lebih 25 menit, aku sampai di toko diantar Pak Ezar. Tadinya aku menolak, takutnya ngerepotin, tapi dia juga kekeh mau antarin.Entahlah!Aku juga bingung dengan sikapnya yang kadang galak banget, kadang menghangat, dikit-dikit judes, dan bisa berubah manis.Dia seperti memiliki dua kepribadian yang beberapa hari ini membuatku bingung menentukan warna aslinya.Begitu turun dari mobil, aku melihat Mika menahan senyum di dekat pintu masuk. Di sudut lain, Vina juga baru melepas helm di parkiran.“Duh, manten baru sudah datang diantar ayang,” ceplos Mika tatkala aku sudah sampai di depannya.“Belum pernah liat bidadari kejedot pintu gak, Ka?” sinisku.“Uuh, atut!” Mika tertawa melihatku yang sedang misuh-misuh tidak jelas.“Alamat langsung ujian tutup, nih,” sahut Vina menambahkan.“Uwah, iya dong! Kerangka proposalnya dikhususkan untuk memikat hati dosen pembimbing,” ucap Mika sambil tertawa. “Lu harus bisa sehebat George R. Terry, biar bisa mengubah fungsi manajemen dari POAC ke LOVE karena Asha selalu teringat wajah Ayang Ezar.”“Cuaks! Skripsi pemikat hati sang duta dosen galak.” Vina ikutan tertawa.Aku mendelik judes ke arah mereka tanpa sepatah kata.Oh Tuhan! Seandainya menjual teman tak akan tergolong perdagangan orang yang sekaligus melecehkan hak asasi manusia, akan kujual mereka pakai metode pengiriman cepat gratis ongkir, pengiriman cepat gratis ongkir ... hanya di La****“Jadi kapan jadwal sidangnya Kakak Senior?” Vina menaikturunkan alisnya.Aku menghela napas kasar dan mulai melangkah masuk ke toko. “Boro-boro sidang. Belom bimbingan gue ama dosen sialan itu.”“Astagfirullah. Gak boleh ngatain suami seperti itu. Dosa, Ukhti.”“Dengarin tuh KW-nya Mamah Dedeh ngomong.” Mika tertawa puas yang lantas kulempar dengan pulpen yang sedari tadi kupegang.Detik demi detik berjalan begitu saja. Hingga hari beranjak sore.Setelah pergantian shift dan menyelesaikan beberapa pekerjaan yang terpending, aku memutuskan untuk pulang.Begitu keluar toko, nyatanya aku baru menyadari kalau tadi ke sini diantar.Aku memijat kening sembari terus menghubungi Pak Ezar, tapi tak satu pun pesan dan panggilanku direspons olehnya.‘Astaga, minimal jangan nganggap gue mahasiswa lu di saat seperti ini, njir!’‘Ini gimana pulangnya kalau gak dijemput? Mana gue lupa ngecek alamat lengkap rumah lagi.’‘Ah, Pak Ezar apa-apaan sih? Katanya tadi mau antar belanja keperluan dapur, tapi ini kesannya malah mengabaikan.’“Jemputan lu belum datang?” tanya Mika yang tiba-tiba sudah berdiri di dekatku.“Tau tuh. Ditelepon gak diangkat, dichat gak dibalas,” ujarku sambil mengerucutkan bibir kesal.“Utututut. Kasian manten baru.” Mika mengusap-usap kepalaku.Ini si Mika mengasihani tapi nada bicaranya rada mengejek. Malah ekspresi juga tampak menahan tawa.“Gue antar, mau?” tawar Mika.“Gak usah deh kayaknya. Gue mau sekalian belanja bahan masakan soalnya.”“Uwaw. Yang udah punya suami mah beda,” cicit Mika.“Gue temani belanja deh kalo gitu. Sekalian mau beli snack buat bocil-bocil gue di rumah.”“Ponakan lu?”“Yoi, kemarin baru datang dari Surabaya.”“Tapi, gak ngerepotin nih?”“Ah, kebiasaan. Lu kayak orang lain aja, herman gue. Ayo, mumpung gue bawa mobil,” ujar Mika. “Vin, lu mau ikut ke supermarket gak?”Vina yang baru keluar dari toko hendak memasang helm mengurungkan niatnya.“Siapa yang mau ke supermarket.”“Gue sama Asha, lu kalau mau ikut mobil gue aja. Motor lu simpan sini dulu.”“Iya deh, aku ikut.”Ah ... benar-benar teman yang paket komplit. Wajar saja Bu Aina menjuluki kami sebagai “tiga serangkai” karena ke mana-mana kudu sepaket.Kami bertiga pun menuju supermarket.Begitu sampai, kami langsung menyusuri lorong demi lorong, Vina yang berada sedikit di depan kami seketika berhenti dan mundur selangkah.Mika bahkan sampai menabraknya.“Astagfirullah!” pekik Vina sembari mengusap-usap dada.“Ada apa, Vin?” tanyaku.“Anu itu ... aku.” Vina menggaruk tengkuk yang agaknya tak gatal.“Anu apa?” desak Mika.“Pak Ezar ada di sebelah,” lirihnya kemudian.‘Pak Ezar? Dia datang ke sini?’Aku mengernyit bingung, berusaha mencerna maksud Vina. Sedang Mika sudah menyembulkan kepala di pinggir rak untuk memastikan.“Lu cuma liat Pak Ezar tapi kek mau pindah alam,” cibir Mika.‘Pak Ezar benaran ke sini?’Tentu saja aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Hanya saja aku berusaha bersikap santai. Vina menarik napas panjang. Tangannya mengusap lembut lenganku seakan meminta untuk tetap bersabar. “Sha, itu yang cewek bareng Pak Ezar si Manda bukan sih? Kastemer prioritas di toko?” Mika bertanya tanpa menoleh ke arahku. Nyatanya, aku sama sekali tak kaget dengan pertanyaan Mika. Toh, Pak Ezar juga sudah bilang akan tetap menjalin hubungan dengan kekasihnya. Aku sedikit bergeser dan menyembulkan kepala dari balik rak sekadar memastikan sosok gadis yang bersama Pak Ezar benar adalah Manda. “Ya. Dia memang Mbak Manda. Kemarin gue juga ketemu di rumah.”Walau dalam hati paling dalam, jujur aku cukup kecewa saat tahu dia berada di sini, tetap
Aku memasuki gedung kampus dengan langkah terburu-buru dan langsung melipir ke ruangan Pak Ezar. Hari ini, aku akan menemuinya kembali untuk konsultasi proposal yang tertunda pekan lalu. Namun, nyatanya setiba di sana, ruangannya masih tertutup rapat. Lampunya juga belum menyala. Artinya, Pak Ezar belum datang.Bukankah saat kuhubungi tadi ia bilang akan tiba di kampus pukul 9:30?Sekarang sudah pukul 10, tapi dia belum datang. Padahal, dia tipikal dosen yang disiplin. Satu detiknya terlalu berharga. Biasanya juga suka marah-marah kalau mahasiswa datang terlambat. Aku pernah jadi korbannya!Sesaat, aku mengembuskan napas berat dan memilih duduk di kursi depan ruangannya. ‘Di rumah ketemunya gampang, sekali di kampus malah ngilang.’Ah, seandainya Pak Ezar mau diajak diskusi pas di rumah saja. Sayangnya, walaupun sudah jadi suami, agaknya dia tak mau sedikit saja memban
“Eh, ada si Ukhti juga,” ucapnya tersenyum ke arah Vina. “Sha, lu kenapa sih gak pernah ngerespons deem gue?” tanyanya padaku. “Jangankan direspons, kayaknya itu deem gue di ig betah banget nangkring di fitur permintaan.”“Gue lagi gak ada waktu buat buka-buka deem,” ucapku dengan nada judes. “Sha, tau gak? Lu kalo judes-judes gitu makin bikin hati gue ketar-ketir berasa pengen langsung seret ke KUA.”‘Dasar playboy cap kadal!’ makiku dalam batin.“Astagfirullah. Kak Fadly, Asha udah—” Belum sempat Vina melanjutkan ucapannya, aku sigap mencubit pinggangnya disertai dengan delikan judes. Untungnya, dia langsung sadar dan paham sehingga mengunci mulut.“Udah apa, Vin?”“Udah gak usah bucin mulu. Kelarin itu kuliah lu yang gak kelar-kelar.”“Gue masih betah di kampus, selagi masih ada Asha yang menenangkan hati.”“Stress!” cibirku. “Lu yang bikin gue stress sampe segininya,
Aku masih melongo tanpa kata, berusaha menerawang jauh ke belakang sembari mencari letak tanda-tanda yang menunjukkan kalau Bu Aina dan suamiku punya hubungan darah. Astaga, apakah dunia benar-benar hanya selebar daun kelor?Sejauh mata memandang dan sepanjang perjalananku meniti karir di Aina Fashion, aku betul-betul tak tahu menahu hubungan Bu Aina dan Pak Ezar.“Kenapa pada kaget gitu?” Bu Aina melihatku dan Vina bergantian. Aku menggeleng pelan, seolah kehabisan kata-kata menerima kenyataan. Padahal, sebenarnya ada banyak tanya yang terbesit dalam hati. Untung saja, kami tak pernah mereview perilaku dosen galak itu di hadapan Bu Aina.“Bu, Asha doang yang dikasi kado? Kami berdua nggak?” protes Mika. “Nikah dulu, baru Ibu kasih juga.”“Nikah, Vin.”“Dih, kamu aja yang duluan. Kamu kan lebih tua sebulan dari aku,” sanggah Vina. “Si Asha aja lebih muda setahun dari kita udah nikung duluan.”“Ya kan udah jodohnya.”Aku memijat kening mendengar dua cewek cantik itu sedang adu mu
Keesokan harinya, aku dan Pak Ezar mengunjungi rumah orang tuanya.Ini kali pertama aku bertandang ke rumah mertua. Jujur saja, rasanya cukup gugup. Setelah menempuh perjalanan sekitar sepuluh menit, mobil Pak Ezar memasuki halaman rumah yang sangat luas. Bisa kutebak ini adalah rumah mertuaku. Hamparan rumput hijau terawat dan air mancur di halaman depan menambah keindahan rumah yang tak kalah besar dari rumahnya Pak Ezar. ‘Mimpi apa gue nikah sama sultan?’Aku turun dari mobil lebih dulu dan mendapati Bunda Ola sudah berdiri di teras sambil tersenyum ke arah kami. Dengan takzim, aku mencium tangannya memberi penghormatan. Dia juga menarikku ke dalam pelukannya seakan baru saja bertemu dengan putrinya yang pulang dari rantauan. Entah mengapa, perlakuan Bunda Ola yang sangat manis membuatku seperti tengah melihat Mama yang kembali.Seandainya, Pak Ezar juga begitu. Ah, memangnya apa yang kau harapan darinya, Asha? Jangan terlalu banyak berkhayal. Perbanyaklah sadar diri. “Bag
Upaya pendekatanku dengan Pak Ezar tampaknya memang agak butuh perjuangan. Hatinya barangkali benar-benar sudah terkunci untuk satu orang wanita yang sangat dicintainya. Setidaknya, aku merasa kesulitan mendapat kesempatan untuk memperbaiki hubungan pernikahan kami. Apalagi, semenjak kejadian di rumah orang tuanya, ia bahkan tak banyak berbicara padaku.Entahlah, padahal aku sendiri hanya mengikuti permainannya yang ingin kami terlihat baik-baik saja di depan keluarga.Lagian, aku tak terlalu berlebihan, kok? Hanya sebatas memanggil ’sayang’, apa salahnya?Akan tetapi, bukan Asha namanya kalau menyerah. Walaupun mungkin suatu hari nanti aku mengalah, tetapi saat ini entah dorongan dari mana sehingga aku seakan tak rela melepas pernikahan ini begitu saja.Jujur, aku dapat merasakan kehangatan di keluarga suamiku. ‘Kalau memang tak dapat hatinya Pak Ezar, minimal bisa menjungkirbalikkan jantungnya. H
Pandangan kami bertemu cukup lama menciptakan getaran aneh dalam tubuh ini. Jantung berpacu dengan kecepatan maksimal. Tetapi napasku justru seperti terhenti di saat tubuh kian membeku.Aku meneguk ludah susah payah, memandangi wajah dosen yang meskipun galak tetap menjadi pemegang tahta tertinggi idola cewek-cewek di kampus.Alisnya yang tebal, mata yang sedikit sipit tapi sekali menatap bikin nyali menciut. Hidungnya, bibirnya, dagunya ... paras yang sempurna.Ah, jadi membayangkan kalau ... Tidak-tidak!Rambut basahnya tiba-tiba menitikkan air tepat di pipiku, tetapi yang dingin malah hatiku. Menyadari kami sudah tak berjarak, aku mendorong dadanya yang telanjang agar berpindah dari atasku. Jujur, aku kesusahan bernapas.“Aduh!” ringisku merasakan bokong yang sakit begitu berhasil duduk. Untungnya, karena tadi Pak Ezar melindungi kepala ini dengan tangannya saat kami terjatuh. Seenggaknya terhindar dari geger otak.Aku melihat Pak Ezar gelagapan tampak salah tingkah. Kini ia me
Aku melambaikan tangan ketika mobil Pak Ezar mulai melaju. Ia membalas, tak lupa menebarkan senyuman yang bikin hati jungkir balik. Tuhan, senyumnya manis sekali! Sayangnya, dia jarang senyum dan lebih betah dengan wajah galaknya. Jadi tak sabar menunggu kepulangannya di hari Minggu. Ah, Asha! Kamu gimana sih? Dia baru saja pergi, malah sudah menunggunya pulang. Kau benar-benar aneh sekarang!“Duh, senyum-senyum. Orang kalau jatuh cinta gini, nih,” sindir Ibu mertua. Senyumku yang tadi mengambang, memudar perlahan menyadari Ibu mertua sedari tadi bersamaku.Astaga. Bisa-bisanya aku melupakan keberadaannya? Apa aku benaran jatuh cinta? Tapi, masa secepat itu? Tidak ada angin, hujan juga belum turun, masa iya semudah itu aku jatuh cinta? Memangnya hatiku terbuat dari apa? Kok, mudah sekali goyah?‘Gak, ah! Kalaupun iya sejak kapan?’‘Masa gue jatuh cinta sendirian?’“Bunda apa-apaan, ih,” gerutuku sebal. Bunda Ola terkekeh. “Jatuh cinta pada suami ... halal kok, Sayang. Memang s