Home / Romansa / Istri Dalam Sangkar Emas / Bab 2 Rumput Tetangga

Share

Bab 2 Rumput Tetangga

Author: Aurel Ntsya
last update Last Updated: 2024-11-11 19:23:12

"Mas, ini bekalnya. Aku juga sudah buatkan kopi dan sarapan, aku ke atas dulu untuk membantu Aluna bersiap." Seperti inilah rutinitasku setiap pagi, mengurus keluarga.

Tidak ada jawaban dari Mas Fajar, tapi aku yakin dia mendengarnya. Jadi aku segera berjalan menaiki tangga menuju kamar putriku, Aluna. Meskipun sudah berusia tujuh belas tahun, tapi aku masih membantunya bersiap untuk berangkat sekolah.

Mungkin ada banyak orang yang merasa iri dengan kehidupanku, hanya di rumah mengurus anak dan suami. Tapi uang bulanan selalu terpenuhi, segala sesuatu yang diinginkan selalu ada. Karena hanya sebatas itu yang mereka lihat, mereka tidak benar-benar tahu apa yang sebenarnya aku rasakan.

"Aluna, kau sudah bersiap?" Aku melihat putriku yang sudah memakai seragam sekolahnya. Sekarang dia duduk di bangku sekolah menengah atas, dan ini merupakan tahun akhirnya sebelum pelulusan.

Dia hanya mengangguk, kemudian mengambil tasnya dan keluar dari kamar. "Jangan lupa sarapannya dihabiskan, bekal Aluna juga sudah Mama siapkan," ujarku sedikit berteriak karena Aluna sudah tidak terlihat.

Aku menghela napas, kemudian merapikan kamar putriku yang berantakan. Di rumah kami tidak ada asisten rumah tangga, alasannya karena Mas Fajar tidak menyukai jika ada orang lain di tempat-tempat pribadinya. Selain itu, ibu mertuaku juga melarangnya karena menurutnya itu adalah bagian dari pekerjaanku sebagai istri.

"Aluna, Mama berganti pakaian dulu yah, hanya sebentar," ucapku saat melihat Mas Fajar dan Aluna yang sudah bersiap. Mengantar dan menjemput Aluna ke sekolah adalah tugasku.

"Aku tidak ingin diantar oleh Mama, aku akan ikut dengan Ayah," ujar Aluna, membuat aku langsung menatap Mas Fajar. Sepertinya dia setuju saja.

"Hari ini mama tidak boleh telat menjemputku!" Aluna memperingatkan sebelum masuk ke mobil ayahnya, aku hanya tersenyum dan mengangguk mengiyakan. Hingga mobil Mas Fajar meninggalkan halaman rumah.

Saat aku hendak masuk ke dalam, beberapa ibu-ibu menghampiriku. Mereka menyapa dan mengajak aku mengobrol.

"Kita ngobrolnya di dalam aja Bu, tidak enak kalau di luar," ujarku mengajak mereka untuk masuk ke dalam rumah.

"Tidak usah, kita ngobrol di sini aja," ujar mereka. Jadi aku memutuskan untuk keluar dan menghampiri mereka yang berada di luar pagar.

"Habis dari mana Bu," sapaku basa-basi.

"Habis belanja di toko sayur depan," ujar Bu Halimah.

"Aku kok selama di sini tidak pernah melihat Mbak Tari pergi belanja," ujar Bu Ayu, Ia merupakan tetangga baru. Ia baru pindah ke sini beberapa bulan yang lalu.

"Bu Ayu belum tau aja, Mbak Tari itu tidak belanja di toko-toko tepat kita biasa belanja. Iyakan Mbak, aku juga kadang maunya belanja di mall-mall gitu, tapi mau bagaimana lagi. Gaji suami tidak menjamin."

"Suami-suami kita kalau mau dibandingkan dengan Mas Fajar sudah pasti bedah jauh. Mas Fajar itu sudah ganteng, baik, pekerja keras, punya jabatan bagus, tentu saja keluarganya jadi begitu harmonis. Beda sama kita, masih ribut gara-gara uang untuk beli beras tidak cukup."

Aku hanya diam, tidak menanggapi. Biarkan ibu-ibu itu yang saling melemparkan ekspektasi tentang kehidupan aku, dan mendengarnya memuji-muji Mas Fajar, aku nyaris tertawa. Andai saja apa yang mereka katakan tentang Mas Fajar itu benar adanya, tentu aku akan menjadi orang paling beruntung.

"Kemarin Mbak Tari dan Mas Fajar juga jadi trending topik, sebagai keluarga harmonis yang sangat menginspirasi. Mbak Tari bikin iri saja, doanya apa Bu, bagi dong." Aku hanya menanggapinya dengan tertawa santai.

"Sampai hari ini mereka juga masih menduduki peringkat pertama di kolom pencarian, bagi tipsnya dong Mbak. Minimal yang membuat uang bulanan tahan aja deh sampai akhir bulan."

Aku lagi-lagi hanya menanggapinya dengan tertawa, aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Dan ini merupakan kali pertama aku berkumpul dengan ibu-ibu tetanggaku, jadi wajar saja kalau aku terlihat sedikit kaku.

"Tapi Mbak Tari harus hati-hati loh, Mas Fajar dijagain yang benar. Pelakor sekarang banyak tingkah."

"Iya Mbak, ibarat kata kalau pohon semakin tinggi maka semakin kencang angin yang menerpanya. Begitu juga keluarga, semakin baik sebuah keluarga terlihat, maka semakin banyak orang-orang jahat yang mencoba masuk dan menghancurkannya."

"Semoga tidak yah Bu." ujarku cepat, bagaimanapun aku masih gamang dengan isi hati Mas Fajar. Siapa sebenarnya pemilik hatinya?

"Iya sih, Mas Fajar juga tidak mungkin tergoda."

Pagi ini adalah pengalaman pertama aku mengobrol banyak hal dengan para tetangga, yang ternyata cukup menyita banyak energi. Meskipun begitu aku merasa ada yang beda, aku merasa hidup. Meskipun hanya mendengarkan keluh kesah mereka tentang beberapa hal, setidaknya aku merasa memiliki teman.

Setelah membereskan rumah yang agak berantakan, aku kemudian berjalan ke belakang. Membawa keranjang cucian dan memisah-misahkannya. Mas Fajar tidak suka jika pakaiannya dicuci menggunakan mesin cuci, jadi untuk pakaian Mas Fajar aku mencucinya menggunakan tangan.

"Ini bukan kemeja milik Mas Fajar." gumamku, aku memperhatikan dengan detail kemeja Mas Fajar, aku belum pernah melihatnya. Mas Fajar tidak begitu menyukai kemeja polos, dia lebih suka yang memiliki garis-garis tipis yang mendetail.

"Benar, ini bukan kemeja Mas Fajar. Baunya juga berbeda." Aku bahkan menciumnya beberapa kali untuk memastikan.

Mencoba memutar ingatanku tentang kemarin, Mas Fajar menggunakan kemeja berwarna biru tua. Kita memakai pakaian dengan warna yang senada, lalu dimana kemeja Mas Fajar yang dipakainya kemarin? Aku membongkar semua yang ada di dalam keranjang pakaian kotor, bahkan pada keranjang milik Aluna. Takutnya terselip tanpa aku sadari, namun hasilnya nihil. Kemeja itu memang tidak ada.

"Benar, Mas Fajar memakai kemeja ini." Aku ingat, saat Mas Fajar mendekatiku setelah Ia makan malam bersama Aluna. Ia masih memakai pakaian kerjanya, dan kemeja ini yang Ia kenakan. "Apa dia berganti pakaian sebelum pulang?"

Tiba-tiba kurasakan jantungku yang berdetak dengan cepat, ada ketakutan yang menghampiriku. Bahkan perbincangan tadi dengan para tetangga seolah terputar ulang dalam ingatanku.

"Tidak! Mas Fajar tidak mungkin melakukan hal seperti itu, meskipun dia tidak pernah mengatakan mencintaiku, tapi dia juga tidak pernah dekat dengan perempuan lain selain aku." Aku berusaha menyakinkan diriku sendiri, meskipun beberapa pikiran itu kembali dibantah oleh pikiranku.

Apa mungkin Mas Fajar tidak bertemu dengan perempuan lain yang bisa membuatnya mengatakan cinta? Apa yang aku ketahui, sedangkan aku hanya menghabiskan waktu di rumah, mengantar dan menjemput Aluna. Berkunjung ke kantor Mas Fajar hanya saat ada acara penting, itupun sebagai formalitas belaka.

"Apa yang kau lakukan di situ? Berlatih menjadi patung?" Mendengar suara Mas Fajar membuat aku menoleh, dan dia benar-benar ada di belakangku.

"Mas Fajar." Aku sedikit mundur, melihat tatapan matanya yang menatapku tajam menandakan kalau ada kesalahan yang aku perbuat, tapi apa?

"Mentari istriku tersayang, bukankah aku sudah sering katakan? Jangan keluar rumah jika aku sedang bekerja."

"Seharusnya kau mendengarkan apa yang dikatakan suamimu bukan? Jadilah istri yang patuh." Setelah mengatakan itu, Mas Fajar segera berbalik dan melangkah menjauh.

Aku bersandar, memegang mesin cuci sebagai tumpuan agar tubuhku tidak merosot ke lantai. Sedari tadi aku menahan napas, melihat Mas Fajar yang tiba-tiba muncul membuat aliran darahku terpompa dengan cepat. Tanganku menggenggam kuat kemeja Mas Fajar hingga kusut, haruskah aku menanyakan hal ini?

"Mas Fajar!" Suaraku cukup tinggi memanggil Mas Fajar yang sudah memegang gagang pintu.

"Apakah aku boleh bertanya? Semalam, Mas Fajar pulang jam berapa?"

"Kenapa?" Mas Fajar menatapku dengan pandangan penuh tanda tanya, "kau tidak perlu memikirkan hal yang tidak perlu kau pikirkan," ujar Mas Fajar.

Aku kembali mencegah Mas Fajar saat Ia hendak membuka pintu. "Mas, ini kemeja siapa? Ini jelas bukan kemeja Mas Fajar kan, lalu dimana kemeja Mas Fajar yang kemarin?"

Aku sedikit meragukan pengelihatanku, saat melihat jemari Mas Fajar terlepas dari gagang pintu yang dipegangnya. Ia seolah kaget, namun hanya diam.

"Jawab aku Mas," ucapku pelan, seperti sebuah permohonan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Dalam Sangkar Emas    Bab 35 Bonus

    "Ma! Mama serius?" Aluna menutup mulutnya, tidak percaya dengan apa yang ada di dalam kertas itu.Sedangkan aku dan Mas Fajar hanya menunduk pasrah. Kami tidak menyangka juga, hal ini akan terjadi. Tapi mau bagaimana lagi, dia sudah ada diantara kami."Ma." Aluna mendesah pasrah, bingung harus mengatakan apa. "Ansel bahkan belum genap satu tahun, dan Mama hamil lagi?" Aluna memandangi foto USG yang ada di tangannya."Kakak," Aluna memegang kepalanya, pusing. Ia kemudian meletakkan foto USG itu di atas meja, Ia berjalan menuju kamarnya. Tanpa mengatakan sepatah kata lagi.Aku menoleh, melihat Aluna yang sudah menghilang dari balik pintu kamarnya yang tertutup. Aku beralih pada Mas Fajar, melayangkan beberapa pukulan padanya."Ini semua salah Mas Fajar, aku kan sudah sering bilang. Pakai pengaman," desisku. Kembali melayangkan beberapa pukulan yang diterima dengan pasrah oleh Mas Fajar."Rasanya tidak enak sayang, lagi pula. Sudah

  • Istri Dalam Sangkar Emas    Bab 34 Akhir

    "Kamu itu sedang hamil, sudah hampir melahirkan. Banyak-banyak bergerak, jangan hanya diam di rumah saja," celetuk Bunda, saat melihatku yang sedari tadi berbaring di sebuah kursi tidur.Ibu mertuaku itu masih sama, dia dengan segala kecerewetannya. Dan aku sudah terbiasa dengan itu, aku tidak ingin lagi mengambil hati. Aku mencoba untuk melihatnya dalam sudut pandang yang berbeda, bagaimana omelannya itu yang memang baik untuk aku atau tidak."Kamu sadar tidak sih, tetangga-tetangga kamu itu terus-terusan menjadikan kamu bahan gunjingan. Kamu yang katanya jadi istri dalam sangkar emas lah, dan sebagainya. Ujung-ujungnya mereka menjelek-jelekkan anak Bunda, berpikir kalau anak Bunda mengurung dan mengekang kebebasan kamu," dengus Bunda, sepertinya Ia sempat mendengar gosip dari para tetangga. "Sesekali kamu itu harus jalan-jalan keluar, menyapa para tetangga kamu yang mulut ember itu." Lagi-lagi Bunda menggerutu, rupanya masih terbawa emosi dengan apa yan

  • Istri Dalam Sangkar Emas    Bab 33 Menuju Akhir

    Aku meletakkan bunga yang aku bawa, menatap nama yang tertulis di sana. Dian Dwi Putri, Adikku. Aku belum benar-benar menyapanya sebagai kakak, aku bahkan tidak tahu kalau dia adalah adik aku.Kami bertemu diwaktu yang tidak tepat, kami sama-sama sakit. Kami yang terluka, dan kami yang tidak saling mengenal. Seharusnya tidak begini, andai saja sejak awal semuanya berjalan dengan baik.Akukemudian berpindah, pada makam yang berada di sebelahnya. Makam ibunya, istri kedua bapak. Aku meletakkan bunga yang sama."Maaf, karena pernah berpikiran jahat-" Aku mengucapkan banyak hal, dari permintaan maaf hingga ucapan terima kasih. Aku mungkin pernah membencinya dengan sangat, karena Ia yang merebut bapak dari aku dan ibu. Tapi, aku sudah memaafkannya. Bapak dan dia, mereka sama-sama bersalah. Tapi dia tidak benar-benar jahat. Aku masih mengingatnya, saat kami tinggal bersama. Dia sangat suka membuat makanan, memberikannya padaku dan mencoba men

  • Istri Dalam Sangkar Emas    Bab 32 Kicauan Burung

    Aku merasa kelopak mataku terasa berat, membuat aku nyaman dalam keadaan terpejam. Meski pikiranku terasa tidak bisa berhenti. Terus berputar pada titik yang membuatku sesak."Mas, apa maksudnya?" tanyaku, menatap Mas Fajar bingung.Dan melihat wajah Mas Fajar yang jauh lebih bingung dengan pertanyaanku, membuat aku menyadari. Aku benar-benar dalam keadaan buruk. Aku bahkan mendengar berbagai macam suara, jeritan, hingga bisikan. Apa aku sudah akan gila."Sayang," panggil Mas Fajar, saat aku hanya fokus pada jam yang menempel di dinding.Aku sedikit terkejut, mendengar suara lembut Mas Fajar yang setengah berbisik. Seolah menarikku untuk tersadar, saat mulai mendengar kembali suara dentingan jarum jam yang beradu."Ada apa Mas?" tanyaku, menatapnya."Bukankah di sini terlalu membosankan? Bagaimana kalau kita keluar? Pemandangan di luar sana sangat indah, juga tidak begitu ramai. Tidak seperti di rumah sakit yang biasa kita kunjun

  • Istri Dalam Sangkar Emas    Bab 31 POV Mas Fajar (2)

    Saat aku mengetahuinya. Dian, perempuan itu. Adalah adik dari Istriku, Mentari. Dan seolah semuanya berputar pada poros yang salah, membuat aku berada di ambang batas kemampuanku. Semuanya terjadi tanpa bisa aku kendalikan.Kekuasaan yang dimiliki keluarganya, ancaman dan kelemahan yang kumiliki, menjadi sasaran empuknya. Mereka bahkan tahu, Istri dan Anakku adalah kelemahan terbesar yang kumiliki."Aku hanya memintamu untuk menikahi cucuku, dan kau tetap bisa mendapatkan segalanya. Jabatanmu di perusahaan, istri dan anakmu." Suara lembut itu, jauh lebih mencekam dari yang aku perkirakan."Mentari, anak itu. Bukankah dia sudah cukup beruntung? Dia mendapatkan kembali Ayahnya, keluarganya. Dan sekarang, Ia juga memiliki suami yang sangat wow," kelakarnya, lebih terdengar seperti cemoohan."Cucuku yang malang, Ia bahkan harus kehilangan ibunya. Tidak mendapatkan kasih sayang dari ayahnya, membuatnya menjadi pembangkang. Dia bahkan mendapatkan suami

  • Istri Dalam Sangkar Emas    Bab 30 POV Mas Fajar

    Aku menyentuh permukaan kulit Mentari, Istriku. Terasa dingin dan lemas, juga sedikit bengkak pada bagian tertancapnya jarum infus yang mengantarkan cairan.Aku bahkan masih bisa merasakan keterkejutanku, saat melihat Tari yang mengambang di kolam renang. Bagaimana bisa Ia sampai di sana, seharusnya aku tidak meninggalkannya. Mengapa aku begitu lalai, padahal aku yang paling tahu kondisinya sekarang.Tari memiliki trauma, dengan semua masalah yang dulu dilaluinya. Penghianatan yang dilakukan Ayahnya, penderitaan yang dirasakan ibunya. Membuat Ia nyaris melakukan hal jahat. Membuat istri kedua Ayahnya celaka, adalah niat yang membara dalam dirinya. Namun Ia belum benar-benar melakukannya, saat Ia melihat Istri ayahnya itu terpeleset dan jatuh ke kolam. Membuat warnah air yang semula bening, berubah warna menjadi merah. Ibu tirinya yang malang, Ia bahkan belum merealisasikan niatnya.Namun karena niat itu semula ada dalam pikirannya. Kembali menyer

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status