Hidup berkecukupan tapi tidak bahagia, atau hidup serba terbatas tapi penuh dengan kebahagiaan, yang mana yang akan kamu pilih? Mentari tidak pernah mengharapkan kehidupan yang begitu megah, Ia hanya berharap bisa hidup dengan tenang dan menikmati setiap detik waktu yang dihabiskannya. Namun, semua harapan itu sirna. Kesalahan 18 Tahun yang dilakukannya membuat Ia berada dalam kehidupan yang pelik, terkurung dalam sangkar emas tanpa ada celah untuk berlari keluar. Sampai kapan? Bertahan dalam sebuah hubungan tanpa ada cinta di dalamnya! Terkurung dalam sangkar emas tanpa ada kicauan yang merdu?
Lihat lebih banyakAku tidak tahu bahwa, keputusan yang aku ambil 18 tahun yang lalu menjadi suatu hal yang aku sesali saat ini.
Mas Fajar, seniorku di Kampus. Saat pertama kali melihatnya, netra coklat itu membuat aku jatuh ke dalamnya. Melupakan segala hal, mengesampingkan segala kemungkinan. Aku menginginkannya, sangat! Dan waktu memberi aku kesempatan untuk memilikinya, Aku tentu tidak akan melewatkan itu. Tanpa peduli bahwa dia yang mungkin saja tidak menginginkanku, aku menyanggupi permintaan kedua orang tua kami. Menikah diusia muda atas nama perjodohan. Aku pikir semuanya baik-baik saja, dia akan mencintai aku seiring waktu berjalan. Namun, kenyataan menyadarkan aku. Tidak ada cinta yang aku harapkan, netra coklat yang aku kagumi itu berubah arah menjadi menakutkan untuk aku pandangi. Bahkan, kehadiran Aluna diantara kami tidak menggoyahkan hatinya. Lalu siapa sebenarnya yang ada di hatinya? Adakah orang lain yang memilikinya? Mengapa kebersamaan kita, dan segala yang sudah aku korbankan untuknya tidak berarti sedikit pun? Lalu, mengapa Ia mengurungku dalam sangkar emas ini? Tidakkah Ia membiarkanku terbang bebas ke angkasa, aku sudah lelah dengan semuanya. ___***___ Jantungku berdetak tidak beraturan, aku bahkan bisa merasakan keringat dingin yang menguap dalam tubuhku. Tangan besar milik Mas Fajar menggenggam erat tanganku, bolehkah aku berharap? Agar genggaman ini tidak pernah lepas. "Tersenyumlah, orang-orang melihat kita," Mas Fajar tersenyum ke arahku, genggaman tangannya semakin erat. Aku tertegun menatap Mas Fajar, kemudian tersenyum sesuai dengan instruksinya. Kehangatan yang aku rasakan, tentu saja semuanya palsu. Mas Fajar tidak akan sudi melakukannya andai kita bukan di kantor, dan di hadapan banyak karyawan dan wartawan. Perayaan ulang tahun perusahaan, bukanlah berita besar yang akan jadi trending topik. Tapi keharmonisan keluarga kami yang akan menjadi sorotan utama. Mas Fajar sebagai CEO perusahaan besar yang sangat sukses, dengan Istri yang selalu mendukung dan menemaninya. Serta anak perempuan satu-satunya yang selalu menjadi juara sekolah dan membanggakan. Sebuah gambaran keluarga yang sangat diharapkan banyak orang. Begitupun aku, aku juga mengharapkannya. Bisa memiliki keluarga yang sebenarnya, keluarga yang bisa aku jadikan rumah dan mendengarkan semua keluh kesahku. "Pulanglah, kau harus menjemput Aluna setelah ini," Mas Fajar meninggalkan aku yang masih berdiri di tempat semula. Sekarang kami sudah ada di dalam ruang kerja Mas Fajar. "Mas, tadi aku melihat beberapa teman. Apakah aku boleh menyapanya dulu?" Meskipun tidak yakin akan diberi izin, aku tetap mencobanya. "Lalu siapa yang akan menjemput Aluna?" Mas Fajar menatapku dengan sorot matanya yang tidak bersahabat, tidak ada kehangatan dalam tatapan mata itu. "Aluna bisa dijemput oleh sopir." Lagipula apa bedanya saat aku yang menjemputnya, aku akan tetap diantar oleh sopir. Mas Fajar melepas kacamata kerjanya yang baru saja Ia kenakan, Ia juga melonggarkan sedikit dasinya. Menatapku kemudian tersenyum kecil, aku tahu artinya. Aku baru saja membantah perintahnya, dan itu adalah sebuah kesalahan. "Sudah mulai melawan, hm?" Mas Fajar berjalan mendekatiku, membuat aku mundur beberapa langkah seiring Ia maju. "Jangan membantah, bukankah ini yang kau inginkan?" Aku bisa merasakan jari-jemari mas Fajar yang berada di atas kulit wajahku. "Jemput Aluna, kemudian pulang ke rumah," ujar Mas Fajar tegas, kemudian berjalan kembali ke kursi kerjanya. Namun, entah keberanian dari mana. Aku menyuarakan apa yang ada di dalam pikiranku, yang selama ini aku pendam sendiri. Dan itu membuat langkah kaki Mas Fajar berhenti. "Tidak bisakah Mas Fajar memberi aku kebebasan?" "Aku juga ingin menghirup udara bebas di luar sana. Aku ingin melihat bagaimana siang berganti malam, aku ingin melihat manusia beraktivitas, aku..., Aku lelah menjadi peliharaanmu Mas," Mas Fajar berbalik, Ia kembali berjalan mendekatiku. "Kau lelah? Ingin dimengerti, hm?" Kembali aku rasakan jari-jemari Mas Fajar yang menari-nari di atas kulit wajahku. "Jangan lelah Mentari! Ini yang kau inginkan bukan? Bersamaku!""Ma! Mama serius?" Aluna menutup mulutnya, tidak percaya dengan apa yang ada di dalam kertas itu.Sedangkan aku dan Mas Fajar hanya menunduk pasrah. Kami tidak menyangka juga, hal ini akan terjadi. Tapi mau bagaimana lagi, dia sudah ada diantara kami."Ma." Aluna mendesah pasrah, bingung harus mengatakan apa. "Ansel bahkan belum genap satu tahun, dan Mama hamil lagi?" Aluna memandangi foto USG yang ada di tangannya."Kakak," Aluna memegang kepalanya, pusing. Ia kemudian meletakkan foto USG itu di atas meja, Ia berjalan menuju kamarnya. Tanpa mengatakan sepatah kata lagi.Aku menoleh, melihat Aluna yang sudah menghilang dari balik pintu kamarnya yang tertutup. Aku beralih pada Mas Fajar, melayangkan beberapa pukulan padanya."Ini semua salah Mas Fajar, aku kan sudah sering bilang. Pakai pengaman," desisku. Kembali melayangkan beberapa pukulan yang diterima dengan pasrah oleh Mas Fajar."Rasanya tidak enak sayang, lagi pula. Sudah
"Kamu itu sedang hamil, sudah hampir melahirkan. Banyak-banyak bergerak, jangan hanya diam di rumah saja," celetuk Bunda, saat melihatku yang sedari tadi berbaring di sebuah kursi tidur.Ibu mertuaku itu masih sama, dia dengan segala kecerewetannya. Dan aku sudah terbiasa dengan itu, aku tidak ingin lagi mengambil hati. Aku mencoba untuk melihatnya dalam sudut pandang yang berbeda, bagaimana omelannya itu yang memang baik untuk aku atau tidak."Kamu sadar tidak sih, tetangga-tetangga kamu itu terus-terusan menjadikan kamu bahan gunjingan. Kamu yang katanya jadi istri dalam sangkar emas lah, dan sebagainya. Ujung-ujungnya mereka menjelek-jelekkan anak Bunda, berpikir kalau anak Bunda mengurung dan mengekang kebebasan kamu," dengus Bunda, sepertinya Ia sempat mendengar gosip dari para tetangga. "Sesekali kamu itu harus jalan-jalan keluar, menyapa para tetangga kamu yang mulut ember itu." Lagi-lagi Bunda menggerutu, rupanya masih terbawa emosi dengan apa yan
Aku meletakkan bunga yang aku bawa, menatap nama yang tertulis di sana. Dian Dwi Putri, Adikku. Aku belum benar-benar menyapanya sebagai kakak, aku bahkan tidak tahu kalau dia adalah adik aku.Kami bertemu diwaktu yang tidak tepat, kami sama-sama sakit. Kami yang terluka, dan kami yang tidak saling mengenal. Seharusnya tidak begini, andai saja sejak awal semuanya berjalan dengan baik.Akukemudian berpindah, pada makam yang berada di sebelahnya. Makam ibunya, istri kedua bapak. Aku meletakkan bunga yang sama."Maaf, karena pernah berpikiran jahat-" Aku mengucapkan banyak hal, dari permintaan maaf hingga ucapan terima kasih. Aku mungkin pernah membencinya dengan sangat, karena Ia yang merebut bapak dari aku dan ibu. Tapi, aku sudah memaafkannya. Bapak dan dia, mereka sama-sama bersalah. Tapi dia tidak benar-benar jahat. Aku masih mengingatnya, saat kami tinggal bersama. Dia sangat suka membuat makanan, memberikannya padaku dan mencoba men
Aku merasa kelopak mataku terasa berat, membuat aku nyaman dalam keadaan terpejam. Meski pikiranku terasa tidak bisa berhenti. Terus berputar pada titik yang membuatku sesak."Mas, apa maksudnya?" tanyaku, menatap Mas Fajar bingung.Dan melihat wajah Mas Fajar yang jauh lebih bingung dengan pertanyaanku, membuat aku menyadari. Aku benar-benar dalam keadaan buruk. Aku bahkan mendengar berbagai macam suara, jeritan, hingga bisikan. Apa aku sudah akan gila."Sayang," panggil Mas Fajar, saat aku hanya fokus pada jam yang menempel di dinding.Aku sedikit terkejut, mendengar suara lembut Mas Fajar yang setengah berbisik. Seolah menarikku untuk tersadar, saat mulai mendengar kembali suara dentingan jarum jam yang beradu."Ada apa Mas?" tanyaku, menatapnya."Bukankah di sini terlalu membosankan? Bagaimana kalau kita keluar? Pemandangan di luar sana sangat indah, juga tidak begitu ramai. Tidak seperti di rumah sakit yang biasa kita kunjun
Saat aku mengetahuinya. Dian, perempuan itu. Adalah adik dari Istriku, Mentari. Dan seolah semuanya berputar pada poros yang salah, membuat aku berada di ambang batas kemampuanku. Semuanya terjadi tanpa bisa aku kendalikan.Kekuasaan yang dimiliki keluarganya, ancaman dan kelemahan yang kumiliki, menjadi sasaran empuknya. Mereka bahkan tahu, Istri dan Anakku adalah kelemahan terbesar yang kumiliki."Aku hanya memintamu untuk menikahi cucuku, dan kau tetap bisa mendapatkan segalanya. Jabatanmu di perusahaan, istri dan anakmu." Suara lembut itu, jauh lebih mencekam dari yang aku perkirakan."Mentari, anak itu. Bukankah dia sudah cukup beruntung? Dia mendapatkan kembali Ayahnya, keluarganya. Dan sekarang, Ia juga memiliki suami yang sangat wow," kelakarnya, lebih terdengar seperti cemoohan."Cucuku yang malang, Ia bahkan harus kehilangan ibunya. Tidak mendapatkan kasih sayang dari ayahnya, membuatnya menjadi pembangkang. Dia bahkan mendapatkan suami
Aku menyentuh permukaan kulit Mentari, Istriku. Terasa dingin dan lemas, juga sedikit bengkak pada bagian tertancapnya jarum infus yang mengantarkan cairan.Aku bahkan masih bisa merasakan keterkejutanku, saat melihat Tari yang mengambang di kolam renang. Bagaimana bisa Ia sampai di sana, seharusnya aku tidak meninggalkannya. Mengapa aku begitu lalai, padahal aku yang paling tahu kondisinya sekarang.Tari memiliki trauma, dengan semua masalah yang dulu dilaluinya. Penghianatan yang dilakukan Ayahnya, penderitaan yang dirasakan ibunya. Membuat Ia nyaris melakukan hal jahat. Membuat istri kedua Ayahnya celaka, adalah niat yang membara dalam dirinya. Namun Ia belum benar-benar melakukannya, saat Ia melihat Istri ayahnya itu terpeleset dan jatuh ke kolam. Membuat warnah air yang semula bening, berubah warna menjadi merah. Ibu tirinya yang malang, Ia bahkan belum merealisasikan niatnya.Namun karena niat itu semula ada dalam pikirannya. Kembali menyer
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen