Anggun sudah merengut ketika mendadak Ares meminta Anggun untuk berganti pakaian. Ares sungguh ingin muntah melihat tampilan Anggun yang bahkan menurutnya lebih baik dari seorang pembantu.“Kau boleh mengepang rambutmu. Terserah aku tidak peduli itu! Tapi tolong, pakailah baju yang layak.” Ares bahkan sampai berbicara dengan nada memelas.“Apa kau memang berniat membuatku malu?” Ares ternganga. “Astaga!” Ares terlihat frustrasi.“Maaf ....” hanya itu yang keluar dari mulut Anggun.“Cepat, masuk!” perintah Ares.Tanpa menunggu persetujuan Anggun, Ares menarik lengan Anggun dan membawanya masuk ke dalam kamar.“Diam di situ!” perintah Ares lagi.Anggun mematung dengan jemari saling meremas. Sesekali Anggun menggigit bibir untuk menghilangkan rasa gugup.“Pakai ini!” Ares melempar baju dalam bungkusan tepat di wajah Anggun.Anggun lantas menangkap dengan gelagapan. “Apa Tuan serius?” tanya Anggun tak yakin.“Itu baju ibuku. Kau pakai, cepat!”Anggun berjinjit kaget. Dengan tangan gemetar
“Acara apa ini?” tanya Anggun lagi. Tanpa sadar, Anggun menarik-narik kerah lengan baju Ares.“Jangan banyak tanya!” hardik Ares sambil mendelik. Kepalanya miring supaya tak terlihat banyak orang. “Lebih baik kau diam dan berkata seperlunya saja.”Menggigit bibir, Anggun mengangguk pasrah.“Sudah kubilang, jangan menggigit bibir di depanku!” bentak Ares lagi.Pada akhirnya, Anggun merasa serba salah. Bepergian dengan sekumpulan orang-orang elit memang tidaklah menyenangkan. Sudah datang bersama pria galak, ditambah lagi tak ada satu orang pun yang Anggun kenal.Saat berjalan melalui kerumunan hingga sampai ke dekat panggung setinggi setengah meter, Anggun mendapati Paman Bian dan Bibi Ana sedang bercengkerama yang sepertinya si tuan rumah. Ada Rangga dan Mareta juga di sana.“Ares!” panggil Bian saat mendapati Ares berjalan mendekat. Tangannya masih melambai hingga Ares berhenti di hadapan mereka.“Ini pasti Ares kan?” tebak Paman Pram si tuan rumah. “Ares si pemilik Gareesa resto?”
Ares ternyata tidak membawa Anggun pulang, melainkan membawanya ke sebuah apartemen.“Kenapa kita ke sini?” tanya Anggun heran. “Bukankah ini apartemen?” tanyanya lagi.“Memang kau pikir apa? Taman hiburan?” seloroh Ares enteng.Ares melangkah masuk sambil memutar-mutar kontak mobil di tangannya kemudian melempar pada seorang satpam. Ketika sampai di ambang pintu, Ares mendadak berhenti. Pandangannya memutar mencari sosok Anggun yang ternyata masih berdiri termenung.“Kenapa diam di situ?” tanya Ares.“Kenapa kita ke sini?” Anggun tak kunjung beranjak. Jujur saja pikirannya sedang berjalan-jalan membayangkan sesuatu hal yang rumit.Ares berdecak sebal lalu mendekati Anggun dan menyeret lengannya. “Sudah aku katakan, kau tidak usah berpikiran macam-macam.Anggun menelan saliva lalu terpaksa mengikuti langkah Ares. Setelah menaiki lift hingga berhenti di entah lantai berapa karena memang Anggun tak mengamati, Anggun mendadak mulai merasa jantungnya terasa berdegup lebih kencang. Apalagi
Suasana di meja makan pagi ini tanpa kehadiran Ares. Sejak semalam keluarganya tak tahu Ares pergi ke kana. Sudah mencoba menghubungi nomornya tapi tidak ada jawaban. “Apa Ares tidak pulang?” tanya Ana saat baru bergabung.“Sepertinya tidak,” sahut Bian. “Oh iya Rangga, kau akan melangsungkan pernikahan dengan Mareta kapan? Bukankah kau sudah menemui kedua orang tuanya?” tanya Bian pada putranya itu.Rangga menyingkirkan piring kosong ke samping. “Tentu saja sudah. Aku tinggal menunggu kapan ayah ada waktu untuk menemui keluarga nya,” sahut Rangga.“Nanti sore mungkin ayah bisa,” jawab Bian. “Sekalian aku juga harus menemui kedua orangtua Anggun.”“Jadi, pernikahannya benar-benar akan dilangsungkan bersama?” tanya Ana.“Aku belum tanya Ares tentang ini. Kau dengar sendiri waktu itu kan, kalau Ares meminta sebuah pernikahan yang mewah.”“Benarkah?” timpal Rangga nampak terkejut. Bian menganggukkan kepala. “Aku akan tanya Ares lagi, nanti.”Ternyata bukan Bian saja sosok ayah yang seb
“Apa sudah selesai?” tanya Rangga saat bertemu di pintu masuk.“Sudah,” jawab Mareta.Rangga memandangi Mareta yang termenung sambil melihat ke belakang.“Ada apa?” tanya Rangga.“Tidak.” Mareta bergidik. “Aku tadi bertemu Ares di toko baju.”“Lalu kenapa wajahmu murung begitu?” tanya Rangga. “Jangan bilang kau masih menyimpan rasa.”“Sembarangan!” sembur Mareta.Mareta menyingkirkan Rangga yang sudah berdiri di samping badan pintu. Membuka pintu mobil belakang kemudian memasukkan barang belanjaannya.“Kalau bukan begitu, terus kenapa?” Rangga masih bertanya.Mareta sudah menutup pintu mobil dan kini berkacak pinggang menghadap ke arah Rangga.“Aku cuma kasihan,” ujar Mareta. “Mungkin dia terbebani karena harus menikah dengan wanita yang tidak dicintai.”Rangga tertawa lalu membukakan pintu untuk Mareta. “Kau benar. Dia mungkin sedang stres.”Setelah itu, Rangga berjalan memutar dan masuk ke dalam mobil lewat pintu sebelah kanan.Sementara Ares sendiri, ternyata sudah lebih dulu pergi
Hari di mana yang sudah ditentukan pun datang. Pesta pernikahan pun di selenggarakan dengan mewah di sebuah Vila milik keluarga Abas Wicaksono.Semua dekorasi sudah siap dengan hidangan komplit yang serba mewah juga. Kursi-kursi dengan meja bundar di bagian tengah juga susah tersusun rapi memenuhi sebagian ruangan. Rencana Ares untuk melaksanakan pesta secara besar-besaran terpaksa urung dan pada akhirnya dilangsungkan bersamaan dengan pernikahan Rangga dan Mareta.“Apa kau gugup?” tanya Rena saat Anggun sedang dirias di salah satu kamar di lantai dua.Anggun mengangguk. “Aku sangat gugup. Aku takut jelek.”Rena menepuk pundak Anggun sambil tertawa. “Mana mungkin jelek? Penata riasnya sudah ahli. Kau tenang saja.”Tetap saja Anggun merasa gugup yang sangat luar biasa. Ini momen di mana Anggun tidak pernah membayangkan sebelumnya. Harusnya nanti tersenyum terus sepanjang acara?Huh! Anggun ingin sekali berteriak sekencang mungkin.BRAK! Seseorang membuka pintu dengan keras. Ketiga or
Selesai dari acara, Tuan rumah beserta para anak-anaknya tentunya tidak pulang. Mereka terap bereda di vila dan bermalam di sini. Pun dengan keluarga Abas.Ares dan Anggun sendiri saat ini sudah berada di dalam satu kamar yang sama.Bersama dalam satu kamar, dan sudah berganti status. Kenapa terdengar mengerikan. Anggun sudah merasa gemetaran sedari tadi—sejak pintu kamar terbuka dan tertutup kembali.“Tuan,” panggil Anggun lirih.“Apa?” sahut Ares setengah menyalak.Anggun mengatupkan bibir rapat-rapat. Terdiam sejenak, lalu anggun terlihat menggigit bibirnya. “Bisa tolong bantu aku.”Ares menoleh dan Anggun langsung menunduk. Anggun tak berani menatap mata Ares yang terlihat menyala jauh dari saat acara masih berlangsung.“Tolong apa?!” sambil membuka kancing kemeja putihnya, Ares mendekat.Anggun menunduk lagi, tapi jari telunjuknya terangkat sambil menunjuk ke arah punggung. “Aku tidak bisa membuka kancing gaunku.”Ares berdecak sebal. Sambil mencibir, dua tangan Ares mulai menyen
Satu hari hidup bersama suami beserta keluarganya, Anggun belum bisa menjelaskan bagaimana rasanya. Yang jelas lebih banyak kebingungan dari pada kepastian.Sifat Ares dari sejak pulang dari Vila, masih sama. Terkadang dingin, padas, kemudian menyala lagi seperti hendak membakar. Bahkan, sampai menjelang petang, Ares tak kunjung terlihat batang hidungnya setelah pagi tadi keluar rumah tanpa berpamitan pada Anggun.“Bagaimana pernikahanmu dengan Ares?” tanya Mareta saat Anggun sedang duduk termenung di pembaringan pinggir kolam.Sebenarnya Anggun enggan untuk menjawab. Pertanyaan itu terdengar seperti sebuah hinaan untuk Anggun.“Biasa saja. Kenapa?” saur Anggun.“Tidak ....” Mareta ikut duduk sambil menyilang kedua kakinya. “Aku hanya tak yakin.”“Tak yakin kenapa?” Anggun bertanya malas.“Aku yakin Ares tidak mungkin mencintaimu,” ucap Mareta bernada hinaan.“Dari mana kau tahu?” Anggun masih bisa menyahuti.“Tentu saja. Aku yakin Ares masih mencintaiku.” Mareta berkata penuh percaya