Aroma daun tembakau yang baru dipetik menguar di udara, bercampur aroma tanah basah dan embun yang belum sepenuhnya menguap. Di kejauhan, para pekerja berjalan hilir mudik dengan bakul anyaman di punggung, menyapa dengan anggukan hormat. Jagat melangkah di depan, tubuhnya tegap, kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Ia sesekali mengangguk pada pekerja, memberi arahan singkat dengan suara berat. Di belakangnya, langkah Sukma menyusul. Tidak secepat suaminya, tapi cukup kuat untuk seorang perempuan yang lututnya masih diperban tipis.
Suara sandal Sukma menyentuh tanah basah membuat Jagat menoleh sesaat. "Kalau sakit, kamu bisa tunggu di warung kecil di ujung ladang," ujarnya datar, tapi tidak segalak biasanya. Gadis berambut panjang itu tersenyum sambil menggeleng pelan. "Saya baik-baik saja, Mas." Jagat tidak menjawab. Ia hanya terus berjalan, tapi tidak secepat tadi. Langkahnya secara tidak sadar melambat. Agar tidak terlalu jauh. Di suDi kamar utama, sinar matahari menembus sela-sela tirai tipis, menciptakan pola cahaya yang menyentuh ujung ranjang. Di bawahnya, Jagat duduk di tepi tempat tidur, membelakangi Sukma yang masih tertidur. Pria itu mengenakan kain sarung dan kaos putih. Ia duduk diam, tangannya terlipat di atas lutut, wajahnya menatap lantai. Ekspresinya seperti biasa, datar. Tetapi napasnya lebih pelan, tidak seganjal biasanya. Di balik punggungnya, gadis itu masih terlelap. Rambut panjangnya terurai di bantal. Pipi halusnya terlihat lebih damai dari malam-malam sebelumnya. Gadis itu tidak menggeliat, tapi tubuhnya seolah tau, bahwa kehangatan yang semalam terasa, kini tidak ada lagi. Perlahan, Sukma membuka mata. Cahaya pagi menyilaukan, tapi bukan itu yang membuat dadanya terasa sesak. Ranjang itu masih hangat, tapi kosong di sisinya. Matanya bergerak ke arah pria yang duduk membelakanginya. Tidak ada sapaan. Hanya punggung kokoh yang terlihat tenang, seakan malam tadi hanyalah mimpi
Jagat duduk di sisi ranjang, mengenakan kaus putih tipis dan celana panjang longgar. Bahunya tegap, tubuhnya bersandar pada tiang kayu ranjang, namun pikirannya jauh. Matanya kosong menatap ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup. Terdengar gemericik air menetes. Lalu sunyi lagi. Lalu suara engsel kayu yang berderit pelan. Pintu kamar mandi terbuka. Gadis muda itu muncul dalam balutan kain jarik yang melilit tubuh rampingnya. Rambut panjangnya basah, sebagian menempel di bahu putihnya, sebagian lagi dibiarkan tergerai ke punggung. Wajahnya tanpa bedak, tapi kulitnya yang bening dan lembap seolah memantulkan cahaya lampu di langit-langit. Sukma tidak langsung menyadari bahwa pria itu sedang menatapnya. Ia berjalan perlahan, menunduk, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya sibuk mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Jagat masih diam, tapi matanya tidak berkedip. Tatapannya mengikuti gerakan halus jemari Sukma, turun ke tengkuknya yang basah, lalu ke pundaknya ya
Aroma daun tembakau yang baru dipetik menguar di udara, bercampur aroma tanah basah dan embun yang belum sepenuhnya menguap. Di kejauhan, para pekerja berjalan hilir mudik dengan bakul anyaman di punggung, menyapa dengan anggukan hormat. Jagat melangkah di depan, tubuhnya tegap, kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Ia sesekali mengangguk pada pekerja, memberi arahan singkat dengan suara berat. Di belakangnya, langkah Sukma menyusul. Tidak secepat suaminya, tapi cukup kuat untuk seorang perempuan yang lututnya masih diperban tipis. Suara sandal Sukma menyentuh tanah basah membuat Jagat menoleh sesaat. "Kalau sakit, kamu bisa tunggu di warung kecil di ujung ladang," ujarnya datar, tapi tidak segalak biasanya. Gadis berambut panjang itu tersenyum sambil menggeleng pelan. "Saya baik-baik saja, Mas." Jagat tidak menjawab. Ia hanya terus berjalan, tapi tidak secepat tadi. Langkahnya secara tidak sadar melambat. Agar tidak terlalu jauh. Di su
Di kamar belakang, ruang kecil yang biasa digunakan Sukma untuk menyetrika dan menyimpan peralatan rumah tangga-lampu minyak menyala redup, memantulkan bayangan samar di dinding. Gadis berkulit seputih susu itu duduk di lantai beralaskan tikar pandan. Rambut panjangnya ia jepit asal dengan tusuk konde kayu. Di hadapannya, baskom kecil berisi air hangat, selembar kain bersih dan sebotol minyak gosok dari warung. Tangannya gemetar saat menarik ujung rok yang menutupi lututnya. Luka goresan masih memerah. Sudutnya mulai membiru. Siang tadi, saat ia membawa kantong belanjaan dan berusaha mengejar langkah panjang suaminya, kakinya tersandung batu dan ia terjatuh. Ia menahan rasa perih saat kain menyentuh luka. Matanya berkaca-kaca, hidungnya memerah. Entah kenapa, luka di lututnya terasa begitu nyeri. Rasanya, sakit sekali. Desis kecil keluar tanpa sadar, tapi dengan cepat ia tutup mulutnya sendiri. Rumah ini terlalu senyap dan ia tau, suaranya tidak diinginkan di tengah m
Jalanan basah karena embun dan semalam hujan. Di halaman belakang, suara air dari genteng menetes pelan. Di dalam rumah Pramoda yang megah, dua sosok berdiri dalam diam—seperti patung yang terlalu lama saling menghindar. Wanita muda berkulit seputih susu itu mengenakan blouse lusuh berwarna biru muda dengan rok hitam mengembang selutut. Rambut hitam legamnya dikuncir rendah. Di tangannya ada tas belanja anyaman yang sudah usang, kontras dengan lantai marmer yang dipijaknya. Jagat muncul dari ruang dalam, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung setengah. Wajahnya sudah tidak sepucat kemarin, tapi sorot matanya masih dingin seperti biasanya. Dia melirik jam tangan lalu menatap perempuan itu tanpa senyum. "Kita berangkat sekarang. Jangan lama." Sukma mengangguk cepat. Suaranya nyaris tidak terdengar saat berkata. "Iya. Saya sudah siap dari tadi, Mas." Tidak ada balasan. Mereka berjalan menuju mobil. Sopir sudah menunggu. Di sepanjang
Langit malam menggantung muram di balik kisi jendela kamar mereka. Lampu gantung tua yang menggantung di tengah langit-langit hanya menyala setengah redup, menyorot warna kelabu pada seprai dan dinding kayu kamar. Jagat duduk di tepi ranjang. Tubuhnya condong ke depan, tangan menopang dahi. Sukma masuk dari kamar mandi, rambutnya masih basah. Suasana canggung langsung menyelimuti ruangan seperti kabut. Biasanya, mereka hanya berbicara jika Jagat memulai dan itupun seperlunya.Sukma menatap punggung Jagat. Nafas pria itu terdengar berat dan pendek. Cahaya lampu memantulkan pucat wajahnya. Leher kemejanya basah oleh keringat, meskipun angin malam cukup dingin."Mas ....." Suara Sukma pelan, nyaris seperti bisikan. Untuk pertama kalinya setelah mereka bersama, Sukma mengawali percakapan. Jagat tidak menjawab. Hanya gerakan kecil di bahunya yang menandakan ia mendengar."Mas kelihatan pucat."Lama tidak ada sahutan. Lalu terdengar suara dingin. "Bukan urusanmu," balas Jagat singkat."Tap