"Ingatlah ini Sukma ... aku tidak akan pernah mencintaimu, seumur hidupku." Jagat menatap Sukma tajam. "Saya tidak akan menuntut apa pun darimu, Mas. Tapi satu hal yang pasti, Saya akan selalu berada di sisimu sampai Saya mati." Hutang keluarga membuat Sukma harus membayar semuanya. Tidak dengan uang, tetapi dengan jiwa dan raganya. Sukma membuang jauh-jauh mimpinya, jika dia akan menikah dengan pria yang dicintai-yang mencintai dirinya sepenuh hati. Di mana Sukma harus menikah dengan seorang juragan bernama Jagatnata dan dituntut untuk melahirkan pewaris keluarga Pramoda.
Lihat lebih banyakYogyakarta, 2006.
"Nduk Ayu ... maafin Ibu sama Bapak ya, karena kamu harus menikah dengan Juragan Jagat." Sulastri menatap putrinya sendu dengan perasaan bersalah melingkupi hatinya. Hutang keluarga yang tidak mampu Anwar dan Sulastri lunasi dalam kurun waktu satu tahun, membuat mereka harus merelakan Sukma untuk menikah dengan Jagatnata. Seorang juragan sekaligus salah satu pewaris—yang mewarisi harta keluarga Pramoda. Sukma diam, ia terkejut dan mencoba untuk mencerna semuanya. Ia masih begitu muda, bahkan untuk sekarang menikah bukan pula impiannya. "Bu ... apa tidak ada cara lain?" tanyanya menatap Sulastri dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Sukma tidak mau menikah dengan Juragan Jagat." Lanjutnya. Suaranya sudah bergetar. "Masih banyak mimpi yang harus Sukma capai, Pak, Bu." Sukma bukan anak pertama, tapi entah kenapa seakan beban diberikan semua kepadanya. Sejak dulu, Sukma yang harus mengalah dan selalu menuruti semua keinginan orang tuanya. Ia seperti burung yang dikurung dalam sangkar. Berbeda dengan kakaknya, Bunga—anak pertama yang diperbolehkan melakukan apa pun di saat ekonomi keluarga tidak baik-baik saja termasuk sekolah tinggi. Di mana biaya untuk kuliah yang dikeluarkan orang tuanya berasal dari dana yang hutang dari keluarga Pramoda. Lalu sekarang, harus Sukma yang membayarnya? "Sukma harus mau. Bapak tidak menerima penolakan, bahkan persetujuan darimu." Anwar menatap Sukma dengan tegas. Seakan tidak ingin dibantah. ୨ৎꫂ❁ Di halaman luas rumah joglo milik keluarga Pramoda, gamelan mengalun dengan indah. Sukma duduk di pelaminan dengan kebaya beludru hijau tua dan siger emas yang terasa berat di kepala. Ia tersenyum kaku, tangannya terasa dingin. Di hadapannya, tamu-tamu berdatangan, menyalami dan memberi selamat. Para warga desa yang juga diundang dalam pesta pernikahan keluarga Pramoda terlihat begitu bahagia. Beberapa di antaranya bahkan bergumam, merasa iri dengan Sukma. Tidak peduli gadis itu menikah karena hutang keluarga. Bagi mereka, bisa menikah dengan putra satu-satunya keluarga Pramoda adalah sebuah keberuntungan terbesar dalam hidup. Jagat duduk di sampingnya, mengenakan beskap hitam dan blangkon bermotif parang rusak. Wajahnya tegas, tapi tidak ada seulas pun kelembutan di sana. Ia terlihat seperti pria yang sedang menjalankan tugas, bukan seorang pria yang merayakan cinta. "Selamat ya, Nduk Sukma. Sekarang kamu jadi nyonya Pramoda," bisik salah satu kerabat desa yang hanya membuat hati Sukma terasa seperti ditusuk jarum halus ribuan kali. Setelah ijab kabul selesai, lancar tanpa jeda, tanpa gugup dan tanpa ragu sekalipun—Sukma tau, jika hidupnya bukan lagi miliknya. "Bapakmu berutang padaku, dua ratus juta. Kamu tau apa artinya itu, Sukma?" ujarnya dengan datar. Sukma mengigit bibirnya, mengangguk pelan. "Ya, Mas." Jagat menatap tajam. "Mulai malam ini, kamu menjadi milikku. Bukan karena cinta, tapi karena hutang. Dan aku tidak ingin mendengar kata cinta dari bibirmu." Angin malam menyusup pelan ke celah-celah jendela kamar pengantin. Aroma dupa bercampur dengan wangi melati masih menggantung di udara, tetapi semuanya terasa hambar. Tidak ada romantisme, tidak ada degup bahagia yang biasanya hadir dalam malam pertama. Yang ada hanya hening panjang dan ketegangan yang menggantung di antara dua manusia yang dipaksa bersatu oleh keadaan. Sukma duduk di pinggir ranjang, mengenakan kain satin tipis berwarna putih tulang yang bahkan tidak dipilihnya sendiri. Ia menunduk, kedua tangannya saling menggenggam erat di pangkuan, seakan menjadi satu-satunya cara untuk menahan tubuhnya agar tidak bergetar. Jagat membuka kancing kemejanya perlahan. Ia tidak berbicara, tidak juga menyentuh. Langkah-langkahnya terdengar berat saat ia mendekat. Ia tidak melihat Sukma sebagai perempuan yang perlu dimengerti atau dihargai. Bagi Jagat, ini hanya transaksi—bayaran lunas dari hutang yang diwariskan. Jagat duduk di samping Sukma. Tanpa permisi, tangannya meraih bahu gadis itu. Sentuhannya terasa dingin. Tubuh Sukma sedikit bergetar saat sentuhan dingin itu menyentuh kulitnya, tapi ia juga tidak menolak. Ia hanya memejamkan mata dan menahan napas. Tidak ada kelembutan di sana, tidak ada hasrat, apalagi cinta. Yang ada hanya penyerahan. Diam-diam. Pria itu menatap wajah Sukma sejenak. Gadis itu cantik, muda dan begitu tenang hingga terasa menyakitkan. Tetapi hatinya telah lama tertutup. Luka masa lalu membuatnya keras dan ia tidak akan membuka pintu itu lagi. Apalagi untuk seseorang yang hadir karena paksaan. "Kalau kamu menangis malam ini," ujarnya pelan dengan suara datar. "Jangan harap aku akan peduli." Sukma menggeleng kecil. Ia memberanikan diri menatap Jagat. "Saya tidak akan menangis, Mas." Malam pun berlalu dalam diam dan keheningan panjang. Tidak ada kata manis dan romantis, juga tidak ada bisikan rindu. Hanya dua tubuh yang bersetubuh dalam kewajiban, tanpa jiwa yang benar-benar hadir. Di dalam kamar ini, seorang gadis baru saja menyerahkan dirinya. Bukan karena cinta, tetapi karena hutang yang harus dilunasi dengan tubuh dan takdirnya.Jagat duduk di sisi ranjang, menatap Sukma yang tengah merapikan rambutnya di depan cermin. Ada sesuatu yang berbeda malam ini—tatapan Jagat lebih lembut, lebih dalam, seakan ingin menembus lapisan hati Sukma yang paling rapuh. Sukma merasakan tatapan itu. Jemarinya yang semula sibuk dengan ikatan rambutnya terhenti, lalu ia menoleh, tersenyum tipis.“Mas, kenapa lihat Saya begitu terus? Ada yang salah?” tanyanya pelan penuh canggung, tapi manis.Jagat tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya berdiri, melangkah pelan menghampiri Sukma, lalu berhenti tepat di belakang tubuh mungil istrinya itu. Dari pantulan cermin, Sukma bisa melihat sorot mata suaminya yang begitu teduh. Jemari Jagat terulur, menyingkirkan rambut yang menjuntai di bahu Sukma, lalu menyentuh lembut kulit lehernya.“Tidak ada yang salah,” bisiknya dekat telinga. “Aku hanya tidak percaya, bagaimana aku bisa beruntung memilikimu.”Sukma merona, pipinya bersemu merah. Hatinya berdebar hebat, tapi di saat yang sama ia mer
Jagat akan pergi ke kota, tapi sebelum itu dia akan mengantarkan Sukma terlebih dulu ke rumah orang tuanya. Sudah lama, Sukma tidak mengunjungi mereka dan hari ini adalah waktunya. Sebuah perasaan yang Sukma sendiri tidak bisa jelaskan saking senangnya. Bahkan ia tidak henti-hentinya menatap Jagat yang sedang menyetir dengan binar di matanya, sembari mengatakan terima kasih berulang kali. "Terima kasih, Mas ... terima kasih." Sukma menatap pria itu dengan senyuman manis yang menggemaskan. Pria itu melirik sekilas, melihat wajah Sukma yang berbinar seperti itu entah kenapa membuatnya gemas dan ingin mengurung istrinya itu saja. "Entah sudah yang keberapa kalinya, kamu mengatakan terima kasih, Sukma.""Karena Saya tidak tau lagi bagaimana harus membalas ini semua, Mas." Ya. Tepatnya setelah mereka menikah, ini yang kedua kalinya Sukma mengunjungi mereka. Padahal jarak rumah mereka cukup dekat. Tetapi, ketidakberdayaannya menjadi istri seorang Jagatnata Pramoda membuatnya tau diri untu
Di halaman belakang balai desa, para Ibu-ibu sibuk menyiapkan perlengkapan untuk acara kenduri sedekah bumi yang akan digelar malam nanti. Sukma duduk di antara barisan Ibu-ibu, tangannya cekatan memotong kacang panjang, sesekali menatap para Ibu-ibu yang sedang mengobrol. Rambutnya diikat sederhana, keringat kecil membasahi pelipisnya."Ayo, Mbak Sukma ... cepet motong sayurnya, nanti bisa kalah ini sama Bu Darmi," celetuk Bu Yati sambil terkekeh.Sukma tersenyum ramah. "Kalau kalah, nanti Saya traktir es dawet, Bu."Tawa kecil terdengar dari beberapa mulut. Obrolan pun mengalir ringan—tentang harga cabai, musim hujan yang tidak menentu, sampai anak-anak muda yang makin sulit diatur. Namun, seperti biasa, ada saja percakapan yang menyimpang arah."Eh, tapi ngomong-ngomong soal anak muda," ujar Bu Rini setengah berbisik, setengah menyindir halus. "Juragan Jagat sama Nak Sukma ini sudah berapa lama menikah? Kok sepertinya adem-adem saja, tidak ada kabar gembira.""Loh iya, Bu Rini. Say
Sukma sedang menyapu lantai halaman ketika langkah Jagat terdengar dari arah dapur. Ia menoleh—mata mereka bertemu sejenak. Ada sesuatu di dalam sorot itu. Bukan tekanan, juga bukan pula keterpaksaan."Sudah selesai?" tanya Jagat dengan suara pelan.Sukma mengangguk, lalu meletakkan sapunya di sudut dinding. Mereka masuk ke kamar tanpa banyak kata. Hawa malam yang begitu dingin, entah kenapa membawa ketenangan yang menenangkan. Jagat menyalakan lampu meja, cahayanya temaram, cukup untuk memperlihatkan wajah Sukma yang terlihat gugup dengan pipinya yang bersemu merah. Jagat duduk di tepi ranjang, menghela napas pelan. Sukma berdiri beberapa langkah darinya, meremas jemarinya sendiri. Ia tau, malam ini bukan sekadar pelampiasan hasrat, tetapi sebuah keputusan, usaha dan juga harapan. Meskipun ini juga bukan yang pertama kalinya mereka melakukan hubungan suami istri, tapi entah kenapa tetap saja membuat gugup."Nduk," ujar Jagat sembari menatap Sukma. "Kalau kamu belum siap, kita bisa me
Setelah sekian lama, hal yang sangat-sangat Jagat tidak sukai kembali terjadi. Makan malam bersama gundik ayahnya dan anaknya. Entah apa yang di pikiran Rakai, saat membuat acara makan malam bersama seperti ini. Jagat melirik ke arah Ibunya. Ambarwati atau yang biasanya dikenal Nyi Roro Pramoda, istri sah keluarga Pramoda itu terlihat tenang. Wajahnya terlihat datar, tanpa rasa keberatan sedikitpun. Meskipun Jagat tau, Ibunya itu sangat membenci hal ini. Lalu, tatapan Jagat beralih pada Rita dan Juan. Gundik dan juga anaknya yang datang memenuhi undangan makan malam dari kepala keluarga Pramoda. "Terima kasih, Mas. Undangan makan malamnya. Sudah lama, kita tidak makan malam bersama seperti ini." Rita, wanita berusia 48 tahun itu tersenyum. Ia menatap Rakai dengan hangat. Tidak ada raut bersalah ataupun malu."Tidak perlu berbasa-basi. Ada kepentingan apa Romo memanggil kami malam ini?" Dalam keheningan yang cukup lama, setelah Rita bersuara, Jagat memberanikan diri untuk ikut bersuar
Sukma baru saja menyelesaikan masakannya, ketika beberapa saat kemudian terdengar suara ketukan pintu. Saat ia hendak berjalan menuju depan, Jagat sudah terlebih dulu keluar dari kamar dan bergegas untuk membuka pintu. Wajahnya tetap datar, bahkan terlihat semakin tidak ramah karena seseorang telah mengetuk pintu pagi-pagi dan baginya, itu sangat mengganggu. Jagat semakin memperlihatkan ketidaksukaannya, saat pintu sepenuhnya terbuka dan memperlihatkan sosok yang sudah bertamu pagi-pagi. Juan Pramoda, adik tirinya sekaligus anak gundik yang sudah menghancurkan keluarga harmonisnya. "Mau apa kamu ke sini?" tanya Jagat tanpa berbasa-basi. Usia laki-laki itu 9 tahun di bawah Jagat. Belum menikah dan hobi bersenang-senang. Terutama mempermainkan hati para wanita. Itulah sebab Jagat semakin membenci Juan dan Rita—Ibu laki-laki itu sekaligus gundik ayahnya. Mereka itu hama, begitu memuakkan. Tingkah onarnya, sering kali membuat malu keluarga. Entah jampi-jampi apa yang telah diberikan wa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen