Share

7. Mengabaikan Perintah

Penulis: thxyousomatcha
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-17 12:30:12

Di kamar belakang, ruang kecil yang biasa digunakan Sukma untuk menyetrika dan menyimpan peralatan rumah tangga-lampu minyak menyala redup, memantulkan bayangan samar di dinding. Gadis berkulit seputih susu itu duduk di lantai beralaskan tikar pandan. Rambut panjangnya ia jepit asal dengan tusuk konde kayu. Di hadapannya, baskom kecil berisi air hangat, selembar kain bersih dan sebotol minyak gosok dari warung. Tangannya gemetar saat menarik ujung rok yang menutupi lututnya. Luka goresan masih memerah. Sudutnya mulai membiru. Siang tadi, saat ia membawa kantong belanjaan dan berusaha mengejar langkah panjang suaminya, kakinya tersandung batu dan ia terjatuh. Ia menahan rasa perih saat kain menyentuh luka.

Matanya berkaca-kaca, hidungnya memerah. Entah kenapa, luka di lututnya terasa begitu nyeri. Rasanya, sakit sekali. Desis kecil keluar tanpa sadar, tapi dengan cepat ia tutup mulutnya sendiri. Rumah ini terlalu senyap dan ia tau, suaranya tidak diinginkan di tengah malam seperti ini. Dengan gerakan pelan dan penuh kehati-hatian, Sukma membersihkan luka di sikunya yang mengelupas. Satu per satu. Seolah sedang menyeka bukan hanya darah, tapi juga harga diri yang tadi siang ikut terjatuh di kaki jalanan kota.

Kini, yang ada hanya keheningan dan tubuh yang ia rawat sendiri seperti benda asing yang harus bertahan. Dari balik pintu kayu yang setengah terbuka, suara angin menggerakkan gorden tipis. Cahaya lampu minyak bergoyang kecil. Bayangan Sukma di dinding terlihat seperti siluet perempuan yang terlalu cepat menjadi dewasa bukan karena umur, tapi karena keadaan. Ia meniup luka di lututnya, meniup tangannya sendiri. Lalu diam.

"Kamu kuat, Sukma," bisiknya pelan. Seperti doa yang hanya untuk telinga sendiri.

Setelah mengoleskan minyak dan membungkus lukanya dengan kain bersih, ia duduk diam. Kepalanya menunduk, jemarinya saling menggenggam. Jam dinding berdentang satu kali. Tengah malam. Di saat semua orang tidur, gadis itu masih berjaga, tapi bukan untuk siapa-siapa. Hanya untuk dirinya sendiri. Karena di rumah sebesar ini, tidak ada yang bertanya apakah dirinya baik-baik saja.

Sedangkan di sisi lain, Di kamar utama yang remang, Jagat membuka mata. Suara detik jam dinding terdengar pelan, tapi tajam. Ia mengerjapkan mata, mencoba menyesuaikan pandangan. Tempat tidur separuh kosong. Ia menoleh ke sisi kanan. Selimutnya rapi. Tidak ada suara napas tenang seperti biasanya. Tidak ada aroma minyak kayu putih atau sabun melati yang biasa tercium dari rambut panjang Sukma.

Pria itu bangkit perlahan, duduk di pinggir ranjang sambil mengacak rambutnya kasar. Sejenak ia ragu, tapi udara malam yang terlalu hening membuat gelisahnya tidak bisa ditahan. Tanpa banyak pikir, ia keluar kamar. Langkahnya menyusuri lorong kayu panjang yang mengarah ke bagian belakang rumah. Lampu minyak redup menyala di beberapa sudut, menyisakan bayangan panjang di tembok dan lantai. Lalu ia melihatnya.

Gadis itu duduk di lantai dengan alas tikar pandan, dikelilingi kain, baskom dan aroma minyak gosok yang khas. Rambut panjangnya menjuntai ke bahu. Tangannya pelan-pelan membersihkan luka di lututnya sendiri, lalu menyeka sikunya dengan gerakan yang begitu lembut, tapi jelas terasa menyakitkan. Jagat terdiam di ambang pintu. Tidak bersuara. Ia seperti terpaku. Luka itu. Pantas saja dia sempat tertinggal siang tadi. Lalu langkahnya tertatih waktu menaiki tangga pasar. Dan dirinya yang berjalan lebih dulu tanpa menoleh, tanpa menunggu, tidak pernah menyadarinya.

Matanya menatap luka yang dibalut kain bersih seadanya. Kain tipis itu mulai menyerap merah. Sukma masih tidak sadar sedang diperhatikan. Ia meniup luka itu pelan, lalu menghela napas panjang, seperti sedang mengusir rasa perih yang tidak bisa dilawan dengan kata. Jagat mengepalkan jemari. Bukan karena marah, tapi sesuatu yang menggigit pelan di dadanya, perasaan yang tidak punya nama.

"Kenapa tidak bilang kalau kamu terjatuh?" Suaranya berat, tiba-tiba muncul dari balik ambang pintu.

Sukma tersentak. Ia buru-buru menoleh, matanya membulat kecil. Kain yang ia pegang hampir jatuh. "Ma-Mas? Maaf, Saya tidak bermaksud ....."

"Jawab pertanyaanku." Nada suaranya tetap tenang, tapi tajam.

Gadis itu menunduk. Tangannya meremas ujung kain batik di pangkuan. "Saya tidak mau mengganggu, Mas Jagat. Luka kecil, cuma jatuh tadi siang waktu di pasar."

"Kamu jalan tertatih dari tadi. Tapi tetap diam?"

Sukma menggigit bibirnya. Tidak berani menatap mata suaminya. Di matanya, keheningan lebih aman daripada penjelasan yang akan tetap dianggap tidak penting.

"Saya sudah biasa merawat diri sendiri ....." Kalimat itu menggantung di udara. Tidak ada tangisan. Hanya kejujuran yang terlalu sederhana, terlalu menyayat hati.

Jagat menatapnya lama. Dalam diam itu, tidak ada yang bisa ia ucapkan. Lidahnya kelu. Karena mungkin, jauh di dalam hati, ia tau gadis itu berkata jujur dan itulah yang menyakitkan. Apalagi melihat mata dan hidungnya yang memerah. Ia tau, gadis itu baru saja menangis dalam diam.

"Besok, kamu tidak perlu ikut ke ladang."

"Saya tidak apa-apa, Mas. Luka ini ....."

"Bukan permintaan. Ini perintah."

Dengan suara dingin seperti biasa, Jagat membalikkan badan, lalu melangkah pergi. Tetapi langkahnya tidak secepat tadi. Sedangkan Sukma tetap duduk di lantai. Tangan mungilnya menggenggam kain luka yang mulai mengering. Untuk pertama kalinya, dinginnya suara itu membawa sesuatu yang hangat. Bukan kasih. Bukan pula cinta. Tetapi perhatian kecil yang tidak ia harapkan dan itu saja, sudah cukup untuk membuat malamnya terasa lebih tenang.

୨ৎꫂ❁

Jagatnata berdiri dengan kemeja abu-abu dan celana bahan coklat tua. Wajahnya seperti biasa dingin, tenang dan tidak menunjukkan emosi. Ia hendak turun ke ladang, pikirnya hari ini akan berjalan seperti biasa. Diam. Sunyi. Sibuk. Lalu kembali. Namun, langkahnya terhenti. Seseorang berjalan keluar dari arah dapur-wanita muda berkulit pucat susu dengan selendang disampirkan ke bahu, tas rotan kecil di tangan dan rambut panjang dikepang satu. Sukma.

"Mas, Saya ikut," ujarnya ringan dengan binar di mata. Bukan karena terpaksa, tapi sungguh, kali ini ia terlihat bahagia.

Jagat mengerutkan alis. "Kamu tidak dengar perintahku semalam?"

"Dengar. Tapi Saya anggap itu sebagai kekhawatiran, bukan larangan." Nada suaranya lembut tapi tegas. Senyum tipisnya terbit. Bukan senyum dibuat-buat, tapi yang muncul begitu saja, seperti matahari pagi yang malu-malu menembus celah daun.

Jagat terdiam. Ia belum pernah melihat senyum itu sebelumnya. Bukan senyum sopan seperti biasanya, tapi senyum yang bodoh. Bodoh dan polos. Bahkan lucu.

"Kamu itu keras kepala atau memang sengaja cari perkara?" tanyanya. Matanya menyipit sedikit.

"Mungkin dua-duanya," jawab Sukma ringan, lalu menuruni anak tangga pelan-pelan. "Tapi Saya janji tidak akan merepotkan. Cuma ingin lihat ladang saja. Kalau capek, Saya bisa duduk di pinggir."

Gadis itu berjalan melewati Jagat, seperti embun pagi yang tidak bisa dihalau. Jagat masih diam. Kakinya sudah melangkah, tapi pikirannya tertinggal. Ia menoleh sekilas ke arah gadis berambut panjang itu yang kini sedang menuruni jalan kecil di samping rumah, menuju arah kendaraan. Jalannya sedikit pincang, masih ada luka di lututnya, tapi wajahnya tidak memperlihatkan keluhan. Justru terlihat seperti anak kecil yang antusias akan tamasya pertamanya. Tanpa sadar, satu sudut bibir Jagat tertarik naik. Sekilas. Seketika ia kembalikan wajah dinginnya. Lalu berjalan mengikuti dari belakang tanpa suara.

Di kejauhan, dua sosok itu mulai menyusuri jalanan kampung yang dikelilingi sawah dan tembakau. Untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, tidak ada jeda emosi yang terlalu jauh di antara keduanya. Masih dingin dan canggung, tapi senyum Sukma yang dibilang bodoh itu, diam-diam mencairkan sedikit sisi manusia dari seorang pria bernama Jagatnata Pramoda.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Istri Juragan Jagatnata (His by Law, Never by Love)   30. Sentuhan Cinta

    Jagat duduk di sisi ranjang, menatap Sukma yang tengah merapikan rambutnya di depan cermin. Ada sesuatu yang berbeda malam ini—tatapan Jagat lebih lembut, lebih dalam, seakan ingin menembus lapisan hati Sukma yang paling rapuh. Sukma merasakan tatapan itu. Jemarinya yang semula sibuk dengan ikatan rambutnya terhenti, lalu ia menoleh, tersenyum tipis.“Mas, kenapa lihat Saya begitu terus? Ada yang salah?” tanyanya pelan penuh canggung, tapi manis.Jagat tidak menjawab dengan kata-kata. Ia hanya berdiri, melangkah pelan menghampiri Sukma, lalu berhenti tepat di belakang tubuh mungil istrinya itu. Dari pantulan cermin, Sukma bisa melihat sorot mata suaminya yang begitu teduh. Jemari Jagat terulur, menyingkirkan rambut yang menjuntai di bahu Sukma, lalu menyentuh lembut kulit lehernya.“Tidak ada yang salah,” bisiknya dekat telinga. “Aku hanya tidak percaya, bagaimana aku bisa beruntung memilikimu.”Sukma merona, pipinya bersemu merah. Hatinya berdebar hebat, tapi di saat yang sama ia mer

  • Istri Juragan Jagatnata (His by Law, Never by Love)   29. Jatuh Cinta

    Jagat akan pergi ke kota, tapi sebelum itu dia akan mengantarkan Sukma terlebih dulu ke rumah orang tuanya. Sudah lama, Sukma tidak mengunjungi mereka dan hari ini adalah waktunya. Sebuah perasaan yang Sukma sendiri tidak bisa jelaskan saking senangnya. Bahkan ia tidak henti-hentinya menatap Jagat yang sedang menyetir dengan binar di matanya, sembari mengatakan terima kasih berulang kali. "Terima kasih, Mas ... terima kasih." Sukma menatap pria itu dengan senyuman manis yang menggemaskan. Pria itu melirik sekilas, melihat wajah Sukma yang berbinar seperti itu entah kenapa membuatnya gemas dan ingin mengurung istrinya itu saja. "Entah sudah yang keberapa kalinya, kamu mengatakan terima kasih, Sukma.""Karena Saya tidak tau lagi bagaimana harus membalas ini semua, Mas." Ya. Tepatnya setelah mereka menikah, ini yang kedua kalinya Sukma mengunjungi mereka. Padahal jarak rumah mereka cukup dekat. Tetapi, ketidakberdayaannya menjadi istri seorang Jagatnata Pramoda membuatnya tau diri untu

  • Istri Juragan Jagatnata (His by Law, Never by Love)   28. Burung Kakaktua

    Di halaman belakang balai desa, para Ibu-ibu sibuk menyiapkan perlengkapan untuk acara kenduri sedekah bumi yang akan digelar malam nanti. Sukma duduk di antara barisan Ibu-ibu, tangannya cekatan memotong kacang panjang, sesekali menatap para Ibu-ibu yang sedang mengobrol. Rambutnya diikat sederhana, keringat kecil membasahi pelipisnya."Ayo, Mbak Sukma ... cepet motong sayurnya, nanti bisa kalah ini sama Bu Darmi," celetuk Bu Yati sambil terkekeh.Sukma tersenyum ramah. "Kalau kalah, nanti Saya traktir es dawet, Bu."Tawa kecil terdengar dari beberapa mulut. Obrolan pun mengalir ringan—tentang harga cabai, musim hujan yang tidak menentu, sampai anak-anak muda yang makin sulit diatur. Namun, seperti biasa, ada saja percakapan yang menyimpang arah."Eh, tapi ngomong-ngomong soal anak muda," ujar Bu Rini setengah berbisik, setengah menyindir halus. "Juragan Jagat sama Nak Sukma ini sudah berapa lama menikah? Kok sepertinya adem-adem saja, tidak ada kabar gembira.""Loh iya, Bu Rini. Say

  • Istri Juragan Jagatnata (His by Law, Never by Love)   27. Sebuah Usaha

    Sukma sedang menyapu lantai halaman ketika langkah Jagat terdengar dari arah dapur. Ia menoleh—mata mereka bertemu sejenak. Ada sesuatu di dalam sorot itu. Bukan tekanan, juga bukan pula keterpaksaan."Sudah selesai?" tanya Jagat dengan suara pelan.Sukma mengangguk, lalu meletakkan sapunya di sudut dinding. Mereka masuk ke kamar tanpa banyak kata. Hawa malam yang begitu dingin, entah kenapa membawa ketenangan yang menenangkan. Jagat menyalakan lampu meja, cahayanya temaram, cukup untuk memperlihatkan wajah Sukma yang terlihat gugup dengan pipinya yang bersemu merah. Jagat duduk di tepi ranjang, menghela napas pelan. Sukma berdiri beberapa langkah darinya, meremas jemarinya sendiri. Ia tau, malam ini bukan sekadar pelampiasan hasrat, tetapi sebuah keputusan, usaha dan juga harapan. Meskipun ini juga bukan yang pertama kalinya mereka melakukan hubungan suami istri, tapi entah kenapa tetap saja membuat gugup."Nduk," ujar Jagat sembari menatap Sukma. "Kalau kamu belum siap, kita bisa me

  • Istri Juragan Jagatnata (His by Law, Never by Love)   26. Gundik dan Ayahnya

    Setelah sekian lama, hal yang sangat-sangat Jagat tidak sukai kembali terjadi. Makan malam bersama gundik ayahnya dan anaknya. Entah apa yang di pikiran Rakai, saat membuat acara makan malam bersama seperti ini. Jagat melirik ke arah Ibunya. Ambarwati atau yang biasanya dikenal Nyi Roro Pramoda, istri sah keluarga Pramoda itu terlihat tenang. Wajahnya terlihat datar, tanpa rasa keberatan sedikitpun. Meskipun Jagat tau, Ibunya itu sangat membenci hal ini. Lalu, tatapan Jagat beralih pada Rita dan Juan. Gundik dan juga anaknya yang datang memenuhi undangan makan malam dari kepala keluarga Pramoda. "Terima kasih, Mas. Undangan makan malamnya. Sudah lama, kita tidak makan malam bersama seperti ini." Rita, wanita berusia 48 tahun itu tersenyum. Ia menatap Rakai dengan hangat. Tidak ada raut bersalah ataupun malu."Tidak perlu berbasa-basi. Ada kepentingan apa Romo memanggil kami malam ini?" Dalam keheningan yang cukup lama, setelah Rita bersuara, Jagat memberanikan diri untuk ikut bersuar

  • Istri Juragan Jagatnata (His by Law, Never by Love)   25. Perpisahan

    Sukma baru saja menyelesaikan masakannya, ketika beberapa saat kemudian terdengar suara ketukan pintu. Saat ia hendak berjalan menuju depan, Jagat sudah terlebih dulu keluar dari kamar dan bergegas untuk membuka pintu. Wajahnya tetap datar, bahkan terlihat semakin tidak ramah karena seseorang telah mengetuk pintu pagi-pagi dan baginya, itu sangat mengganggu. Jagat semakin memperlihatkan ketidaksukaannya, saat pintu sepenuhnya terbuka dan memperlihatkan sosok yang sudah bertamu pagi-pagi. Juan Pramoda, adik tirinya sekaligus anak gundik yang sudah menghancurkan keluarga harmonisnya. "Mau apa kamu ke sini?" tanya Jagat tanpa berbasa-basi. Usia laki-laki itu 9 tahun di bawah Jagat. Belum menikah dan hobi bersenang-senang. Terutama mempermainkan hati para wanita. Itulah sebab Jagat semakin membenci Juan dan Rita—Ibu laki-laki itu sekaligus gundik ayahnya. Mereka itu hama, begitu memuakkan. Tingkah onarnya, sering kali membuat malu keluarga. Entah jampi-jampi apa yang telah diberikan wa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status