Di kamar belakang, ruang kecil yang biasa digunakan Sukma untuk menyetrika dan menyimpan peralatan rumah tangga-lampu minyak menyala redup, memantulkan bayangan samar di dinding. Gadis berkulit seputih susu itu duduk di lantai beralaskan tikar pandan. Rambut panjangnya ia jepit asal dengan tusuk konde kayu. Di hadapannya, baskom kecil berisi air hangat, selembar kain bersih dan sebotol minyak gosok dari warung. Tangannya gemetar saat menarik ujung rok yang menutupi lututnya. Luka goresan masih memerah. Sudutnya mulai membiru. Siang tadi, saat ia membawa kantong belanjaan dan berusaha mengejar langkah panjang suaminya, kakinya tersandung batu dan ia terjatuh. Ia menahan rasa perih saat kain menyentuh luka.
Matanya berkaca-kaca, hidungnya memerah. Entah kenapa, luka di lututnya terasa begitu nyeri. Rasanya, sakit sekali. Desis kecil keluar tanpa sadar, tapi dengan cepat ia tutup mulutnya sendiri. Rumah ini terlalu senyap dan ia tau, suaranya tidak diinginkan di tengah malam seperti ini. Dengan gerakan pelan dan penuh kehati-hatian, Sukma membersihkan luka di sikunya yang mengelupas. Satu per satu. Seolah sedang menyeka bukan hanya darah, tapi juga harga diri yang tadi siang ikut terjatuh di kaki jalanan kota. Kini, yang ada hanya keheningan dan tubuh yang ia rawat sendiri seperti benda asing yang harus bertahan. Dari balik pintu kayu yang setengah terbuka, suara angin menggerakkan gorden tipis. Cahaya lampu minyak bergoyang kecil. Bayangan Sukma di dinding terlihat seperti siluet perempuan yang terlalu cepat menjadi dewasa bukan karena umur, tapi karena keadaan. Ia meniup luka di lututnya, meniup tangannya sendiri. Lalu diam. "Kamu kuat, Sukma," bisiknya pelan. Seperti doa yang hanya untuk telinga sendiri. Setelah mengoleskan minyak dan membungkus lukanya dengan kain bersih, ia duduk diam. Kepalanya menunduk, jemarinya saling menggenggam. Jam dinding berdentang satu kali. Tengah malam. Di saat semua orang tidur, gadis itu masih berjaga, tapi bukan untuk siapa-siapa. Hanya untuk dirinya sendiri. Karena di rumah sebesar ini, tidak ada yang bertanya apakah dirinya baik-baik saja. Sedangkan di sisi lain, Di kamar utama yang remang, Jagat membuka mata. Suara detik jam dinding terdengar pelan, tapi tajam. Ia mengerjapkan mata, mencoba menyesuaikan pandangan. Tempat tidur separuh kosong. Ia menoleh ke sisi kanan. Selimutnya rapi. Tidak ada suara napas tenang seperti biasanya. Tidak ada aroma minyak kayu putih atau sabun melati yang biasa tercium dari rambut panjang Sukma. Pria itu bangkit perlahan, duduk di pinggir ranjang sambil mengacak rambutnya kasar. Sejenak ia ragu, tapi udara malam yang terlalu hening membuat gelisahnya tidak bisa ditahan. Tanpa banyak pikir, ia keluar kamar. Langkahnya menyusuri lorong kayu panjang yang mengarah ke bagian belakang rumah. Lampu minyak redup menyala di beberapa sudut, menyisakan bayangan panjang di tembok dan lantai. Lalu ia melihatnya. Gadis itu duduk di lantai dengan alas tikar pandan, dikelilingi kain, baskom dan aroma minyak gosok yang khas. Rambut panjangnya menjuntai ke bahu. Tangannya pelan-pelan membersihkan luka di lututnya sendiri, lalu menyeka sikunya dengan gerakan yang begitu lembut, tapi jelas terasa menyakitkan. Jagat terdiam di ambang pintu. Tidak bersuara. Ia seperti terpaku. Luka itu. Pantas saja dia sempat tertinggal siang tadi. Lalu langkahnya tertatih waktu menaiki tangga pasar. Dan dirinya yang berjalan lebih dulu tanpa menoleh, tanpa menunggu, tidak pernah menyadarinya. Matanya menatap luka yang dibalut kain bersih seadanya. Kain tipis itu mulai menyerap merah. Sukma masih tidak sadar sedang diperhatikan. Ia meniup luka itu pelan, lalu menghela napas panjang, seperti sedang mengusir rasa perih yang tidak bisa dilawan dengan kata. Jagat mengepalkan jemari. Bukan karena marah, tapi sesuatu yang menggigit pelan di dadanya, perasaan yang tidak punya nama. "Kenapa tidak bilang kalau kamu terjatuh?" Suaranya berat, tiba-tiba muncul dari balik ambang pintu. Sukma tersentak. Ia buru-buru menoleh, matanya membulat kecil. Kain yang ia pegang hampir jatuh. "Ma-Mas? Maaf, Saya tidak bermaksud ....." "Jawab pertanyaanku." Nada suaranya tetap tenang, tapi tajam. Gadis itu menunduk. Tangannya meremas ujung kain batik di pangkuan. "Saya tidak mau mengganggu, Mas Jagat. Luka kecil, cuma jatuh tadi siang waktu di pasar." "Kamu jalan tertatih dari tadi. Tapi tetap diam?" Sukma menggigit bibirnya. Tidak berani menatap mata suaminya. Di matanya, keheningan lebih aman daripada penjelasan yang akan tetap dianggap tidak penting. "Saya sudah biasa merawat diri sendiri ....." Kalimat itu menggantung di udara. Tidak ada tangisan. Hanya kejujuran yang terlalu sederhana, terlalu menyayat hati. Jagat menatapnya lama. Dalam diam itu, tidak ada yang bisa ia ucapkan. Lidahnya kelu. Karena mungkin, jauh di dalam hati, ia tau gadis itu berkata jujur dan itulah yang menyakitkan. Apalagi melihat mata dan hidungnya yang memerah. Ia tau, gadis itu baru saja menangis dalam diam. "Besok, kamu tidak perlu ikut ke ladang." "Saya tidak apa-apa, Mas. Luka ini ....." "Bukan permintaan. Ini perintah." Dengan suara dingin seperti biasa, Jagat membalikkan badan, lalu melangkah pergi. Tetapi langkahnya tidak secepat tadi. Sedangkan Sukma tetap duduk di lantai. Tangan mungilnya menggenggam kain luka yang mulai mengering. Untuk pertama kalinya, dinginnya suara itu membawa sesuatu yang hangat. Bukan kasih. Bukan pula cinta. Tetapi perhatian kecil yang tidak ia harapkan dan itu saja, sudah cukup untuk membuat malamnya terasa lebih tenang. ୨ৎꫂ❁ Jagatnata berdiri dengan kemeja abu-abu dan celana bahan coklat tua. Wajahnya seperti biasa dingin, tenang dan tidak menunjukkan emosi. Ia hendak turun ke ladang, pikirnya hari ini akan berjalan seperti biasa. Diam. Sunyi. Sibuk. Lalu kembali. Namun, langkahnya terhenti. Seseorang berjalan keluar dari arah dapur-wanita muda berkulit pucat susu dengan selendang disampirkan ke bahu, tas rotan kecil di tangan dan rambut panjang dikepang satu. Sukma. "Mas, Saya ikut," ujarnya ringan dengan binar di mata. Bukan karena terpaksa, tapi sungguh, kali ini ia terlihat bahagia. Jagat mengerutkan alis. "Kamu tidak dengar perintahku semalam?" "Dengar. Tapi Saya anggap itu sebagai kekhawatiran, bukan larangan." Nada suaranya lembut tapi tegas. Senyum tipisnya terbit. Bukan senyum dibuat-buat, tapi yang muncul begitu saja, seperti matahari pagi yang malu-malu menembus celah daun. Jagat terdiam. Ia belum pernah melihat senyum itu sebelumnya. Bukan senyum sopan seperti biasanya, tapi senyum yang bodoh. Bodoh dan polos. Bahkan lucu. "Kamu itu keras kepala atau memang sengaja cari perkara?" tanyanya. Matanya menyipit sedikit. "Mungkin dua-duanya," jawab Sukma ringan, lalu menuruni anak tangga pelan-pelan. "Tapi Saya janji tidak akan merepotkan. Cuma ingin lihat ladang saja. Kalau capek, Saya bisa duduk di pinggir." Gadis itu berjalan melewati Jagat, seperti embun pagi yang tidak bisa dihalau. Jagat masih diam. Kakinya sudah melangkah, tapi pikirannya tertinggal. Ia menoleh sekilas ke arah gadis berambut panjang itu yang kini sedang menuruni jalan kecil di samping rumah, menuju arah kendaraan. Jalannya sedikit pincang, masih ada luka di lututnya, tapi wajahnya tidak memperlihatkan keluhan. Justru terlihat seperti anak kecil yang antusias akan tamasya pertamanya. Tanpa sadar, satu sudut bibir Jagat tertarik naik. Sekilas. Seketika ia kembalikan wajah dinginnya. Lalu berjalan mengikuti dari belakang tanpa suara. Di kejauhan, dua sosok itu mulai menyusuri jalanan kampung yang dikelilingi sawah dan tembakau. Untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, tidak ada jeda emosi yang terlalu jauh di antara keduanya. Masih dingin dan canggung, tapi senyum Sukma yang dibilang bodoh itu, diam-diam mencairkan sedikit sisi manusia dari seorang pria bernama Jagatnata Pramoda.Di kamar utama, sinar matahari menembus sela-sela tirai tipis, menciptakan pola cahaya yang menyentuh ujung ranjang. Di bawahnya, Jagat duduk di tepi tempat tidur, membelakangi Sukma yang masih tertidur. Pria itu mengenakan kain sarung dan kaos putih. Ia duduk diam, tangannya terlipat di atas lutut, wajahnya menatap lantai. Ekspresinya seperti biasa, datar. Tetapi napasnya lebih pelan, tidak seganjal biasanya. Di balik punggungnya, gadis itu masih terlelap. Rambut panjangnya terurai di bantal. Pipi halusnya terlihat lebih damai dari malam-malam sebelumnya. Gadis itu tidak menggeliat, tapi tubuhnya seolah tau, bahwa kehangatan yang semalam terasa, kini tidak ada lagi. Perlahan, Sukma membuka mata. Cahaya pagi menyilaukan, tapi bukan itu yang membuat dadanya terasa sesak. Ranjang itu masih hangat, tapi kosong di sisinya. Matanya bergerak ke arah pria yang duduk membelakanginya. Tidak ada sapaan. Hanya punggung kokoh yang terlihat tenang, seakan malam tadi hanyalah mimpi
Jagat duduk di sisi ranjang, mengenakan kaus putih tipis dan celana panjang longgar. Bahunya tegap, tubuhnya bersandar pada tiang kayu ranjang, namun pikirannya jauh. Matanya kosong menatap ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup. Terdengar gemericik air menetes. Lalu sunyi lagi. Lalu suara engsel kayu yang berderit pelan. Pintu kamar mandi terbuka. Gadis muda itu muncul dalam balutan kain jarik yang melilit tubuh rampingnya. Rambut panjangnya basah, sebagian menempel di bahu putihnya, sebagian lagi dibiarkan tergerai ke punggung. Wajahnya tanpa bedak, tapi kulitnya yang bening dan lembap seolah memantulkan cahaya lampu di langit-langit. Sukma tidak langsung menyadari bahwa pria itu sedang menatapnya. Ia berjalan perlahan, menunduk, lalu duduk di tepi ranjang. Tangannya sibuk mengeringkan rambut dengan handuk kecil. Jagat masih diam, tapi matanya tidak berkedip. Tatapannya mengikuti gerakan halus jemari Sukma, turun ke tengkuknya yang basah, lalu ke pundaknya ya
Aroma daun tembakau yang baru dipetik menguar di udara, bercampur aroma tanah basah dan embun yang belum sepenuhnya menguap. Di kejauhan, para pekerja berjalan hilir mudik dengan bakul anyaman di punggung, menyapa dengan anggukan hormat. Jagat melangkah di depan, tubuhnya tegap, kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Ia sesekali mengangguk pada pekerja, memberi arahan singkat dengan suara berat. Di belakangnya, langkah Sukma menyusul. Tidak secepat suaminya, tapi cukup kuat untuk seorang perempuan yang lututnya masih diperban tipis. Suara sandal Sukma menyentuh tanah basah membuat Jagat menoleh sesaat. "Kalau sakit, kamu bisa tunggu di warung kecil di ujung ladang," ujarnya datar, tapi tidak segalak biasanya. Gadis berambut panjang itu tersenyum sambil menggeleng pelan. "Saya baik-baik saja, Mas." Jagat tidak menjawab. Ia hanya terus berjalan, tapi tidak secepat tadi. Langkahnya secara tidak sadar melambat. Agar tidak terlalu jauh. Di su
Di kamar belakang, ruang kecil yang biasa digunakan Sukma untuk menyetrika dan menyimpan peralatan rumah tangga-lampu minyak menyala redup, memantulkan bayangan samar di dinding. Gadis berkulit seputih susu itu duduk di lantai beralaskan tikar pandan. Rambut panjangnya ia jepit asal dengan tusuk konde kayu. Di hadapannya, baskom kecil berisi air hangat, selembar kain bersih dan sebotol minyak gosok dari warung. Tangannya gemetar saat menarik ujung rok yang menutupi lututnya. Luka goresan masih memerah. Sudutnya mulai membiru. Siang tadi, saat ia membawa kantong belanjaan dan berusaha mengejar langkah panjang suaminya, kakinya tersandung batu dan ia terjatuh. Ia menahan rasa perih saat kain menyentuh luka. Matanya berkaca-kaca, hidungnya memerah. Entah kenapa, luka di lututnya terasa begitu nyeri. Rasanya, sakit sekali. Desis kecil keluar tanpa sadar, tapi dengan cepat ia tutup mulutnya sendiri. Rumah ini terlalu senyap dan ia tau, suaranya tidak diinginkan di tengah m
Jalanan basah karena embun dan semalam hujan. Di halaman belakang, suara air dari genteng menetes pelan. Di dalam rumah Pramoda yang megah, dua sosok berdiri dalam diam—seperti patung yang terlalu lama saling menghindar. Wanita muda berkulit seputih susu itu mengenakan blouse lusuh berwarna biru muda dengan rok hitam mengembang selutut. Rambut hitam legamnya dikuncir rendah. Di tangannya ada tas belanja anyaman yang sudah usang, kontras dengan lantai marmer yang dipijaknya. Jagat muncul dari ruang dalam, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung setengah. Wajahnya sudah tidak sepucat kemarin, tapi sorot matanya masih dingin seperti biasanya. Dia melirik jam tangan lalu menatap perempuan itu tanpa senyum. "Kita berangkat sekarang. Jangan lama." Sukma mengangguk cepat. Suaranya nyaris tidak terdengar saat berkata. "Iya. Saya sudah siap dari tadi, Mas." Tidak ada balasan. Mereka berjalan menuju mobil. Sopir sudah menunggu. Di sepanjang
Langit malam menggantung muram di balik kisi jendela kamar mereka. Lampu gantung tua yang menggantung di tengah langit-langit hanya menyala setengah redup, menyorot warna kelabu pada seprai dan dinding kayu kamar. Jagat duduk di tepi ranjang. Tubuhnya condong ke depan, tangan menopang dahi. Sukma masuk dari kamar mandi, rambutnya masih basah. Suasana canggung langsung menyelimuti ruangan seperti kabut. Biasanya, mereka hanya berbicara jika Jagat memulai dan itupun seperlunya.Sukma menatap punggung Jagat. Nafas pria itu terdengar berat dan pendek. Cahaya lampu memantulkan pucat wajahnya. Leher kemejanya basah oleh keringat, meskipun angin malam cukup dingin."Mas ....." Suara Sukma pelan, nyaris seperti bisikan. Untuk pertama kalinya setelah mereka bersama, Sukma mengawali percakapan. Jagat tidak menjawab. Hanya gerakan kecil di bahunya yang menandakan ia mendengar."Mas kelihatan pucat."Lama tidak ada sahutan. Lalu terdengar suara dingin. "Bukan urusanmu," balas Jagat singkat."Tap