Share

2. Kehilangan Segalanya

Nami duduk dan menangis di sisi brankar ayahnya yang memejamkan mata tanpa berniat untuk membukanya selama setengah tahun terakhir ini.

Penyakit jantung yang diderita oleh sang Ayah membuat ayahnya harus di rawat di rumah sakit.

Itu terjadi sekitar satu tahun lalu.

Namun, dalam waktu setengah tahun ini, ayahnya tidak membuka mata dan terus tidur selama setengah tahun. Karena hal itu, Nami harus segera mendapatkan biaya tambahan untuk ayah.

Nami bekerja serabutan. Dia belum mendapatkan pekerjaan tetap.

Perjuangan Nami sia-sia. Uang yang selama ini ia kumpulkan, ternyata telah dipakai ibu tirinya untuk foya-foya.

Hatinya sangat hancur. Ditambah lagi rumahnya, tempat tinggal satu-satunya yang ia miliki bersama kenangan sang ayah juga dirampas oleh ibu tiri. Padahal itu adalah harapan satu-satunya jika nanti

Nami membutuhkan uang, Nami akan menjualnya.

Tapi sayang, ibu tirinya sudah merebut dari Nami dan mengusir Nami dari sana.

Saat ini kondisi sang ayah belum ada tanda-tanda kehidupan. Kondisinya kritis bahkan koma. Nami sudah kehilangan mahkota yang selama ini ia jaga, Nami tidak mau lagi kehilangan satu-satunya hidup Nami. Yaitu sang ayah.

Tetesan demi tetesan air mata terus mengalir membasahi kedua pipi tembam perempuan itu. Mental dan fisiknya terguncang.

Bagaimana Nami menjelaskan semuanya saat ayahnya bangun nanti?

Apakah Nami sanggup?

Tidak mungkin Nami mengatakan bahwa dia sudah tidak virgin lagi. Itu pasti akan membuat ayahnya sakit hati.

“Ayah...,” Nami terisak. Dadanya begitu sakit.

Matanya sembab. Semalam penuh dia tidak tidur dan terus menangis. Bagaimana jika nanti saat ayahnya sudah sembuh dan tau telah diceraikan oleh istrinya?

Nami tidak mau ayahnya jatuh sakit lagi. Nami ingin ayahnya cepat sembuh. Hidup berbahagia bersama dengan Nami.

“Nami sendirian, Ayah,”

“N-nami sudah kotor,” Nami memeluk tangan ayahnya yang dingin.

“N-nami d-dijual oleh Ibu,”

Demi mendapatkan uang, ibu tirinya menjual Nami pada pemilik rumah bordil dan dijebak untuk tidur bersama pria tak dikenal.

“Nami tidak mau tinggal di sana, Nami ingin tetap di sini bersama Ayah,”

Tangan pria paruh baya itu semakin dingin terkena air mata Nami. Nami terus menangis. Menempelkan tangan sang ayah di pipinya. Nami merasa pipinya semakin dingin.

Nami mengerutkan dahinya. Dia memperhatikan wajah ayahnya yang pucat pasi. Dia menggenggam tangan ayahnya.

“K-kenapa tangan Ayah s-sangat dingin?”

“B-bibir Ayah juga pucat,”

Rasa takut mulai menjalar di dalam hati, Nami menyentuh pipi ayahnya. Sama dinginnya dengan tangan. Nami melirik ke arah monitor.

“Garis lurus?”

Bumi seolah berhenti. Napas Nami tersekat. Jantungnya berdegup kencang. Pandangannya kosong melihat monitor yang menampilkan garis lurus. Nami mencoba untuk mencerna situasi ini.

Nami menggelengkan kepala cepat. Tidak! Tidak! Nami tidak boleh berpikir negatif. Pasti ada yang salah dengan monitornya. Tidak mungkin terjadi sesuatu pada ayahnya.

“A-ayah?” menggoyangkan tubuh pria paruh baya yang nampak kurus itu. Dia menempelkan telinganya di dada sang ayah.

Tidak terdengar detak jantungnya.

Satu buliran air matanya jatuh. Tidak! Ayahnya tidak mungkin pergi!

“Ayah!!” Nami berteriak.

“Ayah bangun,” Nami menangis sesenggukan sembari menggoyang-goyangkan Ayahnya, berharap Ayahnya bisa sadar dan membuka mata.

Suara teriakan Nami terdengar dari luar. Dokter pun masuk ke dalam. Seorang suster berusaha membawa Nami keluar, tetapi Nami memberontak ingin tetap di samping sang ayah.

Suster itu mencoba untuk menasehati dan menenangkan dirinya. Tapi mau tidak mau, Nami harus keluar dan tidak menganggu.

Nami mengangkat kedua tangannya. Ia meminta pertolongan pada Tuhan agar ayahnya tidak kenapa-kenapa dan bisa segera sembuh.

“Tuhan, tolong Ayah Nami!”

Nami memperhatikan dari luar jendela. Dokter berusaha semaksimal mungkin menyelamatkan nyawa ayah Nami. Dia terus-menerus berdoa. Berharap mendapatkan mukjizat.

Nami gemetaran ketika melihat dokter menempelkan alat yang Nami tidak tau apa namanya di dada ayah. Berkali-kali ayahnya terlihat seperti tersengat. Tiga kali Dokter melakukan itu.

Kaki Nami semakin lemas saat dokter mulai melepas semua alat bantu yang tertempel di tubuh ayahnya. Nami menggeleng cepat.

“Tidak mungkin!!”

Nami memberontak masuk ke dalam. Tidak peduli jika para wanita berpakaian putih mencegahnya. Nami hanya mau ayahnya.

“Ayah!!!” Nami langsung memeluk tubuh Ayahnya. Dokter yang melihat itu menahan tangisnya. Dia sangat tau bagaimana perjuangan Nami selama ini.

Apalagi saat melihat koper Nami berada di samping brangkar, dadanya ikut sakit. Dokter lelaki itu memeluk tubuh mungil Nami, mencoba untuk memberikan ketenangan.

Nami sudah dia anggap seperti anak sendiri. Dia sangat paham penderitaan Nami.

“Nami, maafkan Dokter. Dokter sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi takdir berkata lain.”

Nami menangis tersedu-sedu sembari memeluk ayahnya. “Ayah...,”

“A-ayahku tidak mungkin meninggal, Dokter!”

“A-ayah sebentar lagi sembuh,”

“Tolong bertahan sebentar lagi, Ayah,”

“Nami akan terus berjuang.”

Perkataan Nami menyayat hati. Wanita berusia 19 ini tahun harus mengalami penderitaan hidup.

“Nami, kamu harus kuat,” tidak ada kalimat lain selain kalimat penyemangat. Meski dokter tau, kalimat itu tidak akan terdengar oleh Nami.

Nami mendongak. Dia memeluk sang Dokter erat. “D-dokter tolong selamatkan Ayah,”

“Nami akan melakukan apapun supaya Ayah bisa-“

Ucapan Nami terpotong, “Nami, kami hanya manusia biasa,” ungkap sang dokter.

“N-nami kehilangan segalanya, Dokter.”

***

Kematian sosok pria bernama Martio Nephila menjadi berita hangat selama dua hari ini. Seorang pria yang tak kenal lelah, seorang pria baik hati, dermawan, dan tidak pernah sombong itu meninggalkan jejak kenangan yang begitu amat dalam bagi beberapa orang, terutama para tetangga.

Selama dua hari ini pula, Nami terus mengunjungi makam ayahnya. Nami sudah ikhlas akan kematian sang ayah. Namun, ada tertinggal rasa sakit hati dan tidak terima dalam diri Nami.

Nami menaburkan berbagai macam bunga di gundukan kuburan. Menyiram tanah coklat dengan air. Nami menarik napas dalam lalu menghembuskannya perlahan.

Nami mengangkat kedua tangan berdoa. “Semoga Ayah tenang di surga, aamiin,” ucapnya mengusap wajah.

Nami menarik kedua sudut bibirnya hingga melengkung membentuk sebuah senyuman. Nami mencoba untuk tersenyum meski air mata mengalir di pipinya.

“Ayah, semoga Nami bisa menjalankan kehidupan yang keras ini meski tanpamu,” Nami berharap.

Nami mengingat ucapan ayah, jika Nami tidak boleh menyerah apapun yang terjadi. Karena hidup ini sudah diatur oleh Tuhan. Tuhan pasti tau apa yang terbaik untuk hamba-Nya.

“Nami percaya, suatu saat nanti Nami pasti akan bahagia,” lirihnya mengusap air mata.

“Oh di sini kamu ternyata,” ujar seseorang.

Nami terjingkat kaget, dia berdiri dan berbalik ke belakang. Ibu dan saudari tirinya berdiri di belakang Nami. Mata Nami berbinar. Dia menyunggingkan senyum. Pasti mereka datang menjemput Nami dan membawa Nami kembali pulang, pikirnya.

Nami mendekat. Nami memeluk mereka. “Ibu, Piranda?”

Plak!!

Bapina---ibu tiri Nami menamparnya. Mendorong Nami menjauh. “Jangan panggil aku Ibu!

Nami merasakan panas menjalar di pipinya. “Apa yang ibu lakukan?”

“Sudah ku bilang, jangan panggil aku ibu, dasar pelacur!”

Plak!!

Sekali lagi, Bapina menampar pipi sebelah kiri Nami. Nami meringis kesakitan. Nami memegang kedua pipinya. Mendongakkan kepalanya menatap kedua wanita itu dengan tatapan yang tak kalah tajam.

“Aku bukan pelacur!” bentaknya.

Nami tidak suka dengan mereka. Di hari kematian ayahnya pun, mereka tidak datang dan berduka sama sekali. Sebaliknya, mereka mengadakan pesta besar-besaran di rumah Nami.

Tentu saja hal itu membuat Bapina semakin menjadi. Wanita setengah baya itu menjambak rambut Nami. “Dasar anak tidak tau diri!”

Nami tidak boleh kalah. Dia harus berani.

“Bukan Nami yang tidak tau diri, tapi kalian!” entah keberanian dari mana sampai Nami bisa berkata seperti itu.

Mata Nami tertuju pada dua pria berbadan kekar di balik tubuh mereka berdua. Bapina menjambak rambut semakin ke bawah.

“Oh, sudah pandai menjawab,” Bapina sedikit terkejut. Nami, anak penurut itu kini sudah mulai berani menjawab perkataannya.

“Tidak apa, karna sebentar lagi aku sudah tidak melihat wajah menjijikkan ini,” Bapina mengelus pipi mulus Nami.

“Hey kalian!” Piranda melambaikan tangan memanggil dua pria berbadan kekar di belakang mereka untuk segera datang.

“Ini yang dicari Madam Sherly, silahkan bawa ke rumah bordil!”

Ucapan Piranda membuat Nami membulatkan matanya. “Apa maksud kamu, Piranda?”

Bapina mendorong Nami dan memberikan Nami kepada dua pria berbadan kekar itu. Kedua tangan Nami di pegang dan ditahan oleh mereka. Mereka membawa paksa Nami.

“Tidak!”

“Lepaskan aku!!”

“Besok aku masih harus mencari kerja!!”

“Tidak perlu lagi, kan perkejaan barumu sekarang adalah pelacur,” sahut Piranda terkekeh.

Nami meronta. Dia tau apa maksud mereka datang menjemput Nami. Bukan untuk kembali ke rumah, tetapi untuk di bawa ke rumah bordil.

Oh Tuhan! Apakah yang sudah Nami perbuat sampai-sampai Nami harus singgah di rumah itu. Tidak! Nami tidak mau!

Tempat seperti itu sangat tidak cocok untuk Nami. Nami bukan wanita murahan. Nami adalah wanita yang paling berharga milik ayah.

Ibu tirinya, ah tidak! Mantan ibu tirinya sangat kejam. Wanita itu menyembunyikan kebusukan hatinya selama ini. Wanita itu tega menjual Nami pada mereka untuk mendapatkan uang demi kebahagiaannya sendiri.

“Jangan sampai dia kabur!” pesan Bapina sebelum Nami dimasukkan ke dalam mobil Jeep warna hitam.

“Dan jangan lupa, kalian harus mengirimkan uang setiap bulannya padaku!”

“Ibu jahat! Nami harus pergi cari kerja, Bu!!”

Bapina terkekeh mendengarnya. Sebelum menutup pintu, Bapina mengelus pipi Nami yang memerah bekas tamparannya.

“Bekerjalah di rumah bordil dan jadilah mesin ATMku, anak cantik.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status