Share

Istri Kecil sang CEO Tampan
Istri Kecil sang CEO Tampan
Penulis: Dina Rigita

1. Accident

"Shh.." Nami meringis sembari memegangi kepalanya yang terasa berdenyut pusing, seolah-olah terhantam batu besar.

"Aku di mana?"

Nami membuka matanya perlahan. Cahaya lampu pijar menyilaukan matanya. Memperhatikan ruangan yang asing lamat-lamat. Selimut tebal menutupi seluruh tubuhnya. Ini bukan kamar Nami, lalu di mana sekarang dia berada?

Nami tidak ingat apa yang sudah terjadi semalam padanya , tapi yang jelas pagi ini Nami merasa kesakitan di area bawahnya.

"S-sakit," rintihnya pelan. Dia duduk di atas ranjang. Sepertinya dia harus menyegarkan tubuhnya yang terasa lengket.

Dia menyibakkan selimut. Mata Nami membola saat ia tersadar telah tidak memakai sehelai benang pun. Dia kembali menutupi tubuhnya yang polos.

Nami menoleh ke samping. Seorang pria tak dikenal tidur berada di sampingnya. Jantungnya berdegup kencang. Dunia seakan-akan berhenti seketika. Nami berusaha mencerna apa yang sudah terjadi. Banyak tanda tanya di dalam otaknya.

Siapa orang itu?

Dan apa yang sudah ia lakukan padanya?

Semakin dicermati, kepalanya semakin sakit. "Aduh, kepalaku pusing, aku belum memastikan pekerjaan baruku," gumam Nami.

Setelah lulus sekolah, Nami ingin segera mencari pekerjaan untuk biaya pengobatan ayah.

Semalam Piranda---saudari tiri Nami memberikannya rekomendasi tempat kerja yang memberikan gaji harian dalam jumlah besar untuk tambahan biaya rumah sakit sang ayah.

Tapi setelah dia meminum seteguk minuman yang disediakan oleh seseorang yang mengaku pemilik toko, Nami tidak sadarkan diri dan berakhir di sini.

Oh tidak! Jangan bilang kalau ini adalah jebakan. Nami menggeleng cepat berusaha menampik jika ini hanya lah sebuah mimpi buruk.

Baju berserakan di lantai. Bukan hanya baju, dalaman Nami tercecer di lantai.

"T-tidak mungkin!!"

Air matanya jatuh. Nami menutup mulutnya tak percaya. Dia terus menggelengkan kepalanya beberapa kali.

Nami berusaha berdiri meskipun sulit karna kakinya terasa sakit dan perih. Namun, suara bariton seseorang menghentikan pergerakannya.

"Kamu sudah bangun?" tanya lelaki itu tanpa merasa bersalah sedikit pun.

Nami sedikit terkejut. Kakinya terpeleset dan terjatuh di lantai. Tapi dengan cepat Nami berdiri dan menutupi tubuhnya dengan selimut.

"Brengsek!!"

Nami menampar pria itu dengan keras. Membuat sang empunya meringis kesakitan. Pipinya yang putih bersih tanpa jerawat berubah menjadi merah cap tangan.

"Apa yang kamu lakukan?" Lelaki itu duduk di atas ranjang sambil memegangi pipinya. Dia tampak marah namun menahannya.

Air mata Nami sudah mengalir deras bagaikan air terjun. Matanya memerah dan sembab. Untuk berbicara saja rasanya dia tak sanggup. Betapa menyedihkannya kondisi Nami sekarang.

Nami kehilangan mahkota yang selama ini ia jaga untuk suaminya nanti. Tapi pria itu? Seenaknya bahkan tanpa seizin darinya telah merenggut harta Nami yang paling berharga.

"Seharusnya saya yang bertanya pada anda!" Nami tak segan untuk menunjuk pria di depannya itu. Dia tak peduli siapa orang itu. Juga tak menaruh hormat padanya.

"Siapa anda dan mengapa bisa tidur di sini dengan saya?"

Nami dikenal sebagai gadis yang baik, penurut, sopan dan tidak pernah membantah perintah orang tua. Tapi kali ini, Nami bukanlah seorang Nami yang dikenal. Nami sangat marah.

Masalah dalam kehidupannya sudah rumit. Ayahnya yang sedang sakit dan membutuhkan biaya banyak, dan sekarang Nami harus terjebak satu malam bersama pria ini.

"Aku Steven," jawabnya santai seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.

"Untuk pertanyaan mengapa bisa tidur di sini," pria itu berdiri, Nami sempat menutup mata takut jika dia melihat sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat. Untungnya, pria itu memakai celana pendek.

"Apa kamu tidak ingat siapa yang datang ke kamarku ini, Nona kecil?"

Nami mengambil semua pakaiannya. Suara tangisnya bahkan lebih kencang daripada sebelumnya. Sakit sekali rasanya. Nami merasa terhina. Pipinya semakin basah akibat buliran air matanya.

"Tidak, saya ingin pulang!"

Sudahlah. Nami sudah tidak peduli lagi dengannya. Nami memakai semua pakaiannya di depan pria itu. Lagipula, dia sudah melihat tubuh Nami, jadi tidak akan ada masalah jika Nami memakai baju di depannya.

Oh Shit! Steven tersiksa.

Steven tidak boleh gegabah. Dia sedang sedih, Steven tidak ingin menambah kesedihan. Mata Steven tak lepas dari pemandangan indah di depannya. Steven tersenyum tipis. Entah mengapa mendengar suara isakan tangis gadis--ah tidak wanita itu sedikit menyesakkan hatinya.

Steven membuang napas kasar. Dia berjalan mendekati Nami. Sebelum Steven berdiri di depannya, Nami menamparnya lagi dan mendorongnya dengan keras.

"Jangan dekati aku, dasar om-om tidak tau malu!!" teriak Nami keras. Raut wajahnya menyiratkan sebuah amarah yang terpendam.

Steven terkejut. Dorongan Nami tak membuatnya jatuh. Steven hanya mundur beberapa langkah.

"Om-om tidak tau malu, katamu?"

"Hey, asal kamu tau, Nona. Di luar sana banyak wanita yang mendambakanku."

Nami mengusap air matanya kasar. Dia menyahut tas yang ada di atas nakas. Dia menginjak kaki Steven dan menendang pusaka miliknya.

"SAYA TIDAK PEDULI!"

"SUDAH, LUPAKAN KEJADIAN INI DAN SAYA HARAP TIDAK PERNAH BERTEMU DENGAN ANDA LAGI, OM PEDOFIL!"

Setelah puas mengatakan itu, Nami keluar dari kamar hotel dalam kondisi berantakan.

Sedangkan Steven, dia terdiam membisu. "Om Pedofil?"

Bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman. "Lupakan kejadian ini?"

Steven geleng-geleng kepala. Kenapa Steven merasa gagal jadi orang tampan? Bukankah wanita pada umumnya akan tertarik pada pria tampan dan mapan.

Apa kurangnya Steven?

Dia tampan. Tinggi. Mapan. Idaman para wanita. Diantara wanita yang pernah ia temui, hanya dia yang berani melontarkan kalimat cacian.

"Lihat saja, akan aku buat kamu tergila-gila dengan ketampananku ini, Nona kecil."

***

Beberapa kerutan muncul di dahinya. Mengapa banyak orang yang gotong royong memindahkan sofa, meja, tv dan berbagai barang rumah keluar dan mengganti barang-barang tersebut dengan barang baru.

Ayahnya sedang sakit. Sudah banyak uang yang dikeluarkan untuk biaya pengobatan. Ayahnya masih membutuhkan uang untuk pengobatan. Lalu bagaimana semua barang-barang ini bisa diganti yang baru?

Uang darimana untuk mengganti semua ini?

"Ada apa ini? Kenapa semua barangnya diganti baru?"

Tentu saja Nami heran. Ekonomi mereka sedang kritis, tidak mungkin bisa membeli barang baru. Apalagi dalam jumlah banyak. Untuk makan saja harus hemat.

"Piranda!!" teriak Nami memanggil saudari tirinya.

"Di mana kamu?"

Nami masuk ke dalam rumah. Menoleh kesana-kemari mencari sosok Piranda yang seenaknya sudah membuatnya kehilangan harta berharga.

Piranda datang seraya menutup telinga. "Aduh, ada apa sih teriak-teriak? Sakit telingaku!"

Nami berjalan cepat ke arah Piranda. Dia menarik kerah baju Piranda. Nami tidak peduli dia mau dicap jelek, karna sekarang Nami benar-benar emosi.

"Apa maksud kamu, hah?"

Piranda menepis kedua tangan Nami. "Lepasin tangan kamu! Jangan sampai bajuku ikutan kotor seperti kamu!"

"Apa kamu bilang?" Nami tidak terima saat Piranda berkata seperti itu.

Piranda tersenyum smirk. Dia melipat kedua tangan di depan dada. Piranda mendekatkan mulutnya ke telinga Nami, agar wanita itu mendengar dengan baik apa yang akan Piranda katakan.

"Iya, wanita kotor yang sudah tidak perawan!"

Hati Nami terasa hancur berkeping-keping. Jantungnya seakan-akan ditusuk oleh ribuan pisau. Tak tersadar, air matanya kembali terjatuh.

"Jadi benar? Kamu yang menjebakku, Piranda?"

Piranda terkekeh. Dia mendorong kening Nami. "Jadi orang jangan terlalu bodoh, Nami. Kamu lihat sekeliling kamu,"

Nami menurut. Dia memperhatikan sekitar. Dadanya sesak. Dia menggigit bibir bawahnya menahan suara tangis.

"Coba deh kamu pikir, bagaimana kita bisa mengganti semua barang usang dengan yang baru,"

Nami menggeleng pelan. Mengusap pelan air matanya. "A-aku tidak mengerti apa maksud kamu, Piranda," katanya terbata-bata.

Bapina---ibu kandung Piranda, ibu tiri Nami turun dari tangga berjalan ke arah mereka bersama dengan satu koper besar ditangannya.

Bapina geleng-geleng kepala, "Nami, Nami, kamu terlalu bodoh dan terlena sama uang yang ditawarkan pada pekerjaan, sampai-sampai kamu tidak sadar sudah masuk ke dalam perangkap Piranda," wanita baya itu berdiri di samping anak kesayangannya. Membuang koper hitam di depan Nami.

Koper itu milik Nami. "A-apa maksudnya ini, Ibu?"

Piranda dan Bapina tertawa keras. Piranda menangkup kedua pipi Nami dengan satu tangan. Menarik wajahnya untuk lebih dekat.

"Pekerjaan itu adalah pekerjaan pelacur, Nami. Kami sudah menjualmu ke pemilik rumah bordil!"

Piranda mendorong Nami. Dia terjerembab di bawah lantai. Piranda berjongkok. Piranda menarik rambut Nami kuat. Nami meringis kesakitan.

"Berkat kamu, kita mendapatkan uang banyak dan menikmati kemewahan ini, Nami."

"Mulai sekarang, kamu tidak akan tinggal di sini lagi, tapi di rumah bordil. Rumah ini sudah menjadi hak milik kami!"

Di saat Piranda masih menjambak rambut Nami, Bapina melempar sebuah dokumen. Piranda melepas jambakannya. Membiarkan Nami membaca dokumen tersebut dengan baik.

"S-surat cerai?"

Nami mendongak menatap mereka berdua. "A-apa maksudnya ini, Bu? A-ayah sekarang sedang s-sakit," ucapnya tercekat. Nami menahan sesak di dadanya.

"Justru itulah aku menceraikannya dan merebut rumahnya. Siapa juga yang mau tinggal bersama orang yang sebentar lagi mati!"

Deg!

Bagaikan petir di siang bolong.

Hancur hati Nami mendengarnya. Mengapa? Mengapa ini semua terjadi padanya?

Dia sudah kehilangan keperawanan, dan sekarang? Dia diusir dan ayahnya diceraikan saat sedang kritis.

Niat hati ingin mendapatkan pekerjaan mumpuni setelah lulus, Nami terjebak pada pekerjaan haram.

Kenapa masalah datang bertubi-tubi?

"Sebentar lagi pemilik rumah bordil datang dan menjemputmu. Bersiaplah!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status