Paul mendekap erat kedua bahu Sierra, berusaha menguatkan wanita itu. Seakan tahu jika Sierra bisa saja kabur atau tumbang kapan saja, tak kuat menghadapi Martin dan Salome secara bersamaan. Dan reaksi Martin menjadi reaksi yang paling dramatis, karena kini dia melotot sangat tajam.Martin berjalan mendekati Sierra, dengan kedua mata yang memerah dan membulat sempurna. Urat di lehernya begitu terlihat menegang. Martin yang biasanya selalu penuh kepercayaan diri dan wibawa, sekarang tampak bingung dan kecewa menjadi satu.“Apakah ini semua benar, Sierra?” Suara Martin akhirnya pecah. Tenang namun terdengar sangat tajam di telinga Sierra. Rasa pengkhianatan yang tidak terucapkan tampaknya memenuhi ruangan saat Martin mencoba memproses informasi tersebut.Sierra menunduk begitu dalam, tidak berani menatap Martin. Yang ada dia hanya terus menangis, merasa dirinya begitu kotor dan tak berperasaan.“Kapan? Kenapa?” Bola mata Martin terus bergerak, berusaha menjaga agar kewarasannya tetap be
Salome menghampiri Sierra yang masih terpaku di tempatnya, ketakutan jelas terlihat di wajah Sierra. Salome menghela napas panjang. “Apa sebenarnya tujuanmu? Kamu ingin menjadi wanita kaya?” tanya Salome pada Sierra, tanpa perlu berbasa-basi. Matanya tajam sekaligus dingin, seakan tengah menusuk Sierra.“Kalau hanya sekedar ingin uang, kamu cukup tidur dengannya, tidak perlu sampai minta dinikahi,” Salome melanjutkan kelakarnya. “Lalu apa yang menjadi tujuanmu, hah? Apakah kamu dan teman-teman kampunganmu itu sudah bersekongkol menggunakan cara magic untuk Paul?”“Salome, berhenti!” bentak Paul, karena ucapan Salome semakin tidak terkontrol.Namun Salome tidak peduli. Semakin Paul menarik mundur tubuh Sierra, semakin Salome muntab. “Inilah yang kubenci dari orang miskin sepertimu. Setelah dibantu untuk hidup, selalu ingin yang lebih. Bisa-bisanya kamu menginginkan tahtaku,” geram Salome. Dia hampir menampar Sierra, andai dia tidak sadar atas statusnya sebagai seorang wanita kaya yang
“Kamu yakin berangkat ke kantor? Wajahmu pucat sekali, Sierra,” tegur Rachel, cukup cemas. Sierra mengangguk mantap sambil mematut diri di depan cermin. Dia tahu, datang ke kantor hanya akan membuatnya makin menyedihkan. Namun dia harus menyerahkan surat pengunduran diri itu kepada Martin, layaknya pegawai yang baik.“Kamu mau kuantar?” tawar Sam, karena juga sama-sama cemas dengan keadaan Sierra. Selain pucat, hampir semalaman Sierra muntah dan tidak tidur.Sierra tidak menolak dengan tawaran itu. Menurutnya memang mengandalkan seseorang di saat seperti ini adalah pilihan yang baik. Maka keduanya pun segera pergi kantor dengan menaiki mobil butut milik Sam. Di perjalanan Sam beberapa kali melirik Sierra, seakan hendak mengucapkan sesuatu namun urung.“Sebenarnya aku punya banyak pertanyaan. Tapi aku yakin kamu akan mengatakannya padaku. Bukankah begitu?” ujar Sam.Sierra diam sambil menggigit bibir. Dia tahu, bagaimana pun kehamilannya ini akan diketahui oleh semua orang. Apalagi Sa
Martin tampak sangat memohon. Tatapannya sedih ke arah Sierra setelah menyeka air mata wanita itu. Namun usaha Martin tentunya sia-sia, karena Sierra kembali menangis. Kali ini dia memalingkan muka, memilih untuk menunduk. Sebisa mungkin dia menghindari bertatapan dengan Martin, atau segalanya akan luluh lantak. “Aku sudah mencintaimu … jauh sebelum kamu mulai tertarik padaku,” ucap Sierra dengan suara serak. “Aku amat mencintaimu,” ulangnya lagi. “Lalu kenapa kamu meninggalkanku?” “Semua terjadi di malam kamu melamar Elisha,” lanjut Sierra. “Apakah aku tidak diizinkan untuk patah hati? Mendengar langsung orang yang kucintai melamar kekasihnya,” Martin terkesiap. Fakta baru ini tentu saja tidak pernah dia tahu sebelumnya. Rasa kekecewaan yang terus tertancap kuat di dalam hatinya, perlahan memudar. Tergantikan perasaan bersalah. “Andai aku mencintaimu lebih dulu … “ “Tidak ada yang bisa disalahkan,” sahut Sierra cepat. Dia mendorong mundur tubuh Martin, seakan ingin memiliki sedi
Mendapatkan pertanyaan yang begitu menohok itu, membuat Sierra terdiam. Apalagi ekspresi wajah Elisha tampak datar, tidak seperti orang yang tengah menginterogasi. Maka Sierra memilih untuk berpaling, kembali sibuk menata barang-barangnya. Dia sengaja melakukan itu karena enggan menjawab pertanyaan Elisha.“Aku tidak akan mendesakmu untuk menjawab, karena itu bukan urusanku,” Pada akhirnya Elisha angkat bicara. “Tapi semoga firasatku salah. Aku harap, kalian tetap baik-baik saja,”Setelah mengucapkan kalimat panjang itu, Elisha memutuskan untuk pergi dari ruangan Sierra demi memberi waktu bagi Sierra untuk berkemas. Dan saat berada di depan pintu lift, Tasya, rekan Sierra di kantor tiba-tiba berlari kecil mendekati Elisha. Dia maju dan setengah berbisik.“Apa yang terjadi? Kenapa Sierra berkemas?” bisik Tasya. “Apa dia dipecat? Bukankah dia dan Pak Martin … ““Maaf,” potong Elisha. Dia menoleh ke arah Tasya dengan tatapan terganggu. “Itu semua bukan urusanku,” Dia melempar pandangan t
Sierra masih terisak, meski ini dia sudah mulai lebih tenang. Sierra mencoba mencerna kembali penjelasan dari Paul. Otaknya memutar ulang informasi yang baru saja didengar, mencoba menarik kesimpulan. Meski jauh di lubuk hatinya, Sierra masih menyesal telah kehilangan Martin. Pada akhirnya dia berhasil mendapatkan kesempatan untuk bersama pria yang telah dicintainya sejak dulu.“Tapi Tuan Paul juga harus tahu … “ Dia pelan-pelan menjauhkan jemari Paul dari dagunya. “Saat ini saya masih mencintai Martin. Saya berusaha untuk menerima ini semua, semata karena anak ini,” Dia mengelus lembut perutnya sendiri.Meskipun ada raut kecewa dari wajah Paul, namun pria tua itu mencoba untuk mengerti. Dia mengelus lembut kepala Sierra. “Apapun yang membuatmu bahagia, Si. Meski itu harus mencintai orang lain,”“Jangan … “ hardik Sierra untuk kemudian diam. Dia tampak menghindari sentuhan Paul. “Saya mohon jangan sebut Martin orang lain, Tuan,”Sierra membuka pintu mobil. Paul mencegah meski Sierra m
Semua langsung terdiam. Suara dengung bisikan dari para anak panti tiba-tiba lenyap, kini tergantikan oleh tatapan tak berkedip. Tatapan yang mengarah lurus pada Sierra, seakan hendak menghakimi. Apalagi Salome yang semakin menuding Sierra dengan telunjuk lentiknya, merasa puas telah mempermalukan wanita itu.“Sedari dia kecil kami memperlakukannya dengan begitu baik. Bahkan kami memberikan pekerjaan paling didambakan oleh semua pencari kerja. Dan setelah mendapat semua, bisa-bisanya dia menggoda Paul? Apakah menurutmu itu bisa diterima, Sam?” Awalnya Salome mengolok Sierra dengan begitu keras, namun untuk pertanyaan terakhir kepalanya terarah pada Sam.Sam masih terkejut dengan tudingan mendadak dari Salome itu. Matanya membulat, mencari jawaban di balik wajah Sierra yang memerah seakan hendak menangis. Sam tidak bisa bertindak gegabah, karena posisinya sebagai satu-satunya orang yang paling dituakan di panti.“Apa benar kamu hamil, Sierra?” tanya Sam lembut. Ada nada khawatir dibali
Rachel rela tidak berkedip supaya dia tidak melewatkan sedetik pun ekspresi di wajah Sierra. Dia juga memasang telinganya sangat tajam, berharap bisa mendengar dengan baik jawaban yang keluar dari mulut Sierra. Sementara Sierra menelan ludah dengan begitu tegang, berusaha menjawab namun juga enggan.Rachel memejamkan mata. Akhirnya dia tahu jawabannya, meski tidak langsung keluar dari mulut Sierra. Dengan wajah penuh kecewa, Rachel berusaha mengatur agar ekspresinya tetap terlihat tenang.“Kamu tahu perasaanku pada Martin,” ucap Rachel. Ekspresinya nanar. “Sejak kapan kalian berkencan?”Sierra cepat-cepat menggenggam tangan Rachel. “Aku hanya beberapa hari bersamanya, tidak lebih,” kilahnya cepat. “Kita berdua sama-sama tahu jika Martin tidak menyukaiku. Dia hanya menjadikanku pelampiasan,”“Dan kamu juga begitu?” sahut Rachel. Ada senyum sedih di wajahnya. “Kamu juga menjadikannya pelampiasan? Kamu dan Tuan Paul,”Untuk hal satu ini Sierra tidak sanggup menjawab. Dia tidak mungkin ju