“Martin … lepaskan,” rintih Sierra, sebisa mungkin mendorong mundur tubuh Martin dari tubuhnya.Semakin Sierra berontak, semakin adrenalin Martin terpacu. Dia sudah terlalu gelap mata untuk menyadari bahwa tindakannya itu salah dan bisa saja membahayakan kandungan Sierra. Jika saja Sierra masih sama seperti dia yang dulu, masih mencintai Martin tanpa menanggung beban mengandung bayi Paul, dia pasti akan menikmati ciuman Martin. Tapi segalanya telah berubah diantara mereka.“Martin!” Tiba-tiba dari arah belakang Paul datang. Pria tua itu menarik tubuh Martin sekencangnya dan dia pukul tepat di pipi kiri Martin. Tanpa pertahanan, Martin seketika ambruk ke lantai.“Si, kamu tidak apa-apa?” Paul berusaha menolong Sierra yang masih sangat ketakutan. Dia mendekap wanita itu begitu erat.Sementara Martin yang jatuh perlahan bangkit. Tubuhnya gemetar melihat sang ayah begitu mencemaskan Sierra, dan dengan tega menyingkirkannya layaknya sampah. Sedari kecil, Martin selalu merasakan penolakan
Pernikahan Paul dan Sierra tetap dilangsungkan, tepatnya seminggu setelah kejadian di apartemen Martin. Pernikahan itu digelar di sebuah vila mewah yang terletak di pinggir pantai. Mereka hanya mengundang beberapa kerabat dekat serta kolega Paul, sebisa mungkin menjaga agar pernikahan itu tetap intim demi menutup privasi. Itu semua atas permintaan Sierra yang masih belum terbiasa menjadi bagian dari dunia Paul yang kaya raya.Sebuah tenda putih besar didirikan di tengah taman vila, dihiasi dengan rangkaian bunga mawar putih dan merah di setiap sudutnya. Di bawah tenda, kursi-kursi tertata rapi dengan pita satin putih. Di dekat pantai, sebuah altar kecil disiapkan dari kayu dengan latar belakang laut biru yang berkilauan. Altar tersebut dihiasi dengan bunga-bunga tropis dan kain sutra yang berkibar lembut tertiup angin.Sierra mengenakan gaun putih dengan desain yang anggun dan elegan. Gaunnya panjang tampak mengalir, dengan detail renda di bagian tulang selangka dan lengan. Rambutnya
Sierra tidak bisa menahan denyutan sakit di dalam hatinya, meski dia sudah bersembunyi sedemikian rupa agar tidak ketahuan. Degup jantung yang dia rasakan bukanlah karena gugup bahagia, melainkan gemuruh suara hati yang hancur lebur. Tidak menyangka jika setelah banyaknya pengorbanan yang dia lakukan untuk Martin, pria itu justru melamar Elisha. Sekali lagi Martin mencoba peruntungannya untuk melamar Elisha, wanita yang tiga tahun lalu pernah menolaknya.Bohong jika Sierra tidak terpengaruh atas pemandangan di depannya yang berlangsung tiba-tiba, tanpa pernah dia tahu. Sore ini setelah jam pulang kantor, Sierra sudah memantapkan hati untuk mengutarakan perasaannya. Tapi yang terjadi, dia justru mendapat kejutan lain."El, maukah kamu menjadi istriku?" tanya Martin sekali lagi, sembari menyodorkan sekotak cincin.Sierra membungkam mulutnya. Dalam hati mengucapkan sumpah serapah, kenapa dia harus bersembunyi? Dia bisa saja menggagalkan semuanya dengan tiba-tiba menyeruak masuk. Tapi nal
Paul mengarahkan tangannya untuk memberi petunjuk pada Sierra agar mengikuti langkah kakinya. Sierra tidak bisa berkutik, selain menuruti permintaan Paul. Paul Pandia, ayah Martin sekaligus pemilik panti asuhan tempat Sierra tinggal hampir 30 tahun. Paul adalah seorang konglomerat yang kewibawaannya sudah dikenal di kalangan para pebisnis, dan itu juga diamini oleh Sierra yang pernah bekerja dua tahun dengan pria tua itu. Namun atas desakan Martin–yang baru saja diserahkan bisnis perusahaan cabang oleh Paul maka Sierra setuju untuk pindah ke perusahaan Martin, demi rasa cintanya yang teramat dalam."Kamu sudah makan malam?" tanya Paul, terus berjalan dengan langkah tegap namun tenang di depan Sierra.Sierra ingin menggeleng, tapi dia tidak akan bisa makan dengan tenang. Namun mengangguk pun juga bukan solusi yang baik, karena dia sangat kelaparan. Menangis cukup menguras habis tenaganya."Si?" panggil Paul, spontan berhenti dan menoleh ke belakang menghadap Sierra.Tampak beberapa me
Bagaimana bisa Sierra menikmati makan malamnya, jika saat ini dia berdua saja di dalam vila besar itu bersama sang konglomerat, Paul Pandia? Apalagi sebelum mengizinkan Sierra untuk makan, Paul berpesan agar wanita itu segera menyusul ke kamarnya. Jantung Sierra serasa ingin keluar dari rongganya karena tak mengira akan diperlakukan semanis ini. "Sadarlah, Si, sadar," Sierra menepuk pelan pipinya sendiri, supaya tidak berandai-andai tentang Paul. Apalagi kondisinya kini sedang patah hati setelah menyaksikan Martin dan Elisha.Setelah menyelesaikan makan malam, Sierra membereskan satu-persatu sajian di sana, bahkan tak lupa mencuci piring bekasnya makan. Dia mengerjakan semuanya dengan sangat santai sambil mengulur waktu. Dia sengaja melakukannya agar bisa menghindar dari perintah Paul yang ambigu.Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul satu pagi. Saatnya Sierra untuk beristirahat, setelah seharian bekerja dan karena besok masih hari efektif. Dia tahu dia tidak membawa baju g
Sierra tidak bisa menjawab. Atau lebih tepatnya, enggan menjawab. Dia menganggap kejadian semalam merupakan sebuah kesalahan yang dia lakukan di bawah kesadarannya, karena saat dia terbangun kini, dia kembali teringat akan Martin. Saling pandang dengan Paul yang notabene memiliki tekstur wajah mirip Martin, membuat Sierra buru-buru memalingkan muka. Dia tidak ingin mempercayai segalanya."Saya harus kembali, Tuan. Saya sudah terlambat bekerja," pamit Sierra sebelum masuk ke kamar mandi."Tapi aku sudah mengizinkanmu pada Martin," ucap Paul.Ucapan itu seketika membuat Sierra mematung. Dia berdiri diam di depan pintu kamar mandi, membeku layaknya film yang dihentikan sementara."Aku menyuruh Lukman untuk menyampaikan pada Martin, bahwa kamu tidak bisa masuk kantor hari ini," terang Paul sekali lagi, benar-benar tanpa dosa. "Jadi kamu tidak perlu tergesa-gesa. Kita akan menghabiskan banyak waktu di desa ini,""Permisi, Tuan," Tak lama, salah seorang pelayan mengetuk pintu. Dan setelah P
"Kenapa kamu keluar dari mobil Ayah?" tuntut Martin dengan kening berkerut.Sierra yang gugup belum ingin membuka suara. Dia memilih untuk menunggu aba-aba dari Paul, karena takut jika satu kata yang keluar dari mulutnya merupakan sebuah kesalahan. Dan benar, Paul berdiri di depan menghalangi tubuh Sierra berhadapan dengan Martin."Aku sengaja memberinya pekerjaan semalam," jawab Paul.Sierra menelan ludah. Ya, Paul tidak berbohong. Dia memang mendapatkan pekerjaan dari pria tua itu–dalam tanda kutip."Pekerjaan apa sampai dia harus tidak masuk kerja?" Martin masih tidak terima. "Kukira dia sakit, tapi kata Rachel dia tidak pulang semalaman,"Rachel adalah teman sekamar sekaligus teman paling akrab dengan Sierra di panti. Dan apesnya, Sierra lupa memberitahu Rachel keberadaannya semalam, hingga tentu saja Rachel yang tak tahu apa-apa itu menjawab interogasi Martin dengan jujur."Sierra!" panggil Rachel, keluar dari dalam rumah dengan wajah cemas. "Kamu kemana saja semalam?" Dia menamb
Tubuh Sierra seakan seringan kapas setelah mendengar ajakan kencan dari Martin. Perasaannya yang terpendam selama ini akhirnya menemukan jalan keluar, dan Sierra merasa seperti melayang di atas awan.Senyumannya merekah tak terkendali, membuat wajah Sierra merona penuh kebahagiaan.“Oke, ayo kita coba,” jawabnya. Berusaha untuk tetap bersikap tenang meski hatinya memekik girang.Martin tersenyum lebar, senang mendengar jawaban positif dari Sierra. Mereka merencanakan tempat dan waktu untuk kencan mereka yang pertama, membuat Sierra antusias luar biasa.“Besok berangkat kerja, aku jemput, ya?” tawar Martin.Sierra mengangguk cepat. Meski dia tetap berusaha bersikap tenang. Dia tidak bisa terlalu senang karena Martin baru saja patah hati ditolak oleh Elisha.“Ngapain kamu jemput dia?” tegur Rachel, yang menyeruak menyuguhkan sebotol minuman dingin ke hadapan Martin. Dia memicingkan mata memandang Martin dan Sierra bergantian. “Dia sudah biasa naik ojek online, Tin,” selorohnya santai.S