Suara itu tidak asing di indera pendengaran Adistia, namun dia tidak yakin apakah itu orang yang sama dalam pikirannya."Kau butuh berapa? aku akan membayarnya."Liam datang tanpa permisi, saat senja pergi dan berganti malam dia datang seolah menjadi dewa penolong bagi Adistia.Hanya saja tawaran Liam tak lantas diiyakan begitu saja oleh Bibi Marni, matanya mengeryit menatap lelaki yang sekarang menjadi suami keponakannya itu. Sorot mata meremehkan jelas tersirat kala kulit keriput di sekitar mata Bibi Marni menyipit."Kamu mau membeli rumah ini?""Memangnya kamu mampu?"Bukan cuma Bibi Marni saja yang ragu, Adistia juga merasa begitu. Status Liam memang suaminya, tapi dia belum tahu latar belakang keuangannya sehingga wajar jika gadis berparas ayu itu juga ragu jika Liam mampu.Untuk saat ini sebagai seorang suami Liam memang belum bisa memberikan cinta kepada Adistia, namun Liam bisa mengganti hal lain dengan membantu mengembalikan rumah ini kepada pemiliknya yaitu Adistia.Tak mau
Ketika terbangun Adistia mendapati dirinya tengah berada di sebuah tempat yang tak asing bagi dirinya. Seluruh tubuhnya terasa begitu kaku, bahkan hanya sekedar untuk digerakkan saja Adistia merasakan sakit.Sejenak dia terdiam membiasakan diri dengan rasa tidak nyaman ini, sembari menatap langit-langit serta dinding dengan foto dirinya bersama Prabu waktu masih pacaran dulu.Rasa sakit di seluruh tubuh tiba-tiba saja hilang digantikan rasa sakit hati yang masih membekas hingga kini. Memikirkan hal menyakitkan itu membuat tenggorakan Adistia terasa sakit, mungkin lebih tepatnya karena Adistia terlalu lama menangis hingga tenggorokannya terasa kering.Dengan tertatih dia beranjak dan berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum. Namun tangannya menggantung, kala hendak membuka gagang pintu kamar. Adistia mendengar suara perdebatan, suara gemuruh yang berasal dari ruang tengah sangat jelas terdengar dan begitu menyakitkan."Adistia akan tinggal bersama kita."Pernyataan Paman Syam la
Adistia membatu di ambang pintu tak kala menyaksikan sang Ayah yang tengah terkapar tak berdaya. Dokter yang sedang berusaha keras menyadarkan Pak Latief dengan alat kejut juga tak luput dari pandangannya.Dia tahu ini pertanda buruk, perasaannya semakin tak karuan saat sang Ayah tak merespond sedikitpun usaha yang dilakukan oleh Dokter itu.Di ruangan itu semua terlihat sibuk, berjalan kesana kemari, bergantian mengambil sesuatu demi hal baik yang dia tahu untuk menyelamatkan nyawa.Namun Adistia tak melihat harapan itu ada, karena wajah menyesal dan putus asa jelas tergambar diantara para Dokter dan perawat yang menangani Ayahnya.Walau mereka mencoba dan mencoba lagi, pada akhirnya hasilnya tetap sama.Sampai suara samar terdengar dan hal itu seperti tamparan bagi Adistia. "21.10." Waktu kematian, ucap salah seorang Dokter.Tak lama setelah Pak Latief dinyatakan benar sudah tiada. alat bantu pernapasan dan segala yang menempel di tubuh lelaki paruh baya itu dilepas satu persatu. S
Dalam perjalanan pulang, kepala Liam dipenuhi bayangan Pak Latief saat menyelamatkan dirinya dari kecelakaan siang tadi. Ingin rasanya dia melupakan, tapi sisi kemanusiaan dalam diri menyeruak kembali. "Asss sial, kenapa harus minta menikahi anaknya." "Harusnya dia minta untuk diobati dan imbalan uang saja." Liam terus mengoceh menyalahkan diri sendiri dan Pak Latief sepanjang perjalanan. Hingga disebuah persimpangan dia menghentikan laju mobil yang dia kemudikan, lalu tanpa berfikir panjang Liam kemudian berbalik arah menuju tempat dimana istri kedua dan mertuanya dirawat. --- Rumah Sakit. "Akhirnya kamu datang juga." Terlihat sekali kelegaan diraut wajah Tama. Sebenarnya dia ingin mendaratkan genggaman tangannya ke muka tampan atasan serta sahabatnya ini, hanya saja Tama berusaha menahannya. "Dimana mereka?" Telunjuk tangan Tama mengarah pada salah satu ruangan. Detik setelahnya Liam sudah menghilang dari pandangan Tama, perasaan tidak nyaman menuntunnya untuk segera mene
Liam masih membeku, rasa angkuh terlihat jelas di matanya. Bahkan ketika istri keduanya Adistia Latief memohon agar dia tetap tinggal, tapi nampaknya Liam tak tergoda.Percuma."Mbak, Pak Latief harus segera dibawa ke rumah sakit." Ucap Tama.Karena sejatinya dia tahu, jika Liam yang berhati keras seperti batu tidak akan luluh dengan tangisan Adistia. Dan menunggunya hanya membuang waktu saja.Adistia lantas dibantu Tama untuk membawa Pak Latief ke dalam mobil, sayangnya tenaga wanita yang masih mengenakan pakaian kebaya lengkap itu tak mampu menggotongnya.Sedangkan Tama sendiri juga terlihat kesulitan untuk membopong tubuh lelaki paruh baya yang hampir pingsan ini."Ayo Mbak, sekali lagi!""Iya Mas."Terdengar napas Adistia dan Tama semakin ngos-ngosan. Namun dalam keadaan seperti itu Liam masih juga bertahan dalam kebekuan.Tak ada sedikitpun keinginan untuk membantu, bahkan tangannya sudah memegang gagang pintu, membukanya dan siap pergi kapan saja dia mau."Bapak tolong bertahan
"Mas, mau kemana?"Sedikit risih dengan suara Adistia, tapi membuat Liam memalingkan pandangan ke wajah ayunya."Beri aku waktu lagi."Lama Liam berdiri sambil sibuk dengan ponsel yang ada di genggaman, wajahnya penuh kekhawatiran karena sedari tadi seseorang yang ingin dia hubungi ternyata panggilannya selalu dialihkan.Saking kesalnya hampir saja Liam membuang benda itu, hanya saja dia tahan. "Kemana dia sebenarnya?" Umpat Liam lirih."Liam." Panggil Pak Latief, saat dia menyadari Pak Penghulu sudah mulai gusar.Namun Liam sepertinya tidak mendengar, tangannya malah kembali sibuk berselancar di layar ponsel yang dia pegang. Pandangannya tak mau beralih, terus menatap ke layar sembari menunggu jawaban.Pak Penghulu yang mulai jemu kembali menggelengkan kepala, menghela napas ketika sebuah panggilan tak lagi dihiraukan.Suasana yang mulai tidak nyaman memaksa Adistia untuk beranjak dari kursi, dengan sedikit tergesa dia mendekati Liam yang berdiri agak jauh dari mereka.Rasanya memang