LOGIN"Apa? Saya harus menikahi anak Bapak?" Wajah tampan Liam seketika jadi merah padam, ketika orang yang menolongnya tiba-tiba meminta imbalan yang tak pernah dia bayangkan. Kepala Liam yang terasa berat dia tundukkan sejenak, mencerna dan memikirkan masak-masak perihal perjodohan sepihak yang ditujukan untuknya oleh orang yang terkapar tak berdaya karena telah menolongnya. Manik hitam Liam menoleh ke arah gadis lugu yang sedari tadi menunduk tak berani mengangkat wajahnya, apalagi menatap wajah judes yang sejak awal Liam tampilkan di depan Adistia. Sedangkan di sudut lain, ada Pak Latief yang makin terengah nafasnya seolah menunggu ajal datang. Sedih, kecewa, marah, kasihan bergemuruh jadi satu. Ketika harapan besar diserahkan Pak Latief di pundak Liam untuk menikahi putrinya. Lalu apakah Liam akan setuju dengan permintaan terakhir Pak Latief? sedang jauh di sana ada seorang wanita sudah yang menjadi tanggung jawabnya menanti kepulangannya.
View More"Pernikahan Adistia dan Prabu gagal."
"Kenapa?"
"Pengantin pria sampai sekarang belum datang."
Ceteluk salah satu tetangga yang sedang duduk tak jauh dari Pak Latief.
Hari di mana seharusnya Adistia menjadi ratu sehari, justru menjadi perguncingan tetangga tanpa henti.
Pasalnya sampai diwaktu yang ditentukan di mana Ijab khobul harusnya digemakan nyatanya hingga jam di dinding menyentuh angka 12 siang, sang pengantin pria beserta keluarga tak kunjung tampak batang hidungnya.
Suasana makin memanas, tatkala sayu terdengar omongan para tetangga bahwa pengantin pria yang memiliki nama Prabu kabur tanpa penjelasan barang sepatah kata saja. "Bapak, bagaimana ini?" Raut gelisah mulai tak dapat ditutupi Adistia. Takut sudah tentu pasti, sedih apalagi, namun dia masih coba berprasangka baik dan berharap Prabu akan datang pada hari yang telah mereka berdua sepakati. Namun kesedihan yang coba disembunyikan Adistia tak mampu dia tutupi dari Ayahnya. Hingga memaksa Ayah Adistia pergi. "Sebentar, kamu tenang dahulu di sini ya!" Ucap Pak Latief. Tanpa sebuah penjelasan lebih Pak Latief tiba-tiba pergi meninggalkan riuh hajatan yang harusnya diwarnai dengan tawa kebahagiaan. "Bapak mau ke mana?" Teriak Adistia. Tak ada jawaban dari sosok lelaki tua dengan wajah teduh itu, dia hanya berlalu sembari melambaikan tangan. Dan bayangan punggung itu pun perlahan menghilang dari pandangan. Hati wanita berparas cantik pemilik nama Adistia Latief itu makin mengaduh tak karuan, tak kala cinta pertamanya pergi tanpa pesan. Kedua tangannya mengepal erat-erat, karena bayangan gagalnya pernikahan membuatnya kesal. *** Siang itu Pak Latief mengendarai motor usang yang sudah menemaninya selama ini. Pandangannya tajam ke depan hanya saja pikirannya menerawang. Berjalan dengan kecepatan di atas rata-rata, namun masih dalam kendalinya. Berharap segera sampai di rumah calon menantu, lalu membawanya serta untuk dinikahkan dengan putrI tercinta. Hanya butuh waktu sepuluh menit, motor yang dikendarai Pak Latief akhirnya sampai di rumah Prabu. Terlihat sekali Pak Latief tak sabar, motor yang dia kendarai hanya ditinggal begitu saja. "Prabu?" Teriak Pak Latief sampai mengundang penasaran para tetangga. Sekilas terdengar di indra pendengaran, beberapa tetangga sebelah sedang menggunjing. "Eh itu kan calon mertuanya Prabu." "Iya kasihan yaa." "Tadi ada kabar katanya keluarga Prabu gak datang ke pernikahan, makanya itu mertuanya sampai datang ke sini." Suara tidak enak didengar akhirnya berlalu, dan Pak Latief juga tidak ambil pusing dengan hal itu. Dia kembali ke tujuan awal datang ke sini. Harusnya rumah itu riuh ramai dipenuhi sanak saudara dan tetangga. Namun alih-alih terlihat seperti sedang punya hajad, rumah kediaman keluarga Prabu justru terlihat sunyi. 'DUAR' 'DUAR' Pintu rumah berbahan kayu kokoh juga tak luput dari pukulan Pak Latief, berharap seseorang keluar dan memberi penjelasan. Sikap sopan yang biasanya melekat dalam diri Pak Latief seketika hilang, demi harga diri putri semata wayang dia rela bersikap arogan. "Prabu keluar kamu! Kamu harus segera datang ke rumah, bersikaplah jantan tidak seperti ini. Apa kamu tidak kasihan terhadap Adistia." "Apa salah anakku sampai kamu tega membuatnya malu?" Peluh bercucuran tanpa henti mengalir di sekujur tubuh Pak Latief, amarah yang membuncah seolah membakar kesabaran lelaki tua yang sebenarnya penyabar. Hampir setengah jam Pak Latief berdiri di depan pintu rumah calon besannya, namun tetap saja tidak satu pun yang keluar menemui Pak Latief. “Prabu, keluar kamu!” “Atau siapa pun yang di dalam tolong keluar! Jangan seperti pengecut kalian.” Terdengar mulai kasar, saat kesabaran sudah habis. Tubuh yang awalnya tegar akhirnya tumbang, dia meringkuk merasakan sakit hati yang tak terlihat oleh mata. Sesekali isakan tangis terdengar lirih, menahan luka yang ingin dia sembunyikan. "Pak Latief." Kepala yang mulanya tertunduk langsung mendongak ke arah sumber suara. Berbarengan dengan tangan yang mengusap airmata. Seorang wanita cantik seusia Adistia bernama Annisa berdiri di belakang Pak Latief. "Annisa, apa kamu tahu di mana Prabu beserta keluarganya?" Wanita muda itu tak langsung menjawab, netranya justru menyeryit seolah menanyakan apa yang terjadi sebenarnya. "Prabu? Bukankah dia dan keluarga pergi ke rumah Adistia. Soalnya saya melihat beberapa mobil pergi dari rumah ini tadi." DEG' Penjelasan Annisa justru membuat Pak Latief makin gundah gulana, karena semua tidak membawa titik terang ataupun petunjuk di mana keberadaan calon menantu. Cerita yang keluar dari lisan Annisa justrus makin menguatkan dugaan bahwa Prabu dengan sengaja melarikan diri dari pesta yang telah mereka sepakati. "Tidak, tidak nak. Sampai saat ini Prabu dan keluarganya belum datang ke rumah. Makanya bapak datang kemari." Tangan lembut itu menutup mulut agar tidak menganga, bersamaan dengan itu netra indah wanita muda itu juga berkaca-kaca. Mesti belum jelas dengan apa yang sebenarnya terjadi, akan tetapi Annisa bisa tahu alasan mengapa Pak Latief bisa sampai sepanik ini. "Apa kamu tahu kira-kira ke mana perginya mereka?" Annisa tak bisa menjawab, dia hanya menggelengkan kepala. Dia begitu kaget dan hampir tidak percaya, cerita sedih di hari pernikahan yang biasanya hanya ada di dalam cerita ternyata nyata adanya. "Baiklah, kalau begitu bapak pergi dahulu." Tanpa menunggu jawaban dari teman putrinya, Pak Latief langsung pergi untuk melanjutkan misi yang belum terselesaikan yaitu mencari pengantin laki-laki untuk anaknya. Setelahnya Annisa baru sadar, dan menyadari Pak Latief sudah perlahan pergi dari pandangan. "Aduh, Pak Latief. Pak Latief mau ke mana?" Dia tampak gusar, bingung serta kasian. "Bagaimana ini? kasihan si Adisti. tetapi aku kok takut sama Pak Latief yaa." Padahal saat itu Annisa harus pergi untuk mengantar ibunya berobat tetapi karena perasaannya tidak enak dia memilih untuk mengikuti Pak Latief. Mesti motor yang dikendarai Pak Latief tak lagi mumpuni, namun dia cukup kencang saat ini hingga Annisa sedikit kesulitan untuk mengejar. "Ke mana tadi perginya Pak Latief?" Ucap Annisa saat menemui persimpangan jalan. "Kanan atau kiri?" "Eemm, kanan saja lah. tetapi kalau ke sini kan jarang ada rumah penduduk. tetapi gak ada salahnya dicoba." Gumam Annisa ketika melihat jejak ban motor yang di yakini milik motor Pak Latief. Karena jalan yang dipilih Annisa adalah jalan menuju berbukitan cukup menanjak dan jauh dari permukiman warga, di sana hanya ada beberapa rumah penduduk dan selebihnya vila serta, restoran yang hanya bisa dikunjungi jika kita sudah reservasi. Tak berapa lama saat motor yang dikendarai Annisa berbelok ke arah kanan, terlihat beberapa kerumunan orang. Hatinya makin tak karuan, hingga dia makin kencang mengendarai motor agar segera mengetahui apa yang sedang terjadi di depan sana.Esok hari.Adistia bersiap seperti yang di perintahkan Liam, mengenakan baju rapi dengan sedikit riasan. Dia duduk di ruang tamu menunggu kedatangan Liam dengan penuh rasa cemas.Lutut Adistia terus bergerak tak beraturan, coba menetralkan rasa gugub yang mulai menjalar keseluruh badan. Tangannya mulai berkeringat, memikirkan tentang hal yang belum jelas dilakukan oleh Liam."Kamu sudah siap?" Diantara silaunya cahaya matahari suara berat laki-laki datang memecah keheningan.Pagi itu seperti yang dia katakan kemarin, Liam datang ke rumah untuk menjemput Adistia. Dia mendekati Adistia netranya menyisir di sekitar melihat dengan seksama wanita yang sekarang telah menjadi istri keduanya, namum netra tajam Liam tak melihat koper ataupun tas besar yang siap untuk dibawa."Apa kamu tidak akan membawa apa-apa?""Memangnya kita akan kemana?"Tangannya menarik tatanan rambut yang tak terlalu panjang itu ke belakang, menyamarkan rasa kesal karena Adista tidak juga merasa paham."Kemasi barangmu
Suara itu tidak asing di indera pendengaran Adistia, namun dia tidak yakin apakah itu orang yang sama dalam pikirannya."Kau butuh berapa? aku akan membayarnya."Liam datang tanpa permisi, saat senja pergi dan berganti malam dia datang seolah menjadi dewa penolong bagi Adistia.Hanya saja tawaran Liam tak lantas diiyakan begitu saja oleh Bibi Marni, matanya mengeryit menatap lelaki yang sekarang menjadi suami keponakannya itu. Sorot mata meremehkan jelas tersirat kala kulit keriput di sekitar mata Bibi Marni menyipit."Kamu mau membeli rumah ini?""Memangnya kamu mampu?"Bukan cuma Bibi Marni saja yang ragu, Adistia juga merasa begitu. Status Liam memang suaminya, tapi dia belum tahu latar belakang keuangannya sehingga wajar jika gadis berparas ayu itu juga ragu jika Liam mampu.Untuk saat ini sebagai seorang suami Liam memang belum bisa memberikan cinta kepada Adistia, namun Liam bisa mengganti hal lain dengan membantu mengembalikan rumah ini kepada pemiliknya yaitu Adistia.Tak mau
Ketika terbangun Adistia mendapati dirinya tengah berada di sebuah tempat yang tak asing bagi dirinya. Seluruh tubuhnya terasa begitu kaku, bahkan hanya sekedar untuk digerakkan saja Adistia merasakan sakit.Sejenak dia terdiam membiasakan diri dengan rasa tidak nyaman ini, sembari menatap langit-langit serta dinding dengan foto dirinya bersama Prabu waktu masih pacaran dulu.Rasa sakit di seluruh tubuh tiba-tiba saja hilang digantikan rasa sakit hati yang masih membekas hingga kini. Memikirkan hal menyakitkan itu membuat tenggorakan Adistia terasa sakit, mungkin lebih tepatnya karena Adistia terlalu lama menangis hingga tenggorokannya terasa kering.Dengan tertatih dia beranjak dan berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum. Namun tangannya menggantung, kala hendak membuka gagang pintu kamar. Adistia mendengar suara perdebatan, suara gemuruh yang berasal dari ruang tengah sangat jelas terdengar dan begitu menyakitkan."Adistia akan tinggal bersama kita."Pernyataan Paman Syam la
Adistia membatu di ambang pintu tak kala menyaksikan sang Ayah yang tengah terkapar tak berdaya. Dokter yang sedang berusaha keras menyadarkan Pak Latief dengan alat kejut juga tak luput dari pandangannya.Dia tahu ini pertanda buruk, perasaannya semakin tak karuan saat sang Ayah tak merespond sedikitpun usaha yang dilakukan oleh Dokter itu.Di ruangan itu semua terlihat sibuk, berjalan kesana kemari, bergantian mengambil sesuatu demi hal baik yang dia tahu untuk menyelamatkan nyawa.Namun Adistia tak melihat harapan itu ada, karena wajah menyesal dan putus asa jelas tergambar diantara para Dokter dan perawat yang menangani Ayahnya.Walau mereka mencoba dan mencoba lagi, pada akhirnya hasilnya tetap sama.Sampai suara samar terdengar dan hal itu seperti tamparan bagi Adistia. "21.10." Waktu kematian, ucap salah seorang Dokter.Tak lama setelah Pak Latief dinyatakan benar sudah tiada. alat bantu pernapasan dan segala yang menempel di tubuh lelaki paruh baya itu dilepas satu persatu. S
Dalam perjalanan pulang, kepala Liam dipenuhi bayangan Pak Latief saat menyelamatkan dirinya dari kecelakaan siang tadi. Ingin rasanya dia melupakan, tapi sisi kemanusiaan dalam diri menyeruak kembali. "Asss sial, kenapa harus minta menikahi anaknya." "Harusnya dia minta untuk diobati dan imbalan uang saja." Liam terus mengoceh menyalahkan diri sendiri dan Pak Latief sepanjang perjalanan. Hingga disebuah persimpangan dia menghentikan laju mobil yang dia kemudikan, lalu tanpa berfikir panjang Liam kemudian berbalik arah menuju tempat dimana istri kedua dan mertuanya dirawat. --- Rumah Sakit. "Akhirnya kamu datang juga." Terlihat sekali kelegaan diraut wajah Tama. Sebenarnya dia ingin mendaratkan genggaman tangannya ke muka tampan atasan serta sahabatnya ini, hanya saja Tama berusaha menahannya. "Dimana mereka?" Telunjuk tangan Tama mengarah pada salah satu ruangan. Detik setelahnya Liam sudah menghilang dari pandangan Tama, perasaan tidak nyaman menuntunnya untuk segera mene
Liam masih membeku, rasa angkuh terlihat jelas di matanya. Bahkan ketika istri keduanya Adistia Latief memohon agar dia tetap tinggal, tapi nampaknya Liam tak tergoda.Percuma."Mbak, Pak Latief harus segera dibawa ke rumah sakit." Ucap Tama.Karena sejatinya dia tahu, jika Liam yang berhati keras seperti batu tidak akan luluh dengan tangisan Adistia. Dan menunggunya hanya membuang waktu saja.Adistia lantas dibantu Tama untuk membawa Pak Latief ke dalam mobil, sayangnya tenaga wanita yang masih mengenakan pakaian kebaya lengkap itu tak mampu menggotongnya.Sedangkan Tama sendiri juga terlihat kesulitan untuk membopong tubuh lelaki paruh baya yang hampir pingsan ini."Ayo Mbak, sekali lagi!""Iya Mas."Terdengar napas Adistia dan Tama semakin ngos-ngosan. Namun dalam keadaan seperti itu Liam masih juga bertahan dalam kebekuan.Tak ada sedikitpun keinginan untuk membantu, bahkan tangannya sudah memegang gagang pintu, membukanya dan siap pergi kapan saja dia mau."Bapak tolong bertahan












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments