“Apa maksudnya, Nei?” Raka mengulang, seolah berharap ia salah dengar.Neina menggigit bibir bawahnya, menahan gemuruh tangis yang siap pecah. “Kita harus putus, Mas. Sekarang juga. Jangan cari aku lagi. Jangan hubungi aku lagi. Aku nggak mau semakin sakit, Mas. Cari wanita yang layak untuk kamu perjuangkan. Bukan aku.”Detik itu juga, udara seolah terhenti. Raka tak langsung menjawab. Pandangannya menatap lurus ke wajah Neina, berusaha menangkap sesuatu di balik ucapannya. Ia masih menelisik sebab yang menjadi alasan wanitanya itu. “Neina… kenapa? Ada apa sebenarnya?” Raka mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya mulai retak.Neina menggeleng sambil tersenyum getir. “Jangan tanya, Mas. Aku… aku nggak bisa jelasin. Tapi aku sudah pikirin ini. Lama.”“Kalau kamu pikirin lama, kenapa baru sekarang? Kenapa sepihak gini?” suara Raka meninggi, tapi bukan karena marah—karena sakit.Neina berdiri mendadak, kursi di belakangnya bergeser kasar hingga menarik perhatian pengunjung kafe. Ia me
“Mas Raka, aku—” Neina bingung harus bagaimana mengungkapkan pada Raka kenyataan yang telah terjadi padanya saat ini. “Kamu nggak suka kabar ini?” Nada Raka merendah, khawatir jika Neina akan menolak menikah dengannya. Padahal, itu adalah impian keduanya sejak lama. Menikah muda dan tak ingin menjalin hubungan yang serius lebih lama. “Kalau kamu mau waktu—” Baru Raka hendak memberi waktu untuk Neina jika tak siap. Neina lebih dulu menyela kalimatnya. “Bukan, bukan begitu,” Neina buru-buru menangkis. “Aku… aku cuma… susah percaya.”Raka miringkan kepala. “Mama memang orangnya tegas. Tapi kalau beliau sudah bicara setuju, berarti benar-benar mengizinkan. Aku bisa telepon beliau sekarang kalau perlu.”Raka berusaha meyakinkan Neina yang menurutnya tak percaya dengan kabar yang dibawa olehnya. Neina terdiam. Ingatannya terbang ke momen pertama kali Raka memperkenalkannya via panggilan video: sorot mata ibunya penuh selidik, senyumnya sopan namun kaku. Pertanyaan-pertanyaan mendet
Suara hak sepatu Neina beradu terburu-buru dengan lantai marmer lobi DS Company.Lalu melambat, seolah ada tangan tak kasatmata yang menahan pergelangan kakinya. Ia mendongak. Di depan meja resepsionis yang mulai sepi, Raka berdiri menunggu. Sosok jangkung itu mengenakan kemeja denim tipis yang digulung di siku, celana chino gelap, dan sepatu riding berwarna putih. Helm full-face hitam doff bertengger di lengan kirinya, sementara tangan kanan mengangkat segelas kopi take-away. Begitu matanya menangkap Neina, sudut bibirnya terangkat—senyum hangat yang membuat napas gadis itu tercekat sesaat.“Capek?” Raka bertanya pelan, suara beratnya meredam gemuruh pendingin udara.Neina mengangguk seadanya. “Sedikit.” Padahal ia nyaris runtuh, sebab semalaman ia bekerja bagai mesin, menutup laporan final Keandra yang harus segera selesai.Raka menyodorkan kopi. “Ada gula organik sedikit, bukan sirup. Biar tenaga keisi.”Neina menelan ludah. “Kamu hafal banget, Mas.” Ia menerima gelas kertas
Suara notifikasi pesan masuk dari ponsel Neina membuat suasana hening di ruang kerjanya yang kecil pecah. Neina melirik sekilas, senyum tipis terukir di bibirnya. Belum sempat ia membaca, sebuah suara enteng yang tiba-tiba terdengar.“Dari cowok kamu ya?” tanya Felix, sengaja mengalihkan pembicaraan serius yang baru saja ia mulai.Neina sontak menoleh, menatap Felix dengan sebelah alis pria itu terangkat nakal, tangan menyelip santai di saku celana, dan senyum menyebalkan yang langsung membuat kepalanya berdenyut. Entah kenapa, kehadiran Felix selalu punya daya magic untuk mengubah mood-nya dalam sekejap.“Astaga, Pak Felix,” gerutu Neina, mencoba menenangkan jantungnya yang masih berdebar. “Sejak kapan Anda jadi bagian dari divisi ‘kepo urusan orang lain’?”Felix menyeringai, melangkah masuk ke ruang kerja Neina tanpa diundang. Ruangan itu memang kecil, hanya cukup untuk satu meja kerja besar, rak file, dan sofa kecil di sudut. Tapi dengan kehadiran Felix, rasanya mendadak terasa
"Cincin itu…” Tatapan Eva menunjuk ke arah cincin yang melingkar di jari manis Neina yang terlihat begitu indah.Neina mengikuti arah tatapan mata sang teman. Ia tahu, kemana maksud yang dimaksud Eva. “Oh ini. Ini dari pacarku,” bohong Neina. Eba berusaha percaya pada Neina. “Itu berlian asli?” Rasa ingin tahu Eva dengan gosip yang senter menyebar berhasil membuat temannya itu terus mendesak pertanyaan pada Neina. “Berlian? Aku saja tak pernah tahu, apa itu berlian. Aku hanya dikasih, ya aku terima sebagai bukti jika Mas Raka benar-benar serius padaku. Hanya sebagai hadiah, jadi mana mungkin ini berlian.”Neina terlihat biasa saja saat menjawab. Bahkan ia sendiri pun tidak tahu, apa cincin yang ia gunakan itu berlian atau tidak. “Tapi gosip di perusahaan sangat ramai, Neina. Mereka bilang jika cincin yang kau gunakan itu cincin berlian. Jika benar, jadi kekasihmu sangat kaya, Nei.”Neina yang baru saja hendak menyuapkan sesendok nasi ke mulut nya itu terhenti. Menatap ke arah Eva
Langit Jakarta masih menggantungkan dengan awan tipis disertai terik matahari yang menyengat lapisan kulit. Neina memutuskan untuk kembali ke kantor. Jemarinya mengepal erat di atas pangkuan, sementara pemandangan di balik kaca mobil seolah kabur oleh pikiran yang berkecamuk. Udara siang itu, sepanas perasaan yang ia sendiri tak tahu sebab apa yang membuat hatinya gelisah. Perasaan tidak nyaman mengendap di dadanya. Ia mengalihkan pandangan ke jendela, berharap kejadian yang selalu datang bertubi dalam hidupnya itu bisa menghilang dan membuat pikirannya tenang untuk hari ini.DS Company tidak pernah benar-benar tidur. Bahkan setelah Keandra terbang mendadak ke Paris untuk menyusul Olivia—istri sahnya yang konon tengah “mengejar karir impian”—ritme perusahaan tak pernah melambat. Namun, yang berubah drastis adalah dinamika internalnya. Ketegangan menguar, sorotan tajam mengarah ke setiap sudut, dan ketidaktransparanan merayap seperti racun. Di tengah semua itu, Felix kini mengambi