Neya berdiri di balkon kamar, menatap langit malam yang begitu gemerlap bertebaran oleh bintang. Langit malam begitu indah, akan tetapi tak mampu mengurangi rasa gundah yang dia rasakan.Ini sebenarnya salah, namun Neya tak dapat lagi membendung sebuah rasa di dalam hatinya. Elvan, sosok laki-laki mapan dan juga sangat tampan yang tiba-tiba mempersunting dirinya entah mengapa kini mengisi seluruh ruang di hatinya, bahkan di sisa sudut hati-nya pun hanya terisi sosok laki-laki itu. Elvan bukanlah suami yang perhatian, bahkan cenderung mengabaikan dirinya, akan tetapi pesona yang ada pada diri laki-laki itu, sangat sulit Neya abaikan.Neya tahu apa yang dia rasakan itu salah, karena pernikahan yang mereka jalani hanya sebatas pernikahan kontrak, tidak lebih. Elvan sudah berbaik hati memberinya kehidupan yang layak dan menutup aibnya, seharusnya itu lebih dari cukup. Akan tetapi, masalah hati memang rumit, karena hati tak mampu berlogika.Malam ini, hati Neya begitu gundah. Sikap Elvan ya
"Apa kau bilang? Besok? Kau sudah hampir satu bulan menikah dengannya, dan tidak satu hari pun pernah kau luangkan waktumu bersama Neya. Lalu sekarang, dengan mudahnya kau mengatakan besok?""Apa ada yang salah?" balas Elvan sembari mengecek beberapa berkas di meja kerjanya."Astaga, kasihan sekali hidup Neya. Sudah direnggut kesuciannya olehmu, lalu kau sia-siakan setelah menikahinya. Tanggung jawabmu itu sungguh palsu, Bos." Dewa berkata sambil menggelengkan kepalanya, saat melihat Elvan yang terlihat cuek, dan hanya fokus pada berkas yang ada di tangannya. Laki-laki itu, kemudian berlalu sambil mendengus kesal pada Elvan yang seolah sudah menulikan telinganya."Satu lagi, lebih baik cepat kau beri tahu pada Neya jika kau adalah ayah kandung dari janin yang ada di dalam kandungannya. Jika semakin lama hal ini dibiarkan, bisa saja ada masalah lain yang datang dalam rumah tangga double-mu, Bos," seru Dewa sebelum menutup pintu ruang kerja Elvan.Setelah Dewa keluar dari ruangan terseb
"Tapi Nyonya, Tuan harus tahu. Bagaimana kalau sesuatu terjadi sama Nyonya?""Aku nggak apa-apa, Bi. Lebih baik Bi Murni panggil dokter aja.""Saya sudah memanggil dokter, Nyonya. Saya sudah memencet tombol itu, sekarang saatnya saya kasih tahu Tuan Elvan.""Bi Murni ...."Wanita paruh baya itu mengabaikan perkataan Neya, dan berusaha menghubungi majikannya, Elvan.****Sementara itu, Elvan yang baru saja sampai tampak terkejut saat melihat ada mobil asing yang terparkir. Begitu pula, saat masuk ke dalam mansion. Dan benar saja, di mansion tersebut ada tamu yang kemungkinan diundang oleh orang tuanya.Mereka adalah Om Danu dan Tante Hana, sahabat baik orang tuanya. Dan wanita muda yang bersama mereka dipastikan adalah Larisa. Elvan masih cukup mengingat siapa wanita itu. Saat mereka masih kecil, dia dan Larisa sering bermain bersama saat. Akan tetapi, saat Larisa duduk di bangku sekolah menengah, wanita itu memutuskan untuk melanjutkan studinya di luar negeri, Elvan tebak kemungkinan
Sudah setengah jam lamanya, Elvan duduk di samping brankar Neya. Akan tetapi kedunya larut dalam keheningan, tak ada sepatah kata pun yang terucap, tak ada alunan kalimat yang terlontar dari bibir keduanya. Netra Neya tampak berpura-pura sibuk menonton televisi, sedangkan Elvan hanya mengamati gerak-gerik wanita itu.Rasa bersalah itu begitu berkecamuk di dalam dada, hingga membuat bibir Elvan seakan terkunci, terkadang laki-laki itu membuka mulutnya, namun tenggorokannya seakan tercekat, bibirnya pun begitu kelu, bahkan hanya untuk mengucapkan sebuah kata rasanya begitu sulit. Sebut saja Elvan bodoh karena tak tahu harus memulai dari mana dan berkata apa.Bagi Elvan, kesalahannya begitu besar, dan dia baru pernah dalam situasi seperti ini. Hubungannya dengan Aileen tidaklah pernah serumit ini, karena Elvan selalu menjaga Alieen. Ya, Aileen bukanlah Neya yang selalu diabaikan olehnya."Maaf ...." Kata yang seharusnya sudah Elvan ucapkan sejak awal kedatangannya akhirnya terucap. Neya
Kilau cahaya mentari menerpa kelopak mata Neya, membuat wanita itu perlahan membuka matanya. Namun, saat menyadari jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 8 pagi, seketika Neya merasa kesal pada dirinya sendiri. Malam ini, untuk pertama kali Elvan menghabiskan malam bersamanya, akan tetapi Neya sudah bangun kesiangan seperti ini. Apalagi saat tidak mendapati Elvan di ruangan tersebut. Dia tidak ingin, Elvan mengira dirinya istri yang malas."Astaga, apa yang aku lakukan? Kenapa malah bangun kesiangan gini sih? Jangan-jangan Mas Elvan pergi lagi karena illfeel punya istri kaya aku." Neya menghela napas, wajahnya ditekuk, sembari mengingat kejadian tadi malam yang membuatnya tidak bisa tidur karena terlampau asyik menatap suaminya yang sedang terlelap.Meskipun jarak usianya dengan Elvan, sangatlah jauh. Akan tetapi bagi Neya, suaminya tampak begitu menarik. Laki-laki dewasa itu terlihat begitu matang, dan memiliki aura yang sangat sulit Neya tepis untuk berhenti mengagumi. Apalagi, suar
"Apa?" Vera memiringkan kepala, seraya mengerutkan keningnya. Elvan pun mengangguk."Iya Ma, dia istri keduaku, namanya Neya. Saat ini, dia sedang mengandung anak kami.""Dari keluarga mana?" sahut Vera beberapa saat kemudian, setelah cukup lama terdiam, dan berhasil menata kembali hatinya untuk menerima kenyataan yang dia hadapi."Orang tuanya ada di desa, Ma. Di daerah perkebunan.""Pemilik perkebunan?" Elvan menggeleng. "Cih, apa kau sedang becanda? Elvan, mama tidak mempermasalahkan pernikahan keduamu ini, karena mama pun juga tidak yakin dengan Aileen. Tapi, seharusnya kau juga berpikir tentang asal usul wanita yang kau nikahi, kau jangan sembarangan dalam mengambil keputusan. Apa kau lupa, anakmu adalah calon pewaris keluarga kita dan kau tidak boleh bertindak asal seperti ini!'Elvan menggenggam tangan Vera. "Ma, tolong terima Neya, saat ini dia sedang mengandung anakku, cucu mama. Mama menginginkan cucu, 'kan?" "Iya, tapi tidak dari rahim wanita kampung seperti itu! Bisa-bis
Neya masih terdiam sembari menatap Vera dengan tatapan penuh tanda tanya. Dia memang belum bisa sepenuhnya mencerna apa yang dikatakan oleh mertuanya itu. Neya mengerti jika Vera mengajaknya bekerja sama, tapi kerja sama apa yang dimaksud oleh Vera, Neya belum bisa sepenuhnya memahami itu."Kenapa kamu diem? Kamu takut Elvan masuk ke ruangan ini? Kamu tenang aja, mama sudah menyuruhnya pergi keluar membeli buah-buahan untukmu. Mama sengaja melakukan itu agar kita bisa bicara berdua. Jadi, bagaimana penawaranku?""Sa-saya ....""Tak usah berpura-pura Neya, aku tahu kalau putraku Elvan pasti masih mengutamakan Aileen, karena itulah aku di sini untuk menawarkan kerja sama agar Elvan bisa sepenuhnya memberi perhatian padamu. Dan kau juga harus tahu, kalau aku melakukan semua ini bukan untukmu, aku memang belum bisa menerimamu sebagai menantuku, tapi aku melakukan semua ini demi cucuku. Aku tidak mau menambah beban pikiranmu yang bisa berdampak buruk bagi kesehatan cucuku."Neya mengangguk
Membaca pesan yang dikirimkan Neya, Vera menggelengkan kepalanya lalu menatap Elvan dan Aileen secara bergantian. Sebenarnya, wanita itu cukup terkejut dengan keberadaan Elvan pagi ini di rumah tersebut, dan ketika dia menanyakan hal itu, putranya hanya menjawab jika tadi malam Aileen menghubunginya karena sakit perut. Lagi, dan lagi Aileen selalu saja menjadi penghalang rencananya, begitu yang ada di dalam benak Vera.Wanita paruh baya itu menghela napas seakan melepaskan rasa penat di dada, lalu beranjak dari meja makan menuju ke kamarnya untuk menghubungi Neya, meninggalkan Aileen dan Elvan yang sedang asyik bercengkrama sembari menyantap sarapan paginya. Setelah Vera masuk kamar, Aileen tersenyum kecut.Vera beberapa kali menghubungi Neya, tetapi wanita itu tak menjawab panggilan darinya. Hingga hampir lima belas menit lamanya, sebuah suara yang terdengar begitu putus asa, terdengar di ujung sambungan telepon itu. Dari suaranya saja, Vera bisa menebak bagaimana perasaan Neya.[Halo