"Kami harus segera melakukan operasi, lebih baik Tuan segera mengurus persyaratan administrasinya," sambung dokter tersebut. Dewa pun mengangguk lemah sambil memejamkan mata. Sekuat tenaga dia mencoba menata hati dan kembali pada kewarasannya."Tolong selamatkan istri saya ....""Saya akan berusaha semaksimal mungkin, Tuan."Setelah itu, Luna dikeluarkan dari bilik ruang emergency. Mereka membawanya ke ruang operasi, sedangkan Dewa menunggu di luar ruangan tersebut.Dewa menunggu dengan gelisah. Saat ini, laki-laki itu tampak berjalan mondar-mandir. Sesekali dia mengucapkan doa. Hingga tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang memanggilnya."Dewa ...!" Laki-laki itu pun menoleh, melihat Santi, ibunya yang saat ini sedang berjalan cepat ke arahnya. Dewa memang memberi kabar pada Santi, jika Luna mengalami kecelakaan. Hanya pada Santi saja, karena dia pikir satu-satunya orang yang dia percaya adalah ibu kandungnya sendiri."Bagaimana keadaan Luna?""Untuk saat ini, aku nggak tau, Ma
"Neya, Elvan? Kalian di sini?""Iya Tante, kami mengambil hasil test kesehatan Papa yang tertinggal. Dewa, kamu kenapa?" balas Elvan beri menatap Dewa dengan tatapan penuh tanda tanya. Wajah Dewa tampak begitu sendu dan tidak bersahabat.Dewa pun mengangkat wajah, dan melihat Elvan dan Neya yang saat ini berdiri di depannya. Lelaki itu hanya diam, tak menjawab sama sekali. Hanya ada gurat sendu di wajahnya."Luna mengalami kecelakaan, dan bayi yang ada di kandungnya tidak bisa diselamatkan.""Astaga ...." Kedua pasangan suami istri itu, menatap Dewa iba. Elvan kemudian duduk di samping Dewa, dan menepuk bahunya."Semua orang pernah pernah berbuat salah. Kau bahkan pernah menjadi saksi mata kesalahan fatal yang kulakukan, bukan?"Dewa tak menjawab, tapi hati terdalamnya membenarkan perkataan Elvan. "Minta maaflah dengan kesungguhan hatimu. Jika Luna belum bisa memaafkanmu, teruslah berusaha sampai pintu maaf terbuka untukmu."Laki-laki itu pun mengangguk. "Terima kasih, Elvan."Beberap
Awan hitam, menggantung di langit malam, kian menambah gelap suasana malam yang begitu sepi. Dalam temaram cahaya lampu penerangan jalan desa, seorang gadis berusia 19 tahun, Arneya Devanka yang baru saja pulang dari tempatnya bekerja di sebuah mini market, tampak mengayuh sepedanya di tengah jalan berbatu nan berkabut. Jarum jam baru menunjukkan pukul 9 malam, akan tetapi jalan setapak yang bagian kanan dan kirinya adalah kebun teh itu tampak begitu sunyi.Di jalan yang gelap itu, tidak ada satu orang pun yang dia temui. Memang, malam ini jauh lebih sepi dan dingin, dari biasanya. Sejak siang, hujan turun begitu deras, dan sekarang gerimis pun sudah kembali menyapa, membuat hawa terasa begitu dingin. Orang-orang pasti lebih memilih untuk tidak keluar rumah dan mengistirahatkan tubuhnya dalam peraduan."Astaga, sudah gerimis? Aku harus cepat sebelum hujan turun," gumamnya, seraya mempercepat kayuhan sepedanya. Akan tetapi, rintik gerimis itu kini sudah berubah menjadi tetesan hujan yan
Setelah mengenakkan pakaiannya, Neya bergegas keluar dari gubug, sinar hangat mentari telah menerpa, sebentar lagi, para pekerja perkebunan pasti mulai berdatangan ke kebun teh tersebut. Neya hanya bisa berharap, hidupnya ke depan, akan baik-baik saja, meskipun nyatanya pasti tidak mudah menjalani hidup dengan diselimuti rasa trauma, dan dia yakin, hal itu tidak akan hilang begitu saja, bahkan mungkin saja menyita seumur hidupnya.Hal yang paling menyakitkan saat ini, Neya merasa hidupnya sudah hancur dan kehilangan masa depan dengan situasi yang dialami. Dalam benaknya, mana ada laki-laki yang mau menerima keadaannya, seorang gadis miskin yang telah kehilangan kehormatannya.Neya berjalan menuju ke rumahnya, seraya menahan rasa sakit pada bagian inti tubuhnya, dia bahkan tak sanggup mengayuh sepeda itu dan memilih berjalan sambil menuntun sepedanya. Neya tampak sesekali meringis. Apa lagi, jalan yang dilaluinya adalah jalanan terjal berbatu, rasa nyeri seakan mengiringi langkahnya.Ta
"Maaf, maaf untuk apa Mas?" tanya Aileen seraya mengurai pelukannya, lalu menatap suaminya itu dengan tatapan tanda tanya, dia tak mengerti mengapa tiba-tiba suaminya meminta maaf, dan bersikap aneh setelah pulang dari luar kota."Mas, kamu kenapa sih? Kok tiba-tiba aneh gini? Minta maaf untuk apa sih, Mas?""Minta maaf karena aku pulang tanpa kasih kabar. Hahahahaha ... ""Ih, kamu nyebelin!" sahut Aileen, lalu mencubit perut Elvan yang tengah tersenyum sambil menatapnya dengan tatapan hangat. Tanpa Aileen tahu, di balik senyuman itu, suaminya tengah menahan rasa sesak di dada. Saat ini, Elvan memang memilih untuk menyembunyikan masalah yang sedang menimpanya, karena dia belum sanggup untuk mengatakan hal itu pada istrinya, sekaligus juga belum siap dengan resiko yang menimpa rumah tangganya."Ya udah masuk yak, Sayang. Aku kangen banget sama kamu!" Aileen pun mengangguk, lalu mengikuti langkah suaminya masuk ke dalam mansion tersebut.MalamnyaSaat ini, Elvan tengah berdiri di balkon
Satu Minggu KemudianElvan mengusap wajahnya dengan kasar saat mendapat informasi dari salah seorang anak buahnya yang mengatakan jika dia kehilangan jejak Neya.[Kenapa kau bodoh sekali, hah? Mengawasi seorang wanita saja tidak bisa! Aku tidak mau tahu, kau harus menemukan wanita itu secepatnya. Kalau tidak, aku tidak akan memberi ampun padamu!][Maaf Bos, satu minggu yang lalu suasana rumah wanita itu ramai sekali. Kami pikir ibunya sakit lagi, tapi ternyata Neya yang dibawa ke rumah sakit. Setelah beberapa hari ini kami amati, ternyata ibunya sudah hidup sendiri di rumah itu, dan keberadaan Neya masih misterius karena ibunya tidak mau mengatakan di mana Neya berada. Bahkan, sikap wanita tua itu begitu acuh, sekaligus ada amarah yang sepertinya dia pendam saat kami menanyakan Neya.][Apa? Marah?][Iya Bos, kemungkinan seperti itu.]'Astaga, apa yang sebenarnya terjadi?' batin Elvan.[Cari terus keberadaan Neya, besok aku akan pulang ke Indonesia untuk memastikan keadaan wanita itu.]
Sayup-sayup, Neya mendengar suara seorang pria yang memanggilnya. Sebenarnya, ada rasa terkejut di dalam hantinya karena di ibu kota ini, Neya tidak mengenal siapa pun. Setelah diusir oleh Lastri, berbekal uang yang dimilikinya, Neya memutuskan merantau ke ibu kota. Dalam benak Neya, di kota metropolitan itu, setidaknya dia memiliki harapan untuk mencari pekerjaan dan bertahan hidup, sekaligus membuka lembaran baru. Neya tak bisa terus tinggal di desa, bagi Neya itu sama saja mencoreng nama ibunya, dan gadis itu tidak mau membuat orang tuanya merasa malu atas aib yang dia tanggung.Di bawah guyuran hujan yang turun dengan derasnya, sebisa mungkin Neya ingin menajamkan penglihatan, mencoba mencari jawaban siapa laki-laki yang memanggilnya. Akan tetapi, rasa lapar sekaligus lelah membuat gadis itu merasa tidak berdaya. Perlahan Neya menutup matanya, tubuh lemasnya sudah tak mampu lagi bertahan dalam kesadaran.Sementara itu, melihat Neya yang mulai tak sadarkan diri, laki-laki yang hamp
Elvan mengulum senyum mendengar perkataan polos yang terlontar dari bibir Neya. "Apa anda malaikat pencabut nyawa? Ternyata malaikat pencabut nyawa itu cukup tampan. Tapi kenapa selalu digambarkan dengan sosok yang menyeramkan?"Elvan semakin terkekeh, lelaki tampan itu merasa terhibur dengan tingkah lucu Neya. Akan tetapi, juga merasa lega jika gadis itu ternyata tidak mengenalnya sebagai laki-laki yang telah merenggut kesuciannya. Meskipun memang terlihat miris dan pengecut, sebuah tawa di depan wanita yang telah dia sakiti.Neya ...Wanita yang malangNeya ...Wanita yang telah dia renggut kesuciannyaDan Neya ...Wanita yang sedang mengandung darah dagingnya.Sebenarnya Elvan bingung, sekaligus gugup harus bagaimana cara memulai percakapannya dengan Neya. Melihat Neya tak sadarkan diri saja membuat pikirannya buntu dan Elvan yakin, gadis itu pasti telah melewati hal yang berat karenanya, apalagi saat ini Neya sedang mengandung darah dagingnya, pasti bukan hal yang mudah, hidup send