Share

Bertanggung Jawab

Dia yang seharusnya memimpin Djaka Group karena dia lebih tua. Tapi ayahnya tidak berguna karena tidak memiliki suara di dewan direksi dan hanya tahu berfoya-foya hingga kepemimpinan perusahaan utama jatuh di tangan Baskara setelah orang tuanya meninggal kecelakaan.

“Kenapa datang ke kantorku?” Gading bertanya sambil tersenyum menahan rasa kesal di hatinya.

Baskara berdeham dan memasukkan tangannya di saku berpura-pura acuh tak acuh. “Aku datang untuk melihat kinerjamu.”

Baskara tidak bisa mengatakan bahwa dia datang karena mendengar Dhara dipanggil oleh Gading dan rumor yang beredar di antara para karyawan.

“Apa kinerjaku jelek?” Gading menggertak gigi.

Baskara duduk di sofa yang disediakan di ruang kantor Gading. Gading menyusul dan duduk di sofa lain.

“Hotel Alam Garden nggak mengalami peningkatan pesat sejak setelah tiga tahun kamu mengambil ahli. Bahkan cenderung menurun dibandingkan tahun-tahun sebelum kamu mengambil ahli. Jika kamu nggak mengelola dengan baik, Hotel Alam Garden akan merosot dan disaingin hotel-hotel lain.”

Gading tertawa kaku dan mengibaskan tangannya. “Lagi pula ini hotel kecil dan tidak sebanding dengan yang di Jakarta. Mana mungkin bisa berkembang. Aku masih kesal dewan direksi itu mengirimku untuk mengurus hotel kecil dan nggak berkembang ini,” ujar Gading.

Dia benci tinggal jauh dari Jakarta dan harus mengurus hotel kecil ini. Jika Baskara bukan CEO Djaka Group, dia ingin melempar stik golf ini ke kepalanya.

Beraninya bajingan itu sombong di depannya dan mengkritik!

“Karena itu aku akan melimpahkan Hotel Alam Garden pada seseorang  yang lebih kompeten,” balas Baskara.

Mata Gading menyipit. “Kamu berkata seolah-olah aku nggak kompeten. Kamu ingin menggantikan aku dengan orang lain?”

“Benar.”

“Baskara, kamu sungguh meremehkan aku ya? Setelah menjadi CEO Djaka Group kamu sudah terang-terangan eremehkan aku? Apa kamu pikir Djaka Group milikmu sendiri?” Gading memelototinya. Tangannya mengepal.

Baskara tersenyum tipis. “Aku nggak meremehkan kamu. Kamu bilang hotel ini kecil dan kamu nggak bisa mengembangkannya. Jadi aku menyarankan untuk diserahkan pada orang lain dan kamu bisa beristirahat dari pekerjaanmu.”

Gading mendengus kesal. “Jangan main-main. Aku nggak mau meninggalkan jabatanku kecuali aku kembali ke Jakarta dan menjadi salah satu direktur Djaka Group.”

Baskara menghela napas dan berdiri. “Maaf ini sudah jadi keputusan Dewan Direksi. Kamu harus meninggalkan jabatanmu di Hotel JAlam Gardendan beristirahat. Keputusannya akan tiba minggu depan. Kamu sebaiknya bersiap.”

Baskara berhenti sejenak lalu berkata. “Kamu sebaiknya bersihkan rumor sedang menyebar di hotel agar nggak merusak nama baikmu dan menjaga kinerja karyawa agar nggak turun karena gosip.”

Setelah mengatakan itu Baskara berbalik pergi.

“Omong-omong Baskara ....” kata Gading menghentikan langkah kaki Baskara.

“Apa kamu beristirahat dengan nyaman tadi malam?” Gading menatap punggung  Baskaratajam dan menyeringai.

Baskara berbalik dan tersenyum tipis. “Ya, aku beristirahat dengan baik. Kenapa?”

“Tidak, hanya saja, kamu nggak ada di kamarmu, di kamar 1990.”

Gading sangat kecewa rencananya gagal semalam mengirim seorang pelacur dengan penyakit AIDS pada Baskara karena pria itu tidak ada di kamarnya.

“Soal itu aku ada pertemuan dengan teman-temanku dan meninggalkan hotel,” kata Baskara datar.

“Oh begitu. Kamu harus telepon istrimu . Semalam dia meneleponku bertanya tentang kamukarena dia nggak bisa hubungi kamu.”

Baskara mengangguk dan berbalik pergi. Wajah Baskara langsung berubah dingin dan sorot matanya menjadi tajam.

Jadi benar Gading yang meracuni minumannya semalam.

Baskara mendengus dingin masuk ke lift dan turun ke lantai satu. Dia membuka ponselnya dan melihat ada sejumlah panggilan tak terjawab dari istrinya, Veera.

Lift berhenti di lantai 5 dan pintu lift terbuka. Namun tidak ada yang masuk.

Baskara mendongak memandang ke depan. Raut wajah berubah melihat Dhara mematung di depan lift. Dia sudah mengganti seragam karyawan hotel dengan pakaian biasa.

Baskara berdeham dan menyimpan ponselnya. Dia menahan pintu lift yang hendak tertutup.

“Kenapa nggak masuk?”

Dhara juga tersadar dari keterkejutannya. “Nggak usah Pak. Bapak aja yang duluan. Saya akan naik lift berikutnya,” balas Dhara sopan dan acuh tak acuh.

“Lift ini kosong dan luas. Masuklah.”

“Saya akan naik lift berikutnya aja, Pak.”

“Masuklah, aku nggak menggigit.”

Dhara diam-diam menatapnya sambil menggertakkan gigi. Dia tidak lupa perlakuan pria itu di kamar hotel.

“Saya takut sama Bapak.”

“Kenapa? Aku bukan monster.”

Dhara tersenyum. “Bapak lupa bapak sudah melecehkan saya semalam. Saya masih takut sama Bapak.”

Baskara berkedip dan menatap ke sekitar. Untung hanya ada mereka berdua di sekitar situ.

“Masuklah,” perintahnya.

Dhara menggeleng dan berbalik hendak pergi.

Baskara tiba-tiba mendekat dan meraih lengan Dhara sebelum menariknya masuk ke dalam lift.

Dhara menjerit dan meronta.

“Shuttt tenanglah.” Baskara mendekap tubuh mungilnya dan menutup mulut gadis itu.

Dhara justru menjerit semakin keras dan menggigit telapak tangan Baskara.

Baskara meringis dan mendorong gadis itu ke sudut lift. Dia menekan tombol tutup di lift dan membekap mulut Dhara.

“Diamlah Dhara!” desisnya menatap gadis itu tajam.

Dhara berhenti berteriak mendengar pria itu menyebutkan namanya dengan akrab. Dia menatap Baskara dengan mata memerah dan berhenti berteriak.

“Bapak terlalu dekat, tolong menjauh dari saya,” ujarnya mendorong dada Baskara.

Baskara menjauh sedikit dan berdeham. “Aku minta maaf atas sikapmu semalam. Semalam aku mabuk dan berperilaku kurang ajar. Aku akan bertanggung jawab, berapa uang kamu inginkan.”

Dhara menatapnya sambil menggertakkan gigi. “Bapak pikir semua bisa dibeli uang? Apa aku terlihat perempuan murahan yang menginginkan uang?”

Baskara tanpa ekspresi. “Lalu apa yang kamu mau? Kamu ingin aku nikahi kamu? Maaf, aku sudah menikah.”

Dhara tahu itu, tapi mendengar dari pria itu secara langsung sangat menyakitkan.

Dia mengedipkan matanya berusaha agar air matanya tidak mengalir. “Aku nggak butuh apa-apa dari Bapak. Bapak nggak usah khawatir. Lagian nggak terjadi apa-apa semalam. Kita nggak pernah tidur bersama.”

Mata Baskara berkedip mendengar ucapannya. “Kamu … kamu nggak ingat?”

“Ingat apa?”

Baskara terdiam sesaat.

“Lupakan. Aku akan tetap harus bertanggung jawab. Apa kamu ingin pekerjaan lain atau mengalami kesulitan? Aku akan berusaha membantu.”

Dhara menatap Baskara. “Aku cuma mau Bapak nggak muncul di depan saya. Hanya itu saja.”

Setelah pria itu menghancurkan hatinya, Dhara mati-matian belajar dan bekerja seperti orang gila selama empat tahun agar bisa melupakannya.

Baskara tidak tahu betapa hancur dan gilanya dia setelah diputuskan begitu saja demi menikah dengan wanita lain. Tapi dia muncul di depannya dan merendahkannya seperti semalam.

Baskara menatapnya muram dan mendengus. Dia meraih tangan Dhara, “Mari kita ke rumah sakit.”

“Buat apa Bapak membawa saya ke rumah sakit?”

“Ada yang harus aku periksa padamu,” balas Baskara menatap tubuh Dhara.

Dhara menutup dadanya dan melotot melihat mata Baskara tertuju pada tubuhnya.

“Apa yang harus diperiksa pada saya? Nggak ada yang perlu diperiksa. Bapak orang aneh!” Setelah mengatakan itu, Dhara tidak ingin berlama-lama berduaan dengan Baskara. Jika tidak, tangan gatalnya untuk menampar pria itu.

Begitu lift sampai di lantai satu, Dhara berlari pergi.

Baskara memandang punggungnya dan mendesah muram.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status