“Pa .. Pak Gading mencari saya? Mengapa?” Dhara cemas.
Rekannya menatapnya dengan tatapan aneh.
“Kenapa nggak datang saja ke kantor Pak Gading. Jangan buat Pak Gading menunggu.”
Dhara mengangguk enggan dan berbalik pergi menuju ke kantor Pak Gading.
Rekannya tiba-tiba menahan lengan Dhara.
“Omong-omong Dhara, apa itu benar?”
Dhara menatapnya dengan senyum yang dipaksakan. “Tentang apa?”
“Ada rumor yang bilang kamu tidur dengan Pak Gading. Itu nggak benar, kan?”
“Itu nggak benar. Siapa yang nyebarin aku tidur dengan Pak Gading? Apa ada yang lihat aku tidur dengan Pak Gading?” desis Dhara menggertakkan gigi.
Rekannya tertawa kaku. “Itu hanya rumor, jangan marah. Tapi yah, ada yang bilang kamu keluar dari kamar president suite tengah malam dengan penampilan berantakan. Lalu Fahron ... dia bilang semalam kamu ke kamar Pak Gading untuk mengantar dokumen. Jadi yahh ada rumor yang tersebar kalau kamu dan Pak Gading ….” rekannya tidak melanjutkan kalimatnya dan menatap Dhara dengan tatapan ingin tahu.
Dhara menggertakkan gigi. Dia sangat membenci Fahron. Pria itu menjebaknya untuk menghancurkan reputasinya.
“Itu nggak benar. Pak Gading bersama perempuan lain semalam.” Setelah mengatakan itu Dhara meninggalkan rekannya.
Dhara berhenti di depan pintu kantor Pak Gading dan menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu kantor.
“Pak Gading, ini saya Dhara.”
“Masuk.” Suara berat menyahut dari dalam.
Dhara membuka pintu kantor Direktur Hotel J dan masuk. Ini pertama kali dia masuk ke kantor Direktur setelah dua tahun bekerja.
Pak Gading duduk di kursi kebesarannya dan mengusap-ngusap tongkat golf dengan santai alih-alih menangani dokumen yang menumpuk di atas mejanya.
“Pak Gading, saya dengar Anda memanggil saya. Ada apa, Pak.” Dhara bertanya dengan sopan di depan meja kerja.
Gading memutar kursinya menghadap Dhara dan tersenyum.
“Dhara ... hm, apa kamu dengar rumor yang beredar di hotel saat ini? Mereka bilang kita tidur bersama. Bagaimana bisa?” Gading berkata dengan blak-blakan.
Ekspresi Dhara tampak kaku.
“Maafkan saya Pak. Ini kesalahpahaman yang dibuat Fahron. Saya akan mengklarifikasi ini pada rekan-rekan saya agar mereka berhenti menyebar rumor itu. Tolong maafkan saya Pak.” Dhara menunduk dengan ekspresi menyesal.
Gading tertawa terbahak-bahak dan berdiri dari kursinya sebelum berhenti di depan Dhara.
“Biarkan saja.” ujarnya, dengan menatap Dhara dengan pandangan yang sulit diartikan.
Dhara mengerutkan keningnya. Dia berdiri tidak nyaman dan sangat ingin mundur karena Pak Gading berdiri sangat dekat dengannya.
“Maksud Bapak apa?”
“Kamu ingat kita bertemu semalam?”
Dhara menggangguk.
“Aku nggak mau kamu menyebutkan tentang apa yang kamu lihat sama siapa pun. Perempuan yang kamu lihat bersamaku adalah istri orang.” Dia mengedipkan matanya pada Dhara.
Dhara tersentak menatapnya dengan mulut menganga.
Jadi Pak Gading berselingkuh dengan istri orang lain?
“Aku nggak mau ada yang tahu aku bersama perempuan itu tadi malam. Jadi nggak papa orang lain bergosip aku bersamamu semalam.”
Dhara mengerut kening.
“Meski pun begitu Pak, saya nggak mau dituduh tidur dengan atasan. Maafkan saya, saya harus membantah rumor itu,” ujar Dhara menundukkan kepala.
Gading menatapnya dengan alis terangkat. “Mengapa? Bukankah sama saja karena kamu sudah tidur dengan orang lain semalam? Aku nggak seburuk itu loh, kamu harus bangga karena dirumorkan tidur denganmu. Jika kamu senangkan aku ....”
Gading berhenti sejenak dan mengulurkan tangannya memegang pinggang Dhara dan berbisik di telingannya. “Aku bisa menjamin kamu naik jabatan dan dapat gaji besar.” Setelah mengatakan itu dia sengaja meremas pinggang Dhara dan menyentuh pantatnya.
Dhara menegang panik. Dia mendorong dada Gading menjauh dan mundur dengan cepat.
Gading terdorong ke belakang dan panggulnya menabrak meja dengan keras.
“Aish! Sialan!” Gading mengumpat kasar.
Dhara membelalak panik dan buru-buru minta maaf. “Maafkan saya, Pak!”
Gading melotot marah dan meraih kerah bajunya sambil mengangkat tangan. “Dasar perempuan jalang! Kamu pikir kamu siapa berani mendoro—“
“Gading, apa yang kamu lakukan?”
Sebuah suara tiba-tiba menginterupsi membuat tangan Gading terhenti di udara.
“Baskara!” Gading langsung melepaskan cengkeremannya di kerah seragam Dhara dan menyapa Baskara.
“Kenapa kamu di sini? ketuk pintu dong sebelum masuk.”
Baskara tidak menanggapinya. Dia memandang punggung Dhara yang membelakanginya. Pundak gadis itu bergetar pelan.
“Apa yang terjadi? Bukankah dia Nona Dhara yang mengajukan proposal Proyek Taman Air?”
Gading tersenyum acuh tak acuh. “Ya, Dhara membuat kesalahan dan aku harus mengajarinya pelajaran.”
Dia kemudian memelototi Dhara. “Pergilah.”
Dhara menahan air mata dan gemetar ditubuhnya sambil mencengkeram bagian depan bajunya yang dicengkeram Gading.
“Baik Pak.” Dia berbalik dan berhenti sejenak menatap Baskara sebelum berjalan melewati pria itu dengan kepala tertunduk.
Begitu Dhara pergi, Baskara menatap Gading tajam. “Apa yang kamu lakukan? Kamu memukul karyawan perempuan?”
Gading tertawa sepele. “Aku hanya memberinya pelajaran. Nggak usah dipikirin. Dia sendiri yang salah. Aku hanya menawarkan bantuan dan dia berani bersikap kurang ajar.”
“Walaupun begitu kamu nggak berhak memukul seorang karyawan, apalagi perempuan Gading,” desis Baskara.
“Memangnya kamu tahu tentang karyawan itu? Kami digosipkan tidur bersama tadi malam. Tadi jalang itu sok suci. Dia tidur dengan orang lain tapi menolak digosipkan denganku. Aku sudah berbaik hati menawarkan gaji besar tapi dia jual mahal.”
Baskara tertegun sesaat sebelum memelototi Gading. “Apa kamu menawarkan agar dia ‘melayani’mu?”
Dia sangat mengenal tabiat sepupunya yang suka melecehkan perempaun dan hidung belang.
Gading berdeham dan mendengus. “Mengapa kamu peduli sama karyawan kecil itu? Jangan ngurusin masalahku. Hotel Alam Garden berada di bawah naunganku. Jangan khawatir aku nggak sampe mukul karyawan, aku nggak merugikan Djaka Group. Aku juga kesal digosipkan tidur dengan karyawan rendahan,” gerutu Gading berpura-pura kesal.
“Perempuan jalang itu enak sekali tidur dengan tamu VIP, tapi memanfaatkan namaku untuk menutup skandalnya. Namaku dan Hotel Alam Garden yang rusak jika berita ini menyebar keluar.”
Baskara mengepalkan tangannya dan menatap Gading muram.
“Bantah rumor itu dan tutup mulut semua orang yang menyebar rumor.”
Gading memutar mata. “Jangan memerintahku. Aku tahu apa yang harus dilakukan,” ujarnya kesal.
Gading yang paling tua dari Baskara, tapi sepupunya itu sok-sokan memerintahnya hanya karena dia CEO dari perusahaan utama.
Mereka sama-sama dari keluarga Djakaharto, tapi hanya Baskara yang memimpin perusahaan utama di usia yang sangat muda sementara Gading yang berusia 33 tahun hanya mengelola hotel kecil di Surabaya. Dia sangat membenci Baskara.
Dia yang seharusnya memimpin Djaka Group karena dia lebih tua. Tapi ayahnya tidak berguna karena tidak memiliki suara di dewan direksi dan hanya tahu berfoya-foya hingga kepemimpinan perusahaan utama jatuh di tangan Baskara setelah orang tuanya meninggal kecelakaan.“Kenapa datang ke kantorku?” Gading bertanya sambil tersenyum menahan rasa kesal di hatinya.Baskara berdeham dan memasukkan tangannya di saku berpura-pura acuh tak acuh. “Aku datang untuk melihat kinerjamu.”Baskara tidak bisa mengatakan bahwa dia datang karena mendengar Dhara dipanggil oleh Gading dan rumor yang beredar di antara para karyawan.“Apa kinerjaku jelek?” Gading menggertak gigi.Baskara duduk di sofa yang disediakan di ruang kantor Gading. Gading menyusul dan duduk di sofa lain.“Hotel Alam Garden nggak mengalami peningkatan pesat sejak setelah tiga tahun kamu mengambil ahli. Bahkan cenderung menurun dibandingkan tahun-tahun sebelum kamu mengambil ahli. Jika kamu nggak mengelola dengan baik, Hotel Alam Garden
Dhara mengambil tiga hari cuti dari tempat kerjanya. Pada hari ketiga, Dhara masuk kerja dan untunglah dia mendengar dari gosip karyawan lain bahwa CEO Djaka Group sudah meninggalkan hotel dan kembali ke Jakarta.Sebelum mulai kerja Dhara dipanggil ke kantor Pak Sarman.“Maaf Dhara, kamu nggak bisa bekerja hari ini. Kamu sudah diberhentikan,” ujar Pak Sarman menatap Dhara sambil menghela napas.Dhara terkejut dan cemas. “Kenapa Pak? Apa saya membuat kesalahan?”Proposalnya baru saja diterima dan akan menerima bonus, mengapa dia tiba-tiba dipecat?“Ini perintah Pak Gading karena masalah rumor kemarin membuat gaduh di antara para karyawan hotel dan merusak nama baik hotel. Ada yang bilang kamu menggunakan koneksi dengan Pak Gading untuk naik jabatan. Banyak para karyawan yang protes.”“Tapi itu kan nggak benar, Pak! Saya nggak dekat dengan Pak Gading dan kejadian malam itu nggak benar dan kesalahpahaman yang dibuat Fahron ....” Dhara panik dan hampir menangis.“Aku tahu dan aku menger
“Kamu benar ... kenapa juga aku harus hindari dia,” gumam Dhara merenung. Berarti selama empat tahun ini sia-sia dia selalu menangis dan mengingat rasa sakit yang diberi Baskara setelah dicampakkan demi menikahi wanita lain.Temannya menghela napas di ujung telepon. “Kamu harus move on Dhara. Jangan gamon terus. Cowok di dunia nggak cuma si Baskara doang.”Dhara berkata sedih. “Kamu nggak pernah ngerasain mencintai seseorang begitu dalam dan menjalin hubungan selama tiga tahun, tiba-tiba dicampakkan dan dia menikah dengan orang lain.”Dhara rasanya ingin kembali menangis mengingat masa-masa pahit saat itu. Empat tahun belum cukup untuk mengobati hatinya.“Oke, oke, aku nggak mau bertengkar dengan orang yang gamon banget.”Rara sudah sering menjadi tempat curhat Dhara. Awalnya bener-benar merasa ikut sakit sampai dia ingin memukul kepala si Baskara. Tapi kelamaan juga bisa membuat orang muak.“Kalau pun kamu masih sakit hati, kamu bisa balas si Baskara. Rayu dia dan buat dia cerai dari
Dhara menahan napas gugup melihat sosok Baskara yang berdiri di depannya dengan begitu mengintimidasi.Dia mengangkat kepala mencoba terlihat berani.“Saya sudah bilang sedang wawancara di sini. Pak Sarman merekomendasikan saya ke perusahaan pusat.”“Benarkah? Bukan karena kamu sengaja kerja di sini untuk merayuku?” cemooh Baskara.Dhara marah mendengar ucapan Baskara. Dia ingin mendamprat pria itu tapi kemudian ingat bahwa Baskara bos besar perusahaan ini sementara dia sedang mencari pekerjaan di perusahaannya.Dia mencoba tersenyum sopan.“Tolong jangan merendahkan saya. Saya akan melupakan kejadian bapak pernah melecehkan saya karena Bapak CEO di perusahaan ini.”Baskara tersenyum datar mendengar ucapan Dhara. Dia tiba-tiba menekan Dhara ke dinding lift dan menunduk berbisik di telingannya. ““Baiklah, lagipula aku sudah menikah dan punya istri. Jangan mencoba merayuku,” bisiknya dengan suara rendah menatap Dhara intens.Gadis itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca dan menggigit
“Kalau nggak salah itu karyawan laki-laki. Hanya ada dua kandidat yang wawancara. Tampaknya mbak yang di lift tidak lulus wawancara. ”Baskara terdiam. Sayang sekali.Baskara mendesah dan melambaikan tangannya pada sekretarisnya. “Kamu bisa kembali bekerja.”Terdengar suara ketuka dari pintu kantor Baskara.“Masuk.”Pintu terbuka dan sosok pria lain masuk yang tak lain adalah asisten Baskara, Rio Sanjaya yang berbicara dengan ramah pada Dhara di lift.“Pak, Karen kecelakaan mobil. Dia tidak masuk pagi ini. Suaminya baru saja menelpon minta cuti untuk istrinya,” ujar Rio berdiri di sebelah Hadi.Baskara dan Hadi terkejut.“Bagaimana keadaan Karen?” tanya Hadi bersimpati.Baskara memiliki satu sekretaris yaitu Hadi Prayoga serta dua asisten, Rio dan Karen. Karen baru saja menikah tiga bulan lalu.Rio meringis. “Mobilnya menabrak pembatas karena pengendara motor yang melanggar aturan lalu lintar. Suaminya bilang Karen syok hingga keguguran dan patah kaki. Suami Karen minta cuti tiga bul
Dhara menggigit bibir bawahnya dan dengan cepat menunduk. Dia berharap wanita itu tidak mengingatnya.“Oh, silakan Bu. Jangan pedulikan saya.”Wanita itu tersenyum lembut menepuk pundak Dhara lalu berjalan masuk ke dalam gedung. Sementara itu sopirnya, Pak Toni menatap Dhara jengkel lalu masuk kembali ke mobil dan meninggalkan halaman perusahaan.Beberap karyawan yang menonton sudah kembali bubar.Dhara menghela napas lega mengelus dadanya. “Mbak Dhara! Mbak Dhara! Tunggu sebentar!”Dhara berbalik mendengar seseorang memanggil namanya. Dia melihat Pak Bobby berlari tergesa-gesa keluar gedung perusahaan sebelum berhenti di depannya dengan napas terengah-engah.“Ada apa ya Pak?”Pak Bobby tersenyum lebar. “Mbak Dhara, bos kami mendadak mencari asisten sementara karena asisten sebelumnya kecelakaan hari ini. Apa kamu membawa surat lamaranmu?”Jantung Dhara berdegup penuh harapan. “Ya, saya bawa Pak,” balasnya menunjukkan map di tangannya.“Bagus, ayo ikut saya untuk wawancara.” Pak Bob
Keesokan paginya Dhara berangkat kerja lebih awal agar tidak terjebak macet.Dia mengenakan blouse biru laut dan rok hitam selutut yang dibeli secara daring. Dia mengenakan kartu ID karyawan berjalan di lobi perusahaan saat berjalan menuju lift, bersama karyawan lain. Suasana hati Dhara sangat cerah. Ini hari pertamanya bekerja sebagai asisten CEO perusahaan besar.“Halo, selamat pagi.” Dhara menyapa beberapa karyawan dan tersenyum ramah, mencoba berbaur.Para karyawan menatapnya acuh tak acuh. Mungkin karena mereka belum mengenal Dhara.Dhara tersenyum malu merasa di kancangi. Dia berdiri dengan grogi menunggu di depan lift melirik beberapa karyawan sibuk mengobrol dengan rekan-rekan mereka.Begitu lift terbuka semua orang masuk berbondong-bondong. Dhara terdorong ke sana kemari dan nyaris jatuh ke bawah.“Hati-hati ....”Dhara menoleh dengan cepat dan membelalak melihat Rio berdiri di belakang dan memegang lengannya, mencegahnya jatuh.“Pak Rio, makasih,” Dhara dengan cepat berdiri
Dhara melirik jam tangannya melihat sudah jam 12 Jam makan siang, lalu menatap ke arah kantor Baskara. Pria itu masih terlihat sibuk di mengetik sesuatu depan komputernya. Tidak ada tanda-tanda dia akan selesai atau istirahat.Dhara menoleh ke meja kerja Rio di sebelahnya.“Pak Rio, apa kita akan istirahat siang?”“Nanti, tunggu Pak Baskara keluar dari kantornya,” balas Rio mengalihkan pandangannya dari komputer dan mengingatkan Dhara. “Sebelum Pak Baskara keluar, kita belum bisa beristirahat.”“Ah, begitu ....” Dhara mengangguk mengerti. Dia melirik ke arah kantor Baskara sekali lagi dan mendesah. Dia merasa lapar tapi tidak berani pergi.Perutnya berkeroncong.Rio seolah bisa mendengar menoleh sambil tersenyum. “Kamu lapar?”Dhara spontan menggeleng. “Belum Pak.”Rio mengeluarkan sebuah roti dari laci mejanya dan menyerahkannya pada Dhara.“Makan roti ini.”Dhara malu dan menolak. “Nggak usah Pak.”“Nggak papa ambil saja.” Rio mengambil tangan Dhara dan meletakkan roti itu ke tangan