Share

Pindah ke Perusahaan Djaka Group

Dhara mengambil tiga hari cuti dari tempat kerjanya. Pada hari ketiga, Dhara masuk kerja dan untunglah dia mendengar dari gosip karyawan lain bahwa CEO Djaka Group sudah meninggalkan hotel dan kembali ke Jakarta.

Sebelum mulai kerja Dhara dipanggil ke kantor Pak Sarman.

“Maaf Dhara, kamu nggak bisa bekerja hari ini. Kamu sudah diberhentikan,” ujar Pak Sarman menatap Dhara sambil menghela napas.

Dhara terkejut dan cemas. “Kenapa Pak? Apa saya membuat kesalahan?”

Proposalnya baru saja diterima dan akan menerima bonus, mengapa dia tiba-tiba dipecat?

“Ini perintah Pak Gading karena masalah rumor kemarin membuat gaduh di antara para karyawan hotel dan merusak nama baik hotel. Ada yang bilang kamu  menggunakan koneksi dengan Pak Gading untuk naik jabatan. Banyak  para karyawan yang protes.”

“Tapi itu kan nggak benar, Pak! Saya nggak dekat dengan Pak Gading dan kejadian malam itu nggak benar dan kesalahpahaman yang dibuat Fahron ....” Dhara panik dan hampir menangis.

“Aku tahu dan aku mengerti Dhara. Aku sudah bantu menjelaskan pada Pak Gading dan bahkan menggunakan proposalmu, tapi yah ... Pak Gading nggak mau dengar dan bersikeras agar kamu dipecat,” jelas Pak Sarman menatap Dhara prihatin.

“Kamu tahulah Pak Gading itu ... suka seenaknya dan tidak kompeten mengurus hotel. Tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa karena hotel ini milik keluarganya.”

“Tapi Dhara ... selain gosip itu, apa kamu berbuat sesuatu yang menyinggung Pak Gading? Soalnya ini bukan kali pertama Pak Gading digosip dan membawa wanita seenaknya tinggal di hotel ini, Pak Gading nggak pernah semarah ini apalagi sampai pecat karyawan.”

Dhara mengingat kejadian di kantor Pak Gading dan mengepalkan tangannya. Dia menundukkan kepala tidak menjawab pertanyaan Pak Sarman.

Pak Sarman menghela napas dan tidak bertanya lagi.

“Tapi jangan khawatir, aku nggak memecat kamu dan kamu mengundurkan diri dengan suka rela. Dengan begini riwayat kerjamu nggak cacat dan kamu bisa melamar ke tempat lain. Kamu akan tetap mendapat gaji dan bonus untuk proposalmu yang baru saja diterima. ”

Dhara mendongak menatap Pak Sarman dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih Pak Sarman.”

Pak Sarman tersenyum. “Aku sangat suka dengan kinerjamu selama ini, Dhara. Kamu begitu bekerja keras dan cemerlang dibandingkan karyawan lain. Aku merasa sayang melepaskan karyawan seperti kamu. Aku ada saran, salah satu temanku yang bekerja di kantor pusat sebagai manajer umum pemasaran sedang membutuhkan asisten, jika kamu mau ... aku akan merekomendasikan kamu ke temanku.”

Mata Dhara berkedip penuh harap. “A-asisten manajer? Bapak sungguh-sungguh?!”

Pak Sarman mengangguk. “Aku sudah bilang nggak mau melepaskan karyawan yang cemerlang seperti kamu. Lagi pula aku sedang berniat promosikan kamu jadi asisten jika saja Fahron nggak bikin ulah. Merekomendasikan kamu ke kantor pusat adalah pilihan yang tepat. Apa kamu mau, Dhara?”

Dhara menggangguk dengan cepat dan mantap menatap Pak Sarman dengan tatapan penuh terima kasih.

“Ya, saya mau Pak. Saya mau. Terima kasih banyak, Pak Sarman!”

Hanya sedikit orang yang bisa mendapat bos  baik dan menghargai hasil kerja karyawan seperti Pak Sarman. Dhara tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang sudah diberi Pak Sarman.

Pak Sarman tersenyum dan menyodorkan sebuah brosur di atas meja. “Kamu masih harus ikut wawancara. Jadi siapkan surat lamaran kamu seperti yang diminta dari brosur ini.”

Dhara mengangguk terus menerus penuh rasa terima kasih. “Terima kasih Pak Sarman, saya akan bekerja keras dan membalas bantuan Anda.”

Pak Sarman mengangguk. “Tapi kamu rahasiakan ini dari yang lain, ya?”

Dhara berkedip dan mengangguk meski dia penasaran.

Pak Sarman segera menjelaskan. “Soalnya Pak Gading hanya tahu kamu dipecat. Dia nggak tahu aku sudah merekomendasikan kamu ke kantor pusat.”

Dhara mengerti lalu menatap Pak Sarman cemas. “Tapi bagaimana dengan bapak? Apa nggak papa Pak Sarman lakuin ini di belakang punggung Pak Gading. Aku merasa nggak kalau sampai Pak Gading marah sama Pak Sarman ....”

“Nggak usah cemas. Toh Pak Gading bentar lagi bakal diganti jadi nggak masalah lagi. Hanya saja kamu cukup rahasiakan saja saat ini sampai Pak Gading diganti.”

Dhara menghembuskan napas lega dan tersenyum penuh syukur pada bosnya. “Sekali lagi makasih banyak atas bantuannya, Pak Sarman.”

Pak Sarman tersenyum hangat. “Tapi kamu harus pergi diam-diam agar nggak bertemu dengan Pak Gading saat keluar nanti. Pak Gading itu ....” Pak Sarman menghentikan kalimatnya dan mendesah.

Tapi Dhara mengerti dan mengangguk. “Saya mengerti, Pak,” ujarnya lalu mengambil brosur di atas meja dan melihat isinya.

Matanya langsung melebar. “Kantor pusat ... apa itu perusahaan yang ada di Jakarta?”

“Benar. Aku merekomendasikan kamu ke perusahaan utama di Jakarta, Djaka Group.”

Kaki Dhara langsung lemas.

....

“Terima aja Dhara, susah dapat pekerjaan di kota besar, apalagi perusahaan besar di Jakarta. Kamu nggak perlu capek-capek ke sana kemari layani pelanggan seperti kerja di hotel.”

Dhara cemberut sedih mendengar omelan temannya di telepon. Dia berbaring telentang di tempat tidur dengan ponsel menempel di telinganya.

“Tapi ... aku bekerja di perusahaan Baskara. Bisa kamu bayangkan gimana perasaanku kalo ketemu dia di perusahaan setiap hari. Aku nggak mau sampai bertemu Baskara lagi.”

“Memangnya kenapa? Kamu punya utang apa sama dia sampai kamu harus hindari dia? Kamu harus move on Dhara. Baskara itu sudah menikah, buat apa dia mau mengingat mantan. Lagian udah empat tahun memangnya dia mau peduli sama kamu?”

Ucapan sang sahabat sangat menohok hati Dhara.

 “Tapi aku masih sakit hati, Ra. Aku ... aku nggak bisa berada di tempat yang sama dengan Baskara. Aku nggak mau,” ujar Dhara menggigit bantalnya sedih.

“Ya udah, nggak usah dipaksa. Kamu sakit hati pun Baskara nggak tau dan nggak peduli. Kamu yang bakal nyesel pas ditagih bayar sewa kos dan nggak ada uang. Aku mau kok gantiin kamu. Aku sudah setahun nggak dapat kerja lagi selain bantu-bantu mamaku di restoran.”

“Aaaa Rara ... aku harus bagaimana, dong? Dadaku sesak banget tiap ingat Baskara.” Dhara menatap langit-langit kamarnya murung.

“Ya mau gimana lagi dong. Kamu harus move on dan pacaran sama orang lain, lupain si Baskara. Kalo kamu gini terus, sampai sepuluh tahun pun keadaanmu nggak bakal berubah sementara Baskara happy sudah nikah dan punya anak ke 3.”

Dhara terdiam merenungi ucapan temannya, Rara, teman dekatnya sejak SMA sampai kuliah. Rara sekarang tinggal di Bali membantu mengelola restoran orang tuanya.

“Realitis dong, Dhara. Mantan nggak mungkin bayar tagihan tagihan sewa kos, listrik, makan dan belanjaanmu. Yang harus menghindar itu Baskara, bukan kamu Dhara.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status