Share

Rumor

“Pak Baskara ... apa yang Anda lakukan? Tolong lepaskan saya,” bisiknya mencoba mendorong dada Baskara yang sedang memeluknya.

Pria itu terdengar menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya melepaskan pelukannya dan menjauh sedikit. Baskara  menyalakan lampu. Cahaya lampu menerangi kamar luas itu.

Begitu Baskara menjauh Dhara menarik napas lega dan mencengkeram pakaian depannya dengan waspada. Kulitnya masih merinding karena pria itu tiba-tiba memeluk dan mencumbu lehernya.

Dhara menatap wajah Baskara dan menyadari ada yang janggal dari pria itu. Wajahnya memerah dan terengah-engah.

“Pak Baskara … apa Anda baik-baik saja? Anda mabuk?”

Baskara memalingkan wajahnya. “Ya, aku agak mabuk. Kenapa kamu di sini?”

“S-saya di sini untuk menemui Pak Gading. Apa bapak … bersama Pak Gading?” 

Mata Baskara menyipit dalam kegelapan kamar. “Kamu mau bertemu Gading? Tengah malam begini di kamar hotel? Apa yang akan kalian lakukan?”

Suara Baskara terdengar menuduh.

Dhara mengerut kening. “Apa maksud Bapak? Saya hanya mengantar dokumen pada Pak Gading.”

“Kamu yakin? Atau Gading yang mengirimmu ke sini?” Pria itu mencondongkan tubuhnya ke arah Dhara, “Untuk apa? Apa kalian berdua terlibat kerja sama?” Suara Baskara terdengar serak dan berat.

Pria itu tidak merasa nyaman dan panas di tubuhnya. Mata Baskara menjadi tajam. Dia menyadari minuman yang diberi Gading sudah diracuni dengan obat yang membuatnya merasa bergairah.

Menatap gadis di depannya, Baskara mengingat kejadian malam sebelumnya dan panas tubuhnya naik dua kali lipat. Dia menahan keinginannya untuk memeluk dan mencium Dhara.

“Maksud Bapak apa sih? Kerja sama apa yang Bapak bilang? Saya memang datang mencari Pak Gading.” Dhara mencoba bersikap sopan pada mantan pacar yang dulu pernah menghancurkan hatinya dan menahan dirinya agar tidak menampar pria itu.

Baskara tiba-tiba mendekat dan menakan Dhara ke pintu.

“Pak Baskara!” Dhara tercengang dan menahan dada Baskara agar tidak menekannya. “Apa yang bapak lakukan?”

“Dhara ….” Baskara menghembuskan napas di leher gadis itu membuat Dhara merinding.

“Jujurlah, apa Gading yang mengirimmu ke sini? Bagaimana kamu tahu nomor kamarku?” bisiknya serak. Aroma manis tubuh gadis itu sangat menggodanya. Alkohol dan obat di tubuhnya hanya tidak bisa ditahannya.

“Bapak dari tadi ngomong apa sih? Saya tidak mengerti.” Dhara dengan paksa mendorong Baskara.

“Jika Pak Gading tidak ada di sini, maaf saya permisi.” Setelah mengatakan itu Dhara mengambil map yang jatuh ke lantai dan berbalik hendak pergi.

Namun Baskara menahan lengannya dan menarik gadis itu ke pelukannya dan mendorongnya ke dinding agak keras.

“Aw!” Dhara mengaduh kesakitan saat punggungnya menabrak dinding dengan keras.

“Pak Bas—” Sebelum Dhara menyelesaikan kalimatnya Baskara tiba-tiba membungkuk dan mencium bibirnya. 

Mata Dhara melebar dengan mulut terbuka. Baskara mengambil kesempatan itu menyelipkan lidahnya, menjilat bibir dan menghisap manis gadis itu.

Dhara mengerang dalam mulutnya, pipinya memerah. Dia menggelengkan kepala dan berusaha mendorong dada Baskara.

Pria itu menekannya ke dinding semakin erat dan mencium bibirnya dengan ganas seolah-olah dia akan memakan bibir gadis itu. 

Dhara berkedip merasakan perasaan deja vu seolah dia pernah di posisi ini. Matanya menatap wajah pria di depannya dan mengingat rasa sakit empat tahun yang lalu saat pria itu menghancurkan hatinya.

Dhara membuka mulutnya dan menggigit bibir Baskara dengan kuat hingga berdarah.

“Sssttt ….” Baskara langsung melepaskan bibirnya.

Dhara mendorongnya menjauh dan menampar Baskara.

“Kamu gila!”

Baskara mengusap bekas gigit Dhara di bibirnya dan menatap gadis itu. Napasnya terengah-engah, sorot matanya tajam.

“Bukankah ini yang kamu mau? Kamu sengaja ke sini karena dikirim sama Gading, kan? Kenapa bersikap sok suci? Ini bukan pertama kali bagimu juga kan.”

Mata Dhara memerah, air mata mengenang di matanya hingga berkaca-kaca. Air matanya hampir mengalir ketika dia melihat cincin di jari manis pria itu.

“Dasar bajingan!” Dia mengangkat tangannya untuk menampar sekali lagi. 

Baskara menangkap pergelangan tangannya dan menatap tajam.

“Katakan berapa Gading membayarmu? Semalam juga begitu? Aku akan membayarmu dua kali lipat dari—“

Dhara menarik tangan Baskara dan menggigit lengannya dengan kuat. Air mata mengalir di pipinya.

“Brengsek! Aku nggak butuh uangmu! Kamu pikir aku apa? Dasar bajingan sialan!” Dhara mengumpat keras sambil menahan tangis dan tidak peduli bahwa pria di depannya adalah CEO dari perusahaan besar.

Dia mendorong Baskara dengan cepat dan membuka pintu kamar. Dia melarikan diri tanpa peduli dengan Baskara.

Dhara membanting pintu di belakangnya. Pada saat bersamaan seorang karyawan yang mengenakan seragam hotel keluar dari kamar sebelah Dhara dengan gerobak makanan.

“Loh Mbak Dhara? Apa yang terjadi?” tanya Karyawan itu karena Dhara membanting pintu kamar dengan keras.

Dhara tersentak dan menatap karyawan hotel.

“A … aku ….”

“Mbak Dhara … nggak pulang? Mbak Dhara nggak papa?” Karyawan menatap Dhara dengan tatapan aneh menyadari penampilannya agak berantakan.

Blus-nya kusut, rambutnya berantakan, bibirnya bengkak dan merah.

“Aku baru saja mau pulang,” balas Dhara malu melihat tanpa aneh karyawan itu pada penampilannya.

Tanpa memberi penjelasan Dhara buru-buru meninggalkan tempat itu.

 Sementara itu Dhara berdiri di depan lift dan memperbaiki penampilannya. Dia tidak bisa menahan perasaan sedihnya atas kata-kata Baskara yang merendahkannya. 

Baskara Djakaharto adalah mantan pacarnya. Mereka menjalin hubungan selama tiga tahun. Dan saat Baskara melanjutkan pendidikannya di luar negeri, Dhara telah menunggunya bertahun-tahun lalu kemudian Baskara memutuskan komunikasi tanpa alasan.

Empat tahun lalu pria itu datang hanya untuk mengabarkan bahwa dia akan menikah dengan wanita lain dan memutuskan hubungan mereka, lalu pergi meninggalkannya lagi.

Setelah empat tahun, Baskara kembali dan menghancurkan hatinya lagi.

Pria itu masih jahat seperti dulu.

Dhara menghapus air matanya saat melihat pintu lift hendak terbuka. Dia tersentak kaget menemukan dua orang saling berciuman panas di dalam lift. Kedua orang berpisah dengan cepat. Si wanita cemberut memperbaiki penampilannya yang acak-acakan.

“Nona Dhara!”

Mata Dhara membelalak menemukan Pak Gading dengan seorang wanita cantik di dalam lift.

“M-maaf Pak Gading!” Dhara dengan cepat mengalihkan pandangannya.

Keningnya mengerut menatap Dhara. “Kamu belum pulang?”

Dhara tersenyum kaku. “Saya baru saja mau pulang Pak.”

Wanita di sebelah Gading mendengus dan memperbaiki lipstiknya yang berantakan. “Jadi kamu masuk atau nggak?”

“Nggak usah Mbak. Saya akan naik lift berikutnya saja.”

Bagaimana mungkin Dhara mau satu lift dengan Pak Gading dan pasangannya. 

“Sampai jumpa lagi Nona Dhara. Pura-pura saja nggak lihat kejadian tadi, okey?” Gading mengedipkan mata pada Dhara.

Dhara buru-buru mengangguk.

“Ah!” Dhara tiba-tiba mengingat sesuatu dan hendak memanggil Pak Gading tapi pintu lift sudah tertutup.

Dhara menatap map di tangannya.

“Besok saja, ya? Lagi pula Pak Gading sedang bersama pasangannya. Aku nggak mau mengganggu,” gumam Dhara meringis mengingat ciuman panas Gading dengan wanita itu.

Begitu lift tertutup, wanita di dalam lift berkata dengan dingin.

“Siapa perempuan itu?”

“Hanya karyawan hotel. Mari lanjutkan yang tadi,” ujar Gading meraih pinggang wanita itu dan hendak mencium bibirnya.

Wanita itu mendorong dadanya. “Pecat dia. Aku nggak mau dia menyebar tentang kita di perusahaan.”

“Memangnya dia kenal kamu? Paling-paling dia nyebarin berita tentang aku tidur dengan wanita yang entah siapa. Toh, dia nggak tahu kamu istri Baskara.”

Veera mendengus.

“Pokoknya aku nggak mau ada yang lihat aku bersama kamu. Aku harus pergi sebelum Baskara tau aku ada di Surabaya. Jangan memanggilku lagi ke sini.” Dia berkata dengan kesal.

Gading mencibir, dia membungkuk dan berbisik di telinga wanita itu. “Ya dan jangan lupa ... aku dulu pacarmu sebelum kamu menikah dengan Baskara. Jangan karena Baskara kau membuangku, Veera sayang. Ingat perjanjian kita empat tahun yang lalu. Kamu nggak akan jadi istri Baskara jika bukan karena aku.”

Veera memelototinya dan mendengus saat pintu lift terbuka.

“Jangan keluar denganku, jangan sampai ada yang melihat aku bersamamu. Dan urus perempuan itu, kamu sebaiknya membungkamnya.” Setelah mengatakan itu, Veera mengenakan masker dan topi keluar lift.

“Dasar perempuan jalang,” desis Gading.

....

Keesokan paginya Dhara berangkat kerja ke hotel. Sepanjang perjalanan Dhara menyadari beberapa karyawan hotel menatapnya dengan tatapan aneh. Dia mengabaikan pandangan para karyawan hotel dan menuju ke kantor Pak Sarman.

“Maafkan saya, Pak. Saya belum mendapatkan tanda tangan Pak Gading,” ujar Dhara menyesal meletakkan sebuah map di atas meja Pak Sarman.

Pak Sarman menatapnya heran. “Apa maksud kamu, Dhara? Tanda tangan apa?”

Dhara berkedip bingung. “Pak Sarman kan yang suruh saya untuk minta tanda tangan Pak Gading tadi malam?”

“Siapa yang bilang? Aku hanya suruh Fahron antar map ke kantor Pak Gading, bukan ke kamarnya.”

Dhara terdiam dan pucat. Lalu apa maksud Fahron menyuruh dia mengantar dokumen ke kamar Pak Gading?

Pak Sarman menatap Dhara khawatir. “Dhara ... apa semalam kamu bersama Pak Gading? Itu sebabnya ada rumor bahwa kamu ... yah ... tidur dengan seseorang? Apa orang itu Pak Gading?”

Wajah Dhara pucat, matanya memerah. “Itu nggak benar Pak. Aku nggak tidur dengan Pak Gading. Semalam Fahron suruh saya untuk dapat tanda tangan Pak Gading karena Bapak yang suruh. Tapi ... tapi aku salah masuk kamar.”

Dhara menunduk malu tidak mau melanjutkan kalimatnya. Ini sangat memalukan diketahui oleh atasan yang dia hormati.

Reputasinya pasti hancur.

“Ah ... salah kamar ya. Itu bagus selain Pak Gading. Kuberitahu Pak Gading bukan orang yang baik. Dia sering gonta-ganti wani ... ah sudahlah.” Pak Sarman berhenti sebelum ada yang mendengar dia menjelekkan bosnya.

“Jadi Fahron menipu kamu datang ke kamar Pak Gading, begitu?”

Dhara mengangguk tapi kepalanya tetap menunduk.

“Dasar si Fahron ini ... dia udah keterlaluan banget. Dari dulu dia nggak guna dan selalu iri dengan orang lain. Banyak karyawanku yang berbakat berhenti karena dia. Kali ini aku nggak bisa diam saja saat dia berbuat seenaknya.” Pak Sarman mengomel kesal lalu menatap Dhara prihatin.

“Jangan khawatir Dhara, aku akan pecat Fahron. Kamu jangan berhenti seperti karyawanku yang lain ya. Kamu karyawan yang cemerlang dan proposalmu baru saja disetujui.”

Dhara mengangguk dan menghapus air mata di sudut matanya.

“Untuk saat ini kamu ambil cuti dulu. Ada rumor buruk tentangmu beredar di tempat kerja. Aku akan bantu kamu agar Fahron minta maaf dan meluruskan rumor yang beredar.”

“Pulanglah dan jangan lupa istirahat.” 

Dhara mengangguk. “Terimakasih banyak, Pak.”

Dhara keluar dari kantor Pak Gading. Sepanjang perjalanan banyak karyawan yang melirik ke arahnya dengan tatapan aneh.

Dhara mengabaikan tatapan mereka dan berjalan cepat menuju ke lokernya. Pak Sarman sudah mengizinkannya cuti hari ini.

“Dhara!”

Dhara berbalik melihat salah satu rekannya berlari ke arahnya sebelum berhenti di depannya.

“Dhara, kamu dipanggil ke kantor Pak Gading.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status