“Dhara, ucapkan terima kasih pada Pak Baskara, dia CEO dari Djaka Group, perusahaan utama yang berbasis di Jakarta,” bisik Pak Sarman melihat Dhara linglung dan tidak menanggapi ucapan Baskara.
Dhara tersadar dan buru-buru mengucapkan terima kasih sambil menunduk.
“Selamat siang Pak Gading, dan Pak Baskara.” Pak Sarman segera menyapa kedua pria dengan hormat setelah menegur Dhara.
Dhara dan Fahron mengikuti Pak Sarman memberi hormat.
“Kerja bagus semuanya. Aku terkesan dengan proyek Taman air dan presentasi Nona Dhara,” puji Gading, Direktur Hotel Alam Garden.
“Proposal ini diusulkan oleh Dhara, Pak,” tanggap Pak Sarman.
“Ternyata begitu. Idemu sangat brilian Nona Dhara, tidak heran presentasimu sangat luar biasa,” puji Gading menatap Dhara dan mengedipkan mata.
“Terima kasih Pak, saya tidak luar biasa seperti yang Bapak katakan. Semua ini karena Pak Sarma yang memberi saya kesempatan,” kata Dhara rendah hati.
“Hahaha, jangan merendahkan diri. Nggak hanya cantik, kamu juga berbakat. Cemerlang sekali. Benarkan, Baskara?” lanjutnya kemudian pada pria di sebelahnya.
“Hm.” Baskara hanya menanggapi acuh tak acuh. Matanya melirik Dhara sesaat.
Dhara berpura-pura tenang dan sopan.
“Aku harus pergi, masih ada urusan,” kata Baskara menunjukkan jam tangannya lalu sopan pada mereka dan pergi bersama sekretaris mereka.
“Jangan kecewa Nona Dhara, Baskara memang orang yang dingin seperti itu. Dia nggak pernah memuji orang lain. Idemu sangat brilian hari ini.” kata Gading seolah bisa melihat kekecewaan Dhara.
Dhara langsung menatapnya dan tersenyum malu.
“Ah, terimakasih Pak Gading.”
“Omong-omong Nona Dhara ....”
Gading tiba-tiba mengulurkan tangannya memegang pundak Dhara. “Kami akan mengadakan pesta di bar lantai bawah untuk proyek taman Air Hotel Alam Garden yang diterima dengan sukses. Jadi kamu harus datang bersama kami. Kalian juga harus hadir karena Baskara juga hadir,” ujar Gading terkekeh pada Pak Sarman dan Farhon.
“Ah baik Pak, kami pasti akan datang.” Fahron berkata tergesa-gesa sebelum Dhara sempat menolak.
Dhara mengerut kening merasa tidak nyaman karena tangan Gading di pundaknya. Jari-jari pria itu mengusap kulit pundaknya. Gading menatap Dhara dan mengedipkan mata sebelum pergi meninggalkan mereka.
....
Pada akhirnya, Dhara menghadiri pesta perayaan tersebut. Pesta itu tidak menyenangkan bagi Dhara. Pak Gading ternyata pria hidung belang. Dia berkali-kali merangkul Dhara dan bertanya banyak hal yang cukup intim baginya.
Di sisi sofa lain terlihat Baskara yang menyendiri dengan minumannya dan tidak ikut bersenang-senang.
Dhara muak dengan Pak Gading dan melarikan diri dengan berpura-pura harus mengangkat telepon. Dia sengaja berlama-lama di toilet dan kembali ketika pesta hampir selesai.
“Dhara kamu dari mana saja sih, kamu dari tadi dicari Pak Gading. Pak Sarman juga sudah pulang.” Fahron memelototi Dhara.
“Maaf Pak, aku ke toilet dan memperbaiki riasanku.”
Farhon mencibir lalu menyerahkan sebuah map pada Dhara. “Pak Sarman meminta kamu antarkan map ini pada Pak Gading di kamar hotelnya. Kamarnya nomor 1268.”
“Antar ke Pak Gading? Kenapa harus aku?” Dhara panik.
“Jangan banyak tanya. Ini perintah Pak Sarman untuk minta tanda tangan Pak Gading. Pak Sarman butuh tanda tangan dokumen ini besok pagi.” Setelah mengatakan itu Fahron pergi meninggalkan Dhara.
Dhara mengepalkan tangannya di map dokumen cemas.
Mau tak mau dia harus pergi karena ini perintah Pak Sarman. Dia dengan enggan dan cemas pergi ke kamar hotel Pak Gading. Sepanjang perjalanan menuju ke kamar Pak Gading dia sangat cemas hingga Dhara lupa nomor kamar Pak Gading.
“Nomor 1288 atau 1298, ya? Aduh gimana nih?” Dhara ingin memukul kepalanya. Kok bisa dia lupa sih, padahal dia disebut memiliki otak cemerlang.
Dhara mencoba menelepon Fahron tapi pria itu tidak mengangkat panggilannya.
“Coba kamar nomor 1298,” ujar Dhara pasrah.
Dhara berhenti di depan pintu kamar 1298 dan menarik napas dalam-dalam. Dia hendak menekan bel pintu tapi menyadari pintu itu setengah terbuka atau mungkin tidak tertutup rapat.
Dhara bingung. Dia mencoba menekan bel pintu dan menunggu. Tapi setelah beberapa saat tidak ada tanggapan.
“Pak Gading, ini saya Dhara ingin mengantar dokumen,” seru Dhara dari celah pintu.
Namun tetap tidak ada tanggapan.
“Pak Gading, aku masuk ya ....”
Dhara menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu kamar hotel.
Dia disambut ruangan yang remang-remang tanpa pencahayaan lampu kecuali lampu kuning yang redup di sudut.
Dhara berdiri cemas di ambang pintu antara mau masuk dan tidak melihat ruangan yang sedikit gelap.
“Pak Gading ... saya datang mengantar dokumen—“ Sebelum Dhara melanjutkan kalimatnya tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dan sebuah tangan menarik lengannya.
Dhara menjerit ditarik ke pelukan orang di depannya dan meronta.
“Pak Gading tolong lepaskan saya!”
“Sssttt, diamlah....” Suara berat dan serak mendesis di samping telinga Dhara.
Dhara menegang dan berhenti meronta.
“Pa ... Pak Baskara?!”
“Hmmm ....”
Dhara membatu sesaat. Meski dia tidak melihat wajah Baskara, dia mengenali suara pria itu. Dia tersadar menyadari Baskara sedang memeluknya dengan erat dan hidung pria itu mengendus lehernya dengan intim.
Wajah Dhara memerah malu dan panik.
“Pak Baskara ... apa yang Anda lakukan? Tolong lepaskan saya,” bisiknya mencoba mendorong dada Baskara yang sedang memeluknya.Pria itu terdengar menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya melepaskan pelukannya dan menjauh sedikit. Baskara menyalakan lampu. Cahaya lampu menerangi kamar luas itu.Begitu Baskara menjauh Dhara menarik napas lega dan mencengkeram pakaian depannya dengan waspada. Kulitnya masih merinding karena pria itu tiba-tiba memeluk dan mencumbu lehernya.Dhara menatap wajah Baskara dan menyadari ada yang janggal dari pria itu. Wajahnya memerah dan terengah-engah.“Pak Baskara … apa Anda baik-baik saja? Anda mabuk?”Baskara memalingkan wajahnya. “Ya, aku agak mabuk. Kenapa kamu di sini?”“S-saya di sini untuk menemui Pak Gading. Apa bapak … bersama Pak Gading?” Mata Baskara menyipit dalam kegelapan kamar. “Kamu mau bertemu Gading? Tengah malam begini di kamar hotel? Apa yang akan kalian lakukan?”Suara Baskara terdengar menuduh.Dhara mengerut kening. “Apa maksud Ba
“Pa .. Pak Gading mencari saya? Mengapa?” Dhara cemas.Rekannya menatapnya dengan tatapan aneh.“Kenapa nggak datang saja ke kantor Pak Gading. Jangan buat Pak Gading menunggu.”Dhara mengangguk enggan dan berbalik pergi menuju ke kantor Pak Gading.Rekannya tiba-tiba menahan lengan Dhara.“Omong-omong Dhara, apa itu benar?”Dhara menatapnya dengan senyum yang dipaksakan. “Tentang apa?”“Ada rumor yang bilang kamu tidur dengan Pak Gading. Itu nggak benar, kan?”“Itu nggak benar. Siapa yang nyebarin aku tidur dengan Pak Gading? Apa ada yang lihat aku tidur dengan Pak Gading?” desis Dhara menggertakkan gigi.Rekannya tertawa kaku. “Itu hanya rumor, jangan marah. Tapi yah, ada yang bilang kamu keluar dari kamar president suite tengah malam dengan penampilan berantakan. Lalu Fahron ... dia bilang semalam kamu ke kamar Pak Gading untuk mengantar dokumen. Jadi yahh ada rumor yang tersebar kalau kamu dan Pak Gading ….” rekannya tidak melanjutkan kalimatnya dan menatap Dhara dengan tatapan in
Dia yang seharusnya memimpin Djaka Group karena dia lebih tua. Tapi ayahnya tidak berguna karena tidak memiliki suara di dewan direksi dan hanya tahu berfoya-foya hingga kepemimpinan perusahaan utama jatuh di tangan Baskara setelah orang tuanya meninggal kecelakaan.“Kenapa datang ke kantorku?” Gading bertanya sambil tersenyum menahan rasa kesal di hatinya.Baskara berdeham dan memasukkan tangannya di saku berpura-pura acuh tak acuh. “Aku datang untuk melihat kinerjamu.”Baskara tidak bisa mengatakan bahwa dia datang karena mendengar Dhara dipanggil oleh Gading dan rumor yang beredar di antara para karyawan.“Apa kinerjaku jelek?” Gading menggertak gigi.Baskara duduk di sofa yang disediakan di ruang kantor Gading. Gading menyusul dan duduk di sofa lain.“Hotel Alam Garden nggak mengalami peningkatan pesat sejak setelah tiga tahun kamu mengambil ahli. Bahkan cenderung menurun dibandingkan tahun-tahun sebelum kamu mengambil ahli. Jika kamu nggak mengelola dengan baik, Hotel Alam Garden
Dhara mengambil tiga hari cuti dari tempat kerjanya. Pada hari ketiga, Dhara masuk kerja dan untunglah dia mendengar dari gosip karyawan lain bahwa CEO Djaka Group sudah meninggalkan hotel dan kembali ke Jakarta.Sebelum mulai kerja Dhara dipanggil ke kantor Pak Sarman.“Maaf Dhara, kamu nggak bisa bekerja hari ini. Kamu sudah diberhentikan,” ujar Pak Sarman menatap Dhara sambil menghela napas.Dhara terkejut dan cemas. “Kenapa Pak? Apa saya membuat kesalahan?”Proposalnya baru saja diterima dan akan menerima bonus, mengapa dia tiba-tiba dipecat?“Ini perintah Pak Gading karena masalah rumor kemarin membuat gaduh di antara para karyawan hotel dan merusak nama baik hotel. Ada yang bilang kamu menggunakan koneksi dengan Pak Gading untuk naik jabatan. Banyak para karyawan yang protes.”“Tapi itu kan nggak benar, Pak! Saya nggak dekat dengan Pak Gading dan kejadian malam itu nggak benar dan kesalahpahaman yang dibuat Fahron ....” Dhara panik dan hampir menangis.“Aku tahu dan aku menger
“Kamu benar ... kenapa juga aku harus hindari dia,” gumam Dhara merenung. Berarti selama empat tahun ini sia-sia dia selalu menangis dan mengingat rasa sakit yang diberi Baskara setelah dicampakkan demi menikahi wanita lain.Temannya menghela napas di ujung telepon. “Kamu harus move on Dhara. Jangan gamon terus. Cowok di dunia nggak cuma si Baskara doang.”Dhara berkata sedih. “Kamu nggak pernah ngerasain mencintai seseorang begitu dalam dan menjalin hubungan selama tiga tahun, tiba-tiba dicampakkan dan dia menikah dengan orang lain.”Dhara rasanya ingin kembali menangis mengingat masa-masa pahit saat itu. Empat tahun belum cukup untuk mengobati hatinya.“Oke, oke, aku nggak mau bertengkar dengan orang yang gamon banget.”Rara sudah sering menjadi tempat curhat Dhara. Awalnya bener-benar merasa ikut sakit sampai dia ingin memukul kepala si Baskara. Tapi kelamaan juga bisa membuat orang muak.“Kalau pun kamu masih sakit hati, kamu bisa balas si Baskara. Rayu dia dan buat dia cerai dari
Dhara menahan napas gugup melihat sosok Baskara yang berdiri di depannya dengan begitu mengintimidasi.Dia mengangkat kepala mencoba terlihat berani.“Saya sudah bilang sedang wawancara di sini. Pak Sarman merekomendasikan saya ke perusahaan pusat.”“Benarkah? Bukan karena kamu sengaja kerja di sini untuk merayuku?” cemooh Baskara.Dhara marah mendengar ucapan Baskara. Dia ingin mendamprat pria itu tapi kemudian ingat bahwa Baskara bos besar perusahaan ini sementara dia sedang mencari pekerjaan di perusahaannya.Dia mencoba tersenyum sopan.“Tolong jangan merendahkan saya. Saya akan melupakan kejadian bapak pernah melecehkan saya karena Bapak CEO di perusahaan ini.”Baskara tersenyum datar mendengar ucapan Dhara. Dia tiba-tiba menekan Dhara ke dinding lift dan menunduk berbisik di telingannya. ““Baiklah, lagipula aku sudah menikah dan punya istri. Jangan mencoba merayuku,” bisiknya dengan suara rendah menatap Dhara intens.Gadis itu menatapnya dengan mata berkaca-kaca dan menggigit
“Kalau nggak salah itu karyawan laki-laki. Hanya ada dua kandidat yang wawancara. Tampaknya mbak yang di lift tidak lulus wawancara. ”Baskara terdiam. Sayang sekali.Baskara mendesah dan melambaikan tangannya pada sekretarisnya. “Kamu bisa kembali bekerja.”Terdengar suara ketuka dari pintu kantor Baskara.“Masuk.”Pintu terbuka dan sosok pria lain masuk yang tak lain adalah asisten Baskara, Rio Sanjaya yang berbicara dengan ramah pada Dhara di lift.“Pak, Karen kecelakaan mobil. Dia tidak masuk pagi ini. Suaminya baru saja menelpon minta cuti untuk istrinya,” ujar Rio berdiri di sebelah Hadi.Baskara dan Hadi terkejut.“Bagaimana keadaan Karen?” tanya Hadi bersimpati.Baskara memiliki satu sekretaris yaitu Hadi Prayoga serta dua asisten, Rio dan Karen. Karen baru saja menikah tiga bulan lalu.Rio meringis. “Mobilnya menabrak pembatas karena pengendara motor yang melanggar aturan lalu lintar. Suaminya bilang Karen syok hingga keguguran dan patah kaki. Suami Karen minta cuti tiga bul
Dhara menggigit bibir bawahnya dan dengan cepat menunduk. Dia berharap wanita itu tidak mengingatnya.“Oh, silakan Bu. Jangan pedulikan saya.”Wanita itu tersenyum lembut menepuk pundak Dhara lalu berjalan masuk ke dalam gedung. Sementara itu sopirnya, Pak Toni menatap Dhara jengkel lalu masuk kembali ke mobil dan meninggalkan halaman perusahaan.Beberap karyawan yang menonton sudah kembali bubar.Dhara menghela napas lega mengelus dadanya. “Mbak Dhara! Mbak Dhara! Tunggu sebentar!”Dhara berbalik mendengar seseorang memanggil namanya. Dia melihat Pak Bobby berlari tergesa-gesa keluar gedung perusahaan sebelum berhenti di depannya dengan napas terengah-engah.“Ada apa ya Pak?”Pak Bobby tersenyum lebar. “Mbak Dhara, bos kami mendadak mencari asisten sementara karena asisten sebelumnya kecelakaan hari ini. Apa kamu membawa surat lamaranmu?”Jantung Dhara berdegup penuh harapan. “Ya, saya bawa Pak,” balasnya menunjukkan map di tangannya.“Bagus, ayo ikut saya untuk wawancara.” Pak Bob