Share

6. Matahari yang Tenggelam

***

Kinan melihat rumah yang saat ini ia tempati sangat gelap, ia tahu bahwa Ludwig selalu menyendiri dan juga tidak suka keramaian, namun ia tidak mau membuat rumah ini semakin kelam. Ia mencoba melihat ke sekeliling belakang halaman dan ia tersenyum mempunyai ide untuk menjadikannya halaman itu tanaman agar suasana terasa hangat jika di pagi hari. Kinan juga sudah memikirkan, jika di pagi hari, ia bisa membuat Ludwig jauh lebih baik untuk duduk di taman menatap langit biru dan hamparan bunga yang indah.

“Nyonya, ada apa Nyonya ada di sini?” tanya Bu Inah.

“Bu, dulu ini taman bunga, kan? kenapa sekarang dibiarkan begini?” Kinan bertanya balik.

Bu Inah ingat, dulu saat Ludwig kecil betah di rumah ini jika sedang berlibur ke Indonesia, pasti Ludwig selalu betah menatap bunga-bunga, namun setelah Ludwig menetap di sini, pria itu memintanya untuk menghancurkan taman bunga itu.

“Bu, aku ingin membuat taman di sini. Apakah Ibu nanti bisa bantu?” tanya Kinan lembut.

“Itu… “ Bu Inah menjawabnya agak ragu.

Kinan mengernyitkan keningnya, “Ada apa, Bu? Apa nanti Ludwig akan marah?”

Bu Inah menganggukan kepalanya, “Sebenarnya, ada yang ingin saya sampaikan pada Nyonya Kinan. Apakah Nyonya berkenan mendengarkannya?”

“Tentu saja, ceritakan apapun padaku, Bu Inah. Apalagi jika itu tentang suamiku,” balas Kinan.

Suasana terasa hening di sekitar rumah tua yang tersembunyi di tengah kebun bunga. Bu Inah duduk di teras depan, pandangannya melayang ke kebun yang dulu dipenuhi warna-warni bunga-bunga musim panas. Dia menghela nafas, menyiapkan diri untuk menceritakan kisah yang pernah terlupakan.

"Kinan, ada yang harus kusampaikan padamu," ujar Bu Inah dengan suara pelan, matanya terarah pada Kinan yang duduk di hadapannya.

Kinan menatap Bu Inah dengan penuh perhatian, menunggu dengan sabar. "Apa itu, Bu Inah?" tanyanya.

Bu Inah menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Kisah tentang Ludwig. Dia dulu sangat mencintai kebun ini, penuh dengan bunga-bunga musim panas yang indah. Setiap hari, dia akan sibuk merawat mereka, memberi mereka perhatian seperti anak-anaknya sendiri."

"Benarkah?" Kinan menunjukkan ketertarikan yang jelas dalam wajahnya.

Bu Inah mengangguk perlahan. "Namun, suatu hari, terjadi kecelakaan mengerikan. Wajahnya terbakar dalam kebakaran yang mengerikan di ladang belakang. Kecelakaan itu mengubah segalanya. Tuan Ludwig berubah menjadi murung, dia merasa bahwa semua hal indah yang pernah dia rawat begitu penuh kasih telah direnggut darinya. Apalagi Nyonya besar, mendiang maminya Tuan Ludwig langsung meninggal karena menyelamatkannya dan dari sana, semua keluarganya membenci Tuan Ludwig dan dia diabaikan dan tak pernah dianggap keberadaannya. Tuan… meski dia memberikan yang terbaik dan menjadi nomor satu di sekolah dan juga sangat cerdas, dia tetap diabaikan, apalagi wajahnya… mereka tak peduli dengan itu atau mengusahakan untuk mengembalikan wajah Tuan Ludwig kembali normal."

Mata Kinan memperlihatkan kekaguman dan simpati. "Apa yang terjadi setelahnya?" tanyanya dengan penuh minat.

"Setelah kecelakaan itu, semuanya berubah dan Tuan Ludwig merasa keberadaannya tidak ada di sana, dia memutuskan untuk mengasingkan diri di Jakarta, tepat usianya menginjak 19 tahun. Tuan menyendiri di sini sudah 13 tahun. Rumah ini, yang dulu penuh dengan kehidupan dan kehangatan, berubah menjadi sunyi dan kosong. Cahaya yang dulu memancar dari hatinya, kini padam," jawab Bu Inah, suaranya penuh dengan kesedihan.

Kinan terdiam sejenak, mencerna semua informasi yang baru saja dia dengar. Kemudian, dia menatap Bu Inah dengan tajam. "Apa yang bisa kita lakukan untuk membantu Ludwig?"

Bu Inah tersenyum lembut, mengangkat tangannya untuk menyentuh pipi Kinan. "Saya ingin Nona Kinan meminta izin langsung pada Tuan Ludwig untuk memperbaiki kebun ini. Dan, saya juga ingin anda lebih bersabar, Nona Kinan. Tuan Ludwig, di balik kesedihannya, adalah pria yang hangat dan penuh kasih. Kecelakaan itu memadamkan cahaya di hatinya, tapi saya yakin, dengan bantuanmu, kita bisa membantu memulihkan sinarnya. Saya percaya bahwa matahari yang tenggelam itu akan terbit lagi karena ada Nona di sisinya."

Kinan mengangguk, matanya bersinar penuh tekad. "Aku akan melakukan yang terbaik, Bu Inah. Aku akan membuat Ludwig kembali merasakan kehangatan dan kebahagiaan. Meski aku tidak tahu kapan tepatnya waktu itu akan datang, tapi aku percaya bahwa matahari itu akan kembali bersinar."

Bu Inah tersenyum bangga pada Kinan. "Saya tahu Nona Kinar bisa. Bersama-sama, kita akan membawa kembali sinar yang terbakar dalam hati Tuan Ludwig."

***

Malam ini Kinan tidak bisa tidur nyenyak, ia masih memikirkan apa yang Bu Inah katakana tentang masa lalu dan luka batin Ludwig. Ia menghela napas panjang dan melihat waktu menunjukkan jam dua dini hari, wanita itu memutuskan untuk melaksanakan shalat malam sembari menunggu hatinya jauh lebih tenang. Namun, saat ia akan bangkit dari atas ranjangnya, ia terkejut melihat Ludwig sudah berada di ambang pintu kamarnya.

“Ludwig, kamu sudah kembali?” tanya Kinan dengan lembut, ia meski ragu, langsung menghampiri pria itu, namun saat ia ingin menarik tangan pria itu, Ludwig dengan kasar langsung menepisnya.

“Jangan sembarangan menyentuhku!” ketus Ludwig.

Kinan terkejut dan menarik tangannya, ia pun tersenyum kembali. “Aku hanya senang kamu kembali, Ludwig.”

“Jangan berpura-pura bersikap manis di depanku, Kinan. Aku tak butuh sandiwara palsumu!” balas Ludwig.

Kinan tahu bahwa masa lalu Ludwig membuat pria itu tak mempercayai semua orang, ia hanya perlu bersabar dan merasa yakin bahwa Ludwig akan melihat ketulusannya.

“Apa yang bisa aku lakukan? Kamu mau minum teh hangat atau apa? Aku akan membuatkannya untukmu," ucap Kinan menawarkan.

“Aku tak butuh apapun!” tukas Ludwig.

“Baik, kalau begitu aku… “

Ludwig langsung menarik lengan Kinan dan membuat wanita itu dengan mudahnya langsung jatuh dalam pelukan pria itu. Kinan tersenyum kikuk, wanita itu tidak bisa melihat jelas ekspresi Ludwig karena topeng di wajahnya membuat ia tak bisa membaca apa yang pria itu inginkan, hanya ada bola mata warna biru yang terlihat dan setiap ia menatapnya, ia seolah tenggelam di dalamnya.

“Aku hanya ingin tubuhmu, itu yang aku inginkan,” ucap Ludwig dengan suara parau.

Kinan mengangguk, bagaimanapun memang sudah menjadi kewajibannya untuk melayani Ludwig. “Baik, aku mau ke kamar mandi dulu,” balasnya pelan.

Ludwig melepaskan pelukan itu dan membiarkan wanita itu pergi, setelah Kinan masuk ke kamar mandi, Ludwig merasa ada sesuatu yang tak nyaman di hatinya dan ia tidak tahu, perasaan apa itu namanya.

Lalu,Ludwig duduk di ujung ranjang, menatap sekumpulan foto yang tersebar di atas permukaan kasur dengan ekspresi penasaran. Dia meraih satu foto kecil, mengamati dengan seksama wajah mungil yang tersenyum cerah di dalam bingkai itu.

Kinan kecil yang menggemaskan.

Dia tersenyum sendiri, matanya meluncur dari satu foto ke foto lainnya. Foto-foto itu membawa dia ke masa-masa yang sudah lama berlalu, saat Kinan masih anak kecil yang riang dan polos.

Tapi, semakin dia menelusuri gambar-gambar itu, semakin terpesona dia dengan transformasi Kinan dari masa ke masa. Dia melihat wajah yang semakin matang, ekspresi yang semakin berisi, dan pesona yang semakin mengagumkan.

Tanpa sadar, gumaman lembut keluar dari bibir Ludwig. "Kenapa bisa ada wanita semanis kamu di dunia?"

Suara itu membuyarkan keheningan di kamar. Ludwig terkejut dengan kata-katanya sendiri, seakan mengungkapkan pikiran yang selama ini terpendam dalam hatinya. Ia menolak percaya bahwa saat ini ia menjadi manusia bodoh hanya karena seorang wanita yang ia beli!

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status