***
“Kinan… “
Kinan menoleh dan tersenyum menatap sahabatnya yang menghampirinya.
“Assalamualaikum, Anna,” ucap Kinan memberi salam dan berdiri dari kursinya .
“Walaikumussalam,” balas Anna. Ia menatap sahabatnya dengan campur aduk, banyak hal yang ingin ia tanyakan tentang semua desas-desus yang melanda Kinan akhir-akhir ini, apalagi tentang isu Kinan yang menjadi istri ketiga dari seorang pria kejam yang kaya raya.
“Kinan, itu… “ Anna mencoba menjeda ucapannya dan berharap Kinan langsung menjelaskan semuanya padanya.
Kinan tersenyum lembut menatap Anna yang memang sedang menunggu penjelasan darinya, “Aku tahu kalau kamu pasti banyak pertanyaan dan meminta aku untuk menjelaskan semuanya, kan?”
Anna langsung menganggukan kepalanya.
Kinan menghela napas pendek, “Sebelumnya aku minta maaf, Anna. Kejadian ini begitu cepat dan juga ponselku dirusak oleh ibu, untuk itu aku tidak bisa memberitahukanmu, kemarin saat aku mendapatkan ponsel baru, aku kehilangan kontakmu, untuk itu aku datang ke sini untuk menjelaskan semuanya padamu.”
“Jangan terus minta maaf, Kinan. Aku hanya khawatir padamu dan masalah pernikahan itu, kamu benar menikah dengan Tuan Ludwig yang aneh itu? Kamu kenapa mau menjadi istri ketiganya? Apakah pria itu menyeramkan dan membuatmu terluka?” tanya Anna sangat khawatir.
Kinan tersenyum lagi, “Aku memang sudah menikah dengannya dan Ludwig tidak pernah menyakitiku, dia juga bukan pria yang aneh. Buktinya, aku bisa bertemu denganmu hari ini dan kembali mengajar.”
“Masalah istri ketiga?”
“Saat ini yang aku tahu kalau aku memang istri ketiganya dan dua istri sebelumnya sudah bercerai,” balas Kinan.
“Kamu tahu tidak desas-desus yang mengatakan kalau suamimu itu pria menyeramkan dan juga kejam? Kamu tahu tidak kalau kedua istri sebelumnya menghilang tanpa jejak dan diisukan jadi tumbal untuk kekayaannya?”
Kinan terdiam, selama ini yang ia tahu kalau Ludwig hanya bercerai dan tidak ada aktifitas yang aneh selama ia bersama suaminya. Ludwig hanya sibuk dengan dunianya dan kesendiriannya, pria itu tak pernah banyak bicara dan tak pernah mau duduk bareng bersamanya.
“Insya Allah, aku tahu kalau jalan ini adalah takdir yang harus kujalani, jadi aku tak percaya dengan desas-desus itu, aku yang sehari-hari bersamanya, jadi aku yang lebih tahu bagaimana suamiku,” balas Kinan.
Anna menghela napas panjang, “Tapi, Kinan. Apa kamu tidak ketakutan dengan wajahnya? Apakah dia membuka topeng di depanmu?”
“Sepertinya masalah itu tak perlu kita bahas, Anna. Aku baik-baik saja dan aku sedikit lega, aku bisa lepas dari bayang-bayang ketakutan saat masih bersama mereka, aku merasa seperti sayapku bisa terbang lagi,” balas Kinan.
Anna tahu bahwa Kinan memang tersiksa hidup bersama ibu dan saudari tirinya, ayahnya Kinan tak peduli dengan apa yang mereka lakukan pada Kinan. Namun, ia juga khawatir saat mengetahui bahwa Kinan dijual oleh keluarganya sendiri pada pria kejam seperti Ludwig.
Kinan menyadari kekhawatiran sahabatnya, ia mengenggam tangan Anna untuk meyakinkan, “Anna, kamu tak perlu takut kalau aku tidak bahagia. Aku selalu baik-baik saja kan selama ini? meski ibu dan Anggun berusaha sekuat tenaga untuk membuatku celaka, Alhamdulillah sampai saat ini aku masih bisa bernapas, jadi tolong doakan dan percaya saja padaku.”
Anna tak kuasa menahan air matanya, ia sangat tahu bagaimana kejamnya dunia pada wanita seshalihah Kinan, sahabatnya itu tak pernah mengeluh, selalu saja tersenyum seolah dunia ini baik-baik saja.
“Kinan, apa yang membuatmu bisa kuat dan tersenyum seperti ini? jika itu aku, aku mungkin bisa gila,” ucap Anna dengan perasaan yang sesak.
“Semua itu karena Allah selalu ada di hatiku, Anna. Aku bisa sekuat itu karena Allah,” balas Anna.
“Semudah itu?”
Kinan mengangguk, “Semuanya akan terasa ringan, jika kita mengingat-Nya. Aku selalu tenang disaat aku berkomunikasi dengan-Nya lewat sujud dan doa-doa panjang.”
“Kinan, apakah kamu tak pernah membenci hidupmu? Kenapa kamu selalu tenang? Aku… aku hanya ingin kamu menemukan kebahagiaanmu, tapi saat ini suami kamu adalah pria yang sangat kejam, aku hanya takut nasib kamu sama dengan kedua istri sebelumnya. Jika kamu mau lari, aku bisa membantumu, aku pasti akan membantumu sampai tuntas!” ucap Anna dengan serius.
Kinan tertawa tipis dan ia menganggukan kepalanya, “Aku tahu kalau kamu begitu peduli padaku, tapi tidak ada yang aku takutkan di dunia ini karena yang melindungiku adalah yang Maha Kuat, Allah. Hidup ini hanya sementara dan kita hanya singgah, kesenangan dunia pun hanya menipu karena kita hanyalah pengembara. Kata kamu, kenapa aku bisa kuat dan setenang ini?” tanyanya, dan ia melanjutkan, “Itu karena aku selalu berbaik sangka pada Allah dan berdoa agar apa yang aku jalani, Allah ridho. Allah itu tidak akan memberi ujian sesuai dengan kemampuan manusia.”
“Kamu mau tetap bertahan dengan pria itu?”
Kinan langsung mengangguk, “Tentu saja, aku akan selalu ada di sisinya karena dia adalah suamiku.”
“Apa dia pria yang shalih? Pria yang kamu impikan untuk menjadi imammu?” tanya Anna.
“Tidak ada yang sempurna di dunia ini, Anna. Semuanya pasti punya titik salah. Aku dan dia akan berjuang bersama-sama untuk menuju surge-Nya Allah, doakan kami, ya!”
Anna hanya mengangguk pasrah karena ia tahu tidak bisa meyakinkan Kinan untuk segera pergi dari cengkraman Ludwig.
“Andai saja belum terlambat. Mungkin kamu dan Mas Fachry akan segera berjodoh,” gumam Anna.
“Apa? Apa yang kamu katakan barusan?”
***
Dalam kediaman mewahnya di Jerman, Ludwig terbangun dari tidurnya dalam kegelapan malam. Keringat dingin membasahi dahinya saat dia memejamkan mata, masih terhanyut dalam mimpi yang menghantuinya. Mimpi tentang Kinan.
"Kenapa aku selalu teringat padanya? Apa aku sedang tak waras?"
Dia membuka matanya perlahan, tetapi bayangan wajah Kinan masih terpatri di dalam benaknya. Setiap kali dia memejamkan mata, wajah itu kembali menghantuinya.
Ludwig mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menghilangkan bayang-bayang yang mengganggunya. Namun, setiap kali dia mencoba, suara merdu Kinan yang melantunkan ayat suci Al-Quran seperti obat yang menenangkan hatinya dan seperti cahaya yang masuk ke dunianya yang gelap.
"Kenapa suaranya begitu menenangkan dan terus saja terdengar jelas di telingaku?" gumam Ludwig.
Tiba-tiba, tanpa ragu lagi, dia bangkit dari tempat tidurnya dan menuju ke meja kerjanya. Dia membuka laptopnya dan mulai mengetik cepat di keyboard.
"Apakah agama ini adalah agama yang keras? Agama sarang para pembenci? Bagaimana aku bisa mengetahuinya dengan lengkap?" tanya Ludwig pada dirinya sendiri.
Dia menelusuri internet dengan serius dan juga sangat penasaran, mencari informasi tentang Islam. Artikel, video, diskusi forum - dia menyerap semuanya dengan cepat, mencoba memahami lebih dalam tentang agama yang begitu memikat hatinya.
"Apakah ada kebenaran di balik semua ini? Apakah aku sedang gila malah mencari agama buatan para manusia?” gumam Ludwig, mencoba menyangkal kegelisahan hatinya.
Mendadak wajah Kinan muncul lagi di dalam pikirannya, senyuman wanita itu seperti cahaya cepat yang mampu menembus kegelapan hatinya.
“Sepertinya besok aku harus kembali ke Jakarta.”
***
***Lima bulan berlalu...Kinan sedang memangku bayi mungil di depan rumahnya. Rumah yang beberapa bulan ini ia tempati bersama suaminya, Arthur. Dan tentu saja Tony, ayahnya menemaninya. Ia merasa bahagia karena ayahnya Tony saat ini selalu ada bersamanya dan selalu membantunya mengurus sang buah hati.“Ayah,” ucap Kinan lembut, ia tidak melihat Tony setelah sholat subuh. “Apa Ayah ketiduran, ya?” gumammya.Kinan berjalan pelan menuju kamar ayahnya, pintu sedikit terbuka. Ia melihat Tony sedang dalam posisi sujud. Ia mengernyitkan kening dan tersenyum, melihat betapa khusyuk ayahnya dalam sholat. Tony memang dikenal sebagai sosok yang sangat taat beribadah beberapa bulan terakhir ini, dan Tony mengatakan selalu menemukan ketenangan dalam setiap doanya.Kinan memutuskan untuk duduk di dekat pintu, menunggu ayahnya selesai sholat. Ia membuka ponselnya, mengecek beberapa pesan, lalu memandang kembali ke arah Tony. Setengah jam berlalu, namun posisi Tony tidak berubah sedikit pun."Ayah,
***Waktu cepat berlalu dan sudah empat bulan usia kehamilan Kinan saat ini, dan kebahagiaan yang ia rasakan semakin bertambah saat dokter menyatakan bahwa ia sudah bisa bepergian dengan pesawat udara. Pagi itu, Kinan dengan semangat memberitahukannya pada adik iparnya, Vincent agar membantunya untuk membeli tiket pesawat ke Madinah esok hari, pria itu sangat senang dan ia langsung memesan dua tiket untuk kakak iparnya dan juga Tony. Lalu, Kinan juga mengabarkan berita baik ini kepada ayahnya, Tony."Ayah, dokter bilang aku sudah bisa bepergian dengan pesawat!" seru Kinan penuh antusias saat memasuki kamar ayahnya.Tony yang sedang sibuk membaca laporan kerja dari salah satu karyawannya di gerai mengangkat kepalanya dan tersenyum melihat putrinya yang berseri-seri. "Benarkah, sayang? Itu berita yang luar biasa, Nak!" jawabnya sambil berdiri dan memeluk Kinan."Aku ingin menyusul Ludwig ke Madinah, Ayah. Aku ingin memberinya kejutan. Dia tidak akan tahu bahwa aku akan datang, aku suda
***Ludwig dan Kinan duduk berdampingan di sofa, wajah mereka berseri-seri memandangi layar ponsel yang menampilkan wajah Patricia yang kelelahan namun bahagia. Di pelukannya, tampak seorang bayi perempuan yang mungil dan menggemaskan, masih dengan selimut rumah sakit membungkus tubuh kecilnya. Patricia tersenyum lebar, jelas bangga dan penuh kasih sayang terhadap putrinya yang baru lahir."Patricia, dia sangat cantik!" seru Kinan dengan suara penuh haru. "Selamat, kamu sudah menjadi ibu dua anak sekarang."Patricia tertawa lembut. "Terima kasih, Kinan. Aku merasa seperti hidupku baru saja dimulai. Lihatlah betapa mungilnya dia. Apalagi aku selalu mengharapkan menggendong bayi perempuan."Ludwig menatap bayi itu dengan mata berbinar. "Dia benar-benar anugerah, Patricia. Selamat sekali lagi. Kami sangat bahagia untukmu."Patricia mengangguk dengan wajah penuh kebahagiaan. "Terima kasih, Ludwig. Kami tidak sabar untuk kalian bertemu dengannya langsung."“Dan kami ada berita bagus untukm
***Ludwig berdiri di depan cermin besar, merapikan dasi hitamnya. Dia melirik jam di pergelangan tangannya, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Malam ini adalah malam istimewa yang telah ia rencanakan dengan seksama. Ia telah menyewa sebuah restoran mahal dan mewah secara privat hanya untuk makan malam romantis bersama sang istri, Kinan. Semuanya telah disiapkan, dari makanan terbaik hingga dekorasi yang indah, semua dirancang untuk membuat Kinan merasa sangat istimewa. Apalagi Kinan yang memintanya dan sang istri akhir-akhir berubah jadi istri yang manja dan mudah cemburuan, perubahan itu membuatnya terkejut, tapi ia sangat menyukainya karena Kinan semakin menggemaskan di matanya.Pintu kamar terbuka, dan Kinan muncul dengan gamis indah berwarna merah yang anggun. Mata Ludwig berbinar melihat kecantikan istrinya. "Sayangku, kamu terlihat menakjubkan," katanya dengan penuh kagum.Kinan tersenyum malu-malu. "Terima kasih, sayang. Suamiku juga terlihat sangat tampan. Apakah ka
***“Sayang, bagaimana sekarang? Kamu sudah tidak pusing lagi?” tanya Ludwig.Kinan menggelengkan kepalanya dan tersenyum, ia menatap suaminya dengan tatapan tak terbaca.Ludwig mengernyitkan keningnya karena merasa ada yang tidak biasa dari diri Kinan, “Ada apa, sayang? Mau bicara sesuatu?” tanyanya.Kinan langsung memeluk suaminya dan hal itu tentu saja membuat Ludwig terkejut karena dari kemarin istrinya itu sangat manja, terlebih lagi Kinan bisa marah saat ia lupa memberi kabar karena kemarin sangat sibuk mengurus segala hal di keluarga Schlossberg.“Sayang, kalau ada salah aku minta maaf. Lebih baik kamu marah saja sama aku daripada mendiamkanku seperti ini. Aku nggak bisa kalau kamu mendiamkanku,” ucap Ludwig.Kinan melepaskan pelukannya dan tersenyum menatap suaminya, “Mana bisa aku marah sama suamiku, kalau sebal ya paling dikit,” balasnya.“Ada apa?” tanya Ludwig.“Bagaimana urusan kamu dengan Leo? Terus ke depannya, semua yang dimiliki keluarga Schlossberg bena-benar kamu le
***Leonardo duduk sendirian di dalam sel tahanan, tatapan kosongnya terpaku pada dinding dingin yang menyelimutinya. Wajahnya pucat dan lesu, air mata tak terbendung meluncur turun membasahi pipinya. Hati dan pikirannya dipenuhi oleh kesedihan yang tak terperi."Dulu, segala sesuatunya begitu indah," gumam Leonardo dalam diam, suaranya serak oleh rintihan tangisnya yang terdengar. "Keluarga, cinta, kebahagiaan. Semuanya hancur oleh rasa iri dan kebencianku."Ingatan akan masa lalu datang menghantamnya seperti gelombang yang ganas. Dia mengingat senyum kedua orang tua dan juga saudara-saudaranya, kehangatan keluarga yang pernah dirasakannya. Namun, kebencian dan niat jahatnya terhadap Ludwig telah mengubah segalanya."Dosaku terlalu besar," bisik Leonardo dengan suara tercekik oleh air mata. "Aku telah merusak segalanya dengan tangan sendiri. Bagaimana aku bisa begitu buta dan bodoh? Dia kakakku, tapi aku ingin menghancurkannya karena aku terlalu iri dan cemburu padanya."Vincent, adi