"Apa?" Chiara terbelalak. Ia hendak maju, namun tangan Zyan berhasil mengurungkannya.Poppy semakin melengkingkan tawa kemenangannya. Sementara Lucas melempar pandang ke arah Chiara sekilas. Tatapan mereka saling bertemu untuk sepersekian detik.Dada Chiara sesak. Begitukah sosok asli Lucas yang gemar melukai hatinya?Padahal ia masih kesal dengan perbuatan picik pria itu kemaren. Sekarang justru pria itu juga yang mengingkari kontrak pernikahannya. Chiara tak percaya ada orang seperti Lucas.Chiara bahkan menahan tangisnya. Zyan menoleh, lalu menggenggam tangan Chiara. Poppy menatap tajam sikap Zyan dan berjanji akan memperhitungkannya juga. Untuk saat ini, ia harus berhasil memisahkan Lucas dan Chiara dulu."Diamlah! Ini bukan saatnya kau omong kosong," tegas Lucas berusaha mengendalikan emosinya. Beberapa kali ia membuang napasnya kasar. Sedang Albert merasa iba kepada pimpinannya tersebut.Sontak Poppy tertawa. "Kenapa? Ini bukan omong kosong. Memang kenyataannya kau sudah menanda
Zyan melangkah maju, hendak menggaet Chiara demi memisahkan keduanya. Namun cekalan tangan Albert yang kedua kali berhasil mencegahnya kembali. Zyan kesal, lalu melempar tatapan tajam kepada Albert."Lepaskan tanganmu, sialan!""Sebaiknya Anda pergi saja, Tuan. Jika tidak, Robert akan tahu kalau Anda masih berkeliaran di sini."Zyan mendengus kemudian menepis tangan Albert dari lengannya dengan keras. "Aku tidak peduli dengan orang bajingan itu!""Tapi planning Anda masih jauh, Tuan. Saya sudah memegang dimana tempat tinggal Anda. Bukan berarti saya tidak bisa mengadu kepada Tuan Robert sehingga ayah Anda mengusir sekaligus menggagalkan rencana Anda." Albert mengulas senyum, tapi tampak menyebalkan bagi Zyan.Zyan memelototkan matanya tajam, kemudian terpaksa pergi dari sana. Albert mengembuskan napas lega dan menaikkan senyumnya. Ia memandang Chiara dan Lucas sekilas, lantas pergi meninggalkan keduanya demi privasi mereka.Lucas akhirnya membebaskan ciumannya. Ia tatap wanita di deka
Kaki Albert terasa kaku. Matanya tetap lurus menatap tato yang bertengger di leher pria tersebut. Albert menggertakkan rahangnya. Otaknya terpaksa mengingat kejadian dua puluh tahun silam. Peristiwa dimana dunianya terbalik seketika dalam satu malam.Lucas berderap mendahului Albert lantas duduk di sofa tamu. Berdeham keras, agar pria di ruangan itu menoleh.Mendengar suara Lucas membuat pria tersebut tergegau, lantas berbalik menghadap Lucas. Senyum lebar terkembang secara lebar demi menyambut kehadiran Lucas."Oh, Anda sudah datang. Maaf, saya terlalu asyik menikmati langit pagi ini," kekehnya hingga membuat mata sipitnya semakin mengejam."Ya, tidak apa-apa. Seperti biasa jangan membuang waktuku," sergah Lucas menyandarkan punggungnya."Baik, Tuan." Lalu mata Chen Ze tak sengaja menangkap Albert yang masih berdiri mematung di sana."Tuan, silakan masuk. Anda boleh masuk juga." Chen Ze mengulum senyum, lantas menggiring kaki menuju sofa di hadapan Lucas dan menyilakan Albert untuk b
"Jangan bicarakan itu lagi!" bentak Lucas sekali lagi.Nyali Chiara menciut. Setengahnya ia tidak paham dengan sikap Lucas tiba-tiba. Apa orang itu sensitif hari ini? Ataukah memang dirinya salah bicara? Padahal Chiara hanya ingin berbagi cerita dengan Albert.Chiara melirik Albert sekilas. Pria itu masih tampak membeku di tempat. Sama seperti dirinya. Yang membedakan hanya wajah Albert menjadi pucat. Chiara pun terkesima saat menatap paras pria di sampingnya. Sepertinya memang ada yang salah dengan dirinya.Chiara hendak membuka mulut untuk menanyakan Albert, apa pria itu sedang sakit. Namun sebelum berhasil mengeluarkan suara, Albert lebih dulu bangkit dengan tubuh bergetar."Aku sudah selesai makan. Permisi." Albert membungkukkan badan, lantas cepat-cepat menggiring kaki menuju kamarnya.Sementara itu, Chiara mengerjap tak percaya. Albert benar-benar aneh. Bukan hanya pria tersebut yang aneh, Lucas juga tiba-tiba berdiri sambil melempar tatapan nyalang ke arah Chiara. Lebih ke arah
Chiara mengernyit, termangu selama sepersekian detik karena tak menyangka dengan pemandangan di depannya. Dan apa indra pendengarnya tak salah tangkap? Sayang? Sejak kapan Lucas memanggil Poppy dengan sebutan sayang?Chiara menarik napas dalam-dalam. Apalagi yang akan ia hadapi pagi-pagi begini? Tak terkecuali Albert yang juga keheranan. Sebenarnya ia tahu Lucas akan melakukan apa yang pria itu katakan beberapa hari lalu. Tapi momen di depannya sangat tidak masuk akal. Albert bahkan tak memercayai apa yang sedang ia lihat.Poppy mengusap dagu Lucas lembut. Ia menarik salah satu kurs tepati di samping Lucas, kemudian mendudukkan diri di sana. Ia mengulum senyumnya sambil mengamati ketampanan Lucas yang tiada cela."Iya dong. Mulai sekarang aku akan ke sini tiap pagi hanya untuk melihat calon suamiku."Chiara mengernyit samar. Kini pandangannya terfokus pada makanan di depannya. Mulutnya sedang rajin mengunyah, tapi pikiran dan indra pendengarnya masih serius menyelidiki hubungan Lucas
Poppy sengaja mempermainkan senyumnya. Lalu sambil menyibak rambut dan mencondongkan tubuh mendekat, ia berkata, "Aku sengaja mengundang mereka biar orang tua kita tahu, Lucas. Kau pikir apa?!"Lucas mendesah. Baginya Poppy memang kurang kerjaan. Ia memijat hidungnya."Sudahlah. Terserah kau saja," ucapnya tak ingin ambil pusing.Poppy semakin memiringkan senyum. "Kalau begitu, aku mau kau pakai yang itu." Ia menggerakkan kepala menuding tuxedo yang ia pilih tadi.Sontak Lucas menyahutnya dengan tatapan nyalang. Ia mengatupkan rahang dan berdesis, "Tapi tidak sampai mencampuri pilihanku sendiri. Ingat itu!"Air muka Poppy berubah kesal. Ia mengerutkan dahinya."Tapi terakhir kali yang kau pilih adalah wanita yang sudah mati, Lucas. Juga wanita miskin," sahut Poppy sembari mencebik dan mengerdikkan bahu.Kemudian Poppy langsung sibuk mengikuti si pelayan untuk mencoba ball gown di ruang ganti. Lucas tercenung. Membiarkan wanita itu pergi meski dirinya naik darah. Poppy tak boleh memand
Lucas dan Poppy kemudian beralih ke tempat lain. Sekarang mobilnya terparkir rapi di sebuah toko besar dengan halaman luas. Sebelum turun Lucas mengedarkan pandangnya."Kau tak mengundang paparazzi ke sini kan?"Poppy tergelak. Ia juga ikut menyeret matanya. "Tidak. Sudah kukumpulkan di sana tadi."Lucas menghela napas lega. Tak nyaman jika berada di antara para wartawan yang haus akan validasi. Ia benci suara gaduhnya yang saling menyahut kurang ajar, tidak suka pertanyaan ingin tahu yang dilontarkan, serta bau keringat yang menguar di antara mereka."Toh, berita tentang kita sudah menyebar luas, Lucas," tambah Poppy menyeringai.Lucas berpaling, mengernyit tak mengerti. "Maksudmu?""Memberitahu orang tua kita, juga masyarakat luas. Sepertinya keluarga kita akan lebih suka itu," jawab Poppy tak acuh sembari mengedikkan bahu.Lucas tercenung. Memperkokoh niatnya untuk meneruskan segala sesuatu yang telah ia mulai. Meski sejujurnya terkadang kepalanya masih memikirkan Chiara.Lucas dan
Zyan bersiul sambil mengenakan kemejanya. Setelah itu, ia mengoleskan cream pada wajah dan mengagumi sendiri betapa tampan dirinya dibanding Lucas.Sambil terus menatap ke arah bayangannya di cermin, Zyan mengenakan arloji di tangan kemudian menyemprotkan parfum miliknya. Ia merapikan rambutnya sekali lagi dan menyambar kunci mobil di depannya.Siang itu lumayan terik. Namun tak terlalu masalah bagi Zyan yang hatinya sedang berbunga-bunga. Ia rela menyusuri jalanan, membalap kendaraan lain demi sampai di mansion Lucas.Sementara itu, Chiara sudah bersiap dan hendak melangkahkan kakinya turun ketika Melly mencegahnya."Nona, Anda mau kemana?" tanya wanita dewasa tersebut. Sontak hal itu membuat Chiara menggigit bibir bawahnya. Ia tidak terbiasa untuk berbohong."Eh, Bi. Aku keluar sebentar saja ya. Tidak lama kok," ungkapnya mencari alasan. Melly masih belum mengerti."Kemana, Nona? Saya takut jika Tuan Lucas tahu dan marah." Melly tampak khawatir."Aku ada perlu ke bank sebentar, Bi.